Senin, 07 Februari 2011

Filsafat, Sebuah Cara Mengetahui: Sebuah Cara Menuju Dunia Ide Plato

Tulisan ini ditulis oleh Angela Debora M. Pontororing
sebagai Paper Akhir Filsafat Yunani


Pendahuluan
            Untuk keperluan pengerjaan paper ini, saya membaca buku-buku mengenai Plato dan ajaran filsafatnya dengan harapan bisa menemukan tema yang menarik untuk diangkat. Namun setelah membaca the republic (politeia) sampai setengahnya, saya masih kesulitan menemukan tema yang menarik, sementara batas waktu pengumpulan paper semakin mendekat. Di tengah kepanikan saya, terbersit kembali sebuah potongan diskusi tentang mitos gua Plato dalam kelas Filsafat Yunani.
Dalam diskusi tersebut, beberapa mahasiswa mempertanyakan, “apakah dengan memandang bahwa manusia hanya bisa mengetahui bayang-bayang dari dunia ide, maka Plato terjebak dalam pemikiran pesimis tentang manusia?”
 Dituntun oleh Pdt. Djaka Prasetya sebagai dosen pengampu, kami para mahasiswa berusaha mencari jawaban dari pertanyaan tersebut. Jawaban yang muncul kemudian mengarahkan kami pada pertanyaan berikutnya yaitu, “apakah memang tidak mungkin bagi manusia untuk mencapai dunia ide itu? Jika mungkin, bagaimana caranya?”
Mendengar pertanyaan tersebut, saya yang sebelumnya hanya duduk selonjoran di pojok kelas tiba-tiba tertarik dan terdorong untuk ikut memberikan pendapat. Saya mengacungkan tangan dan mengutarakan, “Menurut saya manusia bisa menemukan dunia ide itu melalui filsafat. Ketika manusia berusaha mencari kebenaran terdalam (hakekat dan esensi) dari segala sesuatu, di situlah manusia bisa menemukan sedikit dari dunia ide itu, meskipun mungkin tidak semua.”
Perkataan saya itu hanyalah berupa opini yang didasari oleh pengamatan sekedarnya atas ajaran Plato dan hakekat dari filsafat. Pada saat itu, saya tidak benar-benar memiliki dasar argumen yang kuat dan bahkan tidak begitu memahami ajaran Plato sendiri mengenai dunia ide. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya hendak mempelajari lebih lanjut mengenai kebenaran pernyataan saya saat itu.
Agar bisa mengetahui benar atau tidaknya pernyataan tersebut, saya akan membahas lebih jauh mengenai mitos gua Plato, yang menggambarkan pemikirannya mengenai dunia ide. Selanjutnya saya akan mengangkat ajaran Plato mengenai jiwa yang juga berkaitan erat dengan pemahamannya akan dunia ide. Yang terakhir dan yang paling penting saya akan membahas mengenai pengenalan dunia ide dan dunia fisik menurut Plato.

Ajaran Tentang Ide
            Ajaran Plato tentang ide-ide memang cukup sulit untuk diapahami, tapi justru ajaran inilah yang mendasari seluruh permahaman dan filsafat Plato. Yang pertama-tama harus diluruskan adalah, yang dimaksudkan plato dengan “ide” berbeda dengan pengertian modern tentang “ide”. Bagi Plato “ide” adalah sesuatu yang sempurna dan objektif, yang dari padanya seluruh pemikiran mengacu. Ide ada dan terlepas dari subjek yang berpikir dan bahkan terlepas dari pemikiran itu sendiri. Ide tidak tergantung pada pemikiran manusia, sebaliknya pemikiran manusia merupakan proyeksi dari ide.
            Untuk bisa memahaminya dengan lebih jelas, kita bisa memanfaatkan ilmu pasti terutama matematika yang sangat dijunjung tinggi dalam Akademia milik Plato. Ilmu pasti tidak pernah membicarakan sesuatu yang konkret. Ketika berbicara mengenai segitiga, ilmu ukur tidak hanya membicarakan segitiga tertentu dengan panjang dan sudut yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalil-dalil mengenai segitiga adalah dalil yang berlaku umum untuk segitiga manapun yang bisa digambar atau dibentuk manusia. Jadi, dalil-dalil tersebut didasarkan bukan pada segitiga tertentu melainkan segitiga pada umumnya, yang sempurna atau yang ideal[1].
Ilmu ukur membicarakan tentang segitiga yang ideal dan bukan segitiga yang konkret, yang memiliki panjang dan sudut tertentu. Dan karena tidak mungkin sebuah ilmu pasti membiacarakan sesuatu yang tidak ada, maka seharusnya yang ideal itu juga memiliki realtiasnya sendiri. Jadi, harus terdapat suatu ide tentang “segitiga”, sementara segitiga-segitiga yang  kita lihat, yang memiliki panjang tertentu adalah tiruan atau proyeksi tidak sempurna dari ide “segitiga”[2].
Ketika kita membicarakan “kemeja putih” kita berarti memiliki dua konsep yang terkait sekaligus juga mandiri pada dirinya sendiri. Melalui pengamatan panca indera, kita menghadapi sebuah kemeja yang berwarna putih. Namun demikian, kita juga mengetahui bahwa ada kemeja-kemeja lain yang tetap disebut kemeja meskipun warnanya berbeda dengan “kemeja putih” tersebut. Selain itu, ada juga dinding putih, kain putih, kulit putih, yang meskipun wujudnya berbeda dengan “kemeja putih”, kita tetap menyebutnya putih. Berarti terdapat eksistensi ide yang terpisah antara “kemeja” dan “putih” yang sempurna pada dirinya sendiri, yang tidak tercampur dengan yang lain.
            Dalam usahanya untuk menjelaskan ajarannya tentang dunia ide, Plato menceritkan sebuah mitos tentang goa. Gambaran tentang mitos goa ini bisa ditemukan dalam Politeia (VII, 514a-518b) karya Plato.
     Manusia tinggal di goa bawah tanah. Kaki dan leher mereka dirantai sehingga mereka tidak bisa bergerak. Mereka hanya bisa melihat lurus kedepan. Rantai dileher juga mencegah mereka memutar kepala mereka.Diatas dan dibelakang mereka ada api yang menyala. Didepan mereka ada tembok pendek. Beberapa diantara mereka berbicara , sebagian lain tetap diam. Setiap tahanan hanya melihat bayangan yang dilemparkan api dari dunia luar goa , realitas yang sesungguhnya.
Sesuatu yang indah kemudian terjadi. Salah satu tawanan tidak terantai. Ketika salah satu dari mereka memaksa untuk berdiri atau memutar lehernya, dia menderita nyeri yang hebat. Matanya dibutakan oleh silau cahaya api. Dia tidak dapat mengenali sesuatu yang berbayang , yang sebelumnya telah diliatnya. Dia percaya bahwa bayangan itu lebih nyata daripada yang dia lihat sekarang. Dia ingin kembali menjadi tawanan , kondisi dimana dia telah terbiasa.
Dia tetap tidak merasa nyaman. Kemudian memaksa keluar dari goa dan menuju terangnya sinar matahari, tapi yang dirasakan hanya perasaan sakit, oleh silaunya terang matahari. Dia tidak bisa membedakan objek apapun dibawah sinar matahari. Dia musti membiasakan matanya secara perlahan. Kemudian dia melihat segala sesuatu di dunia luar. Pertama dan paling mudah , dia melihat bayangan , kemudian pantulan di permukaan air , kemudian objek nyata itu sendiri , kemudian sang malam , cahaya rembulan  dan akhirnya cahaya matahari dan matahari itu sendiri. Sekarang dia tidak hanya melihat refleksi dari realitas tapi melihat realitas itu sendiri. Dia memproses suatu pemikiran bahwa sang matahari yang memberikan dunia dengan berbagai musim, yang mengatur segalanya dan dalam nalar tertentu merupakan sumber dari segala sesuatu yang dia lihat dalam goa.
Dia sadar betapa beruntungnya dia , ketika dia mengingat keadaan sebelumnya , sebagai tawanan goa. Kemudian dia kembali ke goa untuk membebaskan tawanan lainnya. Yang pertama terlihat adalah kegelapan total, tidak melihat apapun. Dia akan membuat dirinya konyol jika dia mencoba bersaing dengan tawanan lain menerjemahkan bayangan dalam goa tersebut. Dia akan disalahkan atas aksinya keluar dari goa  dan jika dia membebaskan tawanan lain , mereka akan membunuhnya[3].
Dalam mitos ini, manusia digambarkan sebagai orang-orang yang dirantai di dalam gua. Pengetