Sabtu, 26 Februari 2011

Kitab Yesaya

Wacana ini ditulis oleh August Corneles T,      Sevi Niasari, Addy P. Lado, dan Lusia Rahajeng sebagai paper presentasi kitab Yesaya pada mata kuliah Hermeneutik Perjanjian Lama 1
Menurut Bernard Duhm seorang Jerman, Yesaya terbagi dalam tiga kategori:
  1. Proto-Yesaya (Yesaya Pertama) mulai pasal 1-39 (th. 740-690 SM)
  2. Deutro-Yesaya (Yesaya Kedua) mulai pasal 40-55 (th. 597-538 SM dihitung sejak masa pembuangan di Babylonia)
  3. Titro-Yesaya (Yesaya Ketiga) mulai pasal 56-66 (selama dan pasca-pembuangan sekitar abad ke-6 SM)[1]
Proto-Yesaya
Dalam Proto-Yesaya, Nabi Yesaya memulai permulaan karya kenabiaannya pada masa kematian Uzia yang kemungkinan pada tahun 742-734 SM yang juga tertulis pada pasal 6. Asal usul tradisi ini adalah Yesaya dari Yerusalem yang bernubuat pada zaman Uzia, Yotam, Ahas dan Hizkia raja-raja dari Yehuda. Kemudian Yesaya aktif pada masa pemerintahan Ahas dan Hizkia sampai pada penyerbuan Asyur atas Yehuda sekitar tahun 701 SM[2]. Yesaya aktif menjadi nabi kurang lebih selama 30-40 tahun.
Pemanggilan Yesaya
Tidak banyak yang diketahui tentang latar belakang Yesaya selain daripada bahwa Yesaya tinggal di Yerusalem yang merupakan tempat Bait Allah dan tempat pemanggilan Yesaya. Menurut Collins cerita pemanggilan Yesaya bukan merupakan hal yang baru karena tradisi ini banyak dialami oleh beberapa nabi termasuk di dalamnya Nabi Mikha dan Yehezkiel. Tradisi ini sangat kuat di Yerusalem dan sekitarnya termasuk Israel. Tradisi ini dimungkinkan sebagai pengalaman yang sebenarnya dari para nabi itu tetapi bisa juga merupakan tambahan editor yang kemudian. Laporan dari pemanggilan ini dapat dimaksudkan sebagai penguatan atas keabsahan dari para nabi itu dan menolong menjaga kewibawaannya.[3] Kisah pemanggilan Yesaya ini dapat dilihat dalam Yesaya pasal 6 yang berakhir dengan kesediaan Yesaya menjadi utusan Allah. Misi pertama dari Yesaya ini adalah memperingatkan Ahas namun misi itu gagal yang pada akhirnya membawa hukuman bagi Yehuda.[4]
Konteks Historis
Krisis pertama: Tahun 735-733 SM terjadi sebuah perang yang bernama Syro-Efraim. Di sini diceritakan bahwa Siria bergabung dengan Israel Utara untuk menyerbu Asyur. Ahas (Raja Yehuda) menolak bergabung dengan Israel Utara dan Siria, oleh karena itu Israel Utara berencana untuk menggulingkan takhta Ahas dengan raja lain agar mau ikut bergabung dengan Israel Utara dan Siria. Namun Ahas ingin meminta bantuan Asyur namun Yesaya mengingatkan untuk tidak menjadi takut dan percaya kepada YHWH katanya, “Jika kamu tidak percaya, sungguh, kamu tidak teguh jaya” (Yesaya 7:9b)[5]. Pendarasan ayat 9 ini tampaknya dipengaruhi oleh teologi Zion yang nampak dalam Mazmur 46. Namun karena ancaman Israel Utara semakin hebat sehingga Ahas tidak mendengarkan Yesaya dan tetap meminta bantuan Asyur. Tahun 733 SM Samaria yang merupakan Ibu kota Israel Utara dipaksa untuk tunduk. Ahas tetap menjadi raja Yehuda namun dengan status negara jajahan Asyur.
Krisis kedua: tahun 722 SM Israel Utara dihancurkan oleh Asyur karena memberontak melawan Asyur. Penduduk asli mereka dibuang dan penduduk asing ditempatkan Asyur untuk menempati Israel Utara. Mungkin Yesaya 28:1-4 merupakan ramalan dari kejadian tersebut. Israel Selatan juga terancam ketika kota Filistin, Asdod memberontak melawan Asyur (Yesaya 20) pada tahun 713 SM. Lalu kehancuran Israel Selatan diawali dengan kampanye Hizkia untuk melawan Asyur. Walaupun Yehuda hancur, Yerusalem tetap berdiri dan Hizkia tetap menduduki takhta. Pembebasan Yerusalem ini mungkin saja berhubungan dengan ‘Malaikat Tuhan’ yang membunuh 185.000 orang di perkemahan Asyur (Yesaya 37:38).
Politik Yesaya
Yesaya merupakan seorang nabi kota yang bergaul di kenisah (Yesaya 6), mungkin bisa disandingkan dengan penasihat raja yang visi sosial-politiknya dimunculkan atas keyakinan teologis yang dasariah. Ia juga merupakan nabi kultis ketika mengalami ekstase dalam Yesaya 20. Di bawah ini merupakan sikap politik yang Yesaya paparkan kepada Yehuda:
-          Melarang hidup mewah dan menyarankan hidup sederhana dengan hidup dari susu dan madu hasil asli bangsa sendiri. Hal ini berkaitan nubuatan Yesaya tentang ‘Imanuel’ (Yesaya 7:15-16)[6].
-          Menasehati Yehuda untuk tetap tenang menghadapi ancaman Asyur (Yesaya 7 dan 37)[7].
Teologi Yesaya
Pusat teologi Yesaya dikenal dengan visinya mengenai Allah sebagai ‘Yang Kudus dari Israel’ yang dikemukakan dengan hidup pada Yesaya 6[8]. Menurut Yesaya, kekuatan roh berlawanan dengan ketidakmampuan daging (Yesaya 31). Pemuliaan Allah merupakan kesimpulan dari keterbatasan manusia. Kecongkakan manusia akan kekuasaan adalah mencelakakan dan ditakdirkan untuk gagal! karena hal inilah Yesaya bersikap sangat kritis terhadap raja-raja Yehuda dalam mereka memainkan peranan politiknya. Keputusan ‘Yang Maha Kudus Israel’ bertentangan dengan para bijak dan penasihat profesional raja.
Janji Daud merupakan dasar teologi Yesaya (Mazmur 2:6,7). Oleh karena itu konsep bahwa Allah berada di Kenisah (Gunung Sion, Yerusalem) sangat kuat. Ini juga mempengaruhi adanya hubungan Bapa dengan Anak antara Allah dengan Raja Israel (Mazmur 110:1; 45:7), bahkan raja disebut sebagai allah[9]. Hal ini dikarenakan Yesaya—walaupun lebih terlihat dalam Deutro-Yesaya—dipengaruhi oleh tradisi ibadah Israel di dalam kultus bait Allah sebelum pembuangan. Itulah sebabnya isi dan gaya Yesaya memiliki kesesuaian dengan isi dan gaya Mazmur.
Namun Yesaya tidak naif berpendapat bahwa Allah wajib melindungi umat-Nya melainkan tetap mengakui bahwa penderitaan dan kehancuran akan datang! Tema ini dikumandangkan dalam nama anaknya ‘Syear-Yashub’ yang berarti ‘sebuah sisa akan kembali’ (Yesaya 7). Menurut Collins, nubuatan tentang Syear-Yashub ini tidak pas dengan konteks saat itu ketika Yehuda belum masuk masuk pembuangan. Dari sisa inilah diharapkan muncul ‘ke-raja-an ideal’ (Kingship) di masa mendatang (Yesaya 11) dan Gunung Sion akan ditinggikan bagi semua bangsa pada waktu yang akan datang menjadi sebuah ‘kerajaan Ideal’ (Kingdom) dalam Yesaya 2.
Keselamatan bagi Yesaya tidak identik dengan kekayaan dan kemakmuran, tetapi dengan ibadat murni kepada Allah YHWH. Teologi kerajaan Yesaya mencetuskan kerajaan ideal yang digambarkan dalam Yesaya 11. Kerajaan yang ideal bukanlah kerajaan yang penuh kuasa melainkan penuh kesederhanaan dan damai. Konsep inilah yang menjadi pemahaman orang Kristen perdana mengenai konsep Kerajaan Yesus.
Deutro-Yesaya
Konteks Historis
Pada abad ke-6 SM Yehuda hancur. Pada tahun 586 SM Yerusalem dihancurkan oleh orang Babylonia, ketika itu zaman Raja Zedekia. Raja Zedekia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika anaknya laki-laki dipenggal. Setelah itu mata Raja Zedekia dibutakan dan ia diseret dengan rantai ke Babylonia bersama para pemimpin bangsanya. Krisis ini oleh sebagian orang Yahudi dianggap sebagai hukuman atas dosa mereka, namun sebagian lagi secara kritis bertanya-tanya apakah Allah YHWH merasa senang dan sama sekali mengkehendaki situasi ini?
            Pengharapan muncul dari Raja Persia yang bernama Koresh yang menang atas Babylonia pada tahun 539 SM[10]. Satu tahun kemudian memerintahkan orang buangan Yahudi untuk kembali ke negeri mereka dengan mengatas namakan Allah YHWH sebagai yang mengutus Koresh (lih. Ezra 1:2-4). Dekrit ini biasa dicetuskan oleh Koresh terhadap bangsa-bangsa jajahan bangsa yang berhasil mereka taklukkan. Ia juga berkata kepada bangsa jajahannya—dalam hal ini Babylonia—bahwa ia datang dengan restu Marduk dewa Babylonia untuk menguasai mereka. Namun karena ini juga penulis Deutro-Yesaya dengan senang mengungkapkan bahwa Koresh-lah sang ‘Messias’. Istilah ini diambil dari Yesaya 45:1 limesyikhu lekoresy yang diterjemahkan TB-LAI ‘kepada orang yang Kuurapi’, kelompok kami lebih senang menerjemahkannya dengan ‘tentang Mesias-Nya, Koresh’. Mesyikhu sendiri berasal dari kata masyiakh dan dari kata inilah berkembang pemahaman mengenai ‘Messias’ atau ‘Al-Masih’.  Deutro-Yesaya ini juga ditulis untuk memperingati pembebasan dan sebagai usaha untuk merumuskan kembali Iman Israel. Melalui konteks historis ini, barangkali Deutro-Yesaya ditulis di Babylonia.
Tema Teologis
Sama dengan Yesaya dari Yerusalem yang mengemukakan akan kekuasaan Allah yang transenden yang dibagi atas dua tema besar:
  1. YHWH Allah Israel, pencipta segala sesuatu, awal dan akhir, karena itu tidak ada Allah lain selain YHWH. Namun ia juga tidak menyangkal keberadaan dewa Babel (henoteisme) namun menganggap dewa itu sebagai berhala yang tidak berdaya dan tidak mampu menyelamatkan sehingga mereka bukan allah. Semua bangsa wajib beribadat kepada YHWH karena YHWH adalah pencipta segala sesuatu.
  2. YHWH Allah Israel, Penebus Israel yang membeli mereka kembali dari negeri perbudakan. Hal ini menimbulkan pemahaman tentang peristiwa “Keluaran Baru” (Yes 40:3). YHWH Allah yang tersembunyi (Deus Absconditus)nyang jalanNya mungkin gelap untuk sementara waktu tetapi yang akan dinyatakan dengan cara yang tidak terduga.
Tema terkenal mengenai “Hamba Tuhan” yang muncul empat kali dalam kitab Yesaya yakni Yesaya 42, Yesaya 49, Yesaya 50 dan terutama Yesaya 52-53. Yang menurut Blommendal hal ini menjadi pertanyaan “siapakah Hamba Tuhan itu?”. Ada beberapa interpretasi :
  1. Interpretasi “individual” yang mengandaikan bahwa Hamba Tuhan itu adalah raja Koresy, Yeremia atau Yoyakhin dls.
  2. Interpretasi “kelompok” yang mengandaikan bahwa yang dimaksud adalah personifikasi bangsa Israel.
  3. Interpretasi “sisa Israel” yaitu sisa Israel yang tetap setia kepada Tuhan dalam masa pembuangan di Babel.
            Pada akhirnya para ahli masih memperdebatkan siapa tokoh ini, namun tradisi Kristen mengaitkan tokoh ini dengan Yesus dan kematianNya. Namun Collins berpendapat bahwa tokoh historis ini dikaitkan dengan tokoh historis dari mulai Musa sampai Zerubabel atau sang nabi itu sendiri. Namun tampaknya lebih banyak ahli tafsir yang menerima apabila menganggap umat Israel dalam keseluruhannya sebagai ‘Hamba’. Menarik ketika kita menemukan di dalam Yesaya 42 terdapat bentuk orang ketiga tunggal jantan pada akhiran-akhirannya dapat dianggap sebagai individu yang mewakili umat—bukan raja atau nabi, melainkan tokoh seperti para datuk Israel (mungkin saja seperti Yakub dan Abraham berdasarkan Yesaya 41:8-10).
            Pandangan mengenai orang Yahudi yang dihukum karena dosa-dosanya, sejatinya tidaklah tepat. Deutro-Yesaya tidak pernah menganggap kehinaan dan malu yang diderita Israel pada masa pembuangan sebagai bentuk ketidakadilan. Sengsara mereka punya nilai positif: kesengsaraan mereka menjadi terang bagi bangsa lain. Hidup mereka menjadi korban bagi dosa bangsa lain. Yesaya kedua percaya bahwa pemulihan kembali orang Yahudi secara tidak terduga akan menyadarkan bangsa lain dan mengantar mereka supaya percaya kepada YHWH sebagai Allah yang sejati. Walaupun dalam hal ini mereka sempat kecewa, namun hamba yang menderita menjadi model dari kesetiaan yang berpengaruh bagi semangat Yahudi dan Kristen!
Trito Yesaya
Trito Yesaya diperkirakan Trito Yesaya ini ditulis pada masa setelah pembuangan. Tema-tema yang diangkat pada Trito Yesaya ini tidak jauh beda dengan tema pada Deutero-Yesaya sehingga hal ini menimbulkan perdebatan dari para ahli bahwa Trito-Yesaya kemungkinan besar merupakan bagian dari Deutero-Yesaya. Beberapa pasal dari Trito-Yesaya ini ada yang berasal dari masa setelah pembuangan namun juga ada bagian lain yang merupakan masa dalam pembuangan. Menurut pendapat para ahli Trito-Yesaya ini dituliskan oleh penulis yang berbeda-beda namun menandakan konteks kembalinya dari pembuangan. Pokok-pokok dalam Trito-Yesaya ini bukan hanya tentang pengharapan akan pemulihan tetapi juga mengisahkan keadaan yang kurang baik setelah pembuangan yakni berbagai kesalahan dan perdebatan.[11]
Konteks Historis dan Tema Teologis
Tidak ada petunjuk jelas mengenai situasi, kondisi dan waktunya kecuali tentu saja setelah pembuangan. Kami melihat bahwa Titro-Yesaya sebagai rangkuman-rangkuman dari pelbagai sumber yang dipengaruhi oleh pemberitaan Deutro-Yesaya. Kumpulan ini dikumpulkan oleh sekelompok orang yang di dalam Yesaya 56-66 menyebut dirinya sebagai ‘hamba-hamba Tuhan’.
            Dalam Yesaya 56:1-8 terlihat bahwa terdapat 5 kata kunci di dalamnya mengenai Titro-Yesaya: mishpat yang berarti ‘hukum’ (TB-LAI) atau ‘sesuatu yang adil’ (BIS), tsedaqah yang berarti ‘keadilan’ (TB-LAI) atau ‘hukum’ (BIS), yeshuati yang berarti ‘keselamatan-Ku (TB-LAI), ben-hannekar yang berarti ‘orang asing’ (TB-LAI dan BIS) dan hassariss yang berarti ‘orang kebiri’ (TB-LAI dan BIS). Seruan-seruan Yesaya 56:1-8 ditujukan agar Israel memperhatikan mishpat dan tsedaqah karena sebentar lagi YHWH akan mendatangkan yeshuati dan menyatakan tsidqati. Perhatian terhadap ben-hannekar dan hassaris juga muncul yang merupakan jawaban akan keluhan mereka bahwa mereka tidak akan masuk dalam lingkungan keselamatan Tuhan. Mereka bisa beribadah di Bait Suci oleh karena rumah Tuhan adalah rumah untuk berdoa bagi segala bangsa (ha’amim). YHWH juga menyebut orang-orang asing sebagai ‘Hamba bagi-Nya’ (ayat 6 TB-LAI) dan berbakti padanya (BIS).
            Terdapat pula janji-janji pengampunan bagi mereka yang ‘remuk’ (dakkah, TB-LAI) dan ‘rendah hati’ (shafal-ruakh, TB-LAI). YHWH murka terhadap kesalahan, namun tidak untuk selamanya murka. Ia menyembunyikan diri (walaupun permasalahan ada di terjemahan LAI yang menerjemahkan ‘wajah’ dalam ayat 7) namun juga menghibur dan memperdamaikan serta menyembuhkan. Hal ini tidak berlaku bagi orang-orang fasik atau orang-orang jahat, bagi mereka tidak ada damai.
            Sebagian besar Titro-Yesaya adalah bayangan tentang apa yang harus dilakukan di masa depan. Walaupun Yesaya 56 awal mengatakan mengenai tanggapan langsung tentang situasi yang sedang terjadi dan bagaimana mengatasi kepicikannya namun pasal yang lain juga menyatakan tanggapan, hanya saja tidak langsung diatasi melainkan membekali orang dengan visi, misalnya saja Yesaya 61:2.

Apokalips Yesaya
Nubuat-nubuat yang disisipkan dalam Yesaya pertama pada bab 24-27 menyerupai Trito-Yesaya dalam arti merasa putus asa terhadap keadaan sekarang dan dambaan akan masa depan yang lebih baik. Pasal-pasal ini disebut sebagai Apokalips Yesaya karena sangat mirip dengan simbol-simbol mitologis yang sangat dikenal sebagai ciri sastra Apokalips. Isi dari pasal-pasal ini mencerminkan kehancuran lebih lanjut dari komunitas sesudah pembuangan, masa sesudah Yesaya ketiga.
Permasalahan
1.      Kesan permukaan mengenai teks dan rekontruksi kritis modern mengenai sejarah dan maknanya
-          Tradisi Kristen dan Yahudi memandang kitab ini hanya karya nabi Yesaya dari Yerusalem
-          Setengah dari Proto-Yesaya merupakan kata-kata asli Yesaya sendiri, selebihnya Collins menyebutkan bahwa penulisnya anonymous prophet[12] atau tetap menggunakan nama Deutro dan Titro Yesaya dengan maksud bahwa belum tentu sang anonymous nabi ini bernama Yesaya. Dengan begitu kita tahu bahwa kitab Yesaya bukanlah sebuah karya monograf, melainkan merupakan kumpulan-kumpulan tradisi yang berkembang selama lebih dari dua abad!
-          Anderson percaya bahwa tulisan-tulisan kemudian ditulis oleh murid (baca: pengikut/mazhab) Yesaya yang juga sudah banyak mendengar pengajaran-pengajaran Yesaya[13].
-          Yesaya 1:1 menyebutkan bahwa Yesaya merupakan anak Amos yang menjadi nabi pada masa Uzia, Yotam, Ahaz dan Hizkia dari kerajaan Israel selatan yaitu Yehuda[14]. Namun tampaknya Amos yang dimaksud bukanlah Amos dari Tekoa seorang nabi dari Israel Utara yang hidup pada masa raja Uzia ketika memerintah di Yehuda dan Yerobeam II anak Yoas yang memerintah di Israel Utara.
-          Kematian Yesaya dalam kitab Yesaya tidak dituliskan namun menurut legenda Yahudi, Yesaya mati pada masa pemerintahan raja Manasye (686-640 SM). Padahal Blommendal juga mencatat bahwa masa hidup Yesaya dari Yerusalem sejak tahun 740-690 SM[15]. Maka kelompok menemukan keganjilan mengenai latar belakang historis kehidupan Yesaya.

