Jumat, 23 Desember 2011

Sepasang Sayap Demi Menggugat Pelanggaran HAM dan Tindak Kekerasan di Indonesia: Perpaduan Teori nir-Kekerasan ala Rene Girard dengan Hermeneutika Korban ala Mutiara Andalas

Oleh:


Pendahuluan: Apa itu Kekerasan?
Kisah ini bermula dari dua anak manusia pertama yaitu Kain dan Habel. Kain, sang petani. Habel, sang penggembala domba. Mereka sama-sama mempersembahkan hasil kerja mereka kepada Tuhan. Kain mempersembahkan sebagian hasil tanahnya sebagai korban persembahan sedangkan Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya. Tuhan mengindahkan korban persembahan Habel, tetapi menolak korban persembahan Kain. Karena hal tersebut, Kain membunuh Habel. Tuhan marah dan mengutuk Kain. Kain menjadi pengembara dan pelarian di Bumi. Namun Kain khawatir, barangsiapa yang akan bertemu dengan dia, mereka akan membunuhnya. Tuhan berjanji, hal itu tidak akan terjadi. Sabda Tuhan, “Barangsiapa yang akan membunuh Kain akan dibalaskannya tujuh kali lipat”. Kain diberi tanda oleh Tuhan supaya ia tidak dibunuh oleh siapapun yang bertemu dengannya (Kejadian 4:1-16).
Kekerasan. Itulah yang hendak diberitakan oleh kisah Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama di atas. Kekerasan merupakan bayang-bayang yang seringkali menaungi manusia. Kekerasan memang sangat kompleks dan memiliki kecenderungan multiplikatif karena manusia merupakan mahkluk yang kompleks. Dari catatan sejarah masa lalu hingga saat ini, seringkali kita temukan bahwa kekerasan muncul sebagai pemeran utama. Kekerasan tidak hanya melibatkan tindakan individual, namun dapat pula tertanam dalam struktur sosial, politik dan ekonomi, yang secara sistematik mensubordinasikan sebagian orang terhadap yang lain. Bahkan kekerasan pun seringkali muncul sebagai antidote bagi kekerasan itu sendiri dan menjadikannya suatu lingkaran setan. Jacques Ellul melihat kekerasan yang demikian sangat berkaitan dengan pembalasan yang berkesinambungan:
Kita hendaknya sungguh-sungguh menyadari bahwa kekerasan yang satu melahirkan kekerasan yang lain. Mungkin ada yang bertanya, “Siapa yang memulai ini?”, sebetulnya pertanyaan ini adalah pertanyaan yang salah. Sejak zaman Kain, tidak ada awal dari kekerasan, yang ada adalah proses pembalasan yang terus berkesinambungan.[1]
Seperti halnya orang Kristen yang seringkali dengan antusiasme yang tinggi meyakini bahwa sejarah kehidupan manusia, khususnya dalam hal kekerasan ini, diawali oleh sebuah “dosa awali” pembunuhan Kain terhadap Habel. Manusia jatuh dalam kekerasan karena hakekat manusia merupakan makhluk yang penuh dosa. Manusia yang penuh dosa ini merupakan hasil dari “dosa awali” karena “apa yang awali” itu nampaknya meninggalkan kesan yang demikian mendalam. Namun apa itu kekerasan?
Kekerasan dalam tulisan ini menurut kami dapat didefinisikan sebagai “usaha manusia atau kelompok individu untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain melalui cara-cara verbal atau fisik maupun non-verbal sehingga menimbulkan luka secara fisik dan psikologis, bahkan kematian”. Kekerasan bukanlah hal yang naluriah, melainkan tindakan-tindakan yang disengaja! Kitab Suci dan sejarah bahkan menulis kekerasan serta berdiri sebagai simbol-simbol religius yang memainkan peran potensial dalam mendukung kekerasan dan pengorbanan berdarah di dunia.
James Gilligan, seorang psikiater yang telah melakukan karya ekstensif mengenai tindak kekerasan berpendapat bahwa dibalik tindak kekerasan mutilasi irasional yang nampak, ada rasa malu yang logis serta dorongan untuk mengeliminasi sumber-sumber rasa malu tersebut. Seorang pembunuh seringkali membayangkan: “Jika aku membunuh orang ini dengan cara seperti ini, aku akan membunuh rasa maluku.”[2] Di sini Gilligan telah menemukan fenomena yang sama untuk melarikan diri dari rasa malu di balik pembunuhan Habel oleh Kain di atas. Tidak sedikit Perjanjian Lama melukiskan kisah yang pro-kekerasan, bahkan Allah sendiri yang menghendaki hal tersebut.
Namun lebih jauh dari itu, Perjanjian Lama nampaknya menunjukkan dualisme dalam pemahaman kekerasan dan korban ini. Setelah pembunuhan Habel, Allah malahan mendengarkan keluhan-keluhan Kain. Allah bahkan membela si pembunuh pertama dengan bersabda kepadanya: “Barangsiapa yang akan membunuh Kain akan dibalaskannya tujuh kali lipat.” (Kejadian 4:15). Mengapa demikian? Nampaknya Perjanjian Lama berusaha membuka kedok kekerasan dengan mencegah terjadinya kekerasan selanjutnya. Setelah pembunuhan pertama tersebut, tentu harus dimaklumkan adanya hukum yang melawan pembunuhan sehingga pembunuhan ini tidak berkelanjutan. Allah menentang pembunuhan yang diancam oleh pembalasan dendam pembunuhan. Maka jelas dilihat bahwa di dalam kisah pembunuhan Habel dapat disadari adanya pembunuhan awali dan dasariah. Awali maksudnya adalah sebagai pembunuhan pertama, sedangkan dasariah maksudnya adalah pembunuhan pertama ini menjadi yang menjadi dasar dan penentuan akan terbentuknya suatu mekanisme kekerasan yang berkelanjutan.
Negara seringkali melakukan dan menghalalkan pelanggaran HAM berat oleh rezim penguasa yang merupakan kekerasan terhadap rakyat sendiri. Ungkapan democide menurut kami merupakan ungkapan yang cocok untuk tindakan ini. Democide merupakan sebuah istilah untuk menyebut kejahatan pelanggaran HAM berat oleh rezim penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Istilah ini diciptakan oleh Prof. R. J. Rummel.[3] Istilah ini mirip dengan genocide seperti holocaust pada era Nazi terhadap Yahudi Jerman. Rasisme terhadap minoritas dan naluri predator rezim penguasa telah menjadi pemangsa yang ganas terhadap sesama bangsa yang memiliki perbedaan ras, etnis, suku dan agama. Democide dilakukan dan dihalalkan di dalam kedok “demi keamanan Negara”, “mengganggu ketentraman publik” dan sebagainya. Betapa menyedihkannya ketika kita menyadari bahwa para pelanggar HAM seringkali tidak tersentuh oleh hukum. Khususnya di Indonesia.
Di sisi lain, sikap masyarakat beragama di Indonesia cenderung jatuh kepada pertanyaan-pertanyaan Theodise ketika diperhadapkan dengan ketidakadilan dan berbagai bencana. Di dalam wacana teologi, manusia beriman mencoba menghayati, memaknai, memahami bahkan mencitrakan Hyang Ilahi dalam hubungannya dengan realitas hidup manusia. Maka seringkali pertanyaan yang muncul ketika realitas manusia mendapat tekanan adalah “mengapa?”. Simpul refleksi mengenai Hyang Ilahi dalam terang ini, cenderung “menyalahkan” Tuhan. Menurut Daniel K. Listijabudi, Theodise sendiri merupakan wacana tentang keadilan Allah dalam misteri hidup manusia yang umumnya diwakili oleh ekspresi klasik dari Boethius, yakni Si Deus Justus-unde malum? (yang berarti: Apabila Tuhan itu adil, mengapa ada kejahatan?).[4] Menurut kami, tindakan seperti ini membuat orang-orang berputus asa melihat kenyataan dan mulai menyalahkan Tuhan. Tuhan adalah Allah yang melampaui segala rezim dan kemampuan manusia. Segala krisis yang terjadi di bangsa kita adalah akibat dari rusaknya moral rezim pemimpin bangsa. Indonesia dengan segala tindakan pelanggaran HAM, impunitas dan politik amnesia sebagai Negara kriminal, perlu melakukan pertobatan politik.
***
Tragedi Kekerasan dan Kambing Hitam Etnis Tionghoa: Sebuah Kilas Balik Singkat Masa Lalu Tentang Tragedi 1998 di Jakarta dan Yogyakarta[5]
Tragedi Mei-Semanggi-Gejayan 1998 di Jakarta dan Yogyakarta yaitu Tragedi Trisakti, Tragedi Mei, Tragedi Semanggi I, Tragedi Semanggi II dan Tragedi Gejayan merupakan periode kritis dalam kancah pemerintahan dan rakyat Indonesia. Tragedi Trisakti yang terjadi di Jakarta, selain dipicu oleh Krisis Finansial Asia juga dipicu oleh aksi penembakan 4 mahasiswa Trisakti yang sedang melakukan demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 yang menuntut Soeharto untuk turun dari jabatannya. Aksi ini dimulai dengan aksi damai dan melakukan long march (turun ke jalan) untuk menyampaikan aspirasinya kepada wakil DPR/MPR saat itu. Namun keadaan memanas ketika ada oknum yang melakukan provokasi massa untuk melakukan tindakan penyerangan terhadap aparat yang mengamankan. Walaupun berhasil dicegah, aparat tetap melakukan tembakan gas air mata, peluru karet bahkan peluru tajam langsung ke arah kerumunan mahasiswa. Dampaknya, empat orang mahasiswa meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka.
Tragedi Mei yang dipicu oleh tragedi Trisakti berujung kepada penjarahan massa dan kerusuhan. Rakyat merasa krisis moneter terjadi akibat orang-orang Tionghoa sehingga massa secara brutal melakukan tindak pelecehan dan kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa. Mereka dijarah, dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh. Tragedi Mei meledak setelah provokator menggiring massa memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memprovokasi dengan stigma warga Indonesia etnis Tionghoa sebagai penyebab krisis yang terjadi. Menurut Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) tahun 1998, aksi tersebut dinilai sebagai aksi yang diorganisir karena waktu kejadian hampir serentak padahal terjadi di berbagai wilayah. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998 menduga bahwa aksi penjarahan ini dipicu oleh angkatan militer berseragam SMA yang datang ke lokasi penjarahan dan melakukan aksi provokasi dengan meneriakkan anti-Cina[6] dan membakar toko-toko serta memprovokasi warga untuk ikut serta merusak dan menjarah. Akibatnya, kekerasan rasial terjadi kepada peranakan Tionghoa[7]. Dalam laporannya, TRK juga mengungkapkan ada 1.190 korban meninggal karena luka bakar dan 27 korban meninggal karena senjata atau lain, serta 91 orang luka-luka dan 31 orang dinyatakan diculik atau hilang. Tragedi Mei melahirkan suatu paranoia sosial, yang membuat ribuan warga Indonesia etnis Tionghoa mengambil keputusan sulit untuk meninggalkan Indonesia.
Tragedi Semanggi merujuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang juga mengakibatkan tewasnya warga sipil. Dua kejadian ini dikenal dengan sebutan tragedi Semanggi I yang terjadi pada 11-13 November 1998 ketika demonstrasi pada masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil dan tragedi Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa. Mahasiswa di Jakarta dan Yogyakarta bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan menunjukkan ketidakpercayaan mereka dengan para anggota DPR/MPR masa Orde Baru. Mereka menuntut penyingkiran militer dari kekuasaan politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang di masa Orde Baru. Ketika itu berlangsung, masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari untuk melakukan long march di kota Jakarta, Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Penembakan di Semanggi terjadi secara membabi buta dan terjadi ketika mereka berusaha mempertahankan barisan long march yang dilarang aparat saat mereka sedang berdemonstrasi.
Tragedi kekerasan ini juga terjadi di Yogyakarta dan dikenal dengan sebutan Tragedi Gejayan. Ketika itu para mahasiswa juga mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap pemerintahan Orde Baru dengan cara berkumpul bersama dan melakukan long march. Usaha ini dicegah aparat yang berujung kepada pemaksaan melalui tindak kekerasan. Bukan hanya mahasiswa yang menjadi korban, namun pedagang kaki lima dan warga sipil lainnya. Tragedi ini menewaskan seorang mahasiswa Universitas Muhammadyah Yogyakarta.
Tragedi 1998 merupakan hal yang tidak asing bagi setiap warga negara Indonesia. Massa secara simultan sepakat untuk menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasarannya. Kekerasan terhadap etnis Tionghoa jelas merupakan kekerasan yang sifatnya kolektif. Kerusuhan massa merupakan istilah yang menunjukkan betapa kolektifnya sifat kekerasan yang dimunculkan dalam tragedi ini. Krisis yang terjadi akibat krisis moneter mewabah hampir di semua institusi-institusi sosial dan melumpuhkan mereka. Kelumpuhan pada institusi sosial ini menjadikan hukum juga terlumpuhkan dan membuat tatanan hierarkis sosial berantakan. Kehancuran ini meminta korban, kelompok yang minoritas, yang bersalah ataupun dipersalahkan dan cocok dengan stigma sebagai korban. Maka secara unanim kekerasan diarahkan kepada etnis Tionghoa yang memenuhi seluruh kriteria tersebut.
Kekerasan terhadap etnis Tionghoa sering kali terjadi ketika muncul krisis sosial di Indonesia. Bahkan beberapa hari yang lalu, Neles sendiri menerima sebuah pesan broadcast dari handheld-nya yang isinya memperingatkan kepada teman-teman yang beretnis Tionghoa agar berhati-hati karena kondisi tatanan hierarkis pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang kacau dan memicu demonstrasi diberbagai daerah. Ini sangat membuktikan bahwa kambing hitam masih ada, korban yang menenangkan kekacauan sistem sosial Indonesia, etnis Tionghoa! Inilah situasi kultural di Indonesia. Kultur yang menyimpan stereotip korban bagi kepulihan kekacauan adalah kultur yang sangat rawan. Indonesia telah berkali-kali membuktikan hal ini. Kultur ini menyimpan irasionalitas kambing hitam yang ditentukan secara sewenang-wenang dan wabah kekerasan.
***
Politik Amnesia Sebagai Brain Wash terhadap Rakyat Versus Politik Anamnesis sebagai Antidote Politik Amnesia
Penyebab peristiwa 1998 tersebut sebenarnya memiliki versinya yang berbeda-beda tergantung dilihat dari perspektif siapa. Jika dilihat dari perspektif korban, peristiwa ini terjadi akibat kebrutalan aparat terhadap warga sipil yang melakukan demonstrasi, khususnya terhadap mahasiswa. Walaupun keadaan ini dipicu oleh oknum-oknum tertentu—entah mahasiswa atau aparat—namun tetap saja korban tidak dapat menerima perlakuan aparat terhadap mereka. Menurut mereka, ini merupakan suatu pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat (atau sering mereka labelkan sebagai pemerintah atau “penguasa-penguasa”) terhadap mahasiswa dan warga sipil (baca: rakyat). Namun menurut mereka, permasalahan sebenarnya bukan sekedar apa yang menyebabkan peristiwa ini terjadi, melainkan apa yang terjadi setelah peristiwa ini.
Penuturan korban tentu berbeda lagi dengan keterangan (resmi) dari pemerintah. Mereka melihat tragedi ini—khususnya Tragedi Mei—sebagai kerusuhan kolektif masyarakat akibat Krisis Finansial Asia. Warga sipil yang meninggal adalah massa yang melakukan penjarahan dan dinyatakan bersalah. Pemerintah mendakwa korban yang meninggal di pusat-pusat perbelanjaan sebagai penjarah. Mereka bahkan memandang warga Indonesia etnis Tionghoa yang meninggalkan Indonesia pasca tragedi Mei 1998 sebagai pengkhianat bangsa. Pemerintah juga memutarbalikan tragedi Mei ketika mereka gagal menyembunyikan kejahatan terhadap kemanusiaan korban dengan sempurna. Pemerintah mendakwa para perempuan Indonesia etnis Tionghoa berbohong kepada publik mengenai perkosaan terhadap mereka secara massal. Pemerintah gagal membela pendapat mereka dengan meyakinkan sehingga memandang korban perkosaan massal sebagai korban tambahan akibat kerusuhan massal.
Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (setelah ini disingkat TSS) yang menyebabkan kematian dini mahasiswa dan warga sipil berujung kepada kekecewaan keluarga korban terhadap tanggapan pemerintah. Pertama, mereka mengangkat mahasiswa yang mengalami kematian dini dalam Tragedi Trisakti sebagai martir reformasi; kedua, mereka mengangkat mahasiswa yang mengalami kematian dini dalam Tragedi Semanggi sebagai demonstran yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan stabilitas politik. Mereka juga menolak dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan memandang kekerasan militer dalam tragedi-tragedi itu sebagai kesalahan menafsirkan perintah atasan. Aparat yang dinyatakan bersalah pun mengaku bahwa mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh atasan mereka. Menhankam/Pangab Jendral Wiranto, selaku panglima TNI saat itu diduga bertanggung jawab atas peristiwa Trisakti-Semanggi. Keluarga korban dirasa tidak memiliki cukup bukti untuk menuntaskan permasalahan ini. Penyelesaian akhir pada periode 1999-2005, DPR menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti-Semanggi. Hasil rapat membuahkan 3 fraski yang menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat sedangkan 7 fraksi yang menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada tragedi Trisakti-Semanggi.
Terhadap Tragedi Semanggi II ini, keluarga korban menuntut penyelesaian melalui pengadilan HAM ad hoc. Namun, untuk menuju ke penyelesaian tersebut selalu ada upaya-upaya untuk menghadangnya baik melalui tataran hukum maupun secara politis. Kasus TSS kini masih menggantung karena Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penelitian Komnas HAM yang menyatakan bahwa dalam kasus TSS terjadi pelanggaran HAM berat. Penolakan itu disertai alasan karena belum dibentuk pengadilan HAM ad hoc melalui keppres berdasarkan usulan DPR. Sementara itu DPR tidak mau mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc kepada presiden karena telah ada rekomendasi DPR berupa laporan akhir Pansus DPR yang menyatakan bahwa peristiwa TSS bukan pelanggaran HAM berat. Akhirnya Komisi III DPR merekomendasikan agar kasus TSS dibuka kembali, tetapi lagi-lagi kandas setelah Bamus (Badan Musyawarah) DPR tidak mau mengagendakannya dalam rapat pimpinan DPR. Rekomendasi Komisi III DPR tersebut hanya mendapat dukungan 3 fraksi di DPR yaitu Fraksi PDIP, Fraksi PKB, dan Fraksi PAN. Sampai sekarang kasus TSS ini masih menjadi bola panas yang menggeliat di antara beberapa instansi yang mestinya berkompeten, yaitu Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Tindakan pemerintah ini dipandang sebagai suatu politik yang disebut Politik Amnesia.[8]
Oleh karena tindakan pemerintah ini, masa-masa tragedi hingga masa-masa akan peringatan tragedi menjadi masa-masa yang kritis bagi keluarga korban. Peringatan setelah tragedi merupakan sebuah upaya untuk mencegah kelupaan pada kejadian yang sering disebut amnesia sosial. Seruan resistensi terhadap negara yang menciptakan amnesia sosial dan penantian jawaban publik atas kesaksian subversif mereka dilahirkan. Peringatan bukan hanya berfungsi sebagai penolakan akan kelupaaan, tapi juga ungkapan akan sulitnya keluarga dan korban dalam menemukan kebenaran yang sesungguhnya.  Kesulitan ini membuat keluarga hanya mampu mencari kebenaran dari data resmi pemerintahan.
Terkadang banyak orang yang menganggap bahwa penyebab amnesia sosial merupakan ketidakpedulian publik dengan kejadian. Padahal korban dan keluarga juga ambil andil di dalam permasalahan ini. Hal ini dikarenakan korban dan keluarga membutuhkan waktu lama untuk diam dalam upaya pererimaan akan tragedi. Sehingga waktu ini memakan beberapa kronologi hingga kebenaran yang ada. Kebanyakan korban hidup perkosaan pun memilih tutup mulut karena budaya yang menjunjung tinggi keperawanan fisik atau kemurnian seksual menghalangi pengungkapan tragedi kekerasan seksual mereka. Publik yang apatis terhadap penderitaan korban menjadi ikut memeluk amnesia sosial. Mereka akhirnya cenderung membaca dokumen resmi mengenai hidup korban dari perspektif negara dan menerimanya sebagai kebenaran. Masyarakat secara psikologis juga menderita kebisuan ketika hendak mengangkat kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa ini karena pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan hidup berdampingan dengan korbannya.
Tidak jarang keluarga korban yang memilih menghapus kejadian tersebut. Kejadian yang telah lewat berpuluh-puluh tahun tidak pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Tragedi kemanusiaan, seperti kekerasan seksual dan kematian cenderung menghancurkan kehidupan korban dan keluarga korban. Penderitaan juga menyerakkan bahasa mereka sehingga kisah mereka berserakan, cacat dan lemah kronologi. Dalam kejadian seperti itu mereka tetap harus menghadapi realitas kehidupan sehari-hari termasuk pengucilan dan penghinaan. Kebanyakan korban dan atau keluarganya mengalami trauma yang sangat dalam. Mereka tidak dapat melupakan, bahkan terus dihantui oleh kejadian yang menimpa mereka atau anggota keluarga yang dicintai.
Politik amnesia menjadi sangat dikecam oleh korban yang menjadi sasarannya. Kebohongan institusional (intitutionalized lie), kriminalisasi korban, kekerasan militer, kriminalitas negara, impunitas, banalitas kejahatan dan dehumanisasi sejarah sepertinya sudah menjadi budaya di beberapa negara. Oleh karena itu, kami mengusulkan sebuah Politik Anamnesis dalam bingkai aktivitas korban hidup dan keluarga korban sebagai subjek politik yang memiliki kapasitas transformatif demi memproduksi dan mereproduksi sejarah ke arah re-humanisasi.[9]
Teologi kristiani sebaiknya bersemi dari kenangan subversif korban-korban kekerasan politik di Indonesia dan kenangan subversif Yesus dalam Alkitab dengan memulai refleksi teologisnya dari lokasi-lokasi korban yang mengalami pelanggaran yang tidak adil. Rezim kriminal sebagai penjahat kemanusiaan harus terungkap melalui teologi kristiani yang berada ditengah-tengah dan bersama aliansi keluarga korban. Aliansi korban juga mengundang Gereja untuk menceritakan ulang plot politik secara positif demi transformasi masyarakat dan peran politik Negara sebagai saksi penderitaan mereka. Re-interpretasi terhadap kenangan subversif Yesus diperlukan demi melihat bahwa Yesus menjadi saksi Allah kehidupan yang berpihak pada korban sejarah. Yesus berkonfrontasi dengan ilah-ilah kematian sejarah yang mengakibatkan kematian pada korbannya. Ia merealisasikan pemerintahan dengan membongkar kebohongan kekuasaan, membela kesucian hidup korban dan menciptakan masyarakat dan politik yang menjunjung tinggi perikemanusiaan.

