Senin, 10 Januari 2011

Mana Lebih Baik: Menikah atau Selibat? (SCP)

Sebuah tinjauan dan model penerapan Shared Christian Praxis 


Bahan              : I Korintus 7:25-40
I. Aktifitas Terfokus (AT)
I.1. Tinjauan Konsep Aktifitas Terfokus
Mengarahkan peserta kepada ‘keberadaan’ mereka dalam ruang dan waktu, kepada praksis mereka serta menetapkan suatu fokus bagi kurikulum (Pendidikan Kristen) merupakan suatu tujuan dari Aktifitas Terfokus.[1] Terdapat dua aspek dalam Aktifitas Terfokus: [1] tema generatif; [2] lingkungan belajar/mengajar kondusif.
         Menurut Thomas H. Groome, Tema Generatif adalah beberapa isu historis—berupa pertanyaan, nilai, keyakinan, konsep, peristiwa, situasi, dan lain sebagainya—yang dapat menarik para peserta untuk terlibat secara langsung karena tema itu penting dan berarti bagi kehidupan mereka.[2] Sejatinya para peserta terlibat secara langsung dan eksplisit (vocal participation) dalam pemilihan tema generatif, namun bisa juga fasiitator yang menentukan tema generatif—dalam hal ini, para peserta tetap terlibat secara tidak langsung (tacit participation) daam pemilihan tema generatif karena praksis masa kini merekalah yang dijadikan titik tolak pemilihan tema generatif oleh fasiitator.[3]
         Fasilitator juga bertanggungjawab untuk menciptakan lingungan psikososial dan fisik yang kondusif. Memunginkan peserta untuk merasa ‘nyaman’ (at home)—merasa diterima dan empati terhadap praksis masa kini mereka—merupakan lingkungan psikososial mereka. Sedangkan lingkungan fisik yang kondusif meliputi aspek lingkungan yang nyaman dan memungkinkan kontak mata dari setiap peserta, membuat para peserta sadar akan ‘keberadaan fisik’ (physical presence) tiap peserta yang lain.
I.2. Penerapan Aktifitas Terfokus
I.2.A. Memilih Tema Generatif
Bacaan terambil dari I Korintus 7:25-40. Maka yang menentukan tema generatif adalah fasilitator. Dalam hal ini, fasilitator dituntut untuk mempertimbangkan dua hal, bahan bacaan dan praksis masa kini peserta PA. Dalam PA kali ini, pesertanya diikuti oleh pemuda dengan usia 25-30 tahun yang secara nyata berada dalam tahap perkembangan mental kognitif (Jean Piaget) dan tahap perkembangan psikososial (Erik H. Erikson).
         Bahan bacaan I Korintus 7:25-40 seringkali menjadi sebuah prolematis bagi para pemuda Kristiani. Orang Kristen seringkali dengan antusiasme yang tinggi meyakini bahwa sejarah kehidupan manusia diawali dengan sebuah ’pernikahan’ antara Adam dan Hawa. Pernikahan menjadi sebuah keharusan dalam menggenapi ide penciptaan Allah yang sempurna. Melalui hal ini, seringkali kita melihat bahwa kehidupan ’normal’ manusia adalah apabila ia menikah, jika tidak maka ia (akan) dianggap manusia yang tidak normal. Hal ini yang menjadi permasalahan karena pernikahan tidak lagi dianggap sebagai sebuah bahtera yang tercipta dari sebuah komitmen antara suami-istri. Pernikahan hanya dianggap sebagai sebuah ”formalitas” semata supaya manusia dapat mempertahankan status quo ke-’normal’-an mereka sebagai manusia. Ini yang juga menjadikan pernikahan yang dibangun itu bukan menciptakan sebuah keharmonisan, sebaliknya diwarnai oleh banyak ketegangan sebagai akibat pernikahan yang bersifat ’paksaan’ legal.
         Tidak dapat kita pungkiri juga terdapat banyak pribadi yang seiring perkembangan jalan memiliki keputusan untuk melajang (selibat). Seiring dengan kenyataan ini, banyak orang-orang yang belum mengerti sepenuhnya mengapa seseorang memutuskan untuk membujang dan sebaliknya, ada juga orang-orang yang belum sepenuhnya mengerti mengapa seseorang memilih untuk masuk ke dalam kehidupan pernikahan yang tentu tidak bebas dari persoalan-persoalan hidup berkeluarga. Melalui hal ini, fasilitator berasumsi bahwa judul PA ”Mana Lebih Baik: Menikah atau Selibat?” sudah menjangkau ranah tema (yang) generatif melalui pembahasan bahan bacaan dan praksis masa kini para peserta.
I.2.B. Menciptakan Lingkungan yang Kondusif
Untuk mencipatakan lingkungan psikososial yang kondusif, fasilitator akan memulai kegiatan PA ini dengan kegiatan bernyanyi atau ice-breaking untuk mencairkan suasana. Lingkungan fisik akan mendukung apabila sebelum acara dimulai, fasilitator mengatur tata ruang kegiatan PA itu sedemikian rupa sehingga tercipta suasana ’nyaman’ (at-home), misalnya dengan ber-lesehan dengan posisi membentuk sebuah lingkaran yang memungkinkan para peserta untuk dapat melihat peserta lainnya—termasuk fasilitator.

II. Gerakan 1: Ekspresi Praxis Masa Kini
II.1. Tinjauan Konsep Gerakan 1
Gerakan 1 ini bertujuan agar peserta mampu mengekspresikan beberapa aspek dari praksis masa kini mereka (sendiri) atau masyarakat mereka. ’Ekspresi’ maksudnya adalah adanya sebuah penekanan bahwa aktivitas gerakan 1 dapat direalisasikan bukan hanya dengan kata-kata.[4]
         Ada dua hal yang senantiasa harus diperhatikan dalam gerakan 1 ini, yaitu: [1] sebisa mungkin setiap peserta memiliki kesempatan untuk mengekspresikan praksis masa kininya setidaknya kepada satu orang peserta yang lain. Namun hal ini juga bukan berarti ’harus mengekspresikan praksis masa kininya’ namun ’harus memiliki kesempatan’—setiap peserta berhak untuk tidak mengekspresikan praksis masa kininya.[5] [2] fasilitator tidak bisa menggunakan segala taktik koersif—yaitu memaksa masing-masing peserta untuk berekspresi. Mungkin akan ada peserta yang kurang nyaman dan aman jika harus mengekspresikan praksis masa kininya kepada peserta lain atau kepada fasilitator, ia dapat diarahkan untuk menulis sebuah catatan pribadi agar terciptanya sebuah dialog antara si peserta yang bersangkutan dengan dirinya sendiri. Jika ada peserta yang bungkam, seorang fasilitator harus berperan sebagai katalis dengan menghargai ’cara’ partisipasi dan ’cara’ belajar masing-masing peserta karena mungkin saja ia melibatkan dirinya secara utuh ke dalam dialog ketika sedang memperhatikan dengan seksama ekspresi-ekspresi yang dibuat peserta lainnya.
II.2. Penerapan Konsep Gerakan 1
Sebelum melakukan Gerakan 1, jika jumlah peserta terlalu besar fasilitator dapat membaginya dalam beberapa kelompok. Misalnya saja 20 orang, fasilitator dapat membaginya menjadi 5 kelompok yang terdiri dari 4 orang.
         Diharapkan dalam gerakan 1 ini peserta dapat ’mengekspresikan’ pengalaman-pengalaman mereka yang terkait dengan pernikahan dan selibat (melajang). Di sini tidak terbatas pada pengalaman langsung semata, namun dapat juga pengalaman dari cerita-cerita yang didengar peserta dari orang lain atau informasi lain dari media mana saja.
         Selanjutnya fasilitator mengajukan beberapa pertanyaan yang sifatnya open ended (terbuka). Misalnya:
Mari kita sama-sama membagikan cerita tentang pengalaman kita mengenai pernikahan dan selibat. Bagaimana pendapat saudara/i mengenai orang yang memutuskan untuk menikah dan selibat selama ini?
Mengingat bahwa peserta tidak hanya bisa mengekspresikan pengalamannya melalui kata-kata namun dengan berbagai media maka fasilitator bisa juga mengajukan ”tugas” seperti:
Sekarang banyak kita temui teman-teman bahkan keluarga kita yang memutuskan untuk menikah dan membangun sebuah bahtera keluarga, ada juga orang-orang yang memutuskan untuk hidup sendiri atau selibat. Tanggapan seringkali miring kepada orang-orang yang selibat karena dianggap tabu untuk dibicarakan. Sekarang saya ingin mengajak saudara/i untuk menggambarkan dua gambar. Yang pertama adalah gambar sepasang suami istri dan yang kedua gambar orang (laki-laki atau perempuan) yang sedang sendiri beserta ekspresi wajahnya masing-masing.
Diharapkan dengan kegiatan ”menggambar ekspresi” tersebut, para peserta dengan lebih leluasa mengekspresikan dua hal, yaitu: [1] sisi pengalaman mereka yang belum seluruhnya dapat dituangkan dalam kata-kata maupun [2] sisi pengalaman mereka yang tidak ingin diungkapkan dalam kata-kata. Terkadang fasilitator perlu menjadi orang pertama yang memaparkan pengalamannya kepada peserta. Hal ini sangat membantu ketika tema generatif yang dibawakan terkait dengan hal yang tabu seperti ’masokis’[6].
         Fasilitator sebaiknya memperhatikan bahwa adanya perbedaan ’personal’ dan ’privat’. Fasilitator harus berusaha untuk menghantarkan para peserta pada ekspresi praksis masa kini peserta tanpa melanggar privasi mereka.[7] Oleh sebab itulah fasilitator juga sebaiknya menghargai pentingnya saat-saat diam (time of silence). Hal ini dikarenakan saat-saat itu dapat menjadi saat yang paling efektif bagi peserta untuk berdialog dengan diri mereka sendiri namun juga dengan pengalaman-pengalaman yang dibagikan oleh peserta lainnya.[8]

