Kamis, 22 Maret 2012

Diskursus tentang Theodise dan Misteri Penderitaan dalam Dialog: Sebuah Refleksi Singkat

Ketika mencoba memahami kembali permasalahan penderitaan, sebenarnya secara langsung/tidak langsung kita akan bersinggungan dengan keras kepada permasalahan theodise. Menurut bahasa Perjanjian Pertama, permasalahan ini muncul dengan berbekal sebuah “pertanyaan khas”: Jika Tuhan serbabisa (omnipotent), serbatahu (omniscient) dan murahhati (benevolent) mengapa bisa terjadi bahwa orang benar menderita dan orang jahat justru hidup berlimpah harta? Atau bahasa sederhananya: Jika Tuhan berkuasa dan baik mengapa kejahatan dan penderitaan terjadi? (Si Deus Justus-unde malum?). Atau lebih sederhana lagi menurut saya, penderitaan akan selalu memunculkan pertanyaan: mengapa? Berpijak dari pertanyaan mengapa inilah saya membuat uraian teologis mengenai penderitaan.
            Pertanyaan mengapa ini selalu muncul dari kondisi penderitaan yang melanda setiap manusia, termasuk bangsa Israel. Pertanyaan ini muncul sebagai sebuah simbol iman dan pengharapan akan Yahweh agar peka dan sudi menolong si penderita. Awalnya saya berpikir bahwa pertanyaan mengapa ini bermaksud untuk meminta Yahweh agar memberikan alasan dan jawaban atas pertanyaan mengapa saya menderita? Bagi Jon D. Levenson, pertanyaan ini adalah pertanyaan spekulatif belaka. Namun lebih dari itu, jika pemikiran kita dinaungi “pertanyaan khas” di atas, maka pertanyaan mengapa ini berfungsi sebagai tuntutan terhadap Yahweh yang gagal menjadi Yahweh sebagai Tuhan omnipotent, omniscient, benevolent. Menurut Walter Brueggemann dari pertanyaan inilah muncul suatu praktik yang sering disebut sebagai perkabungan (mis. Mzm 134 dan Kitab Ratapan).
            Praktik perkabungan ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengakui siapa dan bagaimana sebenarnya kita ini di hadapan Tuhan. Praktik ini juga dimaksudkan untuk menyerahkan diri secara penuh kepada Tuhan, namun ternyata praktik ini tidak dilakukan bangsa Israel ketika mereka berada di pembuangan. Mengapa? Karena praktik perkabungan ini dicurahkan dalam bentuk protes, bukan sekedar praktik berkabung, sebuah ratapan (Inggris: lament). Israel mendesak Yahweh yang menurut mereka meninggalkan mereka ketika dalam pembuangan: mengapa, ya Allah, Kau buang kami untuk seterusnya? Mengapa menyala murka-Mu terhadap kambing domba gembalaan-Mu? (Mzm 74.1). Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kesengsaraan Israel berhubungan erat dengan kedaulatan dan reputasi Yahweh sendiri di tengah pluralitas kepercayaan lain.
            Jon D. Levenson ketika menghadapi ihwal theodise ini menawarkan tiga tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab:
  1. Tetap meratap terus menerus dengan maksud untuk “membangunkan” Tuhan agar sudi menolong dengan segera (lament),
  2. Berpaling dari Yahweh kepada ilah-ilah lain karena menurut kita kedaulatan Yahweh tidak benar-benar penuh berkuasa; atau
  3. Tetap beriman kepada Yahweh apapun yang terjadi. Iman kepada Sang Penolong lebih kuat dibandingkan iman kepada pertolongan. Kepercayaan penuh dalam kondisi baik maupun buruk (mis. Dan 3:15-18).
Namun tetap saja hal ini menurut saya tidak bisa menjawab persoalan kualitas khas kesetiaan Yahweh sendiri di tengah penderitaan yang bertubi-tubi di alami manusia, termasuk bangsa Israel. Jika manusia setia, mengapa Allah tidak setia dan meninggalkan manusia menderita?
Menurut Jon D. Levenson, Tuhan sebagaimana digambarkan oleh Alkitab memang omnipotent, namun berada dalam suatu “drama”—bagi Levenson, drama menjadi sangat penting karena hidup bak sebuah drama—kehidupan yang membuat-Nya tidak selalu tampil sesuai potensi-Nya (omnipotenimpotensia). Lebih singkatnya: serbabisa namun tak selalu terwujud. Mengapa? Karena Ia terlibat di dalam drama. Maka jika Ia hadir di dalam drama, bukankah berarti Ia turut menderita bersama dengan manusia? Bukankah ini bentuk kesetiaan-Nya terhadap umat-Nya?
            Menurut saya, memang ini suatu bentuk kesetiaan Yahweh, namun hal ini malah memunculkan suatu permasalahan baru yang lebih sukar. Jika Yahweh berkenan dan setia bahkan hadir dan menderita dalam penderitaan bersama dengan manusia maka barangkali Yahweh tidak memiliki kekuatan yang benar-benar besar dan bahkan tidak berdaulat? Namun pertanyaan ini nampaknya diruntuhkan dengan pernyataan Yahweh dalam Yesaya 50.2: Mungkinkah tangan-Ku terlalu pendek untuk membebaskan atau tidak adakah kekuatan pada-Ku untuk melepaskan? Pertanyaan Yahweh yang menantang ini sekiranya membungkamkan pertanyaan mengenai kedaulatan Yahweh karena kesetiaan-Nya. Bahkan membungkamkan Ayub ketika ia mempertanyakan nasibnya kepada Allah. Jon D. Levenson juga melihat bahwa kedaulatan Yahweh yang ditinggikan menafikkan berbagaimacam teka-teki realitas kehidupan bahkan problematik hidup secara moral.
            Suatu pertanyaan muncul dari permenungan mengenai skema bipolar Walter Brueggemann ketika kedaulatan Yahweh disaksikan sebagai jawaban atas teka-teki ini: Allah yang berdaulat, yang absolut dan mengabsolutkan diri-Nya bukankah sama seperti berhala yang menjadi sasaran protes Musa di Sinai? Bukankah ini masalah ikonisasi terhadap Allah sendiri? Israel tentu didekonstruksi oleh Musa ketika ia mengkritik permasalahan ikonisasi terhadap Allah di Sinai. Tentu jika Israel mengetahui bahwa, bila tidak ada hubungan timbal balik antara umat terhadap Yahweh entah melalui krtik, ratapan, bahkan pujian, Yahweh akan serta merta menjadi absolut dan inilah yang dihindari oleh mereka. Maka, Yahweh memang berdaulat, namun Ia juga bukan berhala yang absolut. Oleh karena itu, keberadaan-Nya di dalam drama menjadi penting karena impotensia Yahweh memberikan ruang bagi hubungan umat dengan-Nya.
            Selain pandangan mengenai omnipotenimpotensia Jon D. Levenson, Yahweh juga seringkali digambarkan dengan dua sisi-Nya yang bersebrangan: Deus Saveus sebagai “Yahweh yang ganas” dalam penafsiran-penafsiran terhadap perikop seperti Kejadian 7 ketika manusia dimusnahkan dengan air bah; atau dalam 1 Samuel 15 ketika Saul diperintahkan untuk membunuh orang-orang Amalek dan segala milik mereka. Dan Deus Gratious sebagai “Yahweh yang penuh cinta kasih, berbelaskasih, murah hati kepada manusia dan dunia” seperti sebagian besar bagian Alkitab. Lalu ihwal penderitaan, Yahweh bertendesi ke arah mana?
            Jika mengikuti skema bipolar Walter Brueggemann, tentu maksudnya bukan menjawab salah satu atau keduanya secepat kilat. Namun ke-anikonik-an Yahweh menandakan bahwa Yahweh unpredictable! Menurut Brueggemann yang mengafirmasi Jacques Derrida: 