***



Rene Girard: Agama dan Manusia yang Sarat akan Kekerasan
Rene Girard, seorang sejarawan Prancis, kritikus sastra dan antropolog memiliki pandangannya sendiri mengenai kekerasan. Idenya mengenai kekerasan begitu terasa di dalam khazanah teologi Kristiani. Menurut Girard, agama tidak lahir dari kelemahan dan ketidakberdayaan manusia terhadap alam, seperti yang dibuat oleh pemikir-pemikir lainnya. Menurutnya, agama muncul dari problem mimesis dalam kehidupan interaksi manusia dengan sesamanya. Dengan demikian, ia jatuh pada kesimpulan bahwa akar-akar semua agama, kecuali Yudaisme dan Kristen, adalah monopoli atas kekerasan. Semua agama lain menurut Girard menegakkan tatanan sosial dengan cara menyalurkan kekerasan yang kacau kepada korban-korban pengganti dengan kekerasan yang baik (good violence). Dengan ini mereka mensakralkan dan membenarkan kekerasan tersebut atas nama Allah atau dewa mereka, maka itu muncullah agama.[10]
Dengan kata lain, agama muncul akibat transendensi kekerasan di dalam kekerasan yang penyebabnya ialah manusia. Mengapa manusia? Manusia adalah makhluk yang memiliki passions (nafsu) dan oleh karenanya mudah dikuasai oleh kemarahan dan kegeraman. Ketika manusia menjadi marah, maka manusia siap untuk menjadi pembunuh yang mematikan![11] Namun permasalahannya adalah manusia juga melakukan hal itu walaupun seringkali belum mengetahui dengan pasti tujuan dari hal tersebut.
Menurut Girard, hal ini disebabkan karena ia memiliki nafsu untuk mengingini sesuatu (objek) yang ia lihat tidak ada pada dirinya sendiri (subjek) namun ada pada orang lain (mediator). Teori mengenai hal ini seringkali disebutnya sebagai teori hasrat segitiga (tringular desire) atau mimesis. Menurut Girard, mimesis ini mau tak mau menyimpan rivalitas. Mediator yang semula menjadi objek mimesis, mau tak mau akan dianggap sebagai rival yang menghalangi hasrat subjek mimesis. Oleh karena hal itulah maka konflik menjadi salah satu unsur dinamis dalam mimesis.[12] Oleh karenanya Girard menemukan bahwa mekanisme kambing hitam (scapegoat)-lah yang dapat membatasi kekerasan dengan mengalihkannya untuk menghindari kekerasan yang lebih hebat lagi.[13] Kekerasan sebagai antidote kekerasan. Hal ini terjadi akibat “dimasukkannya” transendensi ilahi ke dalam nilai-nilai manusia melalui mekanisme kambing hitam demi keluar dari khazanah kekerasan. Maka tidak menjadi sesuatu yang aneh apabila etnis Tionghoa di Indonesia dapat begitu saja dijadikan kambing hitam ketika kekacauan sosial terjadi.
Manusia purba menggunakan mekanisme seperti ini selama berulang-ulang. Pengalaman mereka akan kekerasan membuat mereka mampu belajar dari pengalaman mereka dan memahami bahwa cara yang paling efektif dalam mencegah kekerasan yang tak terkendali adalah dengan menyalurkan ketegangan kelompok pada individu-individu tertentu. Bersamaan dengan hal tersebut, “pembunuhan awali” telah menuntut adanya korban-korban berdarah—entah manusia atau hewan—sebagai kambing hitam penyelesaiannya. Bahkan hal ini diritualisasi dan disakralkan dengan melihat bahwa kambing hitam mereka adalah penyelamat bagi mereka. Proses yang begitu mendua ini melihat korban sebagai kambing hitam dan juga sebagai pembawa perdamaian. Oleh karena sakralisasi tadi, kambing hitam sering dipandang sebagai korban ilahi. Maka lewat ritus dan upacara ritualnya, agama mengulangi proses di atas setiap kali kekacauan muncul.
Dengan begitu kita akan menemukan bahwa kekerasan menurut Girard merupakan titik tolak dari semua fenomena manusia. Walaupun tidak dapat disangkali bahwa “alam pikir” Girard memang dikuasai oleh sebagian kultur manusia dan kerangka budaya yang berada di sebelah barat, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di timur pun nampaknya memiliki fenomena kekerasan yang hampir (jika tidak ingin hanya dikatakan) sama. Dan oleh karenanya, Girard jatuh kepada kesimpulan bahwa: violence is the heart and secret soul of the sacred.[14]
Lebih jauh lagi, menurut Girard, agama diperlukan demi meniadakan atau memperkecil kekerasan. Namun akibat kelepasannya dari kekerasan, agama dapat diterjang oleh kekerasan dan menjadi kekerasan itu sendiri. Ini merupakan dualisme yang lain mengenai agama. Oleh karena itu, tidak jarang agama melakukan kekerasan atas nama Tuhan dan asosiasi keagamaan mereka. Beberapa agama bahkan diam ketika kekerasan itu merajalela. Pendiaman ini merupakan bagian dari kekerasan! Girard juga menekankan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah kekerasan. Itu terjadi bukan karena agama tetapi karena krisis mimesis yang ada dalam mazbah kehidupan interaksi manusia. Kalaupun kekerasan berkaitan dengan agama, hal itu bukanlah hal yang dasariah melainkan peristiwa yang kemudian. Agama tidak instrinsik dengan kekerasan, agama justru berusaha menghilangkan kekerasan atau paling tidak mengurangi kekerasan tersebut.
***

