Sabtu, 05 November 2011

In Memory of Her : Sebuah Pengantar menuju Kritik Feminist

Latar Belakang Kemunculan

Awal mula kemunculan kritik feminist merupakan sebuah proyeksi dari gerakan perempuan di tahun 1960-an. Menurut saya, kritik feminist sebenarnya dapat digolongkan ke dalam kritik ideologi di mana sebuah kritik didasarkan pada suatu ideologi tertentu—dalam hal ini adalah ideologi bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki derajat dan hak yang setara. Saya melihat hal ini karena gerakan perempuan ini dilakukan berdasarkan kepada kesadaran akan perlunya memperjuangkan kesetaraan derajat dan hak perempuan di tengah kehidupan yang menurut mereka—dan sekiranya saya mengafirmasi hal ini—didominasi oleh laki-laki. Hal inilah yang menjadikan kritik feminist sangat bersifat kritis terhadap pendekatan-pendekatan teks Alkitab yang ada di dunia Barat yang sampai saat ini dianggap sangat bersifat male oriented (berorientasi lelaki). Permasalahan ini seringkali dikenal dengan ungkapan bias gender.
            Gender sendiri tidak dapat hanya dimengerti sebatas perbedaan seksual saja melainkan berurusan dengan sebuah konstruksi budaya di mana seringkali membedakan tingkah dan perilaku antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada pandangan dasar terhadap laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang berbeda secara seksual dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu kritik ini senantiasa bertumpu kepada pemahaman dasar (baca: pra-anggapan) bahwa segala teks apapun senantiasa tidak pernah bebas dari bias gender dan oleh karenanya—menurut kritik ini, tidak ada teks yang akan bersifat netral tergantung dari siapa penulisnya, laki-laki atau pun perempuan.
            Di bawah ini saya menggunakan frasa “kritikus feminist” dan bukan “kaum feminist” sebagai para pengguna kritik feminist untuk menghindari pembaca memahami maknanya sebatas “kaum perempuan”. Hal ini karena seringkali pembaca, ketika membaca kata “feminist” selalu dihubungkan dengan kata “feminin” yang berarti (hanya) perempuan saja. Saya melihat bahwa, saya sebagai laki-laki yang menulis karangan ini merasa perlu mendapatkan perhatian paling tidak karena saat ini saya memposisikan diri saya juga sebagai seorang kritikus feminist.
            Dalam kerangka bias gender ini, para kritikus feminist memiliki pandangan dasar bahwa berabad-abad lamanya masyarakat telah dipengaruhi oleh pandangan dasar bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan dengan perempuan dan oleh karenanya memiliki kecenderungan menganggap laki-laki lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Pandangan dasar ini yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan di masyarakat, baik dalam kehidupan sosial pada umumnya, politik, ekonomi dan budaya. Kritik feminist berusaha me-rekonstruksi kembali pandangan masyarakat yang seperti ini. Menurut mereka, dominasi yang demikian dalam suatu tataran hierarkis ini pada umumnya diterima masyarakat (seolah-olah) sebagai kodratnya dan bukan sekedar konstruksi budaya semata. Sikap ini juga yang seringkali tidak disadari tergores dalam setiap tulisan hasil dari suatu masyarakat yang di dalamnya termasuk juga teks-teks Alkitab. Keadaan ini menanamkan sebuah keyakinan kepada kritik feminist bahwa teks-teks Alkitab yang menjadi dasar kehidupan orang Kristen, mengandung (pra)anggapan yang menempatkan dominasi laki-laki atas perempuan. Karena itu, memang salah satu tugas besar dari kritik feminist ini adalah mengungkapkan presupisuisi bias gender dalam proses penafsiran teks-teks Alkitab.
            Bagi kritikus feminist, teks-teks Alkitab yang kita miliki sekarang ini merupakan hasil tulisan laki-laki. Maka jelas bahwa teks yang ditulis menggunakan perspektif laki-laki ini mendasarkan pemahamannya dalam teks yang mendominasi perspektif perempuan. Penganut kritik feminist yang radikal malahan mempertanyakan, mengapa perempuan harus membaca Alkitab? Oleh karena itu, para kritikus feminist mengerucutkan diri mereka pada penafsiran ulang atas teks-teks dengan senantiasa mengingat konstruksi budaya yang membedakan perilaku laki-laki dengan perempuan di dalamnya. Sebagai contoh, pendekatan Elisabeth Schussler Fiorenza dalam bukunya mendapatkan perhatian saya.

Markus 14:3 dari Kaca Mata Kritik Feminist

Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu, dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus (Markus 14:3)
Nampak ada tiga orang murid Yesus yang cukup menonjol dalam kisah penderitaan Yesus yang diberitakan oleh Injil Markus. Di satu pihak adalah Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus dan Petrus yang menyangkal Dia, sedangkan pada lain pihak adalah seorang perempuan yang mengurapi Yesus, yang namanya tidak disebutkan. Kita seringkali menemukan bahwa kisah pengkhianatan Yudas dan penyangkalan Petrus terhadap Yesus begitu jelas teringat dalam memori kita sebagai orang Kristen sedangkan kisah perempuan yang mengurapi Yesus ini (hampir) sebagian besar dilupakan. Mengapa kisah ini dilupakan sedangkan kisah seorang pengkhianat sepanjang masa begitu dikenang hanya karena kisah ini dibintangi oleh seorang perempuan? Padahal terang bahwa pasal 14:9 menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh perempuan itu akan disebut “untuk mengingat dia”.
            Jika kita melihat kisah ini di keempat kitab Injil, maka kita akan menemukan bahwa cara meredaksi kisah ini kembali senantiasa diwarnai oleh kehidupan patriakhi di dunia Greko-Yunani saat itu. Lukas menggeser pusat ceritanya dari seorang murid perempuan yang setia menjadi seorang pendosa (Lukas 7:36) sedangkan Injil Yohanes mengidentifikasikan perempuan tadi sebagai Maria dari Bethani yang juga seorang teman setia Yesus (Yohanes 12:1). Pertanyaannya apakah Lukas menggunakan sumber yang diambil dari Injil Markus atau tidak ini masih merupakan permasalahan yang sering diperdebatkan. Permasalahan ini tampaknya tidak begitu berarti manakala kita mengingat bahwa kecenderungan orang Kristen yakni membaca kisah di dalam Injil Markus dengan menggunakan kaca mata Injil Lukas. Tekanannya adalah keberdosaan perempuan tadi yang akhirnya mendapatkan pengampunan dari Yesus.
            Namun terlepas dari perbedaan keempat Injil tersebut, nampaknya jelas bahwa semua kisah menempatkan perempuan tersebut sebagai orang yang mengurapi Yesus. Jikalau kisah asli dalam kisah ini adalah mengenai pembasuhan kaki yang merupakan fenomen budaya yang umum di dalam Sitz im Leben, maka akan sangat saya ragukan apabila kisah seperti ini diingat dan diceritakan kembali sebagai berita Injil. Oleh karena itu kemungkinan besar kisah aslinya adalah kisah pengurapan kepala dan bukan pembasuhan kaki. Dalam tradisi Perjanjian Lama, seorang raja harus diurapi kepalanya terlebih dahulu oleh seorang nabi untuk dinobatkan menjadi raja. Dilihat dari terang ini maka kita dapat mengambil paham bahwa pengurapan kepala Yesus telah dimengerti sebagai simbol nabiah atas diri Yesus sebagai Messias, Kristus, Yang Diurapi. Maka di sini kita akan menemukan adanya suatu unsur politis karena pengharapan Messianis ketika itu merupakan pengharapan yang bersifat politis. Messias yang diharapkan dahulu adalah seorang raja yang perkasa, yang memerintah dengan keadilan dan kebenaran, dan yang akan mengalahkan semua kekuatan politik yang ada, terutama kekuatan yang menindas bangsa Israel!
            Kita juga menemukan bahwa di dalam Injil Markus, kisahnya dikemas sedemikian rupa dalam plot antara para pemimpin agama Yahudi yang hendak menangkap Yesus dengan pengkhianatan Yudas Iskariot. Hal ini men-depolitisasi kisah dengan cara menggeser tuduhan bahwa pemerintah Romawi sebagai pihak yang bertanggung jawab kepada para pemimpin agama Yahudi atas kematian Yesus. Bahkan Markus secara teologis mere-definisikan ke-Messias-an Yesus tidak lagi di dalam makna politis seperti yang saya jelaskan di atas melainkan di dalam makna teologis sebagai Messias yang sengsara, menderita dan mati.
            Markus juga melihat bahwa para murid Yesus—yang semuanya laki-laki—tidak memahami ke-Messias-an Yesus secara teologis seperti ini. Mereka bahkan menolak untuk akhirnya meninggalkan Yesus. Sedangkan murid perempuan yang telah mengikuti Yesus dari Galilea ke Yerusalem tiba-tiba muncul sebagai “murid yang sebenarnya” dalam kisah penderitaan Yesus tadi. Karena itu murid perempuan tadilah yang disebut sebagai pengikut Yesus yang sesungguhnya, yang memahami bahwa pelayanan Yesus bukan secara politis (dalam kemuliaan raja) melainkan secara diakonia (Markus 15:41).
            Dalam kisah penderitaan Yesus ini, Markus berhasil menampilkan para perempuan sebagai saksi dan pelayan yang sebenarnya. Perempuan yang anonim dalam kisah ini telah dijadikan model (baca: paradigma) sesungguhnya bagi murid yang sebenarnya di hadapan Yesus. Sementara Petrus yang mengaku Yesus sebagai “Yang Diurapi” tidak mengerti makna yang sebenarnya, perempuan yang mengurapi Yesus memahami betul bahwa Yesuslah Messias yang sengsara, menderita dan mati.
            Sehubungan dengan interpretasi ini maka kritikus feminist menyatakan keyakinan mereka bahwa Injil yang sebenarnya tidak pernah dapat diberitakan apabila murid perempuan yang mengikuti Yesus dengan segala hal yang dilakukan mereka tidak pernah diingat dan dikenang. Dalam hubungan inilah maka buku Fiorenza ini diberi judul In Memory of Her yang berarti “untuk mengenang perempuan itu”.
Tinjauan terhadap Kritik Feminist
Setelah saya mempresentasikan kritik feminist dan meninjau hal ini, kami di dalam diskusi Forum Studi Biblika menghasilkan beberapa pandangan terhadap kritik feminist, yaitu:
1.      Sebenarnya permasalahan di dalam kritik feminist—yang kurang lebih menjadi permasalahan sebagian kritik kontemporer, misalnya kritik poskolonial—adalah permasalahan “dominasi”. Kepedulian permasalahan gender menurut kami bukanlah permasalahan pembelaan terhadap kaum perempuan (saja) melainkan kaum yang ter-subaltern. Selain itu, pembelaan terhadap perempuan atau “kaum yang tertindas” bukanlah tujuan utama dari kritik ini.
2.      Namun dalam terang kepedulian gender (seksualitas) juga sebaiknya kita melihat bahwa adanya konstruksi-konstruksi kodrati. Hal ini juga harus diperhatikan mana kala setiap perspektif akan berbeda tergantung dari siapa yang menulis dan menggunakan perspektif siapa. Walaupun demikian, kita juga harus menyadari bahwa teks senantiasa rapuh dan oleh karenanya terdapat detail-detail yang rapuh juga yang sangat mengusik sebuah ideologi penulis teks.
3.      Berkaitan dengan kritik feminist yang merupakan bagian dari kritik ideologi, memang kita akan diperhadapkan kepada pelbagai ideologi dan mengidentifikasikan diri kepada satu ideologi tertentu, namun bukan berarti kita mengesampingkan yang lain dengan cara siap melihat dan mengkaji kritik demi transformasi ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, kita sebaiknya menjauhkan diri dari konsep either..or dengan maksud menerima yang satu dan menolak yang lain melainkan dengan sikap paradoksal melihat keterhubungan atau “sisi lain” dari pemahaman kita mengenai ideologi ini. Oleh karenanya juga diperlukan kesadaran untuk melihat bahwa ideologi seringkali tidak hanya ditentukan oleh person tertentu melainkan konstruksi aspek-aspek lainnya yang sangat mempengaruhi mereka.

Orange’s House, 5 November 2011
Dedicated to Forum Studi Biblika UKDW
None but ourselves can free our minds.

(Bob Marley)

Rabu, 02 November 2011

Challenges in Communicating Theology through Theological Student Perspective[1]

August Corneles Tamawiwy Karundeng[2]

Abstract

This paper is based on interviews of the three students of theology in order to find the starting point of the problems experienced by students in communicating theology to others and in the process of learning and teaching. The issue of classroom conditions that are less communicative, the scope of the theological and the results of interview will be presented in a systematic point. Although it does not reach the problem-solving, but I try to give some alternatives and explain a little bit causes of this communication problems.
Key wordsstudents, theology, communication

The Story Begins..

One night, when I still lived in the dorms of Universitas Kristen Duta Wacana—my level as a big brother among freshmen in there. I ever asked for help to both of my brothers room (Aris and Tyok, brothers rate a room with me) to wake me up tomorrow morning when I was working on tasks that pile up so much and they both have to bed earlier than me. But I did not ask them directly, because they were already asleep. I put a memo on the door of our room, that contains a line of writing, "Tolong bangunkan saya jam 6 pagi[3]" with the expectation when they left the room later, before opening the door they can see the memo and wake me up too. After leaving the memo, I am feeling calm. But what happens the next day? I slept until 9 am!
                This story was inspired from a question that became the theme of the writing of this paper is, what kind of challenges faced by students of theology in communicating his theology? In my opinion, before we are continuing this story and we are led to a discussion of this question—because the source of the answer then we will see through the interview—we should know in advance what it is communication?

Communication: Anywhere and Everywhere

A word that is quite popular for researchers and communication experts certainly due to repeated use in the research literature that describes the communication in era of the 70s is “ubiquitous” which means completely exist, located anywhere and anytime as well [4]. This statement described by B. Aubrey Fisher to emphasize that each person communicates. Communication is something that completely exists when there is no other. Communicative phenomena found anywhere. Therefore, it becomes a natural consequence if we are too familiar with communication, so that each person considers himself to adept at communicating. This is deep chasm because often the view of communication influenced by the possession of knowledge that is too much but accompanied with a little understanding so it falls to the misunderstanding of communication.
According to Fisher, if communication completely exists, the communication also means double. There are quiet understandings of different definitions of communication. As well as I experienced when following classes of Theology and Communication with Pdt. Dr. Jozef M. N. Hehanussa, opinions emerged regarding the communication is very diverse. However, we can draw some specific elements of communication that seems to get the greatest emphasis in typical definitions.
                An understanding of which is affirmed by most students of this class on the meaning of communication is that communication is the process of sending and receiving information that continues over time in the realm of verbal and non verbal, intrapersonal and interpersonal using any medium. Communication comes from the Latin word “cum” that is a preposition meaning with, along with, and that is the word “unus” meaning one. From these two words, a noun formed “communio” which in English becomes communion which means togetherness, unity, fellowship, combined, relationships. According to Agus M. Hardjana, a communication needs effort and work. A verb made “communicare” which means to share something with someone, give a portion to someone, to exchange, discuss something with someone, tell something to someone, chat, exchange ideas, relate, friendship. This was used as a noun “communicatio” that in English communication, and in the Indonesian language is absorbed into “komunikasi” [5].

Theology and Communication of the Theologians

Through Theology and Communication class, we were invited to see the relationship between communication and conflict with theology. Based on the results of interviews and presentations in several groups in this class, the big question is whether communication affects us in doing theology? Opinions that arise were from diverse parish pastor. Someone once said that communication affects the way we (parish pastor) doing theology in the church. This is because good communication also gives us a good relationship in the church, therefore giving us a good place also in our theology in the church. This means that if the poor communication, poor relationships and of course the container in doing theology is going bad and inhibit the pastor in doing his theological teaching in their church.
Some argue from the parish pastors—as far as verbal communication means talking with the congregation—communication is not very influential for their theology. This makes me think that the pastor is certainly less to understand the meaning of communication. However, there is also the opinion that communication and theology must go hand in hand. Inside the church, the pastor often feels that only him who doing theology to his congregation. This thinking must be changed because, according to pastor of this church, when he was in the congregation, when it did he was doing theology along with the congregation.
Another opinion from lecturers of theology from Universitas Kristen Duta Wacana has spawned one big question is whether the communication in the classroom affects the way students and teachers of theology doing their theology. The opinions of lecturers more poking and tickling our ears. Often the students find the answers and fall into the conclusion that yeah, communication is very influential in the classroom for students in theology. Often the problems that arise are students were given less opportunity in describing his theology in the classroom. Nevertheless, more critical, students often felt less prepared their lectures material so that less communicative in the discussions in the classroom. Is really just that?
Challenges of Communicating Theology from Student of Theology
Bellow, I will describe three opinions of students about the challenges of communicating their theology—especially in class—to others. The first question I ask is: Is it hard for you to communicate your theology in the classroom, discussion groups or other academic activities? What are the factors that cause this? From these there correspondents whom I interviewed, came the answer yes, this is trouble. There are several factors that cause them trouble: [1] If they do not understand the subject matter that was delivered. Student explore less academic materials in the classroom and will feel more able to communicate their theology when they had managed to “dig deeper” into the academic material in the classroom; [2] Students find it difficult to communicate with their interlocutor. Interlocutor regarded as too smart or smartass and knowledgeably. Obstacles in this respect often experienced when discussing in the group of students, both in class and outside the classroom; [3] Students feel inferior to their interlocutor. They fear if the other people think that their opinion is weightless or completely wrong. So according to them, “Silent is golden”.
                If only we can know that the difficulties of the students in communicating their theology is not just because of the lack of understanding and preparing the material before attending lectures, but other factors that I think is in tune with the answer number [2] and [3] is feel inferior. I think the factor that makes students feel inferior—to others or lecturers who teaching—is information from people who were ever taught or met and get to know our listener (either professors or others; in this case the lecturer) is a senior. Initial abstractions provided by them to form assumptions about their professors who teach them. Immanuel Kant in his Critique of Pure Reason (1871) argues that theoretical reasoning begins with sense experience. Our senses intuitively provide perceptions of reality as the "raw material" for the understanding mind to form into concepts and eventually into ideas and scientific truths. The mind, however, is an active and structuring agent in this knowing process. It has a priori "categories" of thought, independent of experience, that make perception of experience possible in the first place and turn our perceptions into concepts for understanding and judgment. In other words, what we know is as much structured by the knower's mind as it is shaped by the world known[6]
                The second question I ask is: Are the methods used for teaching theology can help the interviewees to communicate their theology? Give an explanation! From the three correspondents, came the answer, there is help and there is no help. For example, there are lecturers who teach just dictates the books. It is not helpful. According to correspondents, students are not happy if lecturers just read and repeat what is in the book. This causes the students lazy listening materials provided by lecturers. Students feel motivated to learn when the teacher explains what the book in no way re-read (dictation), but explained in its own way. For example, in Pdt. Tabita Kartika Christiani’s classes. Students feel more motivated in their tasks, although according to material given boring but the professor were smart in making his students (including the correspondents) are challenged to practice what they have learned themselves—and also maybe have been explained by the lecturer—to the congregation so that the students themselves learn it more deeply through their experience. In addition, students are more interested if what they learn in the book, it turns out when in the classroom, lecturers demonstrate in a concrete theory. For example, when they learn about the divorce, the lecturers brought the couple ever divorced to give testimony relating to divorce as earlier lectures material. The correspondent felt that her method greatly helped them communicate their theology.
Ways of teaching that emphasizes dialogue between lecturers and students to make students "forced" but used (in this case, the correspondent expressed with the word "spur") to express their opinions. In addition, students do not feel inferior because professors want to receive any feedback given by students. The method is fun for them is first, professors forces us to read and understand the material. After understanding the material, into small groups and discussion (here, each student must express their opinion, whatever that is). After that a large group sharing, Pdt. Tabita Kartika Christiani is felt not only understand the material and want to present it to students, but also understand the models of personality of students so as to provide different methods for the diverse personalities of students, depending on the students themselves. However, methods that only ”explain" it is felt will not help students in communicating their theology.
Moreover, if the teachers simply repeat the lesson in reading the book when the class takes place. Very boring. Students tend to be passive. Only Hizkia, one from three correspondents who argued that all methods used by each lecturer is support him in communicating his theology, he was only just a perceived lack of understanding of lecture material. Besides that, correspondent easier to communicate their theology in writing because of they are more able to get inspirations or ideas. Writing will more developed their ideas in theology than orally. Only Wanda, one from three correspondents who argued that she found it easier to communicate verbally rather than writing her theology because if she doing in writing, she has her limitations and difficulties in arranging the words to write. She found it difficult to explain in writing her theological purpose. She found it easier to pour her emotions verbally than in writing.
The last question I ask is: What is a challenge for correspondent when they are communicating their theology to others, outside the scope of the theologians (both for theologians and for students of theology)? For Ywardhana Septiani Bulo (Wanda), the challenge is that there are various models of different understanding. For example, when she has returned to her native village in Toraja and met with her faith community that influenced by a charismatic understanding (because most of the young people grow in their understanding of the Pentecostal church even though they are genuine ecumenical mainstream church. The reason is the servant who became a teacher for study the Bible are not their parish pastor of the Church of Toraja, but the servants of the Pentecostal church). Often, if the servant of the Church of Toraja is not there, a young man who had acquaintances from the Pentecostal church asked the servants of the Pentecostal church to teach them. Even if there were no servants at all, these young people pray and interpreting biblical verses themselves freely. If the interpretation is received together, they believe that this interpretation is correct and definitely coming from the Holy Spirit! It is a challenge for Wanda because the youths in her church cannot accept a new understanding that has given by her for them. Even more interesting, these youths pray for her—because of disappointment with her understanding of theology—so she will have better understanding and it based from the Holy Spirit only. To fix this, she is trying to understand their understanding and the situation of these young men and not with a frontal trying to change all of their understanding, but try to accept some of their good understanding and try to change their understanding that less really good.
For Hizkia Haryo Pidekso (Hizkia), to communicate verbally his theology is the challenge. Because according to him, his theology will perceives more impact when he can communicate his theology, especially if communicated orally in two directions (dialogue). The second challenge for him is not many people like him who studied theology and therefore will be harder for him to communicate the acquired academic theology to others (public). However, this is not an obstacle to him, but a challenge so he should be able to communicate his theology verbally. For Mike Makahenggang (Mike), the challenge that emerged is that people outside of theology tend only to receive the opinion of the theologians. Theologians—including theological students—considered "know-everything" so that others tend to be passive and accept each of our opinion.
Robby I Chandra in his book says:
Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa dalam hidup seringkali seseorang memiliki konsep diri yang jauh dari kenyataan objektifnya. Bila seseorang merasa dirinya pintar luar biasa sedangkan orang lain menilainya sebagai orang yang memiliki kelebihan sedikit di atas rata-rata tentu akan terjadi kesenjangan di dalam pergaulannya.[7]
Maybe I can change his sentence like this: if student feels others incredible clever, while others have judged themself as ordinary people, so would be a gap in their communication. Good communication based on the good perception of communication also between the two subjects. The complexity of self and the outside world makes us tend to seek simplicity and consistency, although the accuracy of interpretation and perception of others sacrificed. Robby I. Chandra suspect that often, the imprecision of our perceptions are influenced by the trend in attention to negative impressions than positive impression and greatly influenced by the ease of our first impression (usually a negative earlier). Is this what makes the students become inferior?
Silent: True Form of Communication?
Recorded in the Old Testament narratives about God's encounter with Elijah (1 Kgs. 19:11-18). Devastating natural phenomena such as strong winds (Hebrew: ruakh), earthquake (Hebrew: ra'ash) in verses 11 and fire (Hebrews: esh) in verse 12 (Biblia Hebraica Stuttgartensia) that the Bible is recorded as a manifestation of the appearance of God. However, that there is no God in that terrible nature. God appears in the depiction of breeze base (Hebrew: demama) in verses 12-13. God wants to communicate with the tender. In the literal sense, demama means silent, still (e.g. Job 4:16; Psalm 107:29). This is very interesting because God himself invited to communicate in gentle Himself to Elijah. I remembered the words of Pdt. Prof. E. Gerrit Singgih, when explaining about “the mission style servant of the Lord in Isaiah 42". He explained that how the servant of God (regardless of who he is, individually or collectively) is not bombastic and demonstrative when communicating. This is a new model of communication[8].
Often when I heard lectures on campus and discuss with students, which I find is the depiction of God is anthropomorphism. God perceived as such, makes a very limited perception about God. I do not disapprove of such depictions of God. Nevertheless, it seems to fall to see the infinity of God's limitations by using a physical depiction of human emotions, which certainly limited. Bonhoeffer was a German theologian hinting if we want to talk about God, then it must begin with the residence or the silence or absence of the word. Why? In my opinion, every word will came to bear perception. Therefore, on Faculty of Theology of Universitas Kristen Duta Wacana, talking about God and doing theology must always begin with recognition of the limitations of human words and language to accommodate the depth, breadth, height and breadth of God.
Why would God use a breeze (read: silent) and not use a powerful natural appearance that before? It seems that God is trying to find “the right channel” to communicate with Elijah. In addition, there is a human limitation in trying to understand about God. The emphasis here is extraordinary God means that God is gentle and touching the human feelings. God seems to have known the condition of Elijah who was being hunted by Israel because of Israel have forsaken God's covenant (TB-LAI, verse 14). However, God asks with a gentle breeze (read: silent), "What are you doing here, Elijah?" (TB-LAI, verse 13b). Is this a good communication process?
                Understanding the other person context is something quite important for every person who doing the communication. The level of knowledge can not simply fall to the generalization. Things like this are an obstacle to communication.  In the context of students, teachers expected to understand the context of personality belongs to their disciples so that methods in the classroom can be better and reach the condition of the process of learning and teaching communicatively. Students also expected to study and prepare the material provided by the lecturer before participating in the process of learning and teaching.
                Both of these alternatives can not walk alone. I remember the teachers who touched on this issue in the classroom. They tried to realize the process of learning and teaching communicatively in a way allowing the students to give an opinion but no one has the opinion that appears. In this case, by analyzing the answers from the interview above, I suspect that the methods given by these teachers can contribute to learning and teaching communicatively, but students who are in inferior conditions make this process destroyed. There are also teachers who are more familiar with the context of student knowledge, but they did not allow a time for students to express their opinion. This makes these two alternatives can no longer be seen as dichotomist.
                In addition to favorable conditions, it takes also a personality that is friendly with each other. Domination is a gap that needs a bridge of the friendship between students and teachers, as well as in the context of communicating with others. How could communicate the theology of God's great if a way of communicating to others does not show the personality of God. God was communicating when He create His creation, begins and ends with communication. Good communication expected to occur not only between people and God, but also between people, especially in the process of learning and teaching.

The Story Continues..
When I woke up, I felt very upset with them and ask, "mengapa kalian tidak membangunkan saya?[9]". Casually, after they came home from college that morning they replied, "kami sudah bangunkan kakak, tapi sayang kakak tidak bangun-bangun[10]", I thought "perasaan tidak ada yang membangunkanku?[11]" "itu lihat saja di memo, Kak[12]" they added. When I refer to the memo, there is something different from my writing. The article increased from one line into two lines with the words that make me had mixed feelings, "kak, bangun.. sudah jam 6 loh..[13]

For Ywardhana S. Bulo and all of my lovely family in Jakarta..
“Peace of heart, joy, simplicity and mercy” (Taize)










Bibliography
Chandra, Robby. I., Teologi dan Komunikasi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1996
Groome, Thomas. H,. Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry. Eugene: Wipf and Stock Publisher, 1998
Hardjana, Agus, M., Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius, 2003
Fisher, B. Aubrey,. Teori-teori Komunikasi terj. Soejono Trimo. Bandung: CV Remadja Karya, 1986


[1] This paper is a midterm paper of Theology and Communication class which is led by Dr. Jozef M. N. Hehanussa, M.Th
[2] August Corneles Tamawiwy Karundeng is undergraduate student at the Faculty of Theology Universitas Kristen Duta Wacana.
[3] Please wake me up at 6 am.
[4] Fisher, B. Aubrey,. Teori-teori Komunikasi terj. Soejono Trimo (Bandung: CV Remadja Karya, 1986), pg. 8
[5] Hardjana, Agus, M., Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal (Yogyakarta: Kanisius, 2003), pg. 10.
[6] Groome, Thomas. H,. Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry (Eugene: Wipf and Stock Publisher, 1998), pg. 67
[7] Chandra, Robby. I., Teologi dan Komunikasi (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1996), pg. 117.
[8] Lectures on Friday, October 7th, 2011 about Isaiah 42:2-4
[9] Why do not you wake me up?
[10] We have been trying to wake you, but unfortunately, you do not wake up.
[11] For me, it seems no one wake me earlier morning?
[12] It just looks at the memo, Bro!
[13] Bro! Wake up.. Already at 6 am..

Argumen Islam untuk Sekularisme

Paper ini disajikan dalam presentasi kelompok di kelas Agama dan Masyarakat oleh: August Corneles TamawiwyKVictoria Novia Sitanggang, Lusia RahajengMike MakahenggangElisabeth Simanjuntak dan Wignyo Abadi.

Bahan bacaan:
Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. 2010. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Halaman 168-241.
Latar Belakang
Pembahasan Rachman dimulai dengan kutipan perkataan Dr. Syamsul Arifin yang menyatakan secara singkat bahwa fatwa MUI mempersempit pemaknaan sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Menurutnya, konsep sekularisme bukanlah sebuah konsep peminggiran melainkan pembagian peran di mana agama dan sekularitas memiliki wilayahnya masing-masing[1].  Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki ketakutan di mana sekularisme dianggapnya sebagai paham “anti-agama” yang menggerogoti moralitas agama. Menurut MUI, sekularisme merupakan pemisahan urusan dunia dari agama, dimana agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan antara Tuhan dengan manusia sedangkan hubungan manusia dengan manusia hanya diatur berdasarkan kesepakatan sosial saja[2]. Di dalam ini tercakup banyak pemikir-pemikir Islam progresif Indonesia yang memiliki pandangan yang berusaha menemukan kejernihan konseptual sekularisme yang menurut mereka tidak serta-merta buruk pengaruhnya bagi agama—bahkan sekularisme dianggap sebagai solusi efektif bagi perselisihan atau konflik antaragama.

Pengertian Sekularisme
Secara garis besar, sekularisme menurut kamus atau ensiklopedi adalah sebuah pernyataan dimana praktek pemerintahan atau institusi seharusnya berada secara terpisah dari agama atau kepercayaan. Hal ini merupakan sebuah pergerakan maju ke arah modernisasi dan jauh dari nilai-nilai kepercayaan atau agama. George Holyoake berpendapat bahwa sekularisme adalah sebuah sistem etika yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supranaturalisme. Di sini dapat ditemukan bahwa sebelumnya, sekularisme lebih menyentuh kepada sebuah label, dimana secara konseptual, sesuatu yang terpisah dari agama akan secara otomatis merupakan sebuah hal yang sekular tanpa melihat sedikitpun unsur yang religius di dalamnya.
Oemar Bakry dalam bukunya yang berjudul Islam Menentang Sekularisme (Jakarta: Mutiara, hal 17) berpendapat bahwa sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh organisasi agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama. Hal ini membuat Barry Kosmin membagi sekularisme menhadi dua jenis: [1] sekularisme keras yang menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara epistimologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun pengalaman. Tempat Tuhan telah digantikan oleh ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan dianggap sebagai “penyelamat” manusia. Dengan ini ada penolakan sekularisme terhadap transendensi dan menuju ke arah ateisme; [2] sekularisme lunak menganggap bahwa pencapaian kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karenanya toleransi, skeptisme yang sehat bahkan agnostisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi antara ilmu pengetahuan dan agama[3].
Pardoyo dalam bukunya Sekularisasi dalam Polemik berpendapat bahwa sekularisasi diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara dan urusan agama dimana ada pemisahan urusan duniawi dan akhirat. Sebuah kecenderungan melihat persoalan dari sudut duniawi dan kekinian dengan cara yang rasional, empiris layaknya ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi dapat dipandang sebagai pembebasan manusia dari agama dan metafisika.
Harvey Cox dalam bukunya berjudul The Secular City (New York: Collier Books. 1965, hal 15) mengemukakan tiga aspek sekularisasi: [1] disenchantment of nature (pembebasan alam dari ilusi) dimana ada pembebasan alam dari pengaruh Ilahi; [2] desacralization of politics (desakralisasi politik) sebagai penghapusan legitimasi kekuasaan dan wewenang politik dari agama; [3] deconsecration of values (pembangkangan terhadap nilai-nilai) yang berarti setiap nilai terbuka untuk perubahan yang di dalamnya manusia bebas menciptakan perubahan itu dan membenamkan dirinya dalam proses evolusi. Kelompok sekiranya setuju bahwa ini merupakan hakikat manusia sebagai mikrokosmos, dimana kebebasan dalam diri manusia menjadikannya sesuatu yang menciptakan perubahan-perubahan layaknya kebebasan alam dalam berkembang yang akhirnya disebut makrokosmos itu. Menurut kelompok, filsafat timur yang menjadi landasan pijak kontekstual bangsa Indonesia sendiri bermula dari sikap religius dalam memahami dunia bahkan dalam urusan politik. Namun ke-religius-an pemahaman timur ini tidak terlalu ditonjolkan karena secara tidak langsung memang bertransformasi ke aras sekular. Misalnya saja Pancasila sebagai dasar negara kita. Ini juga merupakan hasil dari sekularisme dimana ada unsur penerimaan kepada kepelbagaian agama namun tetap satu juga, bangsa Indonesia. Memang sedikit membingungkan ketika kita melihat sendiri pemahaman bangsa kita dengan penolakan MUI terhadap sekularisme ini.
Talcott Parson berpendapat bahwa sekularisasi seharusnya dipahami sebagai suatu tendensi yang memberikan agama suatu kedudukan yang harus ditentukan kembali (reorientasi) dalam suasana sosial—dan ini tidak harus berarti suatu eliminasi organisasi agama. Jadi ini memang sebuah peniadaan intervensi agama terhadap negara dan sebaliknya namun tidak dapat diartikan sebagai sebuah paham anti-agama.
Pemahaman tentang perbedaan sekularisasi dan sekularisme ini dipertajam dengan kemunculan sesuatu yang disebut para ahli sebagai sekularisasionisme; sebuah ideologi atau perangkat-perangkat ide umum, termasuk filosofis dan dimaksudkan sebagai suatu pandangan dunia dari suatu masyarakat atau negara tergantung kepada pengertian konseptual penggunaan “isme” tadi. Masyarakat dan negara terlibat aktif dalam menciptakan proses sekularisasi ini oleh karena adanya afirmasi terhadap ideologi yang diciptakannya.
Donald Eugene Smith, seorang penulis buku Religion and Political Development: an Analitical Study dan Religion, Politics, and Social Change in the Third World yang membahas tentang sekularisasi berpandangan secara lebih lebar bahwa agama pada umumnya merupakan kendala bagi modernisasi. Ketika sistem-sistem agama memiliki kompleksitasnya masing-masing, maka demikian pula kendala-kendala yang dihasilkannya. Smith menerangkan berbagai kendala yang dihadapi setiap agama diantaranya: [1] Agama Hindu dan Agama Buddha juga sulit  melahirkan ideologi tentang perubahan; Menurutnya, kedua agama ini tidak mampu menciptakan ideologi karena tidak memiliki konsep yang jelas dan oleh karenanya sangat terbuka terhadap sekularisasi dan mudah menerima sistem politik partisipatif; berbeda dengan [2] Agama Khatolik yang merupakan agama yang paling tangguh membendung sekularisasi. Dalam perkembangannya memang Khatolik terpisah sama sekali dari negara dan memiliki kecenderungan organik ke arah identifikasi diri dan masyarakat. [3] Islam sendiri senantiasa sarat dengan perkembangan ideologi yang menuntun perubahan sosial, termasuk pembangunan politik.
Sedangkan menurut analisis sosiologis Peter L. Berger sendiri melihat bahwa kekuatan sekularisasi ini akan bergantung pada kekuatan masyarakatnya dimana orang yang memiliki basis religius kuat akan sulit terkena dampak sekularisasi. Padahal menurut Berger, Protestantisme merupakan tindakan yang membuka jalan menentukan bagi sekularisasi dalam ajaran Kristen. Permasalahannya adalah kembali kepada pemahaman tetang sekularisme itu sendiri. Secara salah sering dipahami sebagai ketidakpedulian terhadap nilai-nilai transendental dan agama, padahal maksudnya ialah pembedaan persoalan-persoalan agama dengan negara untuk menghasilkan pandangan yang benar bukannya jatuh kepada sikap anti-agama. Sungguh menarik ketika M. Dawam Rahardjo mengemukakan tetang pemahaman Islam sendiri yang bersabda tentang antum a’lamu bi umuri dunyakum yang artinya bahwa “terdapat pengakuan akan adanya bidang-bidang kehidupan yang masuk wilayah pemikiran, bukan arena agama”. Oleh karena itu ketika kita membahas tetang pandangan Islam mengenai sekularisme, maka dalam pengertian inilah kita akan dibawanya; yaitu bukan diartikan sebagai penghapusan nilai-nilai keagamaan atau dalam buku Rachman disebut sebagai decline of religion.
Respons Intelektual Islam Progresif atas Fatwa MUI
KONSEP SEKULARISME
Jajat Burhanuddin mengemukakan sekularisme adalah pemisahan antara agama dan Negara dan bisa saja jika suatu saat nanti hal itu terjadi di Negara-negara Muslim.
Indonesia adalah Negara yang berpenduduk Muslim terbanyak di dunia yaitu sekitar 200 juta, uniknya para pendiri republik ini tidak memilih Islam sebagai dasar negara. Dasar pemilihan tersebut merupakan pilihan yang rasional mengingat integrasi antara agama dan negara bukanlah hal yang mudah diwujudkan. Hal ini mengandung pengertian bahwa proses sekularisasi atau sekularisme akhirnya merupakan suatu hal yang tak bisa dielakkan. Hubungan sekularistik untuk agama dan negara di Indonesia merupakan pilihan terbaik dimana agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan tindak kekerasan atas nama Tuhan dan negara tidak lagi dapat memperalat agama untuk kepentingan penguasa. Akan tetapi bagaimanakah keadaan dan penerimaan ide sekularisme tersebut di Indonesia dewasa ini?[4]
Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya sekularisme, liberalisme dan pluralisme, respons mengenai tiga tema ini menjadi sangat luas dan melibatkan banyak intelektual Muslim yang pro dan kontra. Fatwa MUI tersebut telah mengakibatkan munculnya stigma negatif kepada ketiga paham tersebut. Padahal sebelumnya kelangsungan dari ketiga paham ini dapat berjalan dengan baik lepas dari setuju atau tidak setuju dengan konsepsi ini. Setelah fatwa pengharaman ini, perbincangan terkait konsep dan ide-ide ini terus berkembang dan tidak ada habis-habisnya. Pandangan ini dinilai berbahaya oleh kalangan Islam progresif sebab fatwa MUI tersebut sangat potensial menumbuhkan otoritarianisme dalam beragama dan pimikiran beragama. Sebenarnya yang mengkhawatirkan di sini bukanlah terletak pada fatwa MUI tersebut sebab dalam negara demokrasi tidak orang atau kelompok yang melarang pihak lain untuk mengeluarkan pendapat, akan tetapi efek yang ditimbulkannya itulah yang menjadi permasalahannya.
Di tengah usaha sejumlah tokoh agama untuk mewujudkan toleransi kemajemukan, kebebasan, dan kebangsaan sebagai salah satu solusi bagi keberagaman  di Indonesia khususnya pasca reformasi dan konflik-konflik komunal, MUI hadir dengan fatwanya yang mengagetkan dan koservatif itu. Ironis pemerintah dan segenap aparaturnya yang semestinya taat  pada hukum yang menjamin perlindungan bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan malahan tunduk pada fatwa MUI ini. Padahal lembaga agama semacam MUI seharusnya tunduk pada aturan konstitusi dan tidak boleh memonopoli tafsir atas nama agama, apalagi menganggap paham yang tidak disetujui sebagai sesat.[5]
Penolakan terhadap pemikiran Islam dan sekularisasi atau sekularisme terjadi karena ada pandangan yang menghegemoni bahwa Islam merupakan ajaran suci, karena itu sekularisasi dianggap sebagai barang haram yang tidak boleh dijamah jika menginginkan agar kemurnian Islam tetap terjaga. Pada akhirnya sekularisme direspons sebagai simbol pembaratan sebab sekularisasi atau sekularisme dianggap akan “menyingkirkan” dimensi-dimensi metafisik, spiritualitas dan religiusitas yang menjadi inti ajaran Islam

SEKULARISME ADALAH LANDASAN DEMOKRASI
Landasan demokrasi di Indonesia bisa terancam oleh fatwa, kalau paham anti-sekularisme, yaitu teokrasi, atau “Negara Islam” menjadi dasar Negara Indonesia menggantikan Pancasila. Dengan kata lain haramnya sekularisme berarti berimplikasi haramnya demokrasi. Dan kalau demokrasi sudah divonis sebagai barang haram, maka kalangan Islam yang menerima, dan memperjuangkan demokrasi, dalam istilah Ahmad Sahal adalah “para pendosa”.[6] Luthfi Assyaukanie mengatakan, negara yang demokratis adalah negara yang sekular. Tidak mungkin demokrasi tumbuh dalam platform negara yang berbentuk agama atau ideologi tertentu yang anti-demokrasi. Kalau Negara-negara Muslim mengadopsi demokrasi, maka mereka juga harus mengadopsi prinsip-prinsip negara sekular. Dengan demikian, kalau Indonesia tetap menginginkan system demokrasi maka tak ada pilihan lain kecuali menjadi negara sekular.
Fatwa MUI mendefinisikan sekularisme sebagai paham yang yang menganggap agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sementara hubungan antara manusia dengan manusia tidak bisa diatur agama. Ulil Abshar-Abdalla mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) menanggapi definisi ini menurutnya, memaknai sekularisme sebagai memisahkan urusan dunia dari agama jelas salah. Definisi umum sekularisme adalah memisahkan kekuasaan kaum agama dan kekuasaan negara. Sekularisme pada dasarnya menghendaki agar negara bersikap netral dalam urusan kepercayaan penduduknya. Negara netral secara  teologis menurut Ulil adalah penerjemahan prinsip al-Qur’an la ikraha fi al-din yang berarti “tak ada paksaan dalam beragama”. Pada intinya demokrasi tidak akan mampu berdiri tegak tanpa disangga sekularisme, pluralisme dan leberalisme. Bahkan khusus sekularisme yaitu pemisahan secara relatif agama dan negara adalah salah satu fakta terpenting dalam membangun demokrasi dan civil society yang kuat.

SEKULARISME MEMBENDUNG TERJADINYA ABSOLUTISME KEAGAMAAN
Berbeda dengan pandangan sekularismenya MUI, Syafi’i Anwar memandang positif sekularisme yakni “independensi agama dari wilayah-wilayah yang diatur oleh negara”. Demikian juga Dawam Rahardjo mengkritik keras pemahaman sekularismenya MUI. Dia menganggap pemahaman tersebut keliru oleh karenanya maka menurutnya “yang sesat itu MUI karena membuat fatwa-fatwa yang tidak masuk akal”. Sekularisme tidak mesti harus anti-agama. Dawam membedakan sekularisasi adalah proses, dan sekularisme adalah pahamnya atau ideologinya. Ia beranggapan bahwa sekularisme justru sejalan dengan ajaran Islam. Sebab dalam Islam hanya mengenal kebenaran mutlak itu hanya di tangan Tuhan.[7]
Yang terpenting dari sekularisme adalah komitmen kepada orientasi hidup itu sendiri, bukan pada substansinya. “Isme” disitu berarti bahwa kita percaya dan menerapkan prinsip tersebut secara terus-menerus. Dimana semuanya bersepakat menegenai keharusan menerapkan prinsip itu. Jadi pembedaan antara sekularisasi dan sekularisme tidak ada hubungannya dengan substansinya sendiri.[8]
Djohan Effendi memperkuat pandangan Dawam dengan menekankan bahwa, sekularisasi adalah proses yang tak mungkin dihindari sebagai bagian dari proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat sedangkan sekularisme adalah paham yang berkembang sebagai respons manusia atas perkembangan kehidupan politik dalam masyarakat, khususnya dalam kaitan dengan masalah hubungan agama dan negara. Yang bersifat sosiologis dan bersifat ideologis.[9]

SEKULARISME MENYELAMATKAN AGAMA
Banyak beberapa pandangan tentang sekularisme, gagasannya untuk memisahkan antara agama dan negara. Di Awal 80-an muncul perbincangan yang berpendapat bahwa pergulatan antara kekuasaan gereja dengan kekuasaan para raja dan kaisar yang kemudian berakhir dengan kemenangan raja-raja berimplikasi pada munculnya sekularisme. Menurut pandangan Amien Rais, Dunia Islam mempunyai sejarah perkembangan politik yang berbeda dengan dunia Barat. Sehingga ia berusaha melakukan retrospeksi ideo-kultural Islam dalam rangka mengantisipasi pengaruh politik barat. Menurutnya, dalam prinsip keyakinan umat Islam, al-Qur’an tidak memisahkan kehidupan menjadi dikotomis. Uniknya, Amien menolak paham sekularisme, tetapi tidak berkeberatan dengan paham liberalisme maupun pluralisme. Namun juga mendapatkan kesulitan untuk membebaskan diri dari pengaruh pemikiran politik Barat mengenai nilai-nilai politik dan implementasi demokrasi. Pendapat ini sejalan dengan Rizal yang berpandangan sesungguhnya harapan perkembangan Islam yang modern itu tidak pada sekularisme melainkan pada demokrasi.
Selain itu ada pandangan lain juga yang berpendapat dengan sekularisasi, agama ditantang untuk mencoba memberian jawaban,tidak berpuas diri dan memaksakan doktrin-doktrin tertentu. Justru dalam negara sekular, agama ditantang untuk mengontekstualisasikan dirinya. Kebebasan beragama betul-betul dijamin di negara sekuler.
Dalam kasus Indonesia, perdebatan tentang hubungan agama dan negara merupakan persoalan yang krusial. Dominasi agama sejauh ini tidak sampai masuk pada ranah konstitusi secara total, kecuali sebagai sumber inspirasi. Hal inilah yang menjadi permasalahan diantara kelompok Islam Progresif dengan kelompok Islam Radikal. Pembahasan Sekularisme dikalangan Islam Progresif sangat tidak mudah. Namun ada juga pendapat dimana sekularisme sebenarnya tidak otomatis mengakibatkan decline of religion. Seluruh kekhawatiran terhadap sekularisme tersebut harus ditinjau ulang. Karena jika ditinjau ulang, menurut Ahmad Syafii Maarif, posisi negara tidak lain untuk menuntun warganya mencapai moralitas yang salah satunya, dan terutama bersumber dari agama. Sehingga Al-Qur’an yang dipandang sebagai landasan formal untuk mendirikan negara Islam menurut beberapa kelompok sebenarnya menjadi sebuah pedoman moral saja.  Jadi sekularisme sebetulnya niscaya tidak terkait dengan penyingkiran agama, melainkan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara agama dan negara sekaligus untuk membedakan otoritas masing-masing.

PANCASILA SEBAGAI OBJEKTIVITAS ISLAM
Ketika agama ingin masuk dalam persoalan publik, maka agama harus mengalami proses substansiasi dan rasionalisasi. Dengan kata lain harus mengalami proses sekularisasi. Artinya, agama tidak bisa datang tiba-tiba dengan kuotasi terhadap ayat-ayat bahkan sarinyapun. Ia harus ditransformasikan secara rasional ke dalam bahasa-bahasa yang terbuka dan dapat diuji lewat mahkamah rasionalitas publik. [10]
Jika berbicara tentang Pancasila maka kita harus kembali melihat apa yang dikatakan oleh para demokrat sejati bangsa kita, salah satunya adalah Mohammad Hatta. Beliau mengatakan bahwa sila “ Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Tapi bukan hanya sila pertama ini yang menjadi prinsip dari negara Indonesia tapi kelima sila yang telah disusun memiliki tujuan yang sangat penting bagi Indonesia, namun pada bagian ini yang lebih ditekankan adalah pada sila pertama karena isi sila ini banyak membahas tentang keagamaan dan kepercayaan seseorang. Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan mayoritas penganut agama Islam, sehingga dapat dilihat bahwa segala aturan-aturan yang dibuat sangat terlihat ke-islam-annya, namun tidak berarti negara ini mengharuskan semua masyarakatnya harus semuanya beragama Islam, tapi Pancasila menjadi dasar negara dan sekaligus sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Nilai-nilai Islam yang universal yaitu, Islam sebagai agama yang rahmat-an li al-alamin dan jika diwujudkan kedalam sistem kenegaraan atau menjadi konstitusi negara Islam akan berimplikasi mereduksi nilai-nilai tersebut.[11] Dengan menyerukan sekularisasi, semangatnya justru dekat dengan agama, artinya ada pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan politik, tapi kekuasaan moral agama bisa mengontrol kekuasaan politik.[12]

SEKULARISME BUKAN MEMINGGIRKAN AGAMA TETAPI PEMBAGIAN PERAN
Dalam sekularisme, eksistensi agama tidak dipinggirkan. Karena bagaimanapun agama merupakan kebutuhan yang paling fundamental dalam diri manusia. Menurut Saiful Mujani, jika sebuah kebijakan dibuat dengan pertimbangan agama tertentu, kebijakan tersebut bukanlah kebijakan rasional. Karena sebuah kebijakan yang berlaku publik, kalau didasarkan pada agama tertentu, akan menimbulkan persoalan terhadap pemeluk agama lain. Menurutnya, urgensi agama dalam hubungannya dengan demokrasi akan tampak bila agama diterjemahkan dalam kelompok-kelompok sosial, membentuk kekuatan kolektif, dan membentuk jejaring sosial. Jadi agama tidak dipahami sebagai kekuatan individual, melainkan sebagai kekuatan kolektif yang terlihat dalam ekspresi publiknya. Sekularisasi sendiri diartikan sebagai upaya mencegah formalisasi agama diwilayah publik. Bagaimanapun semangat memisahkan agama dengan negara dalam Islam tidak dapat dihindari. Karena agama tidak dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia. Ada banyak faktor-faktor yang berkembang seiring dengan modernitas.
            Dengan demikian, menurut kalangan Islam progresif, sekularisasi atau sekularisme lebih langsung, tidak berarti dengan sendirinya ateisme, atau anti-agama. Banyak sekularis adalah seseorang yang religius, yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularisme adalah suatu paham yang sebetulnya bukan anti-agama. Sekularisme dijalankan bukan dengan melarang agama diruang publik, tetapi membiarkannya tetap ada, seraya menghormati agama lain ditempat yang sama. Pada prinsipnya, jangan ada monopoli satu agama tertentu. Bahkan, dalam pandangannya, seringkali orang yang sekular justru sangat agamis dalam wilayah privatnya. Tetapi ketika di dalam wilayah publik mereka percaya bahwa negara dan agama mesti dipisahkan. Kesimpulan yang didapat adalah, sekularisme tidak berarti peminggiran agama Islam dari kehidupan publik, atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat. Keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam, sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariat sebagai kebijakan publik, dan menetapkannya menjadi undang-undang atau peraturan melalui suatu pemikiran umum. Tetapi hal itu dilakukan dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik Muslim dan non-Muslim.
            Seorang guru besar yaitu Abdul Munir Mulkhan membagikan sekularisme dalam dua aspek yaitu: [1] teoritis; dan [2] fakta dilapangan. Secara teoritis sebenarnya sekularisme bukanlah teori yang menolak agama. Tetapi persoalan-persoalan aagama itu perlu dipisahkan dengan agama dengan negara merupakan pandangan yang benar. Tapi bukan berarti ia menjadi anti-agama. Faktanya bisa kita lihat inkonsistensi di Indonesia atau di negara-negara Muslim lainnya. Mereka menolak sekularisme secara normatif, tetapi pada praktiknya dilapangan mereka membedakan antara urusan agama dan urusan dunia. Justru di negara sekularlah agama bisa tumbuh subur secara bebas karena negara melindungi agama-agama tanpa bermaksud mengintervensinya. Oleh karena itu, yang harus diperjuangkan adalah sekularisme yang bisa berdampingan dengan agama.[13]
Dapat kita melihat satu contoh jika negara hidup tanpa agama atau juga sebaliknya, yaitu tentang cara bepakaian bagi wanita. Jika pengaturan ini dilakukan oleh negara maka akan mengancam kebebasan berekspresi perempuan, namun juga akan berbahaya apabila agama sendiri yang harus mengatur peraturan itu maka wanita akan ditekan dalam berekspresi berpakaian. Untuk itulah sangat dibutuhkan suatu kerja sama agar masyarakat yang menjalankan peraturan itu merasa nyaman dan memiliki kebebasan tapi juga bertanggung jawab. Karena inilah yang membuat sekularisme itu muncul, karena maksud dari sekularisme adalah sebuah paham dan gerakan yang ingin membongkar suatu bentuk absolutisme keagamaan.
            Dengan demikian definisi sekularisme dalam konteks Indonesia yang tepat sebagaimana dilakatakan oleh Syafi’i Anwar adalah “independensi agama dari wilayah-wilayah yang diatur oleh agama”. Definisi seperti ini, meletakan sekularisme secara moderat atau bakan progresif, dan sepatutnya ditransfer ke dalam konteks Indonesia.

SEKULARISME BERSAHABAT DENGAN AGAMA
Berdasarkan wawancara dengan Azyumardi Asra seorang intelektual muslim oktober 2006 yang lalu terdapat kesimpulan bahwa penerapan sekularisme disejumlah negara terbagi menjadi dua bagian, yakni sekularisme yang friendly memberikan agama tempat atau bagian yang pantas untuk agama. Artinya, hal-hal yang kurang pantas diurus oleh agama tidak boleh diurus oleh agama. Salah satu contoh yang bisa ditiru oleh bangsa kita adalah sekularisme yang ada di negara Amerika Serikat yang memisahkan antara urusan politik atau urusan publik dengan urusan agama, tanpa memusuhi atau menghilangkan agama. Misalnya, di negara Amerika Serikat membebaskan umat muslim disana untuk memakai jilbab tanpa larangan, karena hal itu dianggap sebagai urusan pribadi dan bukan urusan agama yang mengaturnya. Yang kedua menurut Azyumardi adalah unfriendly secularism yaitu sekularisme yang bermusuhan terhadap agama. Salah satu contoh yang dipakai oleh Azyumardi adalah negara Turki, karena disana terdapat campur tangan negara yang sangat dalam terhadap agama. Bila dalam satu pihak agama dilarang masuk ke dalam wilayah politik, tetapi pada saat yang sama negara misalnya mengganti Adzan bahasa arab menjadi bahasa Turki. Padahal, sebenarnya hal itu merupakan urusan agama bukan urusan negara. Dalam hal ini Azyumardi juga menegaskan suatu kesimpulan yang disetujui pula oleh kalangan islam progresif bahwa tidaklah bijak mencangkok sekularisme yang mengabaikan akar budaya masyarakat Indonesia. Sebaliknya yang hendaknya didorong adalah membumikan sekularisme dengan menyesuaikan karakter ke-indonesia-an.

AGAMA SEBAGAI SUMBER MORAL NEGARA
Terdapat kesalahpahaman pengertian jika sekularisme dianggap mengesampingkan atau bahkan menghilangkan identitas keberagaman. Justru sebaliknya, sekularisme dapat menjunjung dan memuliakan agama, dengan cara memisahkan agama yang sakral dari ruang negara yang profan. Misalnya, perda yang melarang perjudian tidak perlu dikatakan dalam perda syariat. Di sinilah salah satu arti penting dari sekularisasi. Masdar E. Mas’udi yang mengatakan bahwa masing-masing agama mempunyai nilai-nilai universal yang bisa diinternalisasikan menjadi jiwa negara modern. Misalnya, sebutlah Kristen. Kristen mempunyai nilai-nilai Kasih kepada yang lemah. Ini telah menunjukkan kekristenan ada nilai universal. Begitu pula dalam setiap agama dengan konteks di Indonesia yang plural, sekularisme menjadi sangat penting, karena meskipun kita tetap menggunakan agama sebagai sebuah nilai dan pijakan, kita harus menghindari pelembagaan agama supaya agama tidak dijadikan sebagai alat kepentingan kekuasaan supaya tercapailah agama sebagai sesuatu yang luhur yaitu sebagai kekuatan moral untuk mencapai perubahan. Di sisi lain terdapat hal yang kurang begitu bisa dipahami ketika posisi agama dapat membajak nilai-nilai moralitas yang ada pada suatu lingkungan masyarakat, bukan sebagai sumber moralitas namun sebagai sumber moralitas. Contoh Ahmadiyah, sudah pasti dalam tindakannya pernah menyengsarakan umat yang lain dengan memukuli orang, membakar masjid orang, menurut rasionalitas kita hal itu sangat meresahkan namun disisi lain hal itu diperbolehkan dalam syariat keagamaan mereka. Itulah yang disebut sebagai agama penghancur moralitas.

POIN-POIN MENGENAI KOMPLEKSITAS PENGERTIAN SEKULARISME
Setelah membahas mengenai Sekularisme dalam Islam dengan konteks masalah hubungan Islam dan negara, penjernihan istilah sekularisme dan kompleksitasnya, debat sekularisasi dan sekularisme di Indonesia, respons intelektual Islam Progresif Indonesia atas Fatwa MUI tentang sekularisme, serta reaksi kalangan Islam Radikal tentang masalah agama dan negara, sampailah pada bagian penutup yang merupakan rangkuman atas poin-poin yang sudah dipaparkan di muka. Berikut adalah poin-poin mengenai pengertian sekularisme:

1.      Sekularisme adalah paham tentang pemisahan agama dan politik. Namun demikian, sekularisme tidak anti terhadap agama.
Secara konseptual, sekularisme merupakan paham mengenai pemisahan antara agama dengan politik. Dengan pengertian seperti itu, maka agama merupakan urusan pribadi dan bukan merupakan urusan politik. Sekularisme dapat kita pahami juga sebagai pemisahan antara agama dengan negara dimana tujuannya adalah untuk meniadakan intervensi agama terhadap negara dan sebaliknya intervensi negara terhadap agama. Sangatlah ekstrim apabila kita memandang sekularisme sebagai paham antiagama.
Sekularisme sebetulnya bukan antiagama, namun sekularisme hanya digagas untuk memisahkan antara agama dengan negara. Jadi, sekularisme bukanlah merupakan konsep yang anti-agama. Yang menarik adalah apabila kita pahami dengan lebih sungguh, justru dinegara sekularlah orang dapat bebas beragama, bahkan dapat dikatakan orang menjadi lebih beriman di negara sekuler. Dan di negara sekulerlah kebebasan beragama benar-benar dijamin oleh negara sekuler.
Sekularisme merupakan produk historis, maka dari itu sangatlah diperlukan untuk selalu dilihat konteks perkembangannya. Pemisahan antara agama dari kehidupan publik adalah sesuatu yang menjadi kecenderungan sejarah. Sekularisme tidak membenci agama, akan tetapi memberikan agama tempat ayau bagian yang pantas untuk agama. Hal-hal yang tidak pantas untuk agama tidak boleh diurus oleh agama.

2.      Sekularisasi lebih menekankan proses, sementara sekularisme adalah pahamnya
Sekularisasi
Sekularisme
Lebih menekankan proses. Proses yang merupakan perkembangan masyarakat.
Paham atau ideologinya yang menyangkut pada prinsip untuk setuju dengan proses tersebut.
Proses yang tidak terhindarkan sebagai bagian dari proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat.
Paham yang berkembang sebagai respons manusia atas perkembangan kehidupan politik dalam masyarakat.
Mengacu pada proses sosiologis yang berkaitan dengan modernisasi.
Suatu ideologi yang berkembang sebagai akibat dari sekularisasi.
Proses natural dan sosiologis dalam masyarakat, dijelaskan asal-usulnya, kecenderungan perkembangannya dan sifat-sifatnya.
Usaha konsepsional dalam menjelaskan dan memberi uraian sistematis terhadap proses sekularisasi.
Merupakan isu yang lunak.
Dicapai melalui perubahan sosial yang radikal dan disponsori oleh pemerintah.

3.      Sekularisme mendorong agama semakin rasional
Sekularisme dan sekularisasi sangat diperlukan karenanya pemahaman mengenai agama akan semakin rasional, yang ujungnya akan menciptakan keseimbangan antara iman dan ilmu pengetahuan.
Sekularisme dipahami dalam konteks sosiologis berarti suatu paham yang mendorong bahwa kehidupan bernegara dan ranah politiknya hendaknya didekati secara rasional dengan teori-teori politik modern yang mana agama berada pada tataran moral.


4.      Sekularisme mendorong tegaknya demokrasi
Tanpa sekularisme prinsip-prinsip demokrasi tidak akan mungkin diwujudkan secara penuh. Landasan demokrasi adalah negara yang sekuler, negara yang demokrasi adalah negara yang sekular.
Sekularisme merupakan satu sistem dimana kelembagaan dimungkinkan terjadi diferensiasi atau pembedaan-pembedaan di segala bidang. Wilayah agama adalah wilayah ritual dan makna hidup, maka agama seharusnya di wilayah itu saja. Itulah sekularisme liberal, yang intinya adalah demokrasi.
Jika Indonesia menginginkan menjadi negara yang menganut sistem demokrasi, maka tidak ada pilihan lain, bahwa Indonesia menjadi negara sekular.

5.      Negara Madaniah bukanlah model Negara Islam, tetapi sebuah model negara sekuler. Sekularisme tidak bertentangan dengan nila-nilai Islam.
Negara Madaniah merupakan negara yang sekular. Negara yang memisahkan antara agama, urusan agama yang dianut oleh masyarakatnya dengan aturan bersama. Islam mengalami proses sekularisme pada masa Nabi. Agama-agama di Arab sebelum Islam lebih bersifat mistis daripada rasional.
Tidak ada salahnya apabila negara-negara muslim menjadikan sekularisme sebagai upaya untuk keluar dari determinasi sejarah yang destruktif dan penuh konflik atas nama agama. Kebesaran agama terletak pada agama itu sendiri, bukan karena kekuatannya dalam mengatur negara.


[1] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. 2010. (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat) Hal. 168
[2] Ibid. di dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme, tertanggal 29 Juli 2005.
[3] Op. Cit, hal 171. Lihat Barry A. Kosmin, “Contemporary Secularity and Secularism”, dalam Barry A. Kosmin dan Ariela Keysar (ed.) Secularism & Secularity: Contemporary International Perspectives (Hartford, CT: Institute for the Study of Secularism in Society and Culture (ISSSC), 2007).
[4] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 185
[5] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 187
[6] Ahmad Sahal, “MUI dan Fatwa antidemokrasi”, Tempo, edisi. 25/XXXIV/15-21 Agustus 2005. Dalam, Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 188-189
[7] Wawancara dengan Musdah Mulia, Oktober 2006. Dalam, Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 193
[8] Wawancara dengan Ihsan Ali-Fauzi, 12 Mei 2007. Dalam Budhy Munawar-Rachman P. 196
[9] Wawancara dengan Djohan Effendi, 4 Juni 2007. Dalam Budhy Munawar-Rachman p. 197
[10] Hal 209. Wawancara dengan Yudif Latif, jakarta, 31 januari 2008
[11] Hal 212. Wawancara dengan Maria Ulfah Anshari, 14 juni 2007
[12] Hal 212. Wawancara dengan Said Aqiel Siradj, oktober 2006
[13] Hal 216. Wawancara dengan Zainun Kamal, september 2006