Indeed, Jacques Derrida goes so far as to suggest that justice—in the world and from God—is undeconstructable and therefore more ultimate than God. (Benarlah Jacques Derrida yang sampai berani berpikir bahwa keadilan—di dunia dan yang dari Tuhan—tidak bisa direkonstruksi dan karenanya lebih utama daripada Tuhan)

Maka permasalahan ini pun menurut Breuggemann lebih unpredictable (tak terjawab atau mungkin tak dimaksudkan untuk dijawab)! Mungkinkah permasalahan Theodise ini menuntut suatu cara berpikir yang tidak membakukan Tuhan dengan jawaban-jawaban yang sekiranya pasti? Atau sebaliknya, membakukan Tuhan dengan jawaban-jawaban yang sekiranya tidak pasti. Jika sebaliknya, tentu saja saya sendiri tidak ingin melanjutkan pembahasan dan bahkan tidak memilih topik ini untuk dibahas.
            Conflicting perspective Walter Brueggemann ketika mencoba mempersoalkan ihwal penderitaan akan selalu muncul ketika permasalahan menemui cul de sac-nya, sebuah jalan buntu. Tentu permasalahan ihwal penderitaan dan theodise masih menjadi dialog yang hangat hingga saat ini, bahkan hari nanti. Namun keterdesakan kita untuk menjawab realita yang ada menjadi beban yang kita pikul dan ingin kita lepaskan sekarang, kini dan di sini, bukan hanya sebatas penyelesaian persoalan teori dan abstraksi saja. Lalu bagaimana kita menanggapi (bukan menjawab) realitas masa kini mengenai penderitaan?
            Tentu saja saya akan menetap dalam posisi nomor yang ketiga jawaban Jon D. Levenson ketika menanggapi persoalan theodise yaitu tetap beriman kepada Yahweh apapun yang terjadi dalam kepercayaan penuh ketika kondisi baik maupun kondisi buruk. Namun tidak hanya sampai di sini. Beriman penuh bukan soal bisa atau tidak bisa menjawab pertanyaan mengapa namun beriman penuh adalah permasalahan keyakinan; yakin penuh bahwa dibalik setiap penderitaan yang unpredictable (tak terjawab bahkan tak dimaksudkan untuk dijawab) pasti ada kekuatan Allah (yang unpredictable juga) yang siap digelar demi realisasi pekerjaan-Nya melalui penderitaan yang unpredictable ini. Maka, pertanyaan mengapa bagi saya adalah suatu keberanian dan langkah awal untuk berjalan di dalam tanda tanya. Suatu perjalanan yang penuh misteri yang dibekali kenekatan berpegang teguh kepada Allah dalam karya misterius-Nya. Bukankah hidup yang sudah pasti akan sangat membosankan? Bukankah cinta kasih Allah yang misterius inilah yang memberikan kejutan-kejutan kepada kita sehingga kita seharusnya semakin jatuh cinta kepada-Nya? Pada akhirnya, misteri tetaplah akan menjadi misteri ketika ia masih tak terjawab. Namun melalui misteri inilah, Tuhan merealisasikan pekerjaan-Nya di dalam kehidupan manusia dan dunia.

Sebelah Garasi Rumah Oranye Bausasran, Yogyakarta
Untuk Mengenang Mendiang Frederick Markus Sario Karundeng

Minggu, 01 Januari 2012

Menggugat Mekanisme Kekerasan di Indonesia: Pemahaman Alkitab mengenai Mateus 23:34-36


Perikop: Mateus 23:34-36
Alkitab Terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia
34 Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, 35 supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. 36 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!" (TB-LAI)

Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini

34 Dengarlah baik-baik: Aku akan mengirim kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijak, dan guru-guru; sebagian dari mereka akan kalian bunuh, dan sebagian yang lain akan kalian salibkan. Ada yang akan kalian siksa di dalam rumah-rumah ibadat, dan kalian kejar-kejar dari satu kota ke kota yang lain. 35 Sebab itu, kalian akan dihukum karena pembunuhan yang dilakukan terhadap semua orang yang tidak bersalah mulai dari pembunuhan Habel yang tidak bersalah, sampai pembunuhan Zakharia anak Berekhya, yang kalian bunuh di antara Rumah Tuhan dan mezbah. 36 Percayalah: semuanya itu akan ditanggung oleh orang-orang zaman ini!" (BIS)

Pendahuluan

Menafsirkan kitab Mateus merupakan suatu hal yang begitu membutuhkan perhatian khusus terhadap teks-teks Perjanjian Lama. Yesus dalam Sitz im leben memperlihatkan pemahaman-pemahamanNya sendiri mengenai teks-teks Perjanjian Lama. Mau tidak mau, saya yang berada pada garis belakang sebagai penafsir Yesus dalam Injil Mateus mau tidak mau akan membahas teks-teks Perjanjian Lama yang dikutip dalam perkataan-perkataan Yesus sendiri. Teks-teks di bawah ini yang mendukung akan menjadi penjelas penafsiran saya terhadap Mateus 23:34-36. Tema besar yang coba saya angkat dalam tulisan ini adalah mengenai kekerasan.

Apa itu Kekerasan?

Kisah ini bermula dari dua anak manusia pertama yaitu Kain dan Habel. Kain, sang petani. Habel, sang penggembala domba. Mereka sama-sama mempersembahkan hasil kerja mereka kepada Tuhan. Kain mempersembahkan sebagian hasil tanahnya sebagai korban persembahan sedangkan Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya. Tuhan mengindahkan korban persembahan Habel, tetapi menolak korban persembahan Kain. Karena hal tersebut, Kain membunuh Habel. Tuhan marah dan mengutuk Kain. Kain menjadi pengembara dan pelarian di Bumi. Namun Kain khawatir, barangsiapa yang akan bertemu dengan dia, mereka akan membunuhnya. Tuhan berjanji, hal itu tidak akan terjadi. Sabda Tuhan, “Barangsiapa yang akan membunuh Kain akan dibalaskannya tujuh kali lipat”. Kain diberi tanda oleh Tuhan supaya ia tidak dibunuh oleh siapapun yang bertemu dengannya (Kej 4:1-16).
Kekerasan. Itulah yang hendak diberitakan oleh kisah Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama di atas. Kekerasan merupakan bayang-bayang yang seringkali menaungi manusia. Kekerasan memang sangat kompleks dan memiliki kecenderungan multiplikatif karena manusia merupakan mahkluk yang kompleks. Dari catatan sejarah masa lalu hingga saat ini, seringkali kita temukan bahwa kekerasan muncul sebagai pemeran utama. Kekerasan tidak hanya melibatkan tindakan individual, namun dapat pula tertanam dalam struktur sosial, politik dan ekonomi, yang secara sistematik mensubordinasikan sebagian orang terhadap yang lain. Bahkan kekerasan pun seringkali muncul sebagai antidote bagi kekerasan itu sendiri dan menjadikannya suatu lingkaran setan. Jacques Ellul melihat kekerasan yang demikian sangat berkaitan dengan pembalasan yang berkesinambungan:
Kita hendaknya sungguh-sungguh menyadari bahwa kekerasan yang satu melahirkan kekerasan yang lain. Mungkin ada yang bertanya, “Siapa yang memulai ini?”, sebetulnya pertanyaan ini adalah pertanyaan yang salah. Sejak zaman Kain, tidak ada awal dari kekerasan, yang ada adalah proses pembalasan yang terus berkesinambungan.[1]
Seperti halnya orang Kristen yang seringkali dengan antusiasme yang tinggi meyakini bahwa sejarah kehidupan manusia, khususnya dalam hal kekerasan ini, diawali oleh sebuah “dosa awali” pembunuhan Kain terhadap Habel. Manusia jatuh dalam kekerasan karena hakekat manusia merupakan makhluk yang penuh dosa. Manusia yang penuh dosa ini merupakan hasil dari “dosa awali” karena “apa yang awali” itu nampaknya meninggalkan kesan yang demikian mendalam. Namun apa itu kekerasan?
Kekerasan dalam tulisan ini menurut saya dapat didefinisikan sebagai “usaha manusia atau kelompok individu untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain melalui cara-cara verbal atau fisik maupun non-verbal sehingga menimbulkan luka secara fisik dan psikologis, bahkan kematian”. Kekerasan bukanlah hal yang naluriah, melainkan tindakan-tindakan yang disengaja! Kitab Suci dan sejarah bahkan menulis kekerasan serta berdiri sebagai simbol-simbol religius yang memainkan peran potensial dalam mendukung kekerasan dan pengorbanan berdarah di dunia.
James Gilligan, seorang psikiater yang telah melakukan karya ekstensif mengenai tindak kekerasan berpendapat bahwa dibalik tindak kekerasan mutilasi irasional yang nampak, ada rasa malu yang logis serta dorongan untuk mengeliminasi sumber-sumber rasa malu tersebut. Seorang pembunuh seringkali membayangkan: “Jika aku membunuh orang ini dengan cara seperti ini, aku akan membunuh rasa maluku.”[2] Di sini Gilligan telah menemukan fenomena yang sama untuk melarikan diri dari rasa malu di balik pembunuhan Habel oleh Kain di atas. Tidak sedikit Perjanjian Lama melukiskan kisah yang pro-kekerasan, bahkan Allah sendiri yang menghendaki hal tersebut.
Namun lebih jauh dari itu, Perjanjian Lama nampaknya menunjukkan dualisme dalam pemahaman kekerasan dan korban ini. Setelah pembunuhan Habel, Allah malahan mendengarkan keluhan-keluhan Kain. Allah bahkan membela si pembunuh pertama dengan bersabda kepadanya: “Barangsiapa yang akan membunuh Kain akan dibalaskannya tujuh kali lipat.” (Kejadian 4:15). Mengapa demikian? Nampaknya Perjanjian Lama berusaha membuka kedok kekerasan dengan mencegah terjadinya kekerasan selanjutnya. Setelah pembunuhan pertama tersebut, tentu harus dimaklumkan adanya hukum yang melawan pembunuhan sehingga pembunuhan ini tidak berkelanjutan. Allah menentang pembunuhan yang diancam oleh pembalasan dendam pembunuhan. Maka jelas dilihat bahwa di dalam kisah pembunuhan Habel dapat disadari adanya pembunuhan awali dan dasariah. Awali maksudnya adalah sebagai pembunuhan pertama, sedangkan dasariah maksudnya adalah pembunuhan pertama ini menjadi yang menjadi dasar dan penentuan akan terbentuknya suatu mekanisme kekerasan yang berkelanjutan.