Gereja yang Inklusif dan nir-Kekerasan: Tanggapan terhadap Rene Girard

Gereja merupakan perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini. Sebagai perpanjangan tangan Tuhan, Gereja selalu menuntut jemaatnya agar turut serta dalam menjadikan dunia ini, dunia yang nir-kekerasan. Hal ini terlihat dari kehidupan Yesus sendiri yang nir-kekerasan. Yesus membongkar mekanisme kekerasan demi dunia yang lebih baik yang nir-kekerasan. Girard yang jatuh pada kesimpulan bahwa: violence is the heart and secret soul of the sacred memberikan terang bagi kita di mana menurutnya, setiap praktik-praktik religius yang berasal dari inisiatif manusia selalu melibatkan bentuk-bentuk ‘kekerasan yang baik’ sebagai usaha untuk mengakhiri ‘kekerasan yang buruk’. Maka kekerasan (yang baik) sebagai antidote bagi kekerasan (yang buruk).

Namun hal ini yang digugat oleh Yesus dalam pewartaannya di dalam Injil Mateus. Yesus menyerukan suara kebenaran yang membongkar mekanisme kekerasan dalam kultur religius. Pembongkaran Yesus ditandai dengan kecaman Yesus terhadap ahli taurat dan orang-orang Farisi zaman Yesus hidup[15]:  34Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, 35supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. 36Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!" (Mateus 23:34-36, TB-LAI). Yesus sangat berhasil dalam menyerukan suara kebenaran ini. John Howder Yoder, seorang pecinta damai Kristiani yang terkenal menulis:

Kristus adalah agape; penyerahan diri, cinta yang pasrah… . Pada kayu Salib, kepasrahan ini termasuk penolakan penggunaan sarana-sarana politis tentang pertahanan diri, menemukan pengejawantahan tertinggi dalam kematian tanpa berkeluh kesah dan pengampunan yang tidak berdosa di tangan orang yang bersalah. Kematian ini mengungkapkan cara Tuhan menyingkapi si jahat; inilah satu-satunya titik awal yang kokoh bagi pecinta damai Kristiani atau kepasrahan. Salib adalah bukti luar biasa yang dicari agape, bukannya keefektifan juga bukan keadilan dan bersedia menderita kehilangan apa pun atau kekalahan demi ketaatan.[16]
Tidak ada cara lain bagi-Nya untuk melihat dan menyatakan kebenaran mengenai kekerasan tersebut kecuali dengan cara yang telah Ia tempuh, menjadi korban kekerasan itu sendiri: Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mateus 26:39, TB-LAI) atau pararelnya: Ya Bapaku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi (Lukas 22:42, TB-LAI).[17] Namun sebelum membongkar mekanisme ini, Yesus harus memiliki kebenaran tersebut. Kebenaran berarti berada dalam posisi sebagai oposisi dari kekerasan. Selain Yesus, tidak ada manusia yang telah berhasil membongkar mekanisme kekerasan yang terpendam ini. Oleh karena kemampuan-Nya, Girard percaya bahwa Yesus adalah Tuhan bukan karena Ia disalibkan, tapi karena Ia adalah Tuhan yang datang dari Tuhan, sejak dunia ini belum dijadikan. Hal ini terbukti karena Yesus sebagai korban dan pembongkar mekanisme kekerasan melebihi kemampuan manusia di dunia.[18]
Pemahaman Girard tentang “hanya Yesus saja” ini yang menurut kami akan membuat Gereja menjadi ekslusif. Keekslusifan ini juga muncul apabila Gereja memahami dirinya sebagai agama Kristen yang memiliki keunikan khas yang tidak dimiliki agama lain. Einmaligkeit des Christentums. Syukur kepada Allah jika saat ini Gereja telah berhasil meninggalkan paham yang seperti ini. Apalagi, Gereja Khatolik yang dahulu memiliki pemahaman yang eksklusif, sekarang telah membuka diri dan mendiskusikan dialog mengenai keselamatan yang dapat diperoleh tanpa harus melewati Yesus. Gereja memang seharusnya memiliki kekhasan seperti ini, namun jangan sampai keunikan khas ini membuat Gereja menjadi eksklusif dan mengeksploitasi siapapun. Jika hal ini terjadi, maka Gereja sendiri inilah yang sebenarnya hendak dijauhi oleh Yesus. Hal ini menjadi ironis jika Gereja sendiri sebagai perpanjangan tangan Tuhan tidak diakui bahkan dijauhi oleh Yesus karena Gereja mengidap penyakit mekanisme kekerasan.

Jika Gereja ingin tetap menjadi unik, maka Yesus-lah yang seharusnya menjadi model bagi Gereja. Kekristenan berarti hidup yang mengikuti Kristus Yesus yang di dalam hakikat-Nya adalah nir-kekerasan, walaupun menjadi korban merupakan konsekuensinya. Namun prinsip hidup di atas tidak hanya dimiliki oleh orang Kristen. Kita tahu bahwa banyak orang yang menjauhkan diri dan hidup dengan nir-kekerasan. Di dunia ini juga terdapat banyak manusia yang bersedia menjadi korban daripada membuat korban dan berkompromi dengan kekerasan. Berjumpa dengan orang-orang seperti ini, maka keeksklusifan Gereja tidak dapat lagi dipertahankan.

Penekanan penginjilan Yesus adalah cinta kasih yang nir-kekerasan. Yesus menjadi khas bukan karena kekuasan dan kehebatan-Nya melainkan karena ketidakberdayaan dan kelemahan-Nya. Yesus dinaungi oleh Wajah Allah dan hadir sebagai manusia yang penuh cinta ini dibentuk dalam dunia kekerasan! Namun dengan mengosongkan diri-Nya dari kekerasan dan menjadi korban dalam mekanisme ini, Yesus muncul tidak hanya sebagai Juruselamat manusia dari dosa, melainkan juga model mimesis bagi kehidupan manusia yang lebih baik. Mimesis rivalitas tergantikan dengan mimesis Kristus yang berpusat pada agape, kasih yang tidak egois. Perjuangan keras demi kekuasaan digantikan dengan logika yang lembut yang disadarkan pada sumber kekuasaan yang lain di dalam kasih. Implikasinya adalah bahwa Gereja harus berani hidup nir-kekerasan dan berusaha memperbaiki dunia yang dilanda kekerasan ini dengan menyuarakan suara kebenaran yang menelanjangi mekanisme kekerasan di dunia ini. Karena sikap nir-kekerasan tentu saja bukan memberikan diri sebagai Gereja yang pasif pada tindakan kekerasan. Gereja yang nir-kekerasan berarti Gereja yang mengajarkan cinta dan memberikan cinta seluruhnya kepada seluruh umat manusia. Cinta yang tidak membalaskan dendam dan kosong dari kekerasan. Cinta yang membongkar mekanisme kekerasan yang mematikan dan mewabah di dunia, khususnya Indonesia.

Tragedi Mei sendiri merupakan salah satu dari sekian banyak tindak kekerasan yang menyodorkan kambing hitam sebagai penyelesaian permasalahan dalam krisis sosial di Indonesia. Krisis ini terjadi juga karena kerapuhan kultural di Indonesia. Gereja yang ingin membongkar mekanisme kekerasan juga perlu menaruh perhatiannya terhadap kerapuhan kultural ini. Gereja yang ingin membongkar mekanisme kekerasan perlu memiliki kesadaran tentang persoalan ini. Kepekaan laiknya Yesus yang berhasil melihat jauh ke dalam kekerasan dan menemukan akarnya serta membongkar mekanismenya perlu juga dimiliki Gereja yang adalah perpanjangan tangan Tuhan. Dengan kesadaran ini, Gereja dapat menjadi teladan dalam mengelakkan diri dari kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang sekian lama telah terstigma sebagai antidote kekerasan di Indonesia. Catatan sejarah Indonesia mengenai kekerasan terhadap etnis Tionghoa bukan hanya menjadi sebuah cerita kelam pada masa lalu melainkan juga sebuah teguran persuasif yang mengajak kita untuk membangun kultur yang lebih baik, yang bebas dari segala mekanisme kekerasan dan sistem kultural yang rapuh demi masa depan yang lebih baik.

***

Mutiara Andalas: Hermeneutika Korban

Bangsa Israel dalam Alkitab membuat jurang pemisah antara mereka dengan bangsa lain demi menjaga kekudusan mereka. Identitas sebagai keturunan murni Abraham begitu mereka tinggikan. Yesus dalam Injil Lukas 10:29-37 dalam konteks perumpaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati menggugat komunitas Yahudi-Nya yang meminggirkan identitas liyan. Ia memperlihatkan orang Samaria sebagai liyan yang muncul dalam kancah kemanusiaan pada saat kritis demi menolong seorang Yahudi yang digambarkan sebagai korban kriminalitas. Dalam hal ini, Yesus menitikberatkan pelayanan-Nya dalam lingkup geografis (baca: daerah) komunitas Yahudi-Nya.
Namun dalam kisah Injil Lukas 9:51-56, Yesus juga menyebrangi lingkup geografis komunitas-komunitas lain. Ketika Yesus memasuki daerah Samaria, mereka menolak Yesus karena mereka tahu bahwa Yesus berziarah menuju lingkup geografis komunitas Yahudi. Di sana Yesus bertemu dengan seorang perempuan Yunani berkebangsaan Siro-Fenisia yang memungkinkan terjadi dialog (Matius 15:21-28; Markus 7:25-30). Pertemuan-Nya ini berawal dengan konfrontasi dan berakhir dengan komunio. Yesus sebagai seorang Yahudi memulai dialog-Nya dengan membuat jurang pemisah yang memisahkan diri-Nya dengan perempuan itu. Ia melihat komunitas Israel seperti cara bangsa Israel memandang diri mereka. Sedangkan menyebut liyan sama seperti anjing.
Pribadi berbeban ganda, itulah peran yang dimainkan oleh Perempuan Siro-Fenesia tersebut. Namun dengan stigma yang dikenakan Yesus, ia mengoreksi pandangan sempit Yesus terhadap liyan. Perempuan tersebut menggugat hak eksklusif makan pada anak-anak (yang digambarkan sebagai bangsa Yahudi) dan mengandaikan hak inklusif bagi anak-anak berbagi makan dengan anjing (yang digambarkan sebagai liyan). Ia mengandaikan Yesus untuk mempersilakan anjing memasuki rumah barunya di dalam rumah dan meninggalkan rumah lamanya di pembuangan sampah.
Keadaan para korban dan keluarga korban lain dalam peristiwa kemanusiaan Mei-Semanggi berdiri dalam derajat yang sama dengan perempuan Siro-Fenesia tadi. Mereka menggugat Gereja dengan pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan perempuan Siro-Fenesia tadi. Kehidupan korban dan keluarga korban berada dalam bahaya kematian dini jika masyarakat terus menerus melakukan de-humanisasi mereka sebagai liyan. Rezim otoriter terus menerus membusukkan identitas kita sebagai bangsa. Gereja seharusnya menyadari bahwa Allah menghendaki agar keragaman dan perbedaan identitas justru menjadi pondasi kekeluargaan dalam menjalani kehidupan bersama (communion of communities).[19]
Tragedi kemanusiaan 1998 menggugah kembali pertautan antara agama dan politik. Dalam tragedi ini Gereja dipaksa untuk menghadapi realitas penderitaan dan korban politik oleh rezim kriminal. Gereja sebagai pihak yang memeluk Allah membela dan bekerja, menyingsingkan lengan dan berdiri di samping korban untuk melawan ancaman perendahan dan pengambilan paksa kehidupan oleh rezim kriminal. Dalam tragedi kemanusiaan Semanggi, dapat disaksikan pengillahan negara dengan ideologi keamanan nasional yang mencederai dan merenggut kehidupan korban secara paksa.
Tokoh teologi politik, Johann Baptist Metz mencoba mendialogkan antara teologi dan politik, hal ini beranjak dari kecenderungan teolog yang membiarkan pengillahan politik.[20] Metz mempunyai argumen bahwa teologi Kristen hendaknya terlibat dalam membebaskan politik dari berhala totalitarianisme. Dalam bahaya totaliter yang menghancurkan kenangan penderitaan korban, teolog mengembalikan kenangan penderitaan sebagai tradisi subversif  sekaligus menjadi mitra politikus untuk menjalankan tanggung jawabnya mewujudkan emansipasi atau kebebasan. Sebaliknya politikus juga mengingatkan teolog agar sensitif dengan sentuhan penderitaan korban yang seringkali teolog kebal. Politikus yang telah menjadi mitra dari teologi menggugah teologi untuk kembali ke kehidupan yang nyata, kehidupan manusia yang menderita dan menjadi korban. “Politikus menjadi rekan bagi teolog untuk menunaikan panggilan menghadirkan penebusan manusia di dunia”.
***

Solusi Akhir: Tanggapan terhadap Mutiara Andalas

Tragedi kemanusiaan di atas absurd di mata korban hidup dan keluarga korban. Dunia seakan-akan membiarkan adanya impunitas terhadap pelaku kekerasan dan berkali-kali gagal membela hidup korbannya. Tragedi kemanusiaan terjadi karena dunia apatis terhadap kehidupan mereka yang terancam hidupnya. Tugas utama korban hidup adalah memberikan makna atas tragedi kemanusiaan yang terjadi.
Pengisahan sebagai kesaksian kemanusiaan melalui sastra tulisan seperti ini sekurang-kurangnya menekan efek kejahatan, jika tak dapat menghapus kejahatan. Tulisan mengenai kemanusiaan merupakan antitesis dari ketidakpedulian dan amnesia sosial. Negara seringkali menunjukkan kekurangseriusan bahkan ketidakseriusan dalam mengusut kejahatan terhadap kemanusiaan secara hukum. Aliansi keluarga korban pun menyadari bahwa jalan menuju keadilan bagi korban menjauh ketika hanya mereka yang memperjuangkannya.
Kita tidak dapat hidup tanpa ingatan. Kita berhadapan dengan pintu kengerian tragedi dan jendela banalitas kejahatan, namun seringkali kita takut untuk mengetuk dan masuk atau bahkan sekedar melihat ke dalamnya. Oleh karena itu, generasi muda adalah pembaca utama esai kami ini. Melalui esai ini, kami mengundang kalian lebih dekat lagi dengan aliansi korban dan keluarga korban karena mereka belum banyak mendapatkan perhatian kita. Penolakan terbesar kami adalah ikut membunuh korban tragedi kemanusiaan untuk kedua kalinya dengan melupakan mereka dari ingatan. Kematian pertama korban kemanusiaan yang terjadi karena kejahatan pelaku anonim. Kematian kedua mereka dapat terjadi karena kesalahan kita yang melupakan mereka.
Aliansi korban kekerasan negara untuk menggelar sidang bagi para pelaku kekerasan mengekspresikan tekad mereka untuk memberikan keadilan kepada korban. Aliansi korban kekerasan ini mengundang masyarakat juga untuk menyadari bahwa kejahatan kemanusiaan tidak hanya menyerang tubuh para korban melainkan juga tubuh sosial. Nilai-nilai kemanusiaan harus negara junjung setinggi-tingginya dengan mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan menolak impunitas terhadap kejahatan mereka. Pengadilan hak asasi manusia akan memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.
Jika masyarakat dan Gereja bisa mengenal, memahami dan berbela rasa dengan para korban, maka pemerintah tidak akan bisa menghapus tindakan kriminalnya begitu saja. Pada akhirnya anamnesis sosial akan membangunkan raksasa tidur yang mampu melawan kelicikan pemerintah yaitu, opini masyarakat. Selama ini, pemerintah bisa selamat dari cengkraman tangan keadilan hanya karena mereka mampu mempermainkan berita, sejarah, ingatan dan akhirnya opini masyarakat tentang kasus tersebut.
Akan sangat naif, jika kami menyarankan agar kita harus bersikap objektif, apalagi netral. Masyarakat yang selama ini menganggap dirinya mengambil sikap netral, tanpa mereka sadari telah mendukung politik amnesia dan impunitas dalam bangsa sendiri. Di dalam sejarah dan berita yang penuh dengan manipulasi (mutilated knowledge), keberpihakan adalah sesuatu yang pasti. Apakah kita memilih untuk mengikuti arus berita dan permainan isu oleh negara serta melupakan tindak pelanggaran HAM atau kita mau menempatkan diri bersama dan di samping para korban untuk memperjuangkan keadilan?
Namun kita juga harus berhati-hati karena keberpihakan pada korban harus dilakukan dengan kritis. Sindhunata, dalam bukunya “Kambing Hitam: Teori René Girard“ mengingatkan kita bahwa kita perlu menyadari adanya bahaya dalam keberpihakan ini.[21] Karena ketika kita berpihak kepada korban, maka akan ada resiko untuk tidak lagi mampu melihat secara holistik dan jatuh kepada keberpihakan yang buta. Kepedulian terhadap korban kemudian bisa saja dijadikan alasan untuk tindak kekerasan yang baru. Kejadian pembantaian anggota PKI pada tahun 1965 adalah contohnya. Masyarakat mendukung dan ikut melakukan pembantaian karena memandang TNI sebagai korban dan PKI sebagai pelaku kejahatan. Pada akhirnya keberpihakan masyarakat pada korban Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) membuahkan kekerasan yang jauh lebih kejam dan menyedihkan daripada pemicunya.
Kita perlu menyadari bahwa predikat korban adalah sesuatu yang tidak sesederhana yang kita pikirkan. Penganugrahan predikat korban kepada seseorang atau kelompok tertentu, akan menempatkan pihak oposisi mereka sebagai pelaku yang perlu dilawan dan diadili. Kita harus sadar bahwa banyak juga orang yang secara sengaja menempatkan dirinya sebagai korban dan ada juga korban yang tidak sepenuhnya berada di pihak yang benar. Banyak juga kasus yang menggelar drama kemanusiaan di mana kedua belah pihak merupakan korban. Keberpihakan harus dikritisi lebih dalam dan bukannya tanpa mengetahui akar permasalahannya.
Dalam konteks Tragedi Mei-Semanggi kami mengajak generasi muda untuk membangun bangsa kembali melalui anamnesis politik dan menunjukkan solidaritas terhadap aliansi korban-korban pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Karena pada prinsipnya, tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mendukung ketidakadilan yang terjadi di antara sesama manusia. Inilah semangat Ke-Indonesia-an kita sebagai penerus bangsa! Proficiat!
***
“Peace of heart, joy, simplicity and mercy“ (Moto Komunitas Taize)


DAFTAR PUSTAKA

Andalas, P. Mutiara, Kesucian Politik: Agama dan Masyarakat di Tengah Krisis Kemanusiaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Aukerman, Dale, Darkening Valley: A Biblical Perspective of Nuclear War, New York: The Seaubury Press, 1981.
Gilligan, James, Violence: Reflections on a National Epidemic, New York: Vintage Books, 1997.
Girard, Rene bersama Jean-Michel Oughourlian dan Guy Lefort, Things Hidden since the Foundation of the World, Stanford, California: Stanford University Press, 1987.
Girard, Rene, The Scapegoat, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986.
                     , Violence and the Sacred, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979.
Lefebure, Leo D., Revelation, The Religions and Violence. terj. Bambang Subandrijo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Listijabudi, Daniel K., Meracik Jamu Kehidupan: 12 Refleksi Kesehatan Batin, Yogyakarta: Gloria Grafa, 2008.
Schwager, Raymund, Must There be Scapegoats? Violence and Redemption in the Bible, San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1987.
Shindunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, Jakarta: Gramedia, 2007.
Yoder, John Howder, The Original Revolusion: Essays on Christian Pacifism, Scottdale: Herald Press, 1977.

SUMBER-SUMBER LAIN

Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Kerusuhan Mei 1998 dalam Perspektif: Memahami Kekerasan terhadap Perempuan dan Mencari Pemulihan Bersama, Jakarta: Kalyanamitra, 1998.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Sujud di Hadapan Korban Tragedi Jakarta Mei 1998. Laporan Investigasi dan Analisa Data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Jakarta: Divisi Data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 1998.


End notes:

[1] Jaques Ellul, Violence: Reflections from Christian perspective, 1969, 100, dikutip oleh Dale Aukerman dalam Darkening Valley: a biblical perspective of nuclear war (New York: The Seaubury Press, 1981), p. 2.
[2] James Gilligan, Violence: Reflections on a National Epidemic (New York: Vintage Books, 1997), p. 65.
[3] P. Mutiara Andalas, Kesucian Politik: Agama dan Masyarakat di Tengah Krisis Kemanusiaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), p. ix.
[4] Daniel K. Listijabudi, Meracik Jamu Kehidupan: 12 Refleksi Kesehatan Batin (Yogyakarta: Gloria Grafa, 2008), p. 19.
[5] Lih. Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Kerusuhan Mei 1998 dalam Perspektif: Memahami Kekerasan terhadap Perempuan dan Mencari Pemulihan Bersama (Jakarta: Kalyanamitra, 1998) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Sujud di Hadapan Korban Tragedi Jakarta Mei 1998. Laporan Investigasi dan Analisa Data Tim Relawan untuk Kemanusiaan (Jakarta: Divisi Data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 1998).
[6] Dalam hal ini kami menggunakan kata “Cina” sebagai konotasi negatif dan mengandung unsur perendahan bahkan penghinaan dengan metamorfosis kata “Tionghoa” menjadi “Cina”. Alternatif lain untuk menyebutkan ini secara positif, menurut Emanuel Gerrit Singgih adalah dengan menggunakan kata “China”; baca: caina
[7] Istilah “peranakan” merupakan istilah sosiologis yang menyatakan pencampuran kebangsaan akibat pernikahan dengan ras yang berbeda.
[8] P. Mutiara Andalas, Kesucian, pp. 164-169.
[9] P. Mutiara Andalas, Kesucian, p. 223-226.
[10] Rene Girard, Violence and the Sacred (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979); dan Rene Girard bersama Jean-Michel Oughourlian dan Guy Lefort, Things Hidden since the Foundation of the World (Stanford, California: Stanford University Press, 1987).
[11] Raymund Schwager, Must There be Scapegoats? Violence and Redemption in the Bible (San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1987), p. 4.
[12] Rene Girard, To Double Bussiness Bound: Essays on Literature, Mimesis and Anthropology, 1978 yang dikutip di dalam tulisan Leo D. Lefebure, Revelation, The Religions and Violence. terj. Bambang Subandrijo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), p. 27.
[13] Rene Girard, The Scapegoat (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986), p. 106.
[14] Rene Girard, Violence and the Sacred (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979), p. 31.
[15] Saya menggunakan istilah “ahli taurat dan orang Farisi zaman Yesus” agar pembaca memahami dan tidak mengeneralisasikan pemahamannya mengenai ahli taurat dan orang Farisi. Tentu saja perbedaan yang muncul akan banyak sekali jika dilihat pada zaman-zaman sebelum atau sesudahnya.
[16] John Howder Yoder, The Original Revolusion: Essays on Christian Pacifism (Scottdale: Herald Press, 1977), p. 56.
[17] Namun perlu diperhatikan kembali, bahwa keharusan kematian Yesus itu bukanlah seperti keharusan karena ketaatan Yesus kepada kekuatan transenden yang menghendaki diri-Nya menjadi korban, melainkan semata-mata karena Yesus harus mati, tidak ada pilihan lain jika tidak ingin berkompromi dengan kekerasan. Memilih cawan kehidupan bagi Yesus merupakan suatu kompromi dengan kekerasan yang ingin Ia jauhkan. Penggambaran Allah Bapa di sini perlu ditekankan karena tidak sama dengan kekuatan-kekuatan ilahi atau dewa-dewa yang menghendaki korban kambing hitam sebagai pemulihan laiknya yang dijumpai pada mitologi-mitologi purba. Kehendak Bapa merupakan kekuatan yang menetang secara radikal tindakan kekerasan demi pemulihan. Lih. Girard, Reader, p. 187.
[18] Girard, Reader, p. 271.
[19] P. Mutiara Andalas, Kesucian, pp. 202-204.
[20] P. Mutiara Andalas, Kesucian, pp. 218-220.
[21] R. Schwager, dikutip oleh Sindhunata berhasil mengemukakan bahwa dalam hal ini, setiap teologi yang memihak korban (teologi kontemporer) memiliki kelemahan. Teologi yang seperti ini cenderung untuk tidak melakukan analisis yang memadai dan menyeluruh (antropologis, kultural, sosial, agama dan teologis) namun (hanya) terarah kepada korban. Lih. Shindunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard (Jakarta: Gramedia, 2007).

Jumat, 09 Desember 2011

ibaratuna syatta wa husnuha wahid / wa kullun ila dzaka al-jamali yusiru

Pendahuluan

Pembahasan mengenai dialog agama—khususnya dalam ranah agama Kristen-Islam—merupakan hal yang sudah tidak asing lagi bagi zaman posmodern ini. Djaka Soetapa memperlihatkan bahwa agama sendiri memiliki tiga tingkatan: [1] having religion; [2] being religious; dan [3] being inter-religious. Poin ketiga merupakan harapan banyak orang dalam rangka hidup bersama di tengah dunia yang pluralistik ini. Dengan mengingat keterbatasan pembahasan saya dalam paper ini, maka saya akan membahas poin ketiga saja yang menjadi titik tolak kerangka pemikiran saya. Paper ini juga berangkat dari pertanyaan Djaka Soetapa mengenai: mungkinkah umat Kristen dapat beribadah bersama dengan umat lain? Saya mengira bahwa pertanyaan ini sangat luas karena mencakup pelbagai agama. Oleh karena itu saya mengerucutkan prasa “umat lain” dalam kerangka pandangan terhadap umat Islam, khususnya di Indonesia. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengajak pembaca untuk melihat permasalahan dan melakukan penelurusan demi sekedar mencandra titik temu agama Kristen-Islam. Lalu lebih jauh saya menggunakan metode filsafat perenial demi menjembatani gap antara Kristen dan Islam untuk saling menerima iman dan pengertian masing-masing.
***

Kesadaran akan Pluralisme: Perdebatan Sepanjang Masa

Pluralisme merupakan tantangan bagi semua agama. Hal ini yang memicu perdebatan sepanjang masa antara Kristen dengan Islam karena pendekatan ekslusif yang dilakukan oleh agama-agama ini selama ratusan tahun terakhir ini.[1] Misalnya dalam agama Kristen yang telah terlebih dahulu mempersoalkan masalah teologis tentang pluralisme pernah berpendapat bahwa banyaknya misionaris yang memadai di seluruh dunia akan menghasilkan pertobatan semua orang dan mengikuti jalan Yesus Kristus. Namun dengan lantang pernyataan ini akhir-akhir ini ditentang oleh banyak ahli, termasuk Paul F. Knitter yang berpendapat bahwa “jika kita menganggap pertobatan global sebagai tujuan ilahi misi Kristen, hasilnya akan mengecewakan”.[2]
                Menurut Knitter, tidak ada jalan satu-satunya bagi semua orang. Edward Schillebeeckx bahkan menambahkan bahwa keyakinan teguh yang terus dipegang seseorang sebagai kebenaran di mana yang lainnya salah tidak dimungkinkan lagi sekarang ini. Dalam konteks ini, kalau ada yang mengatakan bahwa cara seseorang yang merupakan satu-satunya kemungkinan yang ada untuk memahami kebenaran agama, maka ia adalah orang yang hidup di dalam zaman yang sesat.[3]
Dalam aspek kehidupan lainnya, umat Kristiani yang merupakan bagian dari masyarakat mayoritas Muslim tentu tidak hanya saling berbagi daerah untuk tinggal, mereka juga akan berbagi peran dan tempat dalam setiap aspek kehidupan di Indonesia. Oleh karena hal itu, kesadaran akan keragaman merupakan peran penting dalam melangkah ke level pembahasan yang lebih jauh. Menurut Schillebeeckx hal ini dikarenakan, keragaman (agama) bukanlah merupakan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu kekayaan yang harus diterima dan dinikmati oleh semua. “… Di dalam semua agama terdapat lebih banyak kebenaran agamis dari pada di dalam satu agama. … Ini juga terjadi di dalam agama Kristen”.[4] Bahkan ide pluralisme sendiri berangkat dari anggapan bahwa agama-agama itu tidak sama dan karena itu pluralisme diperlukan untuk menjawab realitas masyarakat Indonesia yang plural ini. Karena ada realitas yang plural dalam masyarakat Indonesia maka kita perlu bersikap pluralis, yakni menerima dan menghargai realitas yang plural.
Maka dengan ini kita dapat melihat bahwa permasalahan dalam mendialogkan agama bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini terang karena pluralisme itu tidak berarti sinkretisme di mana berusaha untuk mencampurkan agama. Justru karena pluralisme itu mengakui perbedaan, maka perbedaan itu perlu dikembangkan. Pluralisme yang menghargai identitas pribadi, bangsa, agama, budaya, tetapi identitas yang tidak eksklusif. Pandangan akan menjadi keliru apabila kita menganggap bahwa menerima pluralisme berarti melakukan sinkretisme keagamaan. Walaupun pertanyaan yang menjadi tema penulisan ini mengarah kepada hal yang saya takutkan di atas mengenai sinkretisme, namun ada baiknya jika kita tidak terlalu cepat jatuh pada kesimpulan yang keliru ini.
***
Satu Dunia namun Banyak Jalan Menuju Yang Ilahi: Tinjauan Filsafat Perenial yang Berusaha Mencerahkan Pertanyaan Djaka Soetapa
Secara etimologi, istilah filsafat perenial atau perenialisme berasal dari istilah latin, yakni: philosophia perennis yang secara harafiah berarti “filsafat yang abadi”. Filsafat perenis merupakan usaha dalam memahami agama di masa kini dan masa depan. Hal ini sudah menjadi kajian yang cukup dikenal banyak pemikir dalam ranah teologi agama-agama.[5] Dalam filsafat perenis, ketika membicarakan mengenai agama, filsafat perenis berusaha mencandranya dalam tiga aspek: pertama, bahwa sumber segala wujud Tuhan yang Mahabenar adalah Satu, sehingga semua agama yang muncul dari Yang Satu ini pada prinsipnya “sama” karena memiliki Satu sumber. Kedua, bahwa yang menjadi pembahasan filsafat perenial tentu adalah fenomena kepelbagaian agama secara kritis dan kontemplatif. Maksudnya adalah meskipun agama “yang benar” hanya satu, namun yang benar ini diturunkan kepada spektrum manusia dalam ranah historis dan sosiologis sehingga muncul dalam bentuk yang pluralistik. Jadi, kesamaan dalam beberapa aspek dapat dimungkinkan tanpa mengesampingkan kekhasan masing-masing agama. Ketiga, bahwa filsafat perenial menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas individu atau kolektif melalui ritus, simbol dan pengalaman keagamaan lainnya.
                Hakikat agama yang benar itu hanya satu. Kemunculan agama dalam ruang dan waktu yang tidak secara simultan melahirkan pluralitas dan partikularitasnya yang tak terelakkan dari realitas sejarah. Dengan kata lain, menurut Hidayat dan Nafis, pesan kebenaran yang absolut masuk ke dalam dialektika dengan sejarah.[6] Karena kekentalan nuansa spiritualitas agama-agama dalam filsafat perenis, penelurusan terhadapnya menemukan bahwa filsafat perenis muncul dari hasil telaah kritis para filosof sufi pada zamannya melalui pengalaman-pengalaman mistis seperti metafisis kesatuan atau wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang berhasil menggambarkan perjalanan spiritual demi menemukan kembali Yang Mahakudus (rediscovery of the Sacred).
                Dalam kaitan inilah Djaka Soetapa menerangkan doktrin mengenai tauhid[7] yang menurutnya bukan merupakan milik Islam saja, melainkan juga sebagai inti dari agama Kristen.[8] Dalam pengertian ini, Djaka Soetapa menerangkan islam (dengan huruf “i” kecil, dalam paper ini akan ditulis dengan huruf cetak miring) dalam pengertian generiknya, yakni “sikap pasrah penuh (kepada Tuhan)”. Maksudnya adalah untuk membedakan antara Islam sebagai sebuah institusi keagamaan dengan islam sebagai cara hidup manusia yang berkenan bagi Allah, secara universal. Hal ini senada dengan Nurcholish Madjid—seorang pemikir Islam Progresif yang mula memperkenalkan metode ini pada tahun 1990-an—bahwa islam artinya pasrah kepada Allah, sikap yang merupakan inti ajaran agama yang benar di sisi Allah yang dalam al-Qur’an disebut al-islam (Q. 3:19).
                Konsep tauhid sendiri tidak hanya terletak pada pengakuan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa melainkan lebih substansial dari itu yaitu penerimaan dan respons cinta kasih dan kehendak Tuhan yang dialamatkan kepada manusia. Secara esoteris, ide mengenai monoteisme terdapat pada setiap tradisi pemikiran agama Islam dan Kristen. Dalam sejarahnya, manusia menyebut Yang Mahamutlak ini dengan berbagai nama dan istilah padahal secara substansial kepelbagaian nama ini menunjuk kepada Yang Satu, Yang Cantik. Penyembahan kepada-Nya pun dilakukan dengan banyak cara. Dengan menggunakan pemahaman ini, maka Yang Satu adalah Yang Banyak sekaligus dapat dipandang bahwa Yang Satu dalam Yang Banyak dengan demikian Yang Banyak dalam Yang Satu. Seyyed Hossein Nasr membantu saya memahami hal ini. Ia menyebutnya dengan the One in the Many atau the Many in the One.[9] Dengan demikian maka substansi dari agama menjadi penting. Apapun nama agama dan cara menyembah Yang Cantik ini tetap memiliki satu substansi yang hierarki. Maka dengan konsep ini kita dapat memahami bahwa agama adalah “jalan” menuju Tuhan.
                Namun saya dengan terang menegaskan bahwa konsep ini bukan berarti Yang Banyak adalah Yang Absolut maka dengan serta merta banyak Yang Absolut. Ini yang seringkali dipahami sebagai pluralisme yang keliru. Padahal “banyak Yang Absolut” berarti sama dengan “tidak ada Yang Absolut”. Bukan juga berarti “harus ada” satu agama benar yang absolut kebenarannya dan superior. Mengapa harus seperti ini? Bukankah semua agama meyakini bahwa Yang Cantik itu lebih dari segala sesuatu yang bisa kita ketahui dan dipikirkan oleh manusia? Dan semua agama juga tentu tahu bahwa Yang Cantik itu tidak mungkin diketahui secara absolut? Kalau begitu berarti jika satu agama mau membuat anggapan absolut, maka ia pun harus terbuka terhadap anggapan-anggapan absolut lainnya.
                Apabila pemahaman seperti ini tidak ditekankan maka pluralisme akan menjadi niscaya karena setiap tradisi keagamaan tidak akan mampu secara epistimologi merumuskan Realitas Absolut yang disebut Tuhan, atau Allah, Yang Mutlak, Yang Absolut, Yang Banyak atau Yang Cantik yang tidak bisa dinamakan. Sebab apabila setiap agama mengaku dapat merumuskan segala-galanya tentang Tuhan, maka ia sudah menjadi Tuhan itu sendiri, bukan lagi jalan menuju Tuhan. Penekanan terhadap konsep ini harus menjadi dasar pemikiran kita untuk memulai menjawab pertanyaan Djaka Soetapa dan melangkah lebih jauh. 
                Nampaknya melalui pemahaman ini kita dapat sedikit menjawab pertanyaan Djaka Soetapa. Kemungkinan untuk beribadah dengan “umat lain” akan ada apabila pemahaman seperti ini yang menjadi pondasi pemikiran Islam-Kristen. Sikap menerima dan saling menghormati satu sama lain merupakan hal yang sangat rawan dan harus dikedepankan. Namun nampaknya permasalahan yang ada tidak sesederhana seperti yang coba saya cerahkan di atas. Masih banyak pemahaman yang dapat dijadikan wacana sebelum jauh menjawab dengan pasti pertanyaan ini. Misalnya seperti yang diangkat dan coba dicerahkan oleh Wahyu S. Wibowo bahwa permasalahan krusial Islam-Kristen terletak pada Kristologi. Seluruh dasar utama Kristologi yang diimani dalam kekristenan jelas ditolak oleh Islam. Namun dengan membuat sejajar Yesus dengan al-Qur’an sebagai Kalam Allah (Word of God), maka pertentangan ini setidaknya dapat paling tidak ditanggapi secara kritis demi re-interpretasi terhadap Kristologi dan pemahaman Islam yang menentang Kristologi.[10] Lalu apa yang perlu dilakukan secara konkret kepada manusia agama Kristen-Islam demi berjalan menuju cita-cita untuk beribadah bersama saat ini?
***
Bridging not Bounding? Sebuah Kesimpulan dan Jawaban Akhir pada Pertanyaan Djaka Soetapa
Pendidikan mengenai pluralisme merupakan pendidikan yang sedang gencar-gencarnya diberikan di berbagai fakultas khususnya filsafat dan teologi agama-agama. Baik Kristen maupun Islam, pendidikan mengenai pluralisme menjadi penting akibat kesadaran akan konteks pluralis secara khusus di Indonesia. Secara konkret, pendidikan pluralisme yang mulai digagas dan digiatkan diharapkan dapat menelusup kepada seluruh manusia di Indonesia. Bagi beberapa ahli teologi-teologi agama—secara khusus agama Islam—pengajaran kepada pluralisme kepada masyarakat banyak berarti menciptakan sebanyak mungkin kegiatan-kegiatan yang bersifat bridging, yaitu kegiatan-kegiatan yang membawa mereka pada kehidupan berdampingan dengan kelompok lain, baik agama, etnis, maupun budaya dan sebagainya, bukan bounding yang hanya melibatkan unsur dari agama tertentu. Semakin manusia Indonesia terbiasa dengan keragaman maka akan semakin kuat pula pluralisme dalam masyarakat.
                Semua agama tentu berbeda. Tidak ada agama yang sama. Berbeda dalam pemahaman, doktrin, institusi, umat, hari besar, Kitab Suci, ruang, tempat dan waktu bahkan liturgi dalam beribadah yang dianggap suci oleh para pengikutnya dan begitu seterusnya. Namun di dalam perbedaan ini terdapat common pattern yang tidak terekspresikan keluar. Berbagai macam unsur sering ter-(bahkan di-)lupakan misalnya humanitas atau kemanusiaannya. Dengan menyadari akan hal ini, sudah barang tentu ini merupakan dasar dari pluralisme yang mendorong dialog antaragama dan antariman. Dialog yang sejati adalah dialog yang harus berangkat dari ketulusan hati masing-masing pemeluk agama bahwa kita mengakui adanya keterbatasan tetapi sekaligus juga mempunyai pelbagai kelebihan untuk saling berbagi.
Ada seekor sapi merumput di kehijauan
Di atas punggungnya tiba-tiba hinggap
Seekor burung jalak hitam
Burung jalak itu memunguti kutu-kutu
Di sela bulu-bulu sapi
Burung jalak kenyang sapi pun senang
Sebuah persahabatan
Yang menghormati kehidupan
Persaudaraan dua ekor hewan
Yang berbeda bentuk, jenis dan kebiasaan
Tapi yang bisa rukun di tengah alam
Bisa damai di bawah Tuhan
(Penggalan puisi karya KH. D. Zamawi Imron[11] yang berjudul, “Keroncong Air Mata”)

***



Rumah Orange, Bausasran - Yogyakarta
“Berbeda-beda, namun Yang Cantik adalah Satu”
Dipersembahkan untuk Ywardhana Septiani Bulo dan keluarganya di Toraja,
Selamat Natal 2010 dan Tahun Baru 2011


Daftar Pustaka
Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, vol. 33 No. 1, April 2009.
Hick, John, “A Philosopy of Religious Pluralism” dalam Paul Badham (ed.), A John Hick Reader, London: Macmillan, 1990.
Hidayat, Komaruddin dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Paramadina, 1995.
Knitter, Paul F., Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Munawar-Rachman, Budhy, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat & Paramadina, 2010.
Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003.
Schillebeeckx, Edward, The Church: The Human Story of God, New York: Crossroad, 1990.


arti: “bahasa kita berbeda-beda tapi Yang Cantik adalah Satu / dan masing-masing berjalan menuju Yang Cantik itu”. Sebuah syair karangan KH. Husein Muhammad dalam Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat & Paramadina, 2010), p. 570.
[1] John Hick, “A Philosopy of Religious Pluralism” dalam Paul Badham (ed.), A John Hick Reader (London: Macmillan, 1990), pp. 161-127.
[2] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), p. 7.
[3] Edward Schillebeeckx, “The Church: The Human Story of God” dalam Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), [pp. 50-51] p. 8.
[4] Ibid., p. 9.
[5] Lih. Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995)
[6] Ibid., p. 6.
[7] Tauhid adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Seorang Islam meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling benar.
[8] Dalam hal ini, Djaka Soetapa sering menerangkan mengenai trinitas yang bukanlah triteisme. Karena seringkali Islam salah mengerti mengenai trinitas. Hanya saja penjelasan mengenai hal ini bukanlah tujuan utama dari paper ini.
[9] Lih. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003).
[10] Wahyu S. Wibowo, “Kristologi dalam Konteks Islam di Indonesia” dalam Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, vol. 33 No. 1, April 2009, pp. 39-49.
[11] KH. D. Zamawi Imron adalah seorang ulama dan budayawan terkemuka Indonesia. Puisi ini dimuat untuk mengenang 40 tahun orasi pembaharuan Islam Nurcholish Madjid, 3 Januari 1970-2010.