III. Gerakan 2: Refleksi Kritis atas Praxis Masa Kini
III.1. Tinjauan Konsep Gerakan 2
Membawa peserta kepada kesadaran yang kritis akan praksis masa kini dengan mengenali muasal personal maupun sosialnya, memahami alasan-alasan di baliknya, mengandaikan bagaimana mereka dapat mengubahnya di masa yang akan datang lalu menguji kedalaman pemahaman mereka dalam suatu komunitas yang dialogis merupakan tujuan dari gerakan 2.[9] Dalam gerakan 1 peserta melakukan ’kodifikasi’ terhadap pengalaman sedangkan gerakan 2 melakukan ’dekodifikasi’ terhadap pengalaman tersebut. Gerakan ini meliputi:[10]
1.      Penalaran Kritis Pribadi
·   Penalaran Kritis Pribadi
Berarti melihat kepada apa yang tengah terjadi, bertanya kepada diri sendiri tentang mengapa hal itu terjadi dan bagaimana hal itu terjadi? Mengapa kita melihat hal itu demikian?
·   Penalaran Kritis sebagai Analisis Sosial
Berarti mempertanyaka pengaruh dari luar pribadi (sosial) misalnya bagaimana praksis masa kini dapat dipengaruhi dan dibentuk oleh sistem sosial yang melingkupinya?
2.      Anamnesis Analitis Pribadi dan Sosial
·   Anemnesis Analitis atas Biograi Pribadi
Berarti para peserta mencoba mengungkapkan dan memahami bagaimana ’biografi’ pribadi mereka membentuk dan mempengaruhi baik praksis masa kini pribadi maupun masyarakatnya.
·   Anemnesis Analitis sebagai Asal-Muasal Sosial
Peserta mengingat kembali lapisan asal-muasal sejarah sosial apa saja yang mempengaruhi praksis masa kini.
3.      Imajinasi Kreati Pribadi dan Sosial
·   Imajinasi Kreatif Pribadi
Fasilitator dituntut untuk mengundang peserta dalam [1] mengimajinasikan semua konsekuensi praksis masa kini mereka; [2] membayangkan bagaimana suatu aspek masa kini mereka dibentuk kembali demi memajukan kesejahteraan semua.
·   Imajinasi Kreatif yang Mengarah pada Masyarakat
Terpusat pada suatu tema atau simbol generatif yang memampukan peserta mengenali semua konsekuensi, membayangkan apa yang sebaiknya dibentuk kembali dari praksis sosialnya. Membantu peserta agar juga sadar untuk terlibat dalam transformasi sosial.
Dalam pelaksanaannya, gerakan 2 ini sebaiknya seorang fasilitator mengajak para peserta melibatkan pelbagai disiplin ilmu yang relevan untuk menganalisa pengalaman mereka.
III.2. Penerapan Gerakan 2
Dalam kegiatan tanya-jawab di gerakan 2 ini, seorang fasilitator perlu secara realistis menyadari kebanyakan orang tidak terbiasa untuk melakukan suatu refleksi kritis dan analitis.[11] Agar tidak terjadi hal yang menghambat proses sharing, maka sebaiknya pertanyaan pertama merupakan hal yang sederhana guna ’memancing’ para peserta seperti:
Apa yang saudara/i ketahui tentang selibat dan pernikahan?
Apa arti dari selibat menurut Anda?
Melalui jawaban atas pertanyaan tersebut, fasilitator dapat mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam yang lebih menuntut para peserta untuk melakukan penalaran kritis dan analitis. Misalnya jawaban yang muncul adalah ”Selibat itu tidak menikah, mereka tidak menikah karena berbagai hal, misalnya keputusan sendiri, atau memang tidak memiliki niat untuk membangun bahtera rumah tangga. Pernikahan adalah sesuatu yang sangat diimpikan setiap orang, oleh karena pernikahan membawa seseorang menemukan pasangan hidupnya yang telah Tuhan janjikan.” maka fasilitator dapat bertanya:
Apakah menurut saudara/i orang yang selibat tidak bahagia? Menurut saudara/i apa saja hal yang dapat membuat seseorang memutuskan untuk selibat? Menurut saudara/i manakah yang lebih baik, selibat atau menikah? Apakah selibat memuncukan suatu permasalahan?
Pertanyaan ini akan mengajak para peserta melakukan pendalaman (discernment) terhadap penalaran kritis dan analitisnya. Diharapkan dalam menjawab pertanyaan di atas, secara elaboratif peserta menggunakan kajian-kajian pelbagai disiplin ilmu dalam analisisnya. Namun jika belum, maka fasilitator dapat memaparkan pendapat beberapa pakar dan data statstik yang relevan dan sekiranya membantu para peserta untuk dapat semakin dalam dan jernih merefleksikan pengalamannya. Contohnya:
Ketika Hans Kung menjadi konsultan teologi dalam gerakan pembaruan gereja Katolik Roma pada Konsili Vatikan Kedua tahun 1962 hingga 1965 ia ditanyakan apakah selibat merupakan pendorong kasus pelecehan seksual. Menurutnya tidak. Mungkin kita akan menemukan banyak kasus pelecehan seksual di mana pun, baik di lingkungan sekuler maupun di lingkungan gereja. Tapi tentu saja, anak muda sekarang menghadapi kondisi berbeda dengan ketika ia menjadi pendeta atau abad-abad sebelumnya. Menurutnya gereja perlu melihat perubahan situasi ini. Praktek selibat bukanlah hukum Tuhan. Joseph Ratzinger[12] setuju dengan Hans Kung bahwa praktek ini merupakan aturan gereja abad pertengahan. Selama beberapa abad sebelumnya, gereja katholik tidak mengenal hukum selibat. Menurut Hans Kung, mereka harus menghapuskan hukum ini.[13]
Fasilitator perlu memberikan arahan bahwa ’masa kini’ (present) tidak dapat dipisahkan dari ’masa lalu’ (past) dan ’masa depan’ (future): setiap pengalaman masa kini membawa dalam dirinya konsekuensi peristiwa-peristiwa di masa lalu sekaligus kemungkinan-kemungkinan bagi masa yang akan datang.[14] Melalui pernyataan di atas tadi fasilitator memunculkan dua buah pertanyaan sebagai berikut:
[1] Menurut Saudara/i, mengapa gereja dahulu mengenal hukum selibat?
[2] Menurut Saudara/i, apa yang akan terjadi di masa depan ketika kita melihat hukum ini di masa kini?
Masih ada pelbagai bentuk kegiatan lain yang ditawarkan Groome misalnya kuesioner.[15] Faktor kreatifitas fasilitator dan kondisi para peserta akan menentukan variasi bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan gerakan 2 ini.

IV. Gerakan 3: Kisah-Kisah dan Visi-Visi Kristen
IV.1. Tinjauan Konsep Gerakan 3
Dalam gerakan 3 ini fasilitator mengundang para peserta untuk menghadapi wajah ’Cerita dan Visi Kristiani’. Fasilitator memampukan para peserta melihat arti penting dan makna kisah Kristen bagi praksis kehidupan mereka.
         Istilah yang muncul dalam gerakan 3 adalah Hermeneutik[16]. Terdapat dua kelompok besar hermeneutik, yaitu: [1] kelompok metodologi hermeneutik tradisional yang meliputi: kritik literer dan kritik historis—keduanya adalah suatu kelompok yang melingkupi pendekatan yang berbeda-beda. [2] kelompok metodologi hermeneutik kontemporer yang membaca Alkitab dengan banyak ’teropong’ (yang) baru, misalnya: hermeneutik feminis, hermeneutik komitmen, hermeneutik pasca-kolonial dan lain sebagainya.
         Meski fasilitator memiliki kekuasaan dalam memilih metode atau pendekatan hermeneutik yang akan digunakan, sebaiknya pula fasilitator memperhatikan beberapa hal:[17]
1.      Garis Acuan 1: ”Kriteria awal” dalam hermeneutik gerakan 3 adalah pemerintahan Allah. Fasilitator mendekati suatu ekspresi Kisah dan Visi Kristen dengan keyakinan bahwa Allah adalah Allah yang senantiasa hidup dan kasih; mengkehendaki kebebasan, perdamaian dan keadilan bagi semua; yang terlibat secara aktif bagi kehidupan manusia.
2.      Garis Acuan 2: Fasilitator menyadari kepentingan dan prespektif yang mereka ’bawa’ ke dalam aktivitas hermeneutik atas kisah dan tradisi Kristen. Berarti fasilitator harus senantiasa secara ’kritis-pada-diri-sendiri’ (self-critical) menyadari sisi psikologis dan sosial yang menjadi ’beban’ aktivitas hermeneutik peserta.
3.      Garis Acuan 3: Fasilitator mengingat apa yang mereka ’bawa’ dari kisah-kisah dan visi-visi para peserta ketika ’memasuki’ Kisah dan Visi Kristen. Dalam menafsirkan Kisah dan Visi Kristen, fasilitator harus senantiasa mempertimbangkan tingkat usia, konteks, latar belakang, dan lainnya dari peserta.
4.      Garis Acuan 4: Fasilitator menerapkan suatu ’upaya pengambilan kembali hermeneutis’ untuk meraih kembali dan memungkinkan para peserta untuk memasuki kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai yang secara simbolis diperantai oleh teks dari Kisah dan Visi Kristen. Fasilitator membekali dirinya dengan pelbagai kajian biblika, teologi dan sejarah. Kesadaran kritis mengenai Visi Kristen tentang praksis pemerintahan Allah akan memberikan ’kepekaan’ untuk mempermaknai kebenaran dan nilai yang harus diraih kembali dari suatu kisah Kristen.
5.      Garis Acuan 5: Fasilitator menerapkan hermeneutik kecurigaan untuk mengungkapkan pelbagai mistifikasi dan distorsi yang ada dalam tafsir yang dominan atas Kisah dan Visi Kristen serta mengklaim kembali ’ingatan-ingatan yang berbahaya’. Ingatan yang berbahaya itu adalah pesan-pesan dan isyarat-isyarat yang direpresi oleh tafsir, teologi atau dogma yang dominan.
6.      Garis Acuan 6: Fasilitator menerapkan suatu heremeneutik komitmen yang kreatif untuk membangun suatu pemahaman yang lebih memadai atas kisah dan tradisi Kristen dan untuk mengilhami cara-cara hidup yang lebih setia kepada transformasi pribadi maupun sosial.
7.      Garis Acuan 7: Setiap penjelasan yang autentik atas suatu teks tertentu harus senantiasa memiliki kesinambungan dan bersesuaian dengan kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai yang konstitutif dari keseuruhan Kisah dan Visi Kristen.
8.      Garis Acuan 8: Setiap penjelasan yang autentik atas suatu teks tertentu dari tradisi Kristen harus menumbuh-kembangkan konsekuensi kreatif pribadi maupun sosial yang mengarah kepada pemerintahan Allah. Secara khas acuan ini menyoroti permasalahan penjelasan. Garis acuan ini menekankan bahwa kejelasan akan konsekuensi-konsekuensi adalah suatu indikasi autentisitas suatu penjelasan.
9.      Garis Acuan 9: Komunitas adalah garis acuan di mana di dalamnya penjelasan yang autentik mengenai ekspresi Kisah dan Visi Kristen mempertimbangkan juga pemahaman akan ’gereja’ serta praksis komunitas para peserta. Garis ini menekankan bahwa suatu penjelasan sebaiknya berpadanan dengan pemahaman ’gereja’ atas Visi dan Kisah Kristen. Kata ’gereja’ di sini maksudnya sebagai sebuah komunitas di mana masing-masing anggotanya terlibat dalam suatu proses belajar/mengajar bersama. Ecclesia docens est ecclesia discens artinya gereja yang mengajar adalah gereja yang belajar.
IV.2. Penerapan Gerakan 3
Penerapan yang akan fasilitator lakukan saat ini adalah secara simultan tidak tradisional seperti: membaca teks—pemaparan tafsir atas teks—tanya jawab seputar teks. Pelaksanaannya terdiri dari: [1] fasilitator mengajak peserta membaca dan memahami perikop tertentu yang telah dipersiapkan sebelunya, [2] fasilitator memberikan informasi seputar perikop tersebut dan [3] peserta memberi masukan.
         Bahan bacaan diambil dari I Korintus 7:25-40. Sebelum membaca teks bersama sebaiknya para peserta diberikan prawacana sebuah tafsir tertulis seperti berikut:
Oleh sebagian orang, seks seringkali disalah-mengertikan sebagai sesuatu yang tidak terlalu kudus, sesuatu yang jasmaniah dan bersifat daging. Dari situlah mungkin muncul pendapat bahwa orang yang tidak menikah dianggap lebih kudus atau lebih rohani dibandingkan mereka yang menikah. Padahal Kejadian 2:24 tidak mengafirmasi demikian, namun melukiskan bahwa Allah menciptakan Adam dan Hawa dengan maksud membentuk pernikahan, seks adalah salah satu unsur di dalamnya. Konsep pemikiran yang tidak tepat tadi seakan mendapat persetujuan dari Paulus dalam 1 Kor 7. Paulus beranggapan—kelihatannya—bahwa tidak menikah lebih baik  dari pada menikah (1 Kor 7:1,7,32-34,37-38). Hal inilah menjadi permasalahan kita saat ini. Karena itu mari kita simak dahulu keseluruhan perikop apakah Allah mengkehendaki demikian? Benarkah Allah menganggap bahwa tidak menikah adalah kehidupan yang lebih berkenan kepada-Nya? Namun alangkah lebih baiknya apabila kita membahas perikop ini dari acuan ayat pertama dalam I korintus 7 karena perikop kita juga berhubungan dengan keseluruhan perikop I Korintus 7 ini.
Setelah mengantar para peserta masuk ke dalam gambaran umum permasalahan yang diangkat, maka barulah fasilitator mengajak untuk membaca keseluruhan perikop I Korintus 7:25-40. Fasilitator dapat mengajak para peserta untuk membaca secara dialogis (bergantian) agar suasana dialog tetap terjadi. Setelah membaca seluruh perikop, barulah fasilitator dan para peserta masuk ke dalam bagian upaya hermeneutik atas teks.
Persoalan ’menikah itu baik’ atau ’menikah itu hanya menimbulkan persoalan duniawi belaka’ dipicu oleh adanya sekelompok orang ditengah-tengah jemaat Korintus yang berusaha mempromosikan idealisme hidup membujang. Secara tersamar hal itu tertulis dalam ayat pembuka: ”adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin” (kalon antropō gunaikos mē haptesthai). Pertanyaan yang muncul adalah darimanakah tendensi hidup membujang ini muncul dan apa implikasi sosialnya bagi kehidupan jemaat di Korintus saat itu?
Ungkapan’ tidak kawin’ diterjemahkan dari bahasa Greika gunaikos mē haptesthai yang secara harafiah diterjemahkan dengan ”tidak menjamah perempuan”. Ungkapan ini sering dipakai oleh sastra Ibrani dan Yunani sebagai ungkapan halus untuk menyebut hubungan seksual. Maka dengan demikian ayatnya berbunyi: ”adalah baik apabila laki-laki tidak berhubungan seksual”.
Kata ’baik’ (kalon) menimbukan persoalan. Dari prespektif siapakah ’baik’ ini harus dimengerti, rasul Paulus atau jemaat Korintus? Jika dari prespektif Paulus maka ’kalon’ bisa diartikan ’dikehendaki’ atau ’menguntungkan’. Pengertian ini melandaskan bahwa Paulus tidak pernah memandang negatif pernikahan itu sendiri. Namun sepertinya pemaknaan akan lebih mengena apabila melihat dari sisi jemaat Korintus. Karena memang slogan tersebut berasal dari sebagian anggota jemaat Korintus, bukan dari Paulus.
Dilihat dari prespektif jemaat Korintus, kata ’baik’ dalam slogan dapat berarti ’baik secara moral’. Dalam hal ini berarti sebagian jemaat Korintus anti terhadap segala macam bentuk hubungan seksual. Namun nampaknya paulus memberikan nasihatnya terbatas pada lingkup kehidupan berumah tangga menunjukkan bahwa baginya tindakan seksual yang bertanggung jawab dan seharusnya, boleh terjadi hanya dalam ikatan pernikahan antara seorang istri dan seorang suami namun harus siap dengan segala konsekuensinya (I Korintus 7:28).
Dari I Korintus 7:32 tersirat bahwa rasul Paulus menganggap hidup pernikahan itu akan banyak mendatangkan kecemasan-kecemasan tertentu dan karenanya ia menginginkan agar jemaat Korintus terhindarkan dari kecemasan-kecemasan tersebut. Alasan yang paling utama adalah ketika orang-orang tidak lagi ’memusatkan perhatiannya kepada Tuhan’ namun ’memusatkan perhatiannya kepada perkara-perkara duniawi’.
Namun ada dugaan lain yang justru terletak pada alasan keagamaan. Praktek bertarak secara seksual juga dikenal di dalam dunia keagamaan, khususnya bagi mereka yang sedang berada dalam persiapan diri untuk terlibat dalam upacara kurban. Pengaruh Korintus ini muncul dari tradisi keagamaan Mesir yang hadir di Korintus. Penyembahan kepada dewa Isis dan Serapis di tengah-tengah kehidupan masyarakat korintus telah menjadi bukti penyelidikan-penyelidikan arkheologis. Biasanya pengikutnya dituntut untuk bertarak secara seksual. Nampaknya aturan hidup bertarak ini sudah menjadi ’pola perilaku religious’ bagi pengikut Isis dan Serapis. Bahkan perilaku ini diwariskan turun temurun sebagai tradisi keagamaan yang mengikat sifatnya. Oleh karena itu tradisi itu masih membekas dan sulit dilepaskan walaupun mereka telah menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Paulus sendiri menjadi pendorong dan dasar bagi mereka untuk melanjutkan tradisi bertarak secara seksual ini.
Namun jika kita melihat keseluruhan pasal I Korintus, Paulus nampak jelas menujukan jawabannya kepada seluruh warga Korintus, bukan hanya sebagian orang saja. Kita melihat I Korintus 1:1 ”Kepada seluruh jemaat Allah di Korintus” (tē ekklēsia tou Theou tē ousē en Korinthō), tidak seorangpun dikhususkan untuk memperoleh jawaban melalui suratnya.
Paulus menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan dirinya sebagai yang tidak menikah, telah dijadikan semacam teladan oleh sementara anggota jemaat di Korintus. Namun Paulus tidak bermaksud demikian. Ini nyata dalam kenyataan bahwa undur untuk sementara waktu dari kegiatan seksual di antara pasangan suami istri bukanlah suatu hukum keharusan yang mengikat setiap pasangan suami istri, melainkan bersifat ’pilihan sukarela’. Itulah sebabnya ia berkata: ”hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah” (I Korintus 7:6). Dari ayat-ayat tadi menjelaskan bahwa Paulus memiliki teologi tentang pernikahan sebagai suatu persekutuan hidup dalam arti yang mendalam sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang keduanya memiliki tanggungjawab timbal balik secara seimbang dala memenuhi tuntutan-tuntutan hidup pernikahan mereka. Paulus tidak memberlakukan tata tertib penciptaan ini sebagai hukum yang mati. Oleh alasan tertentu, utamanya melayani Tuhan secara penuh berdasar pada karunia khusus yang ada, ia memberi peluang bagi seseorang untuk tidak menikah. Dengan alasan ini pula ia menyatakan preferensi personalnya untuk tidak menikah karena dirinya yakin memiliki karunia tersebut.
Setelah melakukan pemaparan ini, fasilitator kembali mengajak para peserta untuk mendiskusikan apa yang dikatakan teks tentang tema ”Mana Lebih Baik Menikah atau Selibat?”. Memang dalam tafsirnya, fasilitator telah mengajukan sebuah ’usulan’ tentang apa yang dikatakan teks tersebut, namun fasilitator harus senantiasa terbuka pada peserta. Hermeneutik dalam gerakan 3 ini adalah hermeneutik yang ’membuka’ (disclosure) bukan ’menutup’ (closure).[18]

V. Gerakan 4: Dialektika Hermeneutik untuk Mengambil Makna Kisah dan Visi Kristen bagi kisah-kisah dan visi-visi Para Peserta
V.1. Tinjauan Konsep Gerakan 4
Memampukan peserta untuk mengambil makna secara kritis dari Kisah dan Visi Kristen bagi kehidupan dan konteks mereka sendiri merupakan tujuan dari gerakan 4 ini.[19] Dengan hal ini, Kisah dan Visi Kristen menjadi bermakna bagi peserta dalam kekiniannya.
         Dialog dalam gerakan 4 memiliki 2 sisi: [1] dialog antara kisah-kisah dan visi-visi peserta dengan Kisah dan Visi Kristen, [2] dialog antara peserta yang satu dengan peserta yang lain. Objektivitas merupakan sisi penting dari gerakan ini.
         Gerakan 4 ini merupakan jembatan yang penting dari Gerakan 3 sebagai perjumpaan dengan Kisah dan Visi Kristen kepada Gerakan 5 sebagai pemilihan keputusan dan tanggapan untuk hidup sesuai dengan Iman Kristen. Visi dan Kisah Kristen menghantarkan komitmen peserta sebagai subjek Iman Kristen kepada tanggungjawab atas komitmen yang baru. Maka fasilitatorlah yang bertanggungjawab untuk menghantarkan peserta tiba pada suatu komitmen yang baru yang menjawab ’panggilan Tuhan bagi diri peserta’.
V.2. Penerapan Gerakan 4
Dalam memulai gerakan 4 ini fasilitator dapat bertanya kepada para peserta sebagai berikut:
Apa respon saudara terhadap pesan-pesan yang telah kita gali dalam diskusi mengenai perikop I Korintus 7:25-40 tadi?
Mungkin pertanyaan ini hampir mirip dengan gerakan 3 tadi, yang membedakannya adalah pada gerakan 4 ini, peserta diajak untuk kembali melihat praksis masa kininya; mendialogkan Kisah dan Visi Kristen dengan kisah dan visi peserta (pengalaman masa kini terkait masalah selibat dan menikah).
         Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dalam gerakan 4 ini peserta harus tiba pada sebuah komitmen. Maka fasilitator dapat mengajukan pertanyaan seperti:
Setelah kita membagikan pengalaman kita masing-masing, mencoba mencari penjelasan dari pengalaman tersebut, mendiskusikan perikop I Korintus 7, sekarang menurut saudara/i, apakah panggilan Allah bagi Anda?
Salah satu hal yang penting ketika fasilitator mengajukan pertanyaan tadi adalah tetap mengingat bahwa perjumpaan Visi dan Kisah Kristen dengan visi dan kisah peserta merupakan perjumpaan yang dialogis; bukan hanya dituntut untuk adanya perubahan praksis masa kini para peserta namun sebaliknya, cara peserta dalam ’membaca’ Kisah dan Visi Kristen pun dibaharui oleh praksis masa kini mereka.

VI. Gerakan 5: Reson/Keputusan untuk Kehidupan yang Sesuai dengan Iman Kristen
VI.1. Tinjauan KonsepGerakan 5
Dalam gerakan ini, peserta akan memilih suatu respon praksis Kristen yang terus diperbaharui, yang kian setia dengan visi pemerintahan Allah. Gerakan ini juga membentuk suatu kebiasaan dalam diri peserta untuk membuat keputusan-keputusan baik secara konseptual maupun secara moral dengan Iman Kristen. Keputusan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu [1] keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dan [2] keputusan mengenai ingin menjadi siapa.
         Keputusan apa yang akan dilakukan masih bisa dipilah ke dalam empat kategori yaitu: [i] keputusan kogniti, afektif, dan behavioral; [ii] keputusan personal, interpersonal atau sosial/politis; [iii] keputusan individual atau komunal; [iv] keputusan yang direalisasikan di dalam atau di luar pertemuan yang tengah berlangsung.[20]
         Keputusan ingin menjadi siapa amat terkait dengan harapan bahwa peserta akan memilih suatu respon praksis Kristen yang terus diperbaharui, yang kian setia dengan visi pemerintahan Allah. Dengan ini maka dalam gerakan 5 terjadilah sesuatu yang sangat kita kenal sebagai pertobatan. Pertobatan ini meliputi empat aspek:
1.      Aspek Intelektual: terjadi sebuah pebaharuan tentang ’cara’ seseorang mengetahui atau memahami suatu hal, dari sekedar ’melihat’ secara dangkal menjadi secara penuh perhatian, cerdas, tanggungjawab dan bernalar.
2.      Aspek Moral: orang mampu melampaui pemuasan pribadi; orang mampu hidup sesuai dengan nilai-nilai dan kebenaran yang mereka junjung.
3.      Aspek Religious: orang bertumbuh dalam kecintaan yang semakin dalam kepada Allah.
4.      Aspek Sosial: orang bertumbuh dalam solidaritas, keterlibatan historik dan komitmen kepada transformasi sosial dan politis yang mewujudkan-nyatakan pemerintahan Allah atas segenap ciptaan.[21]
Gerakan 5 ini meliputi aktivitas-aktivitas yang dialogis dan partisipatif. Berikut acuan pelaksanaannya:[22]
1.      Fasilitator menyambut baik segenap sumbangsih peserta serta kondusif bagi kebebasan para peserta untuk memilih keputusan atau tanggapan yang akan diambilnya.
2.      Fasilitator mengundang para peserta untuk membuat keputusannya sendiri dan mendukung mereka untuk mengkaji keputusan-keputusan mereka dalam komunitas.
3.      Fasilitator harus mampu menghormati kesiapan peserta dalam membuat keputusan, tidak bisa memaksa siapapun membuat dan mengekspresikan keputusannya.
4.      Fasilitator dapat menjadi yang pertama mengekspresikan keputusannya jika ia menilai bahwa tindakan tersebut membangkitkan semangat peserta untuk membuat keputusan mereka masing-masing.
5.      Sebelum menerapkan suatu prosedur untuk menggugah para peserta dalam membuat keputusan, fasilitator sebaiknya lebih dahulu menguji efektifitas prosedur itu pada dirinya sendiri.
6.      Fasilitator menyesuaikan segenap rancangan prosedur gerakan 5 dengan tingkat usia para peserta, konteks, batasan, waktu, tema generatif yang disoroti, dan lain sebagainya.
7.      Fasilitator memfasilitasi perencanaan yang konkret (meliputi langkah-langkah, waktu dan lainnya) jika peserta tiba pada suatu keputusan komunal untuk melakukan aksi bersama. Fasilitator juga turut ambil bagian dalam aksi bersama tersebut.
8.      Fasilitator menyimak dengan empatik serta mendukung keputusan-keputusan yang muncul.
VI.2. Penerapan Gerakan 5
Salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam gerakan 5 ini adalah keputusan yang diambil sebaiknya menyentuh tiga aras: personal, interpersonal dan sosial-struktural. Meski fasilitator tidak bisa memaksa para peserta dalam mengabil keputusan, namun diharapkan fasilitator mampu mengundang peserta membuat keputusan-keputusan di masing-masing aras tadi. Contoh pertanyaannya sebagai berikut:
Setelah saudara/i membuat komitmen pribadi saudara/i, apa yang akan saudara/i lakukan untuk merealisasikannya?
Jika tanggapan yang muncul lebih memperhatikan dimensi personal maka fasilitator dapat lagi bertanya:
Tentunya kita tidak hidup sendiri, maka kira-kira apa yang akan saudara/i lakukan kepada orang sekitar Anda?
Dalam menanggapi jawaban-jawaban yang muncul fasilitator perlu menekankan bahwa rencana-rencana itu harus konkret. Jawaban yang mungkin muncul adalah:
Saya tidak akan lagi menganggap orang selibat adalah orang yang tidak sempurna. Saya tidak akan lagi menganggap mereka ’aneh’.
Sedangkan mengenai keputusan yang menyangkut ranah struktural, fasilitator mungkin perlu memberikan contoh tentang kegiatan sederhana yang mampu mendorong terjadinya suatu transformasi struktural.
Pelecehan seksual seringkali dihubungkan dengan praktek selibat. Padahal semua dapat terjadi dan tidak perlu dihubung-hubungkan dengan selibat. Hans Kung secara ’sederhana’ saat diwawancara oleh majalah Tempo membela orang-orang yang dipersalahkan ini. Ia malah memberikan saran agar gereja merubah cara pandangnya terhadap pemakaian kontrasepsi yang dianggap berdosa. Ia berharap agar Paus Benediktus mengoreksi sikap antikontrasepsi gereja yang salah. Menentang penggunaan kondom terutama di Afrika yang memiliki masalah dengan AIDS, jelas kebijakan yang tidak bisa dipahami. Menurutnya, gereja juga harus merubah pandangannya soal seksualitas yang merupakan anugerah kreatif dari Tuhan. Banyak hal yang bisa kita perjuangkan. Saudara/i juga dapat mewujudkan perubahan dengan menulis artikel di surat kabar, artikel yang memperjuangkan orang-orang selibat yang dianggap ’aneh’ dan menjadi sumber permasalah akan pelecehan seksualitas. Saudara/i juga dapat menuliskan mengenai tanggungjawab bahtera pernikahan yang dituntut dalam pemerintahan Allah.
Keputusan bersama juga perlu fasilitator ’pancing’ dari kesadaran para peserta. Kira-kira pertanyaannya demikian:
Apa yang bisa kita lakukan bersama untuk mewujudkan komitmen kita?
         Untuk mengembangkan gerakan 5 ini, fasilitator bisa melakukannya misalnya dengan mengusulkan peserta untuk membuat suatu teks waktu. Doa komunal dan liturgi untuk ’meritualisasi’ dan ’mempestakan’ hikmat yang muncul pada gerakan 5 dapat menjadi sumber yang kuat bagi dukungan, solidaritas, serta komitmen yang mendalam.