Agama dan Manusia yang Sarat akan Kekerasan

Rene Girard, seorang sejarawan Prancis, kritikus sastra dan antropolog memiliki pandangannya sendiri mengenai kekerasan. Idenya mengenai kekerasan begitu terasa di dalam khazanah teologi Kristiani. Menurut Girard, agama tidak lahir dari kelemahan dan ketidakberdayaan manusia terhadap alam, seperti yang dibuat oleh pemikir-pemikir lainnya. Menurutnya, agama muncul dari problem mimesis dalam kehidupan interaksi manusia dengan sesamanya. Dengan demikian, ia jatuh pada kesimpulan bahwa akar-akar semua agama, kecuali Yudaisme dan Kristen, adalah monopoli atas kekerasan. Semua agama lain menurut Girard menegakkan tatanan sosial dengan cara menyalurkan kekerasan yang kacau kepada korban-korban pengganti dengan kekerasan yang baik (good violence). Dengan ini mereka mensakralkan dan membenarkan kekerasan tersebut atas nama Allah atau dewa mereka, maka itu muncullah agama.[3]
Dengan kata lain, agama muncul akibat transendensi kekerasan di dalam kekersan yang penyebabnya ialah manusia. Mengapa manusia? Manusia adalah makhluk yang memiliki passions (nafsu) dan oleh karenanya mudah dikuasai oleh kemarahan dan kegeraman. Ketika manusia menjadi marah, maka manusia siap untuk menjadi pembunuh yang mematikan![4] Namun permasalahannya adalah manusia juga melakukan hal itu walaupun seringkali belum mengetahui dengan pasti tujuan dari hal tersebut.
                Menurut Girard, hal ini disebabkan karena ia memiliki nafsu untuk mengingini sesuatu (objek) yang ia lihat tidak ada pada dirinya sendiri (subjek) namun ada pada orang lain (mediator). Teori mengenai hal ini seringkali disebutnya sebagai teori hasrat segitiga (tringular desire) atau mimesis. Menurut Girard, mimesis ini mau tak mau menyimpan rivalitas. Mediator yang semula menjadi objek mimesis, mau tak mau akan dianggap sebagai rival yang menghalangi hasrat subjek mimesis. Oleh karena hal itulah maka konflik menjadi salah satu unsur dinamis dalam mimesis.[5] Oleh karenanya Girard menemukan bahwa mekanisme kambing hitam (scapegoat)-lah yang dapat membatasi kekerasan dengan mengalihkannya untuk menghindari kekerasan yang lebih hebat lagi.[6] Kekerasan sebagai antidote kekerasan. Hal ini terjadi akibat “dimasukkannya” transendensi ilahi ke dalam nilai-nilai manusia melalui mekanisme kambing hitam demi keluar dari khazanah kekerasan.
                Manusia purba menggunakan mekanisme seperti ini selama berulang-ulang. Pengalaman mereka akan kekerasan membuat mereka mampu belajar dari pengalaman mereka dan memahami bahwa cara yang paling efektif dalam mencegah kekerasan yang tak terkendali adalah dengan menyalurkan ketegangan kelompok pada individu-individu tertentu. Bersamaan dengan hal tersebut, “pembunuhan awali” telah menuntut adanya korban-korban berdarah—entah manusia atau hewan—sebagai kambing hitam penyelesaiannya. Bahkan hal ini diritualisasi dan disakralkan dengan melihat bahwa kambing hitam mereka adalah penyelamat bagi mereka. Proses yang begitu mendua ini melihat korban sebagai kambing hitam dan juga sebagai pembawa perdamaian. Oleh karena sakralisasi tadi, kambing hitam sering dipandang sebagai korban ilahi. Maka lewat ritus dan upacara ritualnya, agama mengulangi proses di atas setiap kali kekacauan muncul.
                Dengan begitu kita akan menemukan bahwa kekerasan menurut Girard merupakan titik tolak dari semua fenomena manusia. Walaupun tidak dapat disangkali bahwa “alam pikir” Girard memang dikuasai oleh sebagian kultur manusia dan kerangka budaya yang berada di sebelah barat, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di timur pun nampaknya memiliki fenomena kekerasan yang hampir (jika tidak ingin hanya dikatakan) sama. Dan oleh karenanya, Girard jatuh kepada kesimpulan bahwa: violence is the heart and secret soul of the sacred.[7]
                Lebih jauh lagi, menurut Girard, agama diperlukan demi meniadakan atau memperkecil kekerasan. Namun akibat kelepasannya dari kekerasan, agama dapat diterjang oleh kekerasan dan menjadi kekerasan itu sendiri. Ini merupakan dualisme yang lain mengenai agama. Oleh karena itu, tidak jarang agama melakukan kekerasan atas nama Tuhan dan asosiasi keagamaan mereka. Beberapa agama bahkan diam ketika kekerasan itu merajalela. Pendiaman ini merupakan bagian dari kekerasan!
                Girard juga menekankan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah kekerasan. Itu terjadi bukan karena agama tetapi karena krisis mimesis yang ada dalam mazbah kehidupan interaksi manusia. Kalaupun kekerasan berkaitan dengan agama, hal itu bukanlah hal yang dasariah melainkan peristiwa yang kemudian. Agama tidak instrinsik dengan kekerasan, agama justru berusaha menghilangkan kekerasan atau paling tidak mengurangi kekerasan tersebut.