2.      Interpretasi Kristologis atas kitab Yesaya
Orang Kristen sangat mengapresiasi kitab Yesaya sebagai nubuatan tentang Yesus. Hal ini didukung oleh pasal 7 sebuah nubuatan tentang ‘Imanuel’. Namun jika kita telaah dari sumber-sumber penelitian yang ada, ternyata Yesus bukanlah semata-mata sosok yang ‘dinubuatkan’ sebagai Mesias dalam kitab Yesaya tersebut. Nubuat-nubuat yang dikemukakan dalam Yesaya tidak cukup kuat menyatakan jati diri dan ‘kekudusan’ Kristus sebagai Sang Juru Selamat (lih. Yes 53:10) Ini sekaligus mematahkan pra-paham kami yang selama ini meyakini bahwa Yesus adalah Mesias yang dinanti-nantikan Israel pada masa itu.
                        Berdasarkan pendekatan historis kritis, pada waktu itu bangsa Yehuda sedang berada dalam krisis Syro-Ephraimitis (735-732 SM) dan menghadapi dua bangsa yang besar. Raja Ahas yang pada saat itu memimpin Yehuda mengalami ketakutan (Yes 7:4). Lalu datanglah Firman Tuhan melalui nabi Yesaya kepada Raja Ahas, supaya dia tidak takut, namun tetap tenang dan teguh.  Ahas berpikir secara militer, mustahil bagi kerajaan Yehuda untuk melawan musuh sekuat itu dengan pasukan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Mengetahui hal itu, Yesaya mencoba meneguhkan iman Ahas (lih. ay. 7-9), bahwa Tuhan ada dipihak Ahas. Ketakutan Ahas itu sebenarnya tidak perlu, karena pada ayat selanjutnya (ay. 8-9a) disebutkan bahwa musuh-musuh yang akan Ahas hadapi sebenarnya hanya manusia biasa. Ahas masih terkesan ragu-ragu dalam menentukan sikap bagi bangsanya, dan masih mengeraskan hati. Ia mengandalkan kekuatannya sendiri dalam mengatur strategi perang yang akan digunakan untuk menghadapi kedua bangsa tersebut. Untuk itulah kemudian Yesaya memunculkan tokoh Imanuel untuk “memancing” iman Ahas.
                        Ada beberapa figur yang dapat diintepretasikan sebagai Imanuel. Asumsi pertama, berdasarkan pasal 8, sosok Imanuel menunjuk kepada Maher-Syalal Hash-Bas, anak Yesaya yang telah disinggung olehnya. Dan asumsi kedua, menunjuk pada Hizkia, anak Ahas (2 Raj 18:7). Dalam ayat tersebut berbunyi “Tuhan menyertai dia’. Inilah yang menguatkan anggapan bahwa sosok Imanuel yang dimaksud adalah Hizkia. Demikian pula dengan sosok wanita yang tertulis dalam Yes 7:14, dengan teks Ibraninya ha’alma” yang dapat diartikan ‘perempuan muda’. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan yang dimaksud tentu bukan Maria, ibu Yesus atau seorang perawan karena perempuan muda belum tentu perawan dalam konteks tersebut. Karena pada Mat 1:23, kata yang dipakai adalah “parteenos” yang diterjemahkan ‘anak dara’. Yes 53:10 juga melemahkan pandangan tradisional yang menganggap Yesus sebagai Imanuel tersebut.[16] Konsep raja ideal pun memiliki permasalahan (Yesaya 8). Bentuknya yang poetic oracle menurut Collins terlalu melebih-lebihkan kebesaran namanya (hiperbolic names).
                        Menurut kelompok, ada dua anggapan bahwa sosok hamba Tuhan bisa menunjuk kepada seseorang atau bahkan bangsa Israel sendiri. Dalam kidung ‘hamba Tuhan’(Yes 40-50), Yesaya ingin menekankan figur seorang hamba ideal yang mampu memimpin bangsa Israel dan mampu menjadi teladan bagi bangsa itu untuk juga menjadi teladan bagi bangsa-bangsa. Dengan kata lain, keteladanan individu membentuk keteladanan komunal. Berdasarkan pernyataan Collins, tidak menutup kemungkinan bahwa yang dimaksud sebagai hamba disini adalah sosok-sosok seperti Musa, Yakub, Koresy atau bahkan Yesaya itu sendiri.[17]

Dalam kedua hal ini kelompok berasumsi bahwa sebaiknya kita melihat teks sesuai konteks saat itu. Menurut kelompok, Kitab Yesaya memiliki pesannya sendiri bagi bangsanya pada zamannya. Hal ini berarti teks tidak menuntut adanya suatu kejadian ratusan tahun depan.
Walaupun demikian, pendapat kelompok tidak berhenti sampai di situ saja. Kelompok juga mengapresiasi perkembangan penelitian kritis ini sebagai perkembangan yang positif. Maksudnya, pemahaman tradisi Kristen yang menghubungkannya dengan Yesus  ini sebenarnya juga memperkaya pemahaman kita mengenai ‘Sabda Tuhan’ yang berbicara secara situasi historis konkret. Hal ini menimbulkan pemahaman tentang Alkitab sebagai gambaran dinamis Iman dari bangsa dalam keadaan yang selalu berubah. Adanya hubungan antara teks-konteks-praksis masa kini. Kita juga dapat memahami bahwa pendekatan historis juga terbatas. Narasi dapat memberikan kita pemahaman yang baik mengenai kitab Yesaya ini yaitu pengharapan, ketakutan atau pandangan dasariah yang dapat diterapkan dalam situasi (praksis) masa kini.

3.      Kronologi Raja Hizkia
Kronologi ini tidak jelas dan menimbulkan permasalahan juga (Yesaya 36-39 bandingkan dengan 2 Raj. 18-20). Asyur menyerang Hizkia 14 tahun setelah Hizkia naik takhta tahun 725 SM (2 Raj. 18:9), jadi menurut runtut ceritanya Asyur menyerang tahun 711 SM, padahal dari cerita historisnya Asyur baru menyerang Yehuda tahun 701 SM. Certianya yang berbeda juga membingungkan. Dalam Yesaya 36-38 Hizkia luput dari tangan Asyur tetapi dalam 2 Raja-raja 18:16 Hizkia ditawan namun dengan mengharuskannya membayar upeti pada Asyur (bnd. Collins, 315).

4.      Kebiasaan Koresh Raja Persia
Koresh dianggap sebagai ‘Yang Diurapi’ (Mesias) dari YHWH bagi Israel (Yesaya 45:1). Hal ini muncul dari dekrit yang dikatakan Koresh setelah menaklukkan Babylonia dan dekrit ini terkesan biasa saja sebenarnya. Mengapa? Karena Koresh menggunakan ‘tekhnik’ yang menurut ia efektif ini untuk memenangkan hati para penduduk bangsa jajahannya. Menurutnya lebih baik menggunakan cara ‘merayu’ ini daripada dengan kekerasan menundukkan mereka.
            Belum lagi, walaupun Yesaya 45:3 menyebut namanya dengan jelas dan mengatakan supaya Koresh tahu bahwa YHWH-lah yang memanggil dia secara pribadi, namun dalam teks ini juga diakui bahwa Koresh tidak mengenal YHWH (ayat 4 dan 5). Namun pemahaman yang muncul adalah Koresh melaksanakan amanat pembebasan dan penyelamatan Tuhan bagi Israel, meskipun ia tidak mengenal Tuhan.

Daftar Pustaka
Anderson, W., Understanding The Old Testament, New Jersey: Prentice-hall, 1986.
Blommendal, J., Pengantar kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Collins, John J., Introduction to The Hebrew Bible, Minneapolis: Fortner Press, 2004.


[1] John J. Collins, Introduction to The Hebrew Bible (Minneapolis: Fortner Press, 2004), 379.
[2] Ibid, 307.
[3] Ibid, 310.
[4] Ibid, 311.
[5] Ibid, 312.
[6] Ibid, 311.
[7] Ibid, 312.
[8] Ibid, 379.
[9] Ibid, 314.
[10] Ibid, 380.
[11] J. Blommendal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 117.
[12] Collins, 308.
[13] Bernhard. W. Anderson, Understanding The Old Testament (New Jersey Prentice-hall, 1986), 256.
[14] Collins, 309.
[15] Blommendal, 108.
[16] Collins, 312-313
[17] Ibid, 386.

Senin, 07 Februari 2011

Filsafat, Sebuah Cara Mengetahui: Sebuah Cara Menuju Dunia Ide Plato

Tulisan ini ditulis oleh Angela Debora M. Pontororing
sebagai Paper Akhir Filsafat Yunani


Pendahuluan
            Untuk keperluan pengerjaan paper ini, saya membaca buku-buku mengenai Plato dan ajaran filsafatnya dengan harapan bisa menemukan tema yang menarik untuk diangkat. Namun setelah membaca the republic (politeia) sampai setengahnya, saya masih kesulitan menemukan tema yang menarik, sementara batas waktu pengumpulan paper semakin mendekat. Di tengah kepanikan saya, terbersit kembali sebuah potongan diskusi tentang mitos gua Plato dalam kelas Filsafat Yunani.
Dalam diskusi tersebut, beberapa mahasiswa mempertanyakan, “apakah dengan memandang bahwa manusia hanya bisa mengetahui bayang-bayang dari dunia ide, maka Plato terjebak dalam pemikiran pesimis tentang manusia?”
 Dituntun oleh Pdt. Djaka Prasetya sebagai dosen pengampu, kami para mahasiswa berusaha mencari jawaban dari pertanyaan tersebut. Jawaban yang muncul kemudian mengarahkan kami pada pertanyaan berikutnya yaitu, “apakah memang tidak mungkin bagi manusia untuk mencapai dunia ide itu? Jika mungkin, bagaimana caranya?”
Mendengar pertanyaan tersebut, saya yang sebelumnya hanya duduk selonjoran di pojok kelas tiba-tiba tertarik dan terdorong untuk ikut memberikan pendapat. Saya mengacungkan tangan dan mengutarakan, “Menurut saya manusia bisa menemukan dunia ide itu melalui filsafat. Ketika manusia berusaha mencari kebenaran terdalam (hakekat dan esensi) dari segala sesuatu, di situlah manusia bisa menemukan sedikit dari dunia ide itu, meskipun mungkin tidak semua.”
Perkataan saya itu hanyalah berupa opini yang didasari oleh pengamatan sekedarnya atas ajaran Plato dan hakekat dari filsafat. Pada saat itu, saya tidak benar-benar memiliki dasar argumen yang kuat dan bahkan tidak begitu memahami ajaran Plato sendiri mengenai dunia ide. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya hendak mempelajari lebih lanjut mengenai kebenaran pernyataan saya saat itu.
Agar bisa mengetahui benar atau tidaknya pernyataan tersebut, saya akan membahas lebih jauh mengenai mitos gua Plato, yang menggambarkan pemikirannya mengenai dunia ide. Selanjutnya saya akan mengangkat ajaran Plato mengenai jiwa yang juga berkaitan erat dengan pemahamannya akan dunia ide. Yang terakhir dan yang paling penting saya akan membahas mengenai pengenalan dunia ide dan dunia fisik menurut Plato.

Ajaran Tentang Ide
            Ajaran Plato tentang ide-ide memang cukup sulit untuk diapahami, tapi justru ajaran inilah yang mendasari seluruh permahaman dan filsafat Plato. Yang pertama-tama harus diluruskan adalah, yang dimaksudkan plato dengan “ide” berbeda dengan pengertian modern tentang “ide”. Bagi Plato “ide” adalah sesuatu yang sempurna dan objektif, yang dari padanya seluruh pemikiran mengacu. Ide ada dan terlepas dari subjek yang berpikir dan bahkan terlepas dari pemikiran itu sendiri. Ide tidak tergantung pada pemikiran manusia, sebaliknya pemikiran manusia merupakan proyeksi dari ide.
            Untuk bisa memahaminya dengan lebih jelas, kita bisa memanfaatkan ilmu pasti terutama matematika yang sangat dijunjung tinggi dalam Akademia milik Plato. Ilmu pasti tidak pernah membicarakan sesuatu yang konkret. Ketika berbicara mengenai segitiga, ilmu ukur tidak hanya membicarakan segitiga tertentu dengan panjang dan sudut yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalil-dalil mengenai segitiga adalah dalil yang berlaku umum untuk segitiga manapun yang bisa digambar atau dibentuk manusia. Jadi, dalil-dalil tersebut didasarkan bukan pada segitiga tertentu melainkan segitiga pada umumnya, yang sempurna atau yang ideal[1].
Ilmu ukur membicarakan tentang segitiga yang ideal dan bukan segitiga yang konkret, yang memiliki panjang dan sudut tertentu. Dan karena tidak mungkin sebuah ilmu pasti membiacarakan sesuatu yang tidak ada, maka seharusnya yang ideal itu juga memiliki realtiasnya sendiri. Jadi, harus terdapat suatu ide tentang “segitiga”, sementara segitiga-segitiga yang  kita lihat, yang memiliki panjang tertentu adalah tiruan atau proyeksi tidak sempurna dari ide “segitiga”[2].
Ketika kita membicarakan “kemeja putih” kita berarti memiliki dua konsep yang terkait sekaligus juga mandiri pada dirinya sendiri. Melalui pengamatan panca indera, kita menghadapi sebuah kemeja yang berwarna putih. Namun demikian, kita juga mengetahui bahwa ada kemeja-kemeja lain yang tetap disebut kemeja meskipun warnanya berbeda dengan “kemeja putih” tersebut. Selain itu, ada juga dinding putih, kain putih, kulit putih, yang meskipun wujudnya berbeda dengan “kemeja putih”, kita tetap menyebutnya putih. Berarti terdapat eksistensi ide yang terpisah antara “kemeja” dan “putih” yang sempurna pada dirinya sendiri, yang tidak tercampur dengan yang lain.
            Dalam usahanya untuk menjelaskan ajarannya tentang dunia ide, Plato menceritkan sebuah mitos tentang goa. Gambaran tentang mitos goa ini bisa ditemukan dalam Politeia (VII, 514a-518b) karya Plato.
     Manusia tinggal di goa bawah tanah. Kaki dan leher mereka dirantai sehingga mereka tidak bisa bergerak. Mereka hanya bisa melihat lurus kedepan. Rantai dileher juga mencegah mereka memutar kepala mereka.Diatas dan dibelakang mereka ada api yang menyala. Didepan mereka ada tembok pendek. Beberapa diantara mereka berbicara , sebagian lain tetap diam. Setiap tahanan hanya melihat bayangan yang dilemparkan api dari dunia luar goa , realitas yang sesungguhnya.
Sesuatu yang indah kemudian terjadi. Salah satu tawanan tidak terantai. Ketika salah satu dari mereka memaksa untuk berdiri atau memutar lehernya, dia menderita nyeri yang hebat. Matanya dibutakan oleh silau cahaya api. Dia tidak dapat mengenali sesuatu yang berbayang , yang sebelumnya telah diliatnya. Dia percaya bahwa bayangan itu lebih nyata daripada yang dia lihat sekarang. Dia ingin kembali menjadi tawanan , kondisi dimana dia telah terbiasa.
Dia tetap tidak merasa nyaman. Kemudian memaksa keluar dari goa dan menuju terangnya sinar matahari, tapi yang dirasakan hanya perasaan sakit, oleh silaunya terang matahari. Dia tidak bisa membedakan objek apapun dibawah sinar matahari. Dia musti membiasakan matanya secara perlahan. Kemudian dia melihat segala sesuatu di dunia luar. Pertama dan paling mudah , dia melihat bayangan , kemudian pantulan di permukaan air , kemudian objek nyata itu sendiri , kemudian sang malam , cahaya rembulan  dan akhirnya cahaya matahari dan matahari itu sendiri. Sekarang dia tidak hanya melihat refleksi dari realitas tapi melihat realitas itu sendiri. Dia memproses suatu pemikiran bahwa sang matahari yang memberikan dunia dengan berbagai musim, yang mengatur segalanya dan dalam nalar tertentu merupakan sumber dari segala sesuatu yang dia lihat dalam goa.
Dia sadar betapa beruntungnya dia , ketika dia mengingat keadaan sebelumnya , sebagai tawanan goa. Kemudian dia kembali ke goa untuk membebaskan tawanan lainnya. Yang pertama terlihat adalah kegelapan total, tidak melihat apapun. Dia akan membuat dirinya konyol jika dia mencoba bersaing dengan tawanan lain menerjemahkan bayangan dalam goa tersebut. Dia akan disalahkan atas aksinya keluar dari goa  dan jika dia membebaskan tawanan lain , mereka akan membunuhnya[3].
Dalam mitos ini, manusia digambarkan sebagai orang-orang yang dirantai di dalam gua. Pengetahuan yang kita dapatkan melalui panca indera, adalah bayang-bayang yang selama ini kita lihat. Karena kita hanya bisa melihat bayang-bayang itu seumur hidup, maka kita mempercayainya sebagai realitas dan kebenaran. Namun, ketika salah satu dari tahanan itu dapat lepas, ia menyadari bahwa bayang-bayang tersebut bukanlah satu-satunya realitas. Di balik bayang-bayang itu ada figur-figur dan api yang memproyeksikan bayangan ke dinding yang selama ini mereka lihat. Lebih jauh lagi, di luar gua terdapatlah realitas yang sebenarnya dengan matahari sebagai penerangnya.
Melalui mitos ini, Plato hendak menyampaikan bahwa realitas yang sebenarnya berada jauh dari realitas indrawi manusia. Realitas yang sebenarnya bersifat rohani, yang olehnya disebut “IDE”. Ide itu abadi dan tidak mengalami perubahan dan sempurna pada dirinya sendiri, sedangkan dunia indrawi kita selalu mengalami perubahan dan diwarnai oleh ketidakteraturan serta ketidaksempurnaan[4]. Dunia jasmani (indrawi) kita seolah-olah hanya merupakan tiruan dan proyeksi tak sempurna dari dunia ide. Karena itu, jika kita hendak memahami realitas yang sebenarnya, kita harus mengatasi dunia jasmani dan menjadi sanggup melihat ide-ide itu sendiri[5]. Dalam mitos goa, proses ini digambarkan seperti tahanan yang lepas yang berusaha melawan kesakitannya dan menyesuaikan diri dengan cahaya dan kondisi yang baru.
Di antara ide-ide tersebut, Plato menempatkan ide “yang baik” sebagai realitas tertinggi. Seluruh ide-ide yang lain mengacu kepada ide ini. Dalam mitos gua, “yang baik” ini digambarkan sebagai matahari, yang menerangi realitas-realitas yang lain. Sang Baik adalah tujuan (telos) dari segala yang ada. Segala sesuatu, termasuk manusia, mempunyai dinamika batin hakiki yang selalu ingin menuju kepada realitas tertinggi ini yaitu “yang baik”[6].

Ajaran Tentang Jiwa
            Ajaran Plato tentang dunia ide, mempengaruhi jawaban Plato atas pertanyaan tentang jiwa manusia. Menurutnya jiwa manusia tidak bisa didefinisikan sebagai “apa” atau “sesuatu”. Jalan terbaik adalah mempelajari daya-daya (dunamis) yang muncul dari padanya, yang bisa berarti pasif maupun aktif[7]. Sebagai contoh adalah ketika seseorang tersandung dan jatuh. Reaksi manusia yang merasa sakit merupakan aktifitas jiwa karena ia dikenai sesuatu (pasif). Namun, ketika jatuh manusia tidak hanya merasakan sakit. Selain merasa sakit, orang itu juga bisa merasa marah pada dirinya sendiri, merasa malu karena dilihat banyak orang. Dalam kompleksitas perasaan dan dorongan ini, jiwa menentukan reaksinya apakah ia akan mengeluh, menangis atau langsung berdiri seakan tidak terjadi apa-apa. Di sinilah jiwa memiliki daya aktif.
Dalam phaidros, plato menganggap jiwa sebagai prinsip yang menggerakkan dirinya sendiri dan oleh karenanya juga dapat menggerakan badan. Menurut Plato fungsi jiwa ini menuntut kebakaannya, karena tidak ada alasan mengapa pergerakan itu dapat berhenti[8].  Untuk dapat menerangkan pernyataannya ini, Plato menggunakan gambaran (mitos) kereta bersayap.
     Sebagai gambaran jiwa, sais adalah lambang untuk rasio (logistikon), sedangkan dua ekor kudanya, yang putih adalah lambang untuk hasrat harga diri (thumos) dan yang hitam adalah lambang bagi nafsu-nafsu rendah (epithumia) yang letaknya ada di bawah perut manusia. Sementara sayap yang membuat keseluruhan kereta jiwa bisa bergerak naik adalah lambang untuk eros[9].
Dengan gambaran seperti di atas, Plato menjelaskan bahwa sais dari kereta itu hendak menuju ke puncak langit tertinggi, agar bisa memandang “kerajaan ide”. Tapi karena kesalahan kuda hitam yang selalu ingin menuju ke bawah, mereka kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke bumi.
            Melalui gambaran tentang jiwa di atas, Plato menyatakan kembali keyakinannya bahwa tujuan hidup dari manusia adalah mencapai dunia ide, khususnya ide “yang baik” dan yang menjadi penggeraknya adalah jiwa. 3 fungsi jiwa (rasio, hawa nafsu dan harga diri) yang ia gambarkan melalui mitos tersebut juga kemudian dihubungkan dengan keutamaan-keutamaan. Bagian hawa nafsu memiliki pengendalian diri (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk bagian harga diri keutamaan yang spesifik adalah kegagahan (andreia). Dan bagian rasional dikaitakan dengan keutamaan kebijaksanaan (shopia). Dan keadilan (dikaiosyne) yang tugasnya adalah menjamin keseimbangan antara ketiga bagian jiwa[10].

Dua Macam Pengenalan (Doxa dan Episteme)
            Seperti yang telah tersirat dalam mitos goa, Plato membedakan dua macam pengenalan atas realitas. Yang pertama adalah pengenalan inderawi (doxa) mencakup benda-benda konkret yang senantiasa dalam perubahan. Dan yang kedua adalah pengenalan akal budi (episteme) menyangkut ide-ide yang abadi dan tak terubahkan[11]. Doxa atau juga opini, dianggap sebagai perintis menuju kepada episteme (pengetahuan), karena benda-benda konkret adalah proyeksi dari dunia ide. Jadi, dengan doxa kita menrintis jalan menuju kepada ide dan yang mengantarkan kita melangkah melebihi doxa adalah rasio dengan keutamaannya yaitu Sophia (kebijaksanaan).
            Dalam pembahasan dialogis antara opini dan pengetahuan atau lebih jauh lagi antara seorang Filsuf dan doxophilist, Plato pertama-tama menyajikan pemahaman bahwa filsafat mencakup segala pengetahuan. Contohnya ungkapan Plato yang menyatakan bahwa “pencinta kebijaksanaan menghendaki seluruh kebijaksanaan dan bukan hanya sebagiannya saja”.  Kemudian ia mengantar kita menuju kesimpulan bahwa seorang filsuf memiliki pengetahuan (episteme) sementara seorang doxophilist hanya memiliki doxa atau opini[12].
            Kembali kepada mitos goa, kita harus menyadari asumsi Plato, bahwa seorang yang hanya memiliki pengenalan inderawi (doxa) meyakini bahwa apa yang ia alami dalam gua adalah sebuah kebenaran dan satu-satunya realitas. Berangkat dari asumsi ini, Plato sebenarnya ingin menunjukkan bahwa ada suatu tingkat pengenalan atau pengetahuan yang lebih baik daripada mempercayai pengenalan inderawi, yaitu dengan filsafat (cinta akan kebijaksanaan).
            Plato menyakini bahwa kebijaksanaan tidak akan pernah dicapai tanpa dipengaruhi rasio, yaitu kepastian intelektual untuk tetap mengacu kepada kebenaran (dunia ide)[13]. Dibandingkan dengan doxophilist, yang hanya mengacu kepada pengenalan inderawi, yang terus berubah-ubah dan tidak pasti, maka filsafat menawarkan cara mengetahui yang lebih pasti dan tetap, karena mengacu kepada dunia ide yang kekal dan sempurna.  Karena itu dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan (filsafat) merupakan sarana berpikir secara benar.

Analisa dan Penutup
              Setelah melalui proses yang cukup panjang menelusuri pemikiran Plato saya menemukan sebuah sistematika yang mengagumkan. Dengan didasari oleh ajarannya tentang idea, Plato membangun sebuah kerangka pemikiran yang kompleks namun sekaligus jelas dan sederhana alurnya. Pemahamannya tentang dunia idea dan konsep tentang jiwa, membentuk sebuah jawaban atas pertanyaan dasar etika Yunani, mengenai tujuan hidup manusia dan keutamaan-keutamaan yang menjadi sarana mencapai tujuan itu.
Pada akhirnya ia juga mampu menjawab tantangan dari kaum sophis, yang menekankan relativisme (doxophilist) dan menempatkan manusia sebagai ukuran segala sesuatu. Sebagai gantinya ia menawarkan filsafat sebagai cara mengetahui yang mengacu kepada kebenaran yang hakiki (dunia ide), tanpa harus mendiskreditkan pengenalan inderawi (doxa). Meskipun secara sekilas Plato terlihat terlalu terpaku pada dunia ide dan sepertinya pesimis memandang dunia inderawi kita, ternyata tidaklah demikian. Plato tetap menghargai pengenalan inderawi kita sebagai perintis menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya, melalui filsafat.
Dengan demikian, saya akhirnya menemukan bahwa opini saya yang tadinya tidak memiliki dasar yang jelas, sebagai sebuah pernyataan yang sekarang bisa dipertanggungjawabkan secara sistematis dan rasional.  
                       


  



[1] Prof. Dr. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999) p.130
[2] Ibid., p.130
[3]Dikutip dari “Parabel Plato – Mitos Goa” http://bentara.asia/index.php?option=com_k2&view=item&id=117:the-parable-of-the-cave, diunduh 15 Desember 2010 pukul 23:12 WIB
[4] Dengan mengemukakan dua realitas ini, Plato menjembatani ajaran Herakleitos dan Parmenides yang bertentangan. Untuk lebih jelasnya lih. Bertens. Sejarah, p.133
[5] Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997) p.16
[6] Ibid., p.17
[7] A. Setyo Wibowo. Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010) p.33-34
[8] Bertens. Sejarah, p.137
[9] Wibowo. Arete, p. 36
[10] Bertens. Sejarah, p.139
[11] Ibid., p.138
[12] Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD. Plato: Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997) p.31
[13] Ibid., p.32