Kamis, 22 Maret 2012

Diskursus tentang Theodise dan Misteri Penderitaan dalam Dialog: Sebuah Refleksi Singkat

Ketika mencoba memahami kembali permasalahan penderitaan, sebenarnya secara langsung/tidak langsung kita akan bersinggungan dengan keras kepada permasalahan theodise. Menurut bahasa Perjanjian Pertama, permasalahan ini muncul dengan berbekal sebuah “pertanyaan khas”: Jika Tuhan serbabisa (omnipotent), serbatahu (omniscient) dan murahhati (benevolent) mengapa bisa terjadi bahwa orang benar menderita dan orang jahat justru hidup berlimpah harta? Atau bahasa sederhananya: Jika Tuhan berkuasa dan baik mengapa kejahatan dan penderitaan terjadi? (Si Deus Justus-unde malum?). Atau lebih sederhana lagi menurut saya, penderitaan akan selalu memunculkan pertanyaan: mengapa? Berpijak dari pertanyaan mengapa inilah saya membuat uraian teologis mengenai penderitaan.
            Pertanyaan mengapa ini selalu muncul dari kondisi penderitaan yang melanda setiap manusia, termasuk bangsa Israel. Pertanyaan ini muncul sebagai sebuah simbol iman dan pengharapan akan Yahweh agar peka dan sudi menolong si penderita. Awalnya saya berpikir bahwa pertanyaan mengapa ini bermaksud untuk meminta Yahweh agar memberikan alasan dan jawaban atas pertanyaan mengapa saya menderita? Bagi Jon D. Levenson, pertanyaan ini adalah pertanyaan spekulatif belaka. Namun lebih dari itu, jika pemikiran kita dinaungi “pertanyaan khas” di atas, maka pertanyaan mengapa ini berfungsi sebagai tuntutan terhadap Yahweh yang gagal menjadi Yahweh sebagai Tuhan omnipotent, omniscient, benevolent. Menurut Walter Brueggemann dari pertanyaan inilah muncul suatu praktik yang sering disebut sebagai perkabungan (mis. Mzm 134 dan Kitab Ratapan).
            Praktik perkabungan ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengakui siapa dan bagaimana sebenarnya kita ini di hadapan Tuhan. Praktik ini juga dimaksudkan untuk menyerahkan diri secara penuh kepada Tuhan, namun ternyata praktik ini tidak dilakukan bangsa Israel ketika mereka berada di pembuangan. Mengapa? Karena praktik perkabungan ini dicurahkan dalam bentuk protes, bukan sekedar praktik berkabung, sebuah ratapan (Inggris: lament). Israel mendesak Yahweh yang menurut mereka meninggalkan mereka ketika dalam pembuangan: mengapa, ya Allah, Kau buang kami untuk seterusnya? Mengapa menyala murka-Mu terhadap kambing domba gembalaan-Mu? (Mzm 74.1). Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kesengsaraan Israel berhubungan erat dengan kedaulatan dan reputasi Yahweh sendiri di tengah pluralitas kepercayaan lain.
            Jon D. Levenson ketika menghadapi ihwal theodise ini menawarkan tiga tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab:
  1. Tetap meratap terus menerus dengan maksud untuk “membangunkan” Tuhan agar sudi menolong dengan segera (lament),
  2. Berpaling dari Yahweh kepada ilah-ilah lain karena menurut kita kedaulatan Yahweh tidak benar-benar penuh berkuasa; atau
  3. Tetap beriman kepada Yahweh apapun yang terjadi. Iman kepada Sang Penolong lebih kuat dibandingkan iman kepada pertolongan. Kepercayaan penuh dalam kondisi baik maupun buruk (mis. Dan 3:15-18).
Namun tetap saja hal ini menurut saya tidak bisa menjawab persoalan kualitas khas kesetiaan Yahweh sendiri di tengah penderitaan yang bertubi-tubi di alami manusia, termasuk bangsa Israel. Jika manusia setia, mengapa Allah tidak setia dan meninggalkan manusia menderita?
Menurut Jon D. Levenson, Tuhan sebagaimana digambarkan oleh Alkitab memang omnipotent, namun berada dalam suatu “drama”—bagi Levenson, drama menjadi sangat penting karena hidup bak sebuah drama—kehidupan yang membuat-Nya tidak selalu tampil sesuai potensi-Nya (omnipotenimpotensia). Lebih singkatnya: serbabisa namun tak selalu terwujud. Mengapa? Karena Ia terlibat di dalam drama. Maka jika Ia hadir di dalam drama, bukankah berarti Ia turut menderita bersama dengan manusia? Bukankah ini bentuk kesetiaan-Nya terhadap umat-Nya?
            Menurut saya, memang ini suatu bentuk kesetiaan Yahweh, namun hal ini malah memunculkan suatu permasalahan baru yang lebih sukar. Jika Yahweh berkenan dan setia bahkan hadir dan menderita dalam penderitaan bersama dengan manusia maka barangkali Yahweh tidak memiliki kekuatan yang benar-benar besar dan bahkan tidak berdaulat? Namun pertanyaan ini nampaknya diruntuhkan dengan pernyataan Yahweh dalam Yesaya 50.2: Mungkinkah tangan-Ku terlalu pendek untuk membebaskan atau tidak adakah kekuatan pada-Ku untuk melepaskan? Pertanyaan Yahweh yang menantang ini sekiranya membungkamkan pertanyaan mengenai kedaulatan Yahweh karena kesetiaan-Nya. Bahkan membungkamkan Ayub ketika ia mempertanyakan nasibnya kepada Allah. Jon D. Levenson juga melihat bahwa kedaulatan Yahweh yang ditinggikan menafikkan berbagaimacam teka-teki realitas kehidupan bahkan problematik hidup secara moral.
            Suatu pertanyaan muncul dari permenungan mengenai skema bipolar Walter Brueggemann ketika kedaulatan Yahweh disaksikan sebagai jawaban atas teka-teki ini: Allah yang berdaulat, yang absolut dan mengabsolutkan diri-Nya bukankah sama seperti berhala yang menjadi sasaran protes Musa di Sinai? Bukankah ini masalah ikonisasi terhadap Allah sendiri? Israel tentu didekonstruksi oleh Musa ketika ia mengkritik permasalahan ikonisasi terhadap Allah di Sinai. Tentu jika Israel mengetahui bahwa, bila tidak ada hubungan timbal balik antara umat terhadap Yahweh entah melalui krtik, ratapan, bahkan pujian, Yahweh akan serta merta menjadi absolut dan inilah yang dihindari oleh mereka. Maka, Yahweh memang berdaulat, namun Ia juga bukan berhala yang absolut. Oleh karena itu, keberadaan-Nya di dalam drama menjadi penting karena impotensia Yahweh memberikan ruang bagi hubungan umat dengan-Nya.
            Selain pandangan mengenai omnipotenimpotensia Jon D. Levenson, Yahweh juga seringkali digambarkan dengan dua sisi-Nya yang bersebrangan: Deus Saveus sebagai “Yahweh yang ganas” dalam penafsiran-penafsiran terhadap perikop seperti Kejadian 7 ketika manusia dimusnahkan dengan air bah; atau dalam 1 Samuel 15 ketika Saul diperintahkan untuk membunuh orang-orang Amalek dan segala milik mereka. Dan Deus Gratious sebagai “Yahweh yang penuh cinta kasih, berbelaskasih, murah hati kepada manusia dan dunia” seperti sebagian besar bagian Alkitab. Lalu ihwal penderitaan, Yahweh bertendesi ke arah mana?
            Jika mengikuti skema bipolar Walter Brueggemann, tentu maksudnya bukan menjawab salah satu atau keduanya secepat kilat. Namun ke-anikonik-an Yahweh menandakan bahwa Yahweh unpredictable! Menurut Brueggemann yang mengafirmasi Jacques Derrida: 

Indeed, Jacques Derrida goes so far as to suggest that justice—in the world and from God—is undeconstructable and therefore more ultimate than God. (Benarlah Jacques Derrida yang sampai berani berpikir bahwa keadilan—di dunia dan yang dari Tuhan—tidak bisa direkonstruksi dan karenanya lebih utama daripada Tuhan)

Maka permasalahan ini pun menurut Breuggemann lebih unpredictable (tak terjawab atau mungkin tak dimaksudkan untuk dijawab)! Mungkinkah permasalahan Theodise ini menuntut suatu cara berpikir yang tidak membakukan Tuhan dengan jawaban-jawaban yang sekiranya pasti? Atau sebaliknya, membakukan Tuhan dengan jawaban-jawaban yang sekiranya tidak pasti. Jika sebaliknya, tentu saja saya sendiri tidak ingin melanjutkan pembahasan dan bahkan tidak memilih topik ini untuk dibahas.
            Conflicting perspective Walter Brueggemann ketika mencoba mempersoalkan ihwal penderitaan akan selalu muncul ketika permasalahan menemui cul de sac-nya, sebuah jalan buntu. Tentu permasalahan ihwal penderitaan dan theodise masih menjadi dialog yang hangat hingga saat ini, bahkan hari nanti. Namun keterdesakan kita untuk menjawab realita yang ada menjadi beban yang kita pikul dan ingin kita lepaskan sekarang, kini dan di sini, bukan hanya sebatas penyelesaian persoalan teori dan abstraksi saja. Lalu bagaimana kita menanggapi (bukan menjawab) realitas masa kini mengenai penderitaan?
            Tentu saja saya akan menetap dalam posisi nomor yang ketiga jawaban Jon D. Levenson ketika menanggapi persoalan theodise yaitu tetap beriman kepada Yahweh apapun yang terjadi dalam kepercayaan penuh ketika kondisi baik maupun kondisi buruk. Namun tidak hanya sampai di sini. Beriman penuh bukan soal bisa atau tidak bisa menjawab pertanyaan mengapa namun beriman penuh adalah permasalahan keyakinan; yakin penuh bahwa dibalik setiap penderitaan yang unpredictable (tak terjawab bahkan tak dimaksudkan untuk dijawab) pasti ada kekuatan Allah (yang unpredictable juga) yang siap digelar demi realisasi pekerjaan-Nya melalui penderitaan yang unpredictable ini. Maka, pertanyaan mengapa bagi saya adalah suatu keberanian dan langkah awal untuk berjalan di dalam tanda tanya. Suatu perjalanan yang penuh misteri yang dibekali kenekatan berpegang teguh kepada Allah dalam karya misterius-Nya. Bukankah hidup yang sudah pasti akan sangat membosankan? Bukankah cinta kasih Allah yang misterius inilah yang memberikan kejutan-kejutan kepada kita sehingga kita seharusnya semakin jatuh cinta kepada-Nya? Pada akhirnya, misteri tetaplah akan menjadi misteri ketika ia masih tak terjawab. Namun melalui misteri inilah, Tuhan merealisasikan pekerjaan-Nya di dalam kehidupan manusia dan dunia.

Sebelah Garasi Rumah Oranye Bausasran, Yogyakarta
Untuk Mengenang Mendiang Frederick Markus Sario Karundeng