VII. Tambahan: Usulan atas adanya Gerakan 6 sebagai Tindakan Menghidupi Keputusan Dalam Shared Christian Praxis.
Gerakan 6 ini maksudnya adalah agar fasilitator dan peserta dapat menghidupi keputusan-keputusan yang diambil pada gerakan 5. Refleksi dan evaluasi yang dilakukan terhadap keputusan-keputusan yang diambil dalam gerakan 5 dapat menjadi bahan pertimbangan selanjutnya dalam memilih tema generatif pada pertemuan berikutnya. Gerakan-gerakan ini sebaiknya tidak bersifat kaku. Maksudnya adalah dengan menggabungkan gerakan 1 dengan 2 atau gerakan 3 dengan 4 yang tidak harus dipisahkan. Variasi kegiatan sangat memperngaruhi berjalannya kegiatan dengan baik. Hal yang paling penting adalah, setiap gerakan memiliki suatu tujuan, maka fasilitator harus memiliki kejelasan akan tujuan masing-masing tahap dan berupaya memfasilitasi terciptanya tujuan-tujuan tersebut. [AcT]

Daftar Pustaka
Groome, Thomas H., Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry – The way of Shared Praxis, (West Broadway: Wipf and Stock Publishers)
Marxen, Willi, Introduction to the New Testament, (Philadelpia: Fortress Press, 1976)
Yarbrough, Larry O., Not Like the Gentiles: Marriage Rules in the Letters of Paul, (Atalanta: Scholars Press, 1985)
Rosner. Brian S., Paul, Scripture & Ethics: A Study of 1 Corinthians 5-7, (Leiden: E.J. Brill, 1994).


[1] Thomas H. Groome, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry – The way of Shared Praxis, (West Broadway: Wipf and Stock Publishers), hlm. 155.
[2] Groome, Sharing Faith, hlm. 156.
[3] Groome, Sharing Faith, hlm. 164-165.
[4] Groome, Shared Christian Praxis, hlm. 175.
[5] Groome, Shared Christian Praxis, hlm. 181.
[6] Kelainan dalam berhubungan sex dengan pasangannya.
[7] Groome, Sharing Faith, hlm. 184.
[8] Groome, Sharing Faith, hlm. 185.
[9] Groome, Sharing Faith, hlm. 193.
[10] Goome, Sharing Faith, hlm. 199-208.
[11] Menurut Dewey, refeksi kritis bisa ‘sangat menyakitkan’ bagi peserta. Lihat Groome, Sharing Faith, hlm. 208.
[12] Sekarang Paus Benediktus XVI
[13] Majalah Tempo Online. 3 Mei 2010. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/05/03/AG/mbm.20100503.AG133406.id.html
[14] ”’present’ here reflects an existensial understanding of ’time’...that is, the ’present’ that carries the consequences of the past and possiblities of the future.” Groome, Sharing Faith, hlm. 177.
[15] Groome, Sharing Faith, hlm. 212-214.
[16] Kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Gerika hermeneuein yang berarti ‘memahami’ dan ‘menerjemahkan’. Ini berarti aktivitas hermeneutic senantiasa meliputi baik dalam menentukan makna dari suatu teks maupun upaya mengungkapkan makna teks tersebut bagi konteks tertentu. Ricoeur menegaskan bahwa tujuan pamungkas dari hereneutik adalah untuk membuat ‘menjadi milik sendiri’ suatu hal yang tadnya ‘asing’ bagi kita. Groome, Sharing Faith, hlm. 223.
[17] Garis-garis acuan dari Thomas H. Groome. Groome, Sharing Faith, hlm. 227-239.
[18] Groome, Sharing Faith, hlm. 243.
[19] Groome, Sharing Faith, hlm 249.
[20] Groome, Sharing Faith, hlm. 267-271.
[21] Groome, Sharing Faith, hlm. 271.
[22] Groome, Sharing Faith, hlm. 287.

Pluralitas yang Menyatukan: Suatu Tinjauan Tradisi dan Pluralitas Agama Dalam Masyarakat Majemuk

Laporan Penelitian: Analisa Melalui Hasil Kuestioner
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuestioner yang telah diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tradisi dan Pluralitas Agama-agama. Pertanyaan diberikan dengan tujuan untuk: [1] menemukan dan mengkaji sampai sejauh mana warga gereja memahami dan menghayati tradisi gereja yang dimilikinya—dalam hal ini dogma atau ajaran gereja yang ada di lingkungan gerejanya; [2] menemukan dan mengkaji sampai sejauh mana dogma atau ajaran gereja yang ada menolong warga gereja untuk berhubungan dengan penganut agama lain; [3] menemukan dan mengkaji persoalan-persoalan apa yang muncul berkaitan dengan tradisi gereja yang dipegang dalam hubungannya dengan bagaimana gereja membuka diri kepada penganut agama lain.
            Peserta penelitian berjumlah sepuluh orang. Dua di antarnya adalah perempuan. Mereka saat ini berdomisili di gereja GPIB Marga Mulya Yogyakarta—walaupun ada beberapa orang yang tidak berasal dari GPIB ini, namun tetap bergereja dalam sinode GPIB. Rentang usia mereka adalah 18-25 tahun. Menurut Jean Piaget, pada rentang usia ini mereka memasuki tahap perkembangan operasi formal (formal operations). Pada tahap ini seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan porposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu (Piaget & Inhelder, 1969; Piaget, 1981).[i] Mereka dapat melihat banyak kemungkinan dalam suatu persoalan. Sifat pokoknya adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif saintifik dan abstraktif reflektif. Perkembangan pemikiran pada tahap ini sudah sama dengan pemikiran orang dewasa secara kualitatif. Mereka adalah warga gereja biasa yang menjadi Kristen sejak kecil, kecuali satu peserta yang menjadi Kristen ketika sudah dewasa.[ii]
            Pertanyaan pada konteks pertama memiliki topik ‘Relasi Antar Umat Beragama’. Pertanyaan-pertanyaan di dalamnya bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peserta telah menjalin relasi antar umat beragama. Ketika pertanyaan pertama yang ditanyakan mengenai apakah mereka kesulitan dalam menjalin relasi antar umat beragama, jawaban mereka adalah tidak. Alasannya lebih banyak karena mereka menghargai agama lainnya. Mereka beranggapan bahwa sudah menjadi sesuatu yang wajar dan biasa ketika mereka hidup bersama dengan para penganut agama lain di lingkungan yang majemuk. Hal ini merupakan jawaban dan menjadi sebuah alasan yang wajar karena memang melalui konteks lingkungan mereka yang berada di Yogyakarta ini, mereka terbiasa hidup dengan berbagai macam orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang majemuk dalam konteks keagamaan. Mereka juga biasa melihat praktek-praktek keagamaan yang ada secara khusus di Yogyakarta ini. Apalagi, Yogyakarta ini memiliki ciri khas kebudayaan yang sangat kuat aroma religiusnya. Misalnya saja sekaten.[iii]
            Menurut mereka, gereja dianggap sangat perlu membangun sebuah hubungan dengan umat beragama lain, walaupun menurut mereka hal ini begitu sulit. Alasan terbanyak adalah karena gereja dianggap egois dan mementingkan pelayanannya terhadap orang Kristen saja. Selain itu alasan kedua adalah karena gereja terlalu eksklusif dalam menanggapi pluralitas. Kesan ini didapat dengan melihat konteks gereja yang melalui tata gerejanya sendiri banyak memunculkan eksklusifisme mereka. Contohnya saja ketika berbicara tentang komunitas iman dalam gereja. Dalam komunitas ini, jemaat diajak untuk turut ambil bagian dalam kelompok-kelompok kecil demi membicarakan permasalahan mereka masing-masing. Peran komunitas iman sendiri menjadi tidak sesuai dengan tujuan ketika tidak adanya proses/dampak keluar. Proses sharing yang selalu ditekankan di gereja-gereja terkadang melupakan bahwa sebenarnya komunitas iman sendiri seharusnya berdampak dan bergerak ke luar ranah gereja.
            Pertanyaan dalam konteks kedua memiliki topik ‘Yesus Kristus dan Dosa’. Pertanyaan-pertanyaan di dalamnya bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peserta memaknai arti keselamatan yang dari Allah melalui perantaraan Yesus Kristus. Pertanyaan pertama mengenai apakah menurut peserta Allah juga bekerja dalam agama lain untuk memberikan penganut agama lain hidup yang lebih baik dijawab dengan tegas oleh semua peserta kuestioner dengan jawaban ya. Namun tampaknya mereka ragu pada pertanyaan kedua yang sebenarnya masih sama dengan pertanyaan pertama yaitu dapatkah peserta menyatakan bahwa Yesus juga ada di dalam agama lain untuk memberikan hidup yang lebih baik atau keselamatan. Enam orang peserta menjawab ya dan sisanya menjawab tidak. Menurut analisa saya, sebenarnya mereka memiliki pemahaman mengenai Allah yang universal, namun mereka kurang setuju dengan Yesus yang universal.
            Mereka menjawab demikian mungkin dikarenakan pengenalan awal mengenai konsep keselamatan gereja yang terkesan eksklusif. Pemahaman Iman GPIB dari judul keselamatan poin yang kedua, memiliki kalimat “menjamin keselamatan orang percaya”. Hal ini memberikan pemikiran awal bahwa keselamatan adalah bagi orang percaya dan tradisi sakramen Baptisan dan Perjamuan kudus adalah alat dalam menjamin keselamatan itu. Hal ini sedikit mendapatkan kesan miring dari agama yang lain. Ini menunjukan suatu eksklusifitas orang kristen bagi agama lain khususnya di sekitar jemaat GPIB sendiri. Hal ini kesannya jadi permasalahan yang sulit untuk dipertemukan dengan agama lain. Namun demikianlah pemahaman para jemaat (khususnya pemuda dan pemudi GPIB) apabila ditanyakan mengenai Yesus yang universal. Bahkan pertanyaan ketiga dalam konteks ‘Yesus Kristus dan Dosa’ membuktikan bahwa hampir separuh peserta menjawab tidak ketika ditanyakan mengenai adanya keberadaan Yesus Kristus yang memberi keselamatan di dalam agam lain. Hal ini membuat kita sedikit bingung karena pertanyaan selanjutnya yang sebenarnya bersifat meng-afirmasi-kan jawaban sebelumnya mengenai apakah penghapusan dosa yang sebagai karya Yesus berlaku bagi penganut agama lain dan apakah iman kepada Yesus mendorong peserta terbuka kepada penganut agama lain dijawab secara tegas dengan jawaban ya.
            Pertanyaan dalam konteks ketiga bertopik ‘Iman dan Pembenaran’. Pertanyaan-pertanyaan di dalamnya bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta tentang hal penerimaan keselamatan dan kepada siapa saja keselamatan tersebut diberikan. Ketika ditanya mengenai mengapa manusia memperoleh keselamatan, dua orang menjawab karena iman dan perbuatan yang manusia lakukan kepada Tuhan dan sesama, tiga orang menjawab melalui anugerah Tuhan, dan jawaban terbanyak adalah karena Kasih Allah kepada manusia sebanyak lima orang.
            Jawaban pada pertanyaan selanjutnya membuat saya sedikit kebingungan. Ketika ditanyakan mengenai apakah agama lain akan menerima keselamatan dari Tuhan, tujuh orang menjawab ya namun masih ada tiga orang yang menjawab tidak. Hal ini membingungkan saya karena pada konteks kedua di atas pada pertanyaan yang petama mengenai apakah Allah bekerja dalam agama lain untuk memberikan kepada mereka hidup lebih baik, semua menjawab ya. Bukankah berarti di sini muncul pemahaman bahwa peserta memahami Allah yang turut bekerja tanpa memandang agama dan pemahaman mereka namun keselamatan hanya diberikan kepada orang tertentu (Kristen)? Muncul kembali sisi pemahaman yang eksklusif dari pertanyaan yang baru saja dijawab oleh peserta dalam kuestioner ini.
            Namun ketika pertanyaan mengenai adakah keselamatan di luar kekristenan, separuh dari mereka menyatakan bahwa mereka ragu. Walaupun empat mengatakan ya dan satu mengatakan tidak, namun lebih banyak yang ragu mengenai hal ini. Menurut analisa saya, mereka masih memiliki pemahaman yang inklusif. Hal ini dapat kita lihat dengan ajaran GPIB sendiri yang masih bersifat inklusif. Misalnya Pemahaman Iman GPIB yang berbunyi bahwa dalam karya keselamatan melalui Yesus Kristus, Allah telah menyelamatkan dan menghimpun umat Perjanjian Baru yaitu Gereja yang diutus-Nya untuk memberitakan Injil dan menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di atas bumi.
            Gereja bagi mereka secara umum adalah alat Tuhan dalam menunjukkan kasih di tengah dunia. Hal ini berlaku bagi semua ciptaan di dunia. Selain itu gereja juga dilihat sebagai lembaga yang bekerja bagi sesama. Pemahaman ini sebenarnya cukup dibilang cocok untuk masyarakat yang majemuk, namun prakteknya dalam jemaat sendiri kurang diperhatikan. Gereja sendiri sebenarnya memiliki pemahaman akan pluralitas agama-agama yaitu bekerja bagi sesama, namun kendala yang sering dialami adalah budaya bisu yang dianggap gereja merupakan zona aman mereka dari konflik akibat berdialog.
            Melalui kuestioner ini kita dapat melihat bahwa tradisi dan pemahaman gereja sangat berpengaruh bagi jemaat, khususnya remaja. Tradisi ini diturunkan dari generasi ke generasi, dari gereja di waktu sebelumnya kepada gereja di masa kini. Pemahaman gereja terkesan masih menonjolkan sisi inklusif dan eksklusif-nya. Bagaimanapun juga, gereja saat ini memiliki suatu masalah yang sebenarnya muncul bagaikan sebuah bom waktu yang siap untuk meledak. Pluralitas, bukan hanya bagian dari keseluruhan agama, karena di dalam satu agama pun pluralitas pasti ada. Entah itu dari sisi etnis, pandangan, sikap, karakter, dan lain sebagainya. Hal ini yang kiranya masih dipikirkan oleh gereja masa kini. Pluralitas di dalam gereja sendirilah yang menjadi condong pusat perhatian gereja saat ini. sebenarnya menurut analisa saya melalui kuestioner, jemaat memiliki pengenalan awal akan pluralitas, begitu pula dengan gereja, namun aksi untuk menanggapi pluralitas di luar kekristenan masih kurang sehingga pemahaman jemaat masih terbatas. Oleh karena itu dapat saya katakan bahwa gereja kurang (sekiranya tidak mau dikatakan tidak) memiliki keterbukaan kepada penganut agama lain. Inilah hasil dari jawaban-jawaban pada kuestioner yang telah diberikan.

Pandangan Pribadi Mengenai Kuestioner
Tidak diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beraneka-macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia lainnya yang tidak sama. Pluralisme agama muncul akibat dari keberagaman tersebut. 
            Potensi konflik dalam interaksi antar agama dapat disebabkan karena unsur internal dari agama. Setiap agama selalu memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang berisi keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar. Konsekuensinya, agama yang lain pastilah dikategorikan salah atau sesat sehingga harus diluruskan. Oleh karena itu, upaya melakukan dakwah (Missionary) agama menjadi keniscayaan dalam rangka meluruskan masyarakat agar kembali ke jalan yang benar. Sikap ekslusivitas dan sensitivitas beragama menjadikan masyarakat gampang terpicu oleh propaganda yang menyebabkan terjadinya konflik antaragama. Jika keyakinan tersebut tidak dikontrol dan diatur, yang akan terjadi adalah perbenturan dan konflik antar agama atas nama truth claim tersebut. Kearifan masyarakat mengekspresikan klaim kebenaran itulah yang menjadi hal penting mengingat masyarakat kita terdiri dari berbagai penganut agama, dan terbelah dalam berbagai aliran keagamaan. Sikap saling menghormati dan bersikap santun terhadap the Other merupakan hal yang ditekankan agar agama membawa kedamaian, bukan kekerasan dan konflik.
            Melihat kuestioner yang diberikan kepada para peserta, saya akan memaparkan pendapat saya apabila pertanyaan tersebut ditujukan kepada saya. Sebenarnya dalam berhubungan dengan penganut agama yang lain menurut saya tidaklah sulit, namun yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan yang akan dicapai dalam berhubungan dengan penganut agama lain tersebut? Apabila kita berhubungan dengan maksud untuk menjalin suatu relasi antar makhluk sosial (humanis), sepertinya semua umat beragama pasti setuju dan tidak merasa kesulitan dalam berhubungan—walaupun mereka memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda dalam konteks agama. Setiap manusia akan tetap saling membutuhkan satu sama lain. Mereka memang merupakan makhluk sosial yang berusaha saling mencukupkan kebutuhan hidupnya tanpa harus membeda-bedakan agama yang dianutnya. Namun apabila tujuannya untuk menghubungkan kepercayaan yang satu dengan yang lain, saya ragu apabila kita akan dengan mudah menjawab ‘tidak!’ untuk pertanyaan apakah saudara memiliki kesulitan dalam berhubungan (dalam konteks kepercayaan) dengan agama lain. Usaha-usaha seperti ini sangatlah sulit untuk dilakukan, mengingat adanya sebuah ‘sindrom’ konflik yang menghantui setiap agama dengan agama lain, pastilah jawaban dari kita secara spontan, ‘ya..’.
            Menurut saya, gereja sangat perlu membangun suatu hubungan dengan penganut agama lain—dalam konteks sosial maupun religius. Memang dapat dikatakan sulit, namun inilah yang menjadi tuntutan kita dalam hidup bersama di tengah kehidupan yang pluralis. Gereja sangat berpengaruh bagi pandangan dan pemahaman orang Kristen, diharapkan gereja dapat menjadi suatu model mimetik bagi orang Kristen dalam menjalin hubungan dengan agama lain.
            Mungkin ada beberapa faktor yang membuat gereja merasa kesulitan dalam membangun hubungan dengan umat beragama lain, namun yang paling mencolok adalah kecurigaan yang telah menjadi sikap yang fundamental ketika kita melihat pemahaman maupun aksi agama lain. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh gereja, namun oleh agama lainnya. Mereka terlalu mengekang diri dalam ‘menara gading’ mereka masing-masing, atau mungkin kurangnya kegiatan yang memperhatikan sisi pluralistik agama sehingga umat kurang memiliki pengetahuan dan niat dalam menjalin hubungan tersebut.
            Bagi saya, Allah turut bekerja dalam agama lain untuk memberikan kepada mereka hidup yang lebih baik. Dalam hal ini, sering kali diangkat cerita Injil perumpamaan Yesus mengenai orang samaria yang baik hati. Bahkan dalam Perjanjian Lama pun terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah turut bekerja bukan hanya bagi Israel, namun bangsa lain.
            Yesus datang bukan hanya untuk orang Kristen. Bagi saya Yesus datang menghapus dosa manusia, bukan untuk menghapus dosa orang Kristen. Oleh karena itulah saya memiliki pemahaman bahwa Yesus pun bekerja dalam ranah yang universal—di dalam agama lain untuk memberikan kepada mereka juga kehidupan yang lebih baik atau keselamatan.
            Karena itu, iman saya kepada Yesus sangat mendorong saya untuk terbuka kepada penganut agama lain. Iman saya kepada Yesus-lah yang selalu memberikan tuntutan bagi saya untuk tidak hanya melayani bagi orang Kristen, namun bagi setiap orang yang ada dan ‘sempat’ bertemu dengan saya di kehidupan ini. Mungkin hal inilah juga yang membuat saya tertarik untuk mengambil mata kuliah pluralitas agama-agama. Karena bagi saya, pekerjaan Tangan Tuhan bukan hanya menjangkau orang Kristen semata, namun juga memberikan shalom bagi setiap manusia di muka bumi ini.
            Manusia mendapatkan keselamatan dari Allah hanya oleh karena anugerah-Nya yang begitu besar bagi dunia ini. Anugerah Allah ini merupakan implikasi dari Kasih yang Ia ajarkan kepada manusia. Allah begitu mengasihi kita sehingga Ia menganugrahkan Anak-Nya Yesus Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa. Bagi saya, Allah juga memberikan keselamatan bagi agama lain. Hal ini memang membingungkan bagi orang-orang yang memiliki pandangan yang fundamental terhadap eksklusivitas konsep keselamatan. Namun bagi saya, hal ini adalah hal yang luar biasa. Ketika kita memahami bahwa Allah dalam Yesus Kristus merupakan Allah yang universal, maka kita akan dengan mudah menerima agama lain sebagai kawan sekerja Allah. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mereka memiliki pandangan yang pasti berbeda dengan kita sebagai orang Kristen, namun apabila kita menilik ke dalam kubu kita sendiri, kita juga bisa menemukan pandangan yang berbeda bukan hanya dari kubu yang berbeda dengan kita orang Kristen, karena dalam kubu Kristen sendiri pun kita memiliki pandangan yang terkadang amat bertolak belakang. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana cara kita mendamaikan hal ini? hal ini kiranya akan saya bahas pada sub-topik selanjutnya.
            Membangun relasi dengan agama lain bagi saya dapat membantu saya untuk lebih beriman kepada Yesus Sang Allah yang universal itu. Kita akan menemukan bahwa sebenarnya di dalam pandangan agama lain terdapat ‘potongan-potongan’ pemahaman yang tidak kita dapati sebelumnya di dalam pemahaman Kristiani. Oleh karena itu saya sekiranya setuju apa bila dikatakan diluar Kristen ada keselamatan. Konsep keselamatan sendiri mendukung pernyataan ini, karena keselamatan ditujukan bukan hanya bagi orang Kristen, namun untuk seluruh manusia di dunia. Pemahaman iman GPIB mengenai keselamatan sendiri mengatakan bahwa keselamatan yang dikerjakan Kristus terbuka bagi seluruh umat yang ada di muka bumi yang terdiri dari berbagai sukubangsa. Walaupun hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya apakah benar Pemahaman Iman GPIB ini secara eksplisit meng-eksklusif­-kan dirinya dalam pluralitas, namun nampaknya melalui pernyataan dalam pemahaman iman GPIB tadi, saya berpendapat bahwa sebenarnya GPIB sendiri memiliki keterbukaan bagi pintu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang plural, namun hal ini dikaji dalam kajian yang masih memikirkan sisi ‘kewaspadaan’ dalam mengangkat sisi pluralitas agama pada jemaat maupun orang-orang diluar jemaat yang berbeda ini, inilah yang menjadikan pemahaman GPIB menurut saya ambigu.

Pembahasan, Penilaian dan Kritik
Pluralitas[iv] adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Isu pluralitas adalah  setua usia manusia dan selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai perkembangan zaman. Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan konteks masyarakat di dunia, maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas  belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai di lapangan.
            Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada tingkat ‘benar-tidaknya’ realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan berbagai kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya) mulai mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula bersiat wajar, alamiah berubah menjadi hal yang sangat penting dan menarik.[v]
            Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agama pun pada gilirannya dipaksa harus membukakan diri untuk diliberalisasikan.[vi]
            Agama yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah juridiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih diangap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan  secara paksa) agar—menurut bahasa kaum liberal—merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta tidak sesuai lagi semangat zaman.[vii]
            Agama sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan medium budaya agar keberadaannya membumi dalam kehidupan umat pemeluknya dan ia diharapkan menjadi institusi bagi pengalaman iman kepada Tuhan. Di sini agama menawarkan agenda penyelamatan manusia secara universal, namun di sisi yang lain agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam interaksi sosialnya banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak memunculkan konflik. Pluralitas agama di satu sisi, dan hiterogenitas realitas sosial pemeluknya di sisi yang lain, tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dalam tataran tafsir atau dogma agama maupun dalam tataran aksi. Disadari atau tidak, konflik kemudian menjadi problematika kebangsaan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat pendekatan teologi normatif. Akan tetapi diperlukan pendekatan lain yaitu sikap kearifan sosial di antara kelompok kepentingan dan kalangan pemeluk paham atau agama dan pendidikan agama yang benar.
Pengertian Pluralisme Agama
Pengertian Pluralisme Agama secara etimologis berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama. Istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris; Pluralism berarti jamak’ atau lebih dari satu. Dalam kamus Oxford, pluralisme ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini:
·         Suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan.
·         Menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab pemikiran.
            Pengertian secara istilah, Pluralisme secara istilah minimal memiliki empat macam penggunaan: [1] Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan; [2] Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi agama, akan tetapi pada aras pemahaman agama; [3] Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah hakikat dan benar; [4] Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-unsur, di mana masing-masing dari setiap unsur dan bagian ini ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak memiliki satu agama yang komprehensif dan utuh, tetapi kita mempunyai keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka memiliki sebuah hakikat.
            Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha[viii] (Thoha, 2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: [i] sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, [ii] memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis, adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.[ix]
            Oleh para ahli sejarah sosial, agama lebih cenderung didefinisikan sebagai suatu institusi historis suatu pandangan hidup yang institusionalized; yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis, misalnya agama Budha dan Islam, dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada di dalam ajaran keduanya (Thoha, 2005: 13). Definisi agama yang paling tepat menurut Anis Malik Thoha adalah yang mencakup semua agama, kepercayaan, sekte, maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme, dan lainnya. Dalam bukunya, Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan John Hick:
...pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi dan bahwa tranformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.
Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Pengertian pluralisme jika dirangkai dengan agama; ‘pluralisme agama’ berarti adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agamadalam arti luasyang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing masing agama (Thoha, 2005: 14).

Sejarah dan Dampak Gagasan Pluralisme
Untuk memahami pluralisme agama, perlu ditelusuri sejarahnya, paling kurang sejak awal abad ke-20. Ketika itu seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya bersikap pluralis di tengah berkembangnya konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Dalam artikelnya berjudul The Place of Chritianity among the Word Religions, ia menyatakan, umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri.[x]
            Pendapat senanda banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen antara lain, seperti William E. Hocking dan sejarawan terkenal Arnpld Toynbee. Oleh karena itu gerakan ini dapat dikatakan sebagai ‘liberalisasi agama Kristen’ yang telah dirintis dan diasaskan oleh tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiremacher pada sekitar abad pertengahan ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan "Liberal Protestantism".       Konflik internal Kristen yang hebat ketika itu sampai mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar aliran tersebut. Pada  awal-awal abad ke-20 juga mulai bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis Kristen  di Amerika Serikat. Jadi selain konflik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat erat dengan latar belakang gagasan ini.[xi]
                Menurut John Hick, dari sejarahnya di Barat, pluralisme agama lahir sebagai sebuah reaksi atas eksklusivisme Katolik yang menurut John Hick menjadi sebab utama konfilk antar umat beragama ketika itu. Karena dianggap, fanatisme agama adalah sebab timbulnya konflik, maka tercetuslah ide bagaimana agar seluruh umat beragama, khususnya katolik dan kristen, dapat lebih menghormati dan menghargai agama lain yang tak sejalan. Tujuannya sungguh mulia, yakni demi terciptanya sebuah kerukunan antar umat beragama.
Paham ini pun semakin digencarkan persebarannya, terlebih ketika realita berbicara tentang rentannya praktik kekerasan atas nama agama. Yang kalau dulu hanya dimonopoli oleh Gereja dengan inkuisisinya, maka dewasa ini, praktik kekerasan atas nama agama lebih sering dituduhkan kepada umat Islam. Baik itu dengan tuduhan teroris, fundamentalis, maupun ekstrimis.

Sebuah Pandangan dan Permasalahan Terhadap Pluralisme Agama
Pluralisme agama merupakan istilah khas dalam teologi. Ada tiga bentuk dialog agama yang dapat diambil ketika berbicara tentang pluralisme agama: [1] sikap ekslusif dalam melihat agama lain dengan pemahaman bahwa ‘agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya’; [2] sikap inklusif yang memiliki pemahaman bahwa ‘agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita’; [3] Sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya ‘agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama’, ‘agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah’ atau 'setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran’
            Menurut kalangan struktural-fungsionalis agama dipandang sebagai institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Dengan demikian agama hanya merupakan suatu bentuk tingkah laku manusia yang dilembagakan yang berada di lembaga-lembaga sosial lainnya. Atau mengikuti kategorisasi Smith lagi, dalam dimensi demikian agama dianalisis berdasarkan pengaturan kemasyarakatannya yang mengacu pada eksistensi struktur-struktur sosio-religius yang mengatur kehidupan sosial interen umat beragama bersangkutan. Dalam konteks yang hampir sama, meminjam istilah Kung agama dengan ajaran-ajarannya tersebut dapat dibagi ke dalam empat peran yang terpisah yakni peran iluminatif (menerangi), profetis (kenabian), liberatif (membebaskan) dan transformatif (mengubah).
            Seiring dengan diskusi di atas, secara spesifik guna lebih memahami tentang fungsi agama meurut Durkheim terlebih dulu tentunya mengemukakan dua kategori definisi dan sifat agama oleh Roland Robertson (1970) yakni inklusif dan eksklusif. Definisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan ‘kesucian’ atau yang diorientasikan kepada ‘penderitaan manusia yang abadi’. Kategori ini tidak saja melihat agama sebagai sistem-sistem yang teistik yang diorganisasi sekitar konsep tentang kekuatan supranatural tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme. Sebaliknya, difinisi ekslusifisme membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan atau kekuatan supranatural. 
            Dalam kategorisasi demikian ini menurut Robertson, pengertian agama Durkheim lebih mengacu kepada definisi inklusif. Suatu agama menurut Dukheim adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci yakni hal-hal yang dibolehkan dan yang dilarangkepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting adalah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci/sakti, yakni obyek referensi, yang dihargai dan malah dahsyat.
            Kemunculan agama menurut Durkheim karena manusia hidup dalam masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting yang tak dapat dipenuhi tanpa agama. Peranan utamanya adalah sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka sekitar seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.
            Sikap Pluralisme Agama, yakni secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas, masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan; sedangkan Universalisme, yakni pandangan bahwa pada dasarnya semua agama satu dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis agama kemudian tampil dalam format plural. Di Indonesia nampaknya umat Kristen masih didominasi pandangan ekslusivisme.
            Penekanan bahwa pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama menyebabkan kebenaran setiap agama menjadi relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, agama lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di Surga.
            Pluralisme Agama berasumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Menurut penganut paham ini, semua agama (bisa jadi) punya jalan yang berbeda-beda tetapi menuju Tuhan yang sama. Mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Karena kerelatifannya itu, maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain? atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar.
            Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran persamaan agama (religious equality) ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya, sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai atau apa yang diimpikan oleh para pluralis sebagai pluralisme agama. Alih-alih menciptakan kerukuan dan toleransi, paham pluralisme agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama. Dengan dalih Piagam Hak Asasi PBB, maka semua agama harus tunduk dan patuh. 
Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran eks
klusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim ‘paling benar sendiri dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). 
Lagi pula, masalah pluralisme agama sudah menjadi kajian yang sangat luas di kalangan umat berbagai agama.
Pendidikan Sebagai Senjata Perdamaian Dalam Masyarakat Pluralis
Saat ini bermunculan beberapa solusi yang ditawarkan untuk menjalin dialog yang baik dalam masyarakat yang majemuk. Memang tidak mudah, oleh karena itu beberapa teolog dan sosiolog merasa bahwa perlu adanya satu ladang yang pas bagi tumbuh kembang dialog yang baik dalam masyarakat yang majemuk. Perdamaian, merupakan dasar yang sekiranya dapat mewujudkan dialog tersebut. Namun pertanyaannya sebenarnya dari mana kita harus memulai ‘menggarap’ ladang tersebut dan bagaimana caranya?
            Ketika melihat beberapa pemaparan dari beberapa ahli seperti John Hick dkk, saya merasa bahwa awal mula pemahaman masyarakat tentang agama mereka masing-masing adalah pendidikan agama yang mereka dapat dari berbagai institusi. Konflik sering terjadi dan sering kali lembaga-lembaga hukum dan peradilan dalam menyelesaikan konflik ini dirasa kurang memberdayakan kemampuan yang dimiliki masyarakat melalui tradisi, budaya dan kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik tersebut.
            Beberapa paradoks muncul ketika kita membicarakan bahwa di tengah-tengah bangsa Indonesia yang membanggakan ke-bhinekatunggal-annya sebagai sebuah identitas masyarakat majemuk dapat menjadi pedang bermata dua yang menjadi permasalahn dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selain itu, kekerasan sering kali dianggap sebagai sebuah jawaban akhir dalam sebuah konflik yang terjadi.[xii] Agama juga sering kali menjadi sebuah ‘pharmakon’yang dapat diartikan sebagai ‘obat’ maupun ‘racun’ bagi kehidupan yang pluralis ini.[xiii] Namun melalui pendidikan yang benar mengenai agama, orang diajak untuk mengenal dengan pemahaman yang benar akan nilai-nilai yang universal dalam ranah perdamaian.
                Pendidikan model Paulo Freire akan membantu naradidik dalam memahami dan mendialogkan nilai-nilai dan pemahaman akan tradisi keagamaan yang mereka punya. Freire juga sekiranya mengatakan bahwa pendidikan janganlah menjadi begitu teoritik. Menurutnya, naradidik yang pasif bukanlah pendidikan yang baik. Naradidik seharusnya dapat merespon dan berpartisipasi dalam pendidikan kepada realitas yang dikemukakan.[xiv] Dengan demikian Jozef mengusulkan agar pendidikan agama tersebut sebaiknya tidak hanya bersikap pluralis tetapi juga sekaligus inklusif dan eksklusif dengan tetap melihat konteks kehadiran pergumulan naradidik di tengah masyarakat, secara khusus masyarakat plural. Dengan begini, pendidikan sebagai senjata perdamaian akan membangkitkan aspek psikomotorik dan sertif/afektif naradidik, bukan hanya bersifat kognitif teoritis saja.
            Knitter menjelaskan bahwa kita bukannya menuju kesatuan absolut atau monistik dengan menjalin suatu dialog dengan pemahaman tentang kebenaran yang lain tetapi menuju kepada apa yang disebut “pluralitas yang menyatukan” – saya menyebut hal ini sebagai “Partikular Oikumenis” atau kata lain Knitter adalah “pluralitas yang membentuk persatuan”.[xv] Menurut Hick, berbagai agama manusia ini terdiri dari berbagai cara mengalami, memahami, dan hidup dalam hubungan dengan sesuatu Yang Nyata sempurna dan ilahi, yang transenden terhadap semua keberagaman versinya.[xvi] Oleh karena itu kita bukannya ragu-ragu dan tidak konsisten dengan paham kebenaran Iman kita sendiri namun kita harus mengingat bahwa Iman kita bertumbuh ditengah-tengah pluralitas agama yang sangat nyata. Nah, cara kita mewujudkan tugas kita sebagai orang Kristen yang menyatakan kasih yaitu dengan tetap mensyukuri dan menghargai perbedaan yang ada dan menjalin dialog dengan baik untuk menciptakan pribadi-pribadi yang religius secara antar-agama serta mewujudkan shalom dengan pengenalan yang benar akan dialog dalam menanggapi kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Karena menurut saya, kita harus menjalankan Kehendak Allah. Bagi saya Kehendak Allah adalah mengimplikasikan Kasih dalam kehidupan dengan targetnya yaitu Shalom.

Daftar Pustaka
Derrida, Jaques., Dissemination. Chicago: The University of Chicago Press, 1981.
Freire, Paulo., Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia, 1984.
Hick, John., An Interpretation of Religions: Human Responses to the Transcendent. New Haven: Yale University Press, 1989.
Hornby, A.S. et.al., The Advanced Learner's Dictionary of Current English. Oxfort: Oxford University Press, 1972.
Jurnal Teologi Gema Duta Wacana: Pendidikan Keimanan., Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, edisi No. 58 tahun 2003.
Knitter, Paul F., terjemahan Nico H. Likumahuwa.  Pengantar Teologi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Majalah Media Dakwah., Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, edisi No. 358 Sya'ban 1426 H- September 2005
Saifuddin., Upaya Mempertemukan Realitas Dalam Pluralitas Sosial Budaya,. Jurnal Suhuf , No.01 Tahun XII, 2000.
Suparno, Paul., Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Suseno, Frans Magnis., Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004.
Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Cetakan Pertama. Jakarta: Perspektif, 2005.


[i] Dr. Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 88.
[ii] Lihat lampiran
[iii] Ketika masyarakat sudah berkumpul, suara gamelan dihentikan sejenak dan diganti dengan dakwah, wejangan, dan pengetahuan tentang ajaran Islam sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Bagi masyarakat yang belum memeluk agam Islam tetapi ingin memeluk agama Islam harus mengucapkan Rukun Islam yang pertama yaitu mengucapkan kalimah syahadat atau kalimat kesaksian. Berhubung kalimah syahadat tersebut ada dua hal maka disebut kalimah syahadatain, yang kemudian terkenal dengan istilah Sekaten. Sekaten adalah peristiwa budaya dan religi yang sangat penting. Gunungan menjadi simbol sedekah Sultan kepada rakyat yang dibuat dari hasil pertanian (simbol kesejahteraan masyarakat). Antusiasme masyarakat terhadap acara Garebeg Sekaten ini tidak hanya terbatas pada daerah Yogya saja, tetapi sudah meluas hingga ke pelosok Jawa. Mereka rela berdesakan berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan tersebut. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa apabila bisa berhasil mendapatkan gunungan tersebut, rejeki untuk tahun ini akan berlimpah. Hasil wawancara bersama H. RM. Tirun Marwito selaku Pengageng II Tepas Dwarapura Keraton Nayogyakarta Hadiningrat Abdi Dalem Kerajaan dan Kehumasan di rumahnya yang bertempat tepat di sebelah keraton Yogyakarta ketika mengikuti mata kuliah Sosiologi Agama.
[iv] Pluralitas adalah sebagai menerima perbedaan atau menerima perbedaan yang banyak". Dalam konteks pengunaan kata pluralitas pada makalah ini penulis mengartikannya sebagai keberagaman termasuk keberagaman agama.
[v] Saifuddin, Upaya Mempertemukan Realitas Dalam Pluralitas Sosial Budaya, (Jurnal Suhuf , No.01 Tahun XII, 2000), hlm. 70.
[vi] Anis Malik Thoha, Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralistik Agama,  Makalah Workshop Pemikiran Islam dan pemikiran Barat, Pasuruan 4-5 April 2005), hlm. 60.
[vii] Ibid., hlm. 65.
[viii] Seorang Assistant Professor di Department of Ushuluddin and Comparative Religion, Kulliyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islamic University Malaysia (IIUM)
[ix] Pluraisme berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang atau bentuk kata yang digunakan untuk menunjukan lebih daripada satu (form of word used with reference to more than one). Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari  banyak makhluk. Istilah ini sering dilawankan dengan monotheisme yang menekankan  kesatuan dalam banyak hal atau dualisme yang melihat dunia  terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme terbagi kepada physica monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme bahwa seluruh alam adalah benda dan mental monoisme atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau idea. Pada dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat dunia terbagai kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind)  dan benda (mater). Pada Pluralisme, segala hal dilihat sebagai banyak. Lihat A.S. Hornby et.al., The Advanced Learner's Dictionary of Current English (Oxfort: Oxford University Press, 1972), hlm. 744.
[x] Paham pluralisme agama menurut Frans Magnis Suseno, dalam bukunya Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Obor, 2004) yang dikutip Adian Husaini di tolak gereja Katholik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan  Dominus Yesus. Dalam penjelasan ini di samping menolak paham pluralisme agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang  bisa ke Bapa kecuali melalui Yesus. Lihat tulisan Adian Husaini, Islam Liberal Paska Fatwa MUI, dalam majalah Media Dakwah, Edisi No. 358 Sya'ban 1426 H-September 2005, hlm. 47.
[xi] Anas Malik Toha, Wacana…., op.cit.,  hlm. 50.
[xii] Jozef M. N. Hehanussa, Pendidikan Perdamaian Sebagai Model Pendidikan Keimanan Berwawasan Pluralistik, dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana ed. 58 tahun 2003, hlm. 112.
[xiii] Hal ini juga dipaparkan oleh Jozef M. N. Hehanussa dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana yang berjudul Pendidikan Perdamaian Sebagai Model Pendidikan Keimanan Berwawasan Pluralistik, yang menyebutkan bahwa Agama di satu sisi dapat dikatakan sebagai sumber perdamaian, tetapi di sisi lain dapat menjadi sumber konflik. Kata ‘pharmakon’ sendiri sebenarnya digunakan Jacques Derrida dalam mengumpamakan ‘aksara’ dalam pemahaman Platon mengenai ceritanya dalam kisah perjumpaan Dewa Teuth dengan Baginda Raja Thamus. Derrida, Jaques, Dissemination (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), hlm. 75.
[xiv] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 5.
[xv] Paul F. Knitter, terj. Nico H. Likumahuwa,  Pengantar Teologi Agama-agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 15. 
[xvi] John Hick, An Interpretation of Religions: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), hlm. 14 dan 235-36.