Hal yang Tersembunyi: Tafsiran Mateus 23:34-46

Ketika membaca perikop Mateus 23:34-36 di atas, kita akan menyadari bahwa perikop ini merupakan bagian dari kecaman Yesus terhadap ahli taurat dan orang-orang Farisi zaman Yesus hidup[8]. Yesus dengan gaya bicara-Nya selalu memulai kecaman-Nya dengan kalimat: Celakalah kamu, hai ahli-ahli taurat dan orang Farisi. Hal yang menarik dari teks Injil di atas adalah teks tersebut memberitakan kepada kita bahwa telah terjadi banyak sekali pembunuhan, namun hanya ada dua peristiwa yang disebutkan secara eksplisit. Pertama adalah kisah pembunuhan Habel sebagai pembunuhan yang pertama; Kedua pembunuhan Zakharia, orang terakhir yang dibunuh di dalam Kitab Suci. Mengapa? Tampaknya Yesus mengambil argumentasi ini atas dasar Kitab Suci yang Ia ketahui pada zaman-Nya. Pembunuhan Zakharia inilah pembunuhan terakhir yang Yesus ketahui dalam seluruh Kitab Suci. William Barclay malahan menjawab pertanyaan ini dengan menafsirkan bahwa pembunuhan Habel oleh Kain diketahui oleh setiap orang; tetapi pembunuhan Zakharia hampir tidak dikenal.[9] Dengan demikian kita tahu bahwa kekerasan telah berkuasa sejak awal Alkitab sampai akhir kitab 2 Tawarikh yang menjadi kitab terakhir Alkitab Ibrani.
                Namun apakah Yesus hanya menujukan kecaman-Nya terhadap agama Yahudi saja? Hal ini memang sedikit membingungkan. Mateus merupakan Injil yang pandangannya tertuju ke arah orang Yahudi. Legitimasi ini muncul akibat munculnya suatu gaya bahasa penyampaian Injil Mateus yang enggan menyebutkan nama Allah karena mengingat hukum Taurat ketiga. Itulah sebabnya setiap kata “Allah” diganti dengan tempat Allah bersemayam: “sorga”.[10] Oleh karena itu, selalu digunakan istilah “Kerajaan Sorga” sebagai ganti “Kerajaan Allah” (Mateus 3:2; 13:24, 31, 33, 44, 45, 45, dll). Sedikit berbeda dengan Duyverman, J. J. de Heer lebih tertarik jika Injil Mateus ditujukan kepada orang Romawi yang bisa berbahasa Yunani. Selain Romawi, di Siria, sebelah utara Palestina, penduduknya lancar dalam berbahasa Yunani dan juga mengerti bahasa Aram.[11]
Namun demikian, apabila melihat Habel yang disebutkan secara eksplisit oleh Yesus, nampaknya tujuan Yesus bukan hanya kepada agama Yahudi saja. Habel yang dibunuh nampaknya menyangkut suatu hal yang universal: kekerasan! Pembunuhan Habel adalah pembunuhan yang pertama kalinya melahirkan tata masyarakat dan manusia yang sarat akan kekerasan tadi. Jadi pembunuhan Habel merupakan sebuah fenomena universal yang tanggungjawabnya tidak dapat begitu saja dibebankan terhadap agama Yahudi. Malahan, salah satu maksud penulisan Injil Mateus adalah memberikan nasihat atau teguran.[12] Maksud yang seperti ini membuat Mateus sering disebut parenetis (nasihat/teguran). Bahkan Yesus sendiri berkata di ayat 36 bahwa konsekuensinya harus ditanggung oleh “angkatan ini”. Siapakah angkatan ini?
                Ketika melihat konteks pembicaraan Yesus, maka kita memang akan menemukan bahwa maksud angkatan ini adalah juga “generasi ini”. Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) bahkan menerjemahkannya dengan frasa “orang-orang zaman ini”. Jelas maksudnya ialah merupakan orang-orang yang sezaman dengan Injil. Walaupun demikian, konteks pembicaraan Yesus adalah sebuah kalimat kecaman. Kecaman yang diberikan secara universal karena melihat contoh pembunuhan Habel tadi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa maksudnya ialah memang generasi sezaman Injil, tapi juga barangsiapa yang tidak mendengar warta yang telah diwartakan oleh Yesus.
                Selain itu, pada zaman Yesus yang hidup di dalam kultur Yahudi, Kitab Suci merupakan acuan utama dan satu-satunya untuk menerangkan pelbagai hal, keagamaan atau pun kesosialan. Maka tidak salah bila kita mengira bahwa seandainya Yesus berbicara secara universalpun, maka acuan-Nya tetaplah Kitab Suci sebagai yang berkaitan dengan agama dan kultur Yahudi. Oleh karena itu, saya lebih senang melihat kecaman Yesus ini secara universal yang ingin membuka kedok kekerasan, yang tersembunyi di dalam agama dan kultur Yahudi namun juga dibukakan dari keterselubungan agama dan kultur lainnya di seluruh dunia.
                Lukas bahkan melihat lebih jelas pernyataan Yesus ini:
50 supaya dari angkatan ini dituntut darah semua nabi yang telah tertumpah sejak dunia dijadikan, 51 mulai dari darah Habel sampai kepada darah Zakharia yang telah dibunuh di antara mezbah dan Rumah Allah. Bahkan, Aku berkata kepadamu: Semuanya itu akan dituntut dari angkatan ini. (Lukas 11:50-51 - LAI)
                Frasa yang menarik adalah “sejak dunia dijadikan”. Frasa ini diterjemahkan dari bahasa Yunani apo kataboles kosmou. Kata kataboles di sini mengandung pengertian tentang penjadian (baca: penciptaan) dunia yang merupakan akibat dari krisis kekerasan dan bukan dalam arti creatio ex nihilo. Di dalamnya terkandung pengertian tentang tata tertib dan ketentraman masyarakat yang berasal dari kekacauan sebelumnya.
                Injil dengan terang memperlihatkan bahwa orang-orang Farisi yakin apabila yang membunuh nabi-nabi bukanlah mereka melainkan leluhur mereka. Oleh karena itu mereka mendaku diri dan berdalih hanya sebagai “keturunan pembunuh nabi-nabi itu” (Mateus 23:31). Yesus melihat hal yang ganjil ini. Ia melihat bahwa orang Farisi ingin menolak tanggungjawab terhadap pembunuhan itu dengan menyebut diri mereka hanyalah “keturunan”. Penolakan terhadap legitimasi yang dijatuhkan kepada mereka sendiri sebagai pembunuh nabi-nabi itu dengan menuding nenek moyang mereka sendiri, sebenarnya malah membuka kedok nenek moyang mereka sebagai pembunuh nabi-nabi. Penolakan ini bahkan menggemakan kembali apa yang dahulu telah dilakukan oleh nenek moyang mereka: menolak, meski mereka melakukan kekerasan. Dengan pernyataan ini kita dapat menemukan bahwa muncul suatu mekanisme yang selalu ada di sepanjang zaman: kekerasan.
                Mekanisme inilah yang sering dipakai orang Kristen dalam menjelaskan pemahaman mereka mengenai dosa. Dosa itu mewarisi struktur mental yang lahir sebagai akibat dari “dosa asali”, begitupula kemunculan kekerasan. Struktur mental orang-orang pelaku kekerasan lahir sebagai akibat dari pembunuhan awali. Jika kita melihat penolakan orang Farisi tadi, maka terang bahwa agama juga memiliki struktur mental yang menolak dan menyembunyikan kekerasan, padahal juga menyatakan dan membenarkan kekerasan sebagai asal usul agama, selalu hadir dengan pola dan mekanisme yang sama juga. Ini tertulis pula dalam pembelaan orang Farisi:
Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. (Mateus 23:30 - LAI)
                Dengan pengingkaran ini, mereka sebenarnya membenarkan bahwa mereka tidak hanya membenarkan terjadinya kekerasan di zaman nenek moyang mereka yang lampau, namun juga turut dalam lingkaran kekerasan itu, sekarang! Dalam proses ini terlihat bahwa manusia telah melakukan pembunuhan untuk akhirnya berbohong pada yang lain dan diri mereka sendiri, bahwa mereka tidak membunuh. Mereka membunuh dan terus membunuh, untuk tidak mengetahui bahwa mereka membunuh, dan inilah yang menurut saya merupakan “rahasia yang tersembunyi” di mana Yesus membongkat kebohongan yang tersembunyi sepanjang zaman itu. Perkataan ini tertulis di dalam Injil Mateus yang dikutip Yesus dari Mazmur 78:
…Aku mau mengucapkan hal yang tersembunyi sejak dunia dijadikan (Mateus 13:35 - LAI)

Gugatan Yesus terhadap Kekerasan

Yesus terjerat menjadi kambing hitam kekerasan manusia akibat mencoba memperlihatkan dan membuka selubung kedok kekerasan itu sendiri. Kisah sengsara Yesus tentu saja tidak dapat dianalogikan dengan peristiwa ritual korbani lainnya. Dalam ritus korbani yang umum, orang yang dikorbankan adalah orang yang bersalah atau (paling tidak) dianggap bersalah. Namun Injil dengan jelas memperlihatkan fenomena yang antonim. Injil bahkan membuka dengan terang-terangan bahwa korban Yesus adalah sungguh-sungguh tidak bersalah. Walaupun demikian, Injil Mateus tampaknya tidak membicarakan tentang kekerasan itu sendiri melainkan berbicara tentang siapa yang bertanggungjawab atas kekerasan ini. Terang bahwa kekerasan ini dilakukan secara kolektif dalam suatu kelompok sosial dan bukan individu: “Generasi ini yang harus menanggungnya” (Mateus 23:36).
                Lebih-lebih, Yesus memperlihatkan ketersembunyian dari kekerasan yang selama ini berlangsung dalam berbagai kedok ritus primitif dan mitos yaitu bahwa individu dikutuk oleh dewa mereka sebagai yang bertanggungjawab dan oleh karenanya harus menjadi korban. Yesus sendiri tampaknya men-dekonstruksi pemahaman ini. Ia memperlihatkan bahwa mekanisme dasar kekerasan, ritus primitif dan mitos yang menghasilkan korban adalah akibat kekerasan yang kolektif kepada korban. Bahkan aksi korban dimotori oleh unanimitas kekerasan[13] dalam struktur sosial itu sendiri. Oleh karenanya, Injil adalah revelasi dari kekerasan itu. Injil bukanlah pewahyuan kata-kata kekerasan melainkan pewahyuan faktual kekerasan itu sendiri hingga kekerasan tidak dapat memperlihatkan topeng yang menutupi dirinya sendiri kecuali membuka selubungnya yang unanim.
                Jika kita melihat kisah sengsara Yesus secara keseluruhan, Yesus sendiri tidak pernah memberikan diri-Nya sebagai kambing hitam. Namun Ia menjadi kambing hitam dan terjerumus dalam mahzab kambing hitam justru karena Ia berusaha membuka mekanisme kambing hitam tersebut! Mau tidak mau, siap tidak siap, Yesus harus menjadi kambing hitam. Yesus yang mati sebagai kambing hitam seharusnya memberikan struktur baru yang membuat manusia tidak meneruskan mekanisme kambing hitam itu lagi. Hidup yang diharapkan dari teladan Yesus ini ialah hidup yang tidak mempertahankan mekanisme kambing hitam namun berani berisiko karena berani memperlihatkan isi selubung mekanisme kambing hitam ini akibat ia mau setia kepada semangat Injil.
                Aktivitas Yesus yang nir-kekerasan dan tak diarahkan pada kekerasan merupakan kelanjutan dari Perjanjian Lama. Perjanjian Lama tampaknya “mengatasi” mitologi dan tidak kembali kepada mitologi. Jika melihat penafsiran para ahli yang cenderung membaca Perjanjian Lama dalam kaca mata Perjanjian Baru, maka akan ditemukan bahwa semua kisah-kisah Perjanjian Lama tentunya akan mengerucut kepada Injil dalam kisah Yesus Kristus. Oleh karena itu, Injil Yesus seringkali diumpamakan menjadi akhir dari sejarah siklis kekerasan ketika Ia menelanjangi mekanisme kekerasan tersebut. Komitmen nir-kekerasan Yesus yang terikat dalam janji Tuhan yang akan mendatangkan Kerajaan Allah nir-kekerasan menjadikan dunia ini muncul sebagai dunia yang tanpa dendam namun penuh dengan cinta Kasih.
                Aktivitas Yesus ini akhirnya jatuh kepada penolakan terhadap Yesus yang secara otomatis berarti penolakan terhadap Kerajaan Sorga. Penolakan ini muncul dari masyarakat yang terselimuti oleh mekanisme kekerasan. Berita Injil yang nir-kekerasan malahan membentuk kekhawatiran masyarakat kekerasan karena mengancam keamanan mereka di mana kekerasan menjadi “penyelamat” mereka dari kekerasan yang lebih dahsyat. Oleh karenanya, Yesus bagi masyarakat kekerasan adalah racun, sang kambing hitam. Bagi masyarakat kekerasan, Yesus adalah orang yang paling berbahaya dan mengancam struktur kehidupan mereka. Mau tidak mau, Yesus harus mati sebagai korban demi terciptanya kenyamanan mereka kembali. Bagi Girard, Yesus adalah the most innocent but the most perfect victim.[14]
                Namun menjadi penting, akibat penyingkapan Yesus terhadap mekanisme kekerasan, Yesus sebaiknya dilihat mati bukan-lah sebagai korban melainkan supaya tiada lagi korban lainnya. Walaupun demikian, tidak bisa tidak apabila kekerasan menuntut korban dan korbannya mau tidak mau adalah orang yang paling tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri, Yesus. Kematian Yesus memang sebuah risiko dan konsekuensi yang musti diemban tanpa ampun terhadap sikapnya yang menolak kekerasan. Mateus 5:38-39 mencatat anggapan ini:
Kamu telah mendengar firman: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.
                Jika semua orang memberikan pipi mereka untuk ditampar, maka logikanya adalah tidak ada lagi pipi untuk ditampar. Namun apabila semua orang saling balas-berbalasan menampar, maka apa yang akan terjadi kepada satu-satunya orang yang menganjurkan untuk jangan membalas menampar? Mati. Itulah konsekuensi perkataan Yesus yang menggugat kekerasan ini. Namun Yohanes 15:13 menunjukkan keteguhan Yesus terhadap Sabda-Nya sendiri dengan menenggak cawan kematian-Nya:
Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
                Bagi masyarakat,—tentu pembicaraan ini masih dalam konteks Yahudi saat itu, walaupun dimiliki oleh masyarakat purba dari pelbagai kultur—kekerasan dan kematian merupakan sesuatu yang penting dalam memulihkan tatanan masyarakat mereka yang amburadul. Hal ini yang memicu paradoks dalam struktur masyarakat mereka di mana pemulihan dan perdamaian tidak dapat diraih tanpa adanya kekerasan yang berujung kepada kematian sang kambing hitam yang melawan kekerasan itu sendiri: Yesus. Saya kembali mengutip mengenai perkataan Yesus yang mau tidak mau harus menenggak cawan kematian-Nya. Hal ini pun tertulis dalam Injil Mateus:
Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mateus 26:39 - LAI) atau pararelnya: Ya Bapaku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi (Lukas 22:42 - LAI).
                Namun perlu diperhatikan kembali, bahwa keharusan kematian Yesus itu bukanlah seperti keharusan karena ketaatan Yesus kepada kekuatan transenden yang menghendaki diri-Nya menjadi korban, melainkan semata-mata karena Yesus harus mati, tidak ada pilihan lain jika tidak ingin berkompromi dengan kekerasan. Memilih cawan kehidupan bagi Yesus merupakan suatu kompromi dengan kekerasan yang ingin Ia jauhkan. Penggambaran Allah Bapa di sini perlu ditekankan karena tidak sama dengan kekuatan-kekuatan ilahi atau dewa-dewa yang menghendaki korban kambing hitam sebagai pemulihan laiknya yang dijumpai pada mitologi-mitologi purba. Kehendak Bapa merupakan kekuatan yang menetang secara radikal tindakan kekerasan demi pemulihan.
                Memang nampaknya teramat radikal jika kita memahami bahwa logika kekerasan adalah membunuh untuk dibunuh, akibat lingkaran setan mekanisme kekerasan dan oleh karenanya kita sebaiknya memberikan diri kita terjerat dalam kematian akibat menentang kekerasan seperti pemahaman Girard.[15] Seperti ketakutan Kain kalau-kalau nantinya dibunuh oleh orang lain, yang telah ia ungkapkan kepada Allah setelah membunuh Habel, namun yang secara radikal disandingkan dengan pemahaman Injil mengenai: Siapa ingin menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya (Mateus 16:25). Hal ini menjadi logis apabila kita memahaminya sejauh jika alasan Kain mempertahankan hidupnya sendiri ini malahan akan menempatkannya dalam suatu kewajiban untuk meniadakan dan membunuh saudaranya, Habel dan oleh karena hal itu Kain berada dalam posisi yang fatal dan terancam terhadap orang lain. Hidup bagi Kain berarti meniadakan yang lain (Habel) yang ternyata kemudian akan menenggelamkan kehidupannya sendiri dari serangan krisis kematian dari pihak lain. Maka sebaliknya: siapa yang berani mempersembahkan hidupnya dan kehilangannya akan memperoleh kehidupan kekal? Dengan tidak mempertahankan kehidupannya berarti ia juga tidak ingin menjadi pembunuh bagi siapa saja yang menghalangi haknya untuk hidup. Ia tidak membunuh dan oleh karena itu ia tidak mati. Ia mematahkan mekanisme kekerasan yang muncul sebagai lingkaran kematian yang mengerikan ini. Atau tidak?

Kambing Hitam Indonesia: Kekerasan terhadap Etnis Tionghoa

Mei 1998, rakyat merasa krisis moneter terjadi akibat orang-orang Tionghoa sehingga massa secara brutal melakukan tindak pelecehan dan kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa. Mereka dijarah, dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh. Tragedi Mei meledak setelah provokator menggiring massa memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memprovokasi dengan stigma warga Indonesia etnis Tionghoa sebagai penyebab krisis yang terjadi. Menurut Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) tahun 1998, aksi tersebut dinilai sebagai aksi yang diorganisir karena waktu kejadian hampir serentak padahal terjadi di berbagai wilayah. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998 menduga bahwa aksi penjarahan ini dipicu oleh angkatan militer berseragam SMA yang datang ke lokasi penjarahan dan melakukan aksi provokasi dengan meneriakkan anti-Cina[16] dan membakar toko-toko serta memprovokasi warga untuk ikut serta merusak dan menjarah. Tragedi Mei melahirkan suatu paranoia sosial, yang membuat ribuan warga Indonesia etnis Tionghoa mengambil keputusan sulit untuk meninggalkan Indonesia.
                Tragedi Mei 1998 merupakan hal yang tidak asing bagi setiap warga negara Indonesia. Massa secara simultan sepakat untuk menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasarannya. Kekerasan terhadap etnis Tionghoa jelas merupakan kekerasan yang sifatnya kolektif. Kerusuhan massa merupakan istilah yang menunjukkan betapa kolektifnya sifat kekerasan yang dimunculkan dalam tragedi ini. Krisis yang terjadi akibat krisis moneter mewabah hampir di semua institusi-institusi sosial dan melumpuhkan mereka. Kelumpuhan pada institusi sosial ini menjadikan hukum juga terlumpuhkan dan membuat tatanan hierarkis sosial berantakan. Kehancuran ini meminta korban, kelompok yang minoritas, yang bersalah ataupun dipersalahkan dan cocok dengan stigma sebagai korban. Maka secara unanim kekerasan diarahkan kepada etnis Tionghoa yang memenuhi seluruh kriteria tersebut.
                Kekerasan terhadap etnis Tionghoa sering kali terjadi ketika muncul krisis sosial di Indonesia. Bahkan beberapa hari yang lalu, saya sendiri menerima sebuah pesan broadcast dari handheld saya yang isinya memperingatkan kepada teman-teman yang beretnis Tionghoa agar berhati-hati karena kondisi tatanan hierarkis pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang kacau dan memicu demonstrasi diberbagai daerah. Ini sangat membuktikan bahwa kambing hitam masih ada, korban yang menenangkan kekacauan sistem sosial Indonesia, etnis Tionghoa! Inilah situasi kultural di Indonesia. Kultur yang menyimpan stereotip korban bagi kepulihan kekacauan adalah kultur yang sangat rawan. Indonesia telah berkali-kali membuktikan hal ini. Kultur ini menyimpan irasionalitas kambing hitam yang ditentukan secara sewenang-wenang.

Relevansi: Gereja yang Inklusif dan nir-Kekerasan

Gereja merupakan perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini. Sebagai perpanjangan tangan Tuhan, Gereja selalu menuntut jemaatnya agar turut serta dalam menjadikan dunia ini, dunia yang nir-kekerasan. Hal ini terlihat dari kehidupan Yesus sendiri yang nir-kekerasan. Yesus membongkar mekanisme kekerasan demi dunia yang lebih baik yang nir-kekerasan. Girard yang jatuh pada kesimpulan bahwa: violence is the heart and secret soul of the sacred memberikan terang bagi kita di mana menurutnya, setiap praktik-praktik religius yang berasal dari inisiatif manusia selalu melibatkan bentuk-bentuk ‘kekerasan yang baik’ sebagai usaha untuk mengakhiri ‘kekerasan yang buruk’. Maka kekerasan (yang baik) sebagai antidote bagi kekerasan (yang buruk).
                Namun hal ini yang digugat oleh Yesus dalam pewartaannya di dalam Injil Mateus. Yesus menyerukan suara kebenaran yang membongkar mekanisme kekerasan dalam kultur religius. Yesus sangat berhasil dalam menyerukan suara kebenaran ini. Tidak ada cara lain bagi-Nya untuk melihat dan menyatakan kebenaran mengenai kekerasan tersebut kecuali dengan cara yang telah Ia tempuh, menjadi korban kekerasan itu sendiri. Namun sebelum membongkar mekanisme ini, Yesus harus memiliki kebenaran tersebut. Kebenaran berarti berada dalam posisi sebagai oposisi dari kekerasan. Selain Yesus, tidak ada manusia yang telah berhasil membongkar mekanisme kekerasan yang terpendam ini. Oleh karena kemampuan-Nya, Girard percaya bahwa Yesus adalah Tuhan bukan karena Ia disalibkan, tapi karena Ia adalah Tuhan yang datang dari Tuhan, sejak dunia ini belum dijadikan. Hal ini terbukti karena Yesus sebagai korban dan pembongkar mekanisme kekerasan melebihi kemampuan manusia di dunia.[17]
                Pemahaman Girard tentang “hanya Yesus saja” ini yang menurut saya akan membuat Gereja menjadi ekslusif. Keekslusifan ini juga muncul apabila Gereja memahami dirinya sebagai agama Kristen yang memiliki keunikan khas yang tidak dimiliki agama lain. Einmaligkeit des Christentums. Syukur kepada Allah jika saat ini Gereja telah berhasil meninggalkan paham yang seperti ini. Apalagi, Gereja Khatolik yang dahulu memiliki pemahaman yang eksklusif, sekarang telah membuka diri dan mendiskusikan dialog mengenai keselamatan yang dapat diperoleh tanpa harus melewati Yesus. Gereja memang seharusnya memiliki kekhasan seperti ini, namun jangan sampai keunikan khas ini membuat Gereja menjadi eksklusif dan mengeksploitasi siapapun. Jika hal ini terjadi, maka Gereja sendiri inilah yang sebenarnya hendak dijauhi oleh Yesus. Hal ini menjadi ironis jika Gereja sendiri sebagai perpanjangan tangan Tuhan tidak diakui bahkan dijauhi oleh Yesus karena Gereja mengidap penyakit mekanisme kekerasan.
Jika Gereja ingin tetap menjadi unik, maka Yesus-lah yang seharusnya menjadi model bagi Gereja. Kekristenan berarti hidup yang mengikuti Kristus Yesus yang di dalam hakikat-Nya adalah nir-kekerasan, walaupun menjadi korban merupakan konsekuensinya. Namun prinsip hidup di atas tidak hanya dimiliki oleh orang Kristen. Kita tahu bahwa banyak orang yang menjauhkan diri dan hidup dengan nir-kekerasan. Di dunia ini juga terdapat banyak manusia yang bersedia menjadi korban daripada membuat korban dan berkompromi dengan kekerasan. Berjumpa dengan orang-orang seperti ini, maka keeksklusifan Gereja tidak dapat lagi dipertahankan.
Penekanan penginjilan Yesus adalah cinta kasih yang nir-kekerasan. Yesus menjadi khas bukan karena kekuasan dan kehebatan-Nya melainkan karena ketidakberdayaan dan kelemahan-Nya. Yesus dinaungi oleh Wajah Allah dan hadir sebagai manusia yang penuh cinta ini dibentuk dalam dunia kekerasan! Namun dengan mengosongkan diri-Nya dari kekerasan dan menjadi korban dalam mekanisme ini, Yesus muncul tidak hanya sebagai Juruselamat manusia dari dosa, melainkan juga model mimesis bagi kehidupan manusia yang lebih baik. Mimesis rivalitas tergantikan dengan mimesis Kristus yang berpusat pada agape, kasih yang tidak egois. Perjuangan keras demi kekuasaan digantikan dengan logika yang lembut yang disadarkan pada sumber kekuasaan yang lain di dalam kasih. Implikasinya adalah bahwa Gereja harus berani hidup nir-kekerasan dan berusaha memperbaiki dunia yang dilanda kekerasan ini dengan menyuarakan suara kebenaran yang menelanjangi mekanisme kekerasan di dunia ini. Karena sikap nir-kekerasan tentu saja bukan memberikan diri sebagai Gereja yang pasif pada tindakan kekerasan. Gereja yang nir-kekerasan berarti Gereja yang mengajarkan cinta dan memberikan cinta seluruhnya kepada seluruh umat manusia. Cinta yang tidak membalaskan dendam dan kosong dari kekerasan. Cinta yang membongkar mekanisme kekerasan yang mematikan dan mewabah di dunia, khususnya Indonesia.
Tragedi Mei sendiri merupakan salah satu dari sekian banyak tindak kekerasan yang menyodorkan kambing hitam sebagai penyelesaian permasalahan dalam krisis sosial di Indonesia. Krisis ini terjadi juga karena kerapuhan kultural di Indonesia. Gereja yang ingin membongkar mekanisme kekerasan juga perlu menaruh perhatiannya terhadap kerapuhan kultural ini. Gereja yang ingin membongkar mekanisme kekerasan perlu memiliki kesadaran tentang persoalan ini. Kepekaan laiknya Yesus yang berhasil melihat jauh ke dalam kekerasan dan menemukan akarnya serta membongkar mekanismenya perlu juga dimiliki Gereja yang adalah perpanjangan tangan Tuhan. Dengan kesadaran ini, Gereja dapat menjadi teladan dalam mengelakkan diri dari kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang sekian lama telah terstigma sebagai antidote kekerasan di Indonesia. Catatan sejarah Indonesia mengenai kekerasan terhadap etnis Tionghoa bukan hanya menjadi sebuah cerita kelam pada masa lalu melainkan juga sebuah teguran persuasif yang mengajak kita untuk membangun kultur yang lebih baik, yang bebas dari segala mekanisme kekerasan dan sistem kultural yang rapuh demi masa depan yang lebih baik.

“Bawa pergi apa yang bisa kaubawa, ambillah dariku hanya hal-hal yang,
setelah kau renungkan, juga benar menurutmu.” (Mahatma Gandhi)
Orange’s House, Bausasran Yogyakarta
Selayang pandang ke arah masa depan yang lebih baik
Selamat Natal 2011 dan Tahun Baru 2012


Daftar Pustaka

Aukerman, Dale, Darkening Valley: a Biblical Perspective of Nuclear War, New York: The Seaubury Press, 1981.
Barclay, William, Pemahaman Alkitab setiap hari: Injil Matius pasal 11-28, terj. Ferdinand Suleeman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Duyverman, M. E., Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Gilligan, James, Violence: Reflections on a National Epidemic, New York: Vintage Books, 1997.
Girard, Rene bersama Jean-Michel Oughourlian dan Guy Lefort, Things Hidden since the Foundation of the World, Stanford, California: Stanford University Press, 1987.
Girard, Rene, The Girard Reader, New York: Orbis Books, 1996.
                       , The Scapegoat, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986.
                       , Violence and the Sacred, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979.
Heer, J. J. de, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Lefebure, Leo D., Revelation, The Religions and Violence, terj. Bambang Subandrijo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Schwager, Raymund, Must There be Scapegoats? Violence and Redemption in the Bible, San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1987.


[1] Jaques Ellul, Violence: Reflections from Christian perspective, 1969, 100, dikutip oleh Dale Aukerman dalam Darkening Valley: a biblical perspective of nuclear war (New York: The Seaubury Press, 1981), p. 2.
[2] James Gilligan, Violence: Reflections on a National Epidemic (New York: Vintage Books, 1997), p. 65.
[3] Rene Girard, Violence and the Sacred (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979); dan Rene Girard bersama Jean-Michel Oughourlian dan Guy Lefort, Things Hidden since the Foundation of the World (Stanford, California: Stanford University Press, 1987).
[4] Raymund Schwager, Must There be Scapegoats? Violence and Redemption in the Bible (San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1987), p. 4.
[5] Rene Girard, “To Double Bussiness Bound”: Essays on Literature, Mimesis and Anthropology, 1978 yang dikutip di dalam tulisan Leo D. Lefebure, Revelation, The Religions and Violence. terj. Bambang Subandrijo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), p. 27.
[6] Rene Girard, The Scapegoat (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986), p. 106.
[7] Rene Girard, Violence and the Sacred (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979), p. 31.
[8] Saya menggunakan istilah “ahli taurat dan orang Farisi zaman Yesus” agar pembaca memahami dan tidak mengeneralisasikan pemahamannya mengenai ahli taurat dan orang Farisi. Tentu saja perbedaan yang muncul akan banyak sekali jika dilihat pada zaman-zaman sebelum atau sesudahnya.
[9] William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari: Injil Matius pasal 11-28. terj. Ferdinand Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p. 472.
[10] M. E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p. 46.
[11] J. J. de Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), p. 6.
[12] Heer, Tafsiran, p. 7.
[13] Unanimitas dalam hal ini berarti kesertamertaan yang serempak setuju. Unanimitas kekerasan merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan mengenai kekerasan yang dipicu dari persetujuan kolektif yang mengorbankan satu pihak sebagai kambing hitamnya. Unanimitas secara singkat dalam konteks ini berarti “semua melawan satu”.
[14] Rene Girard, The Girard Reader (New York: Orbis Books, 1996), p. 182.
[15] Girard, Reader, p. 187.
[16] Dalam hal ini saya menggunakan kata “Cina” sebagai konotasi negatif dan mengandung unsur perendahan bahkan penghinaan dengan metamorfosis kata “Tionghoa” menjadi “Cina”. Alternatif lain untuk menyebutkan ini secara positif, menurut Emanuel Gerrit Singgih adalah dengan menggunakan kata “China”; baca: caina.
[17] Girard, Reader, p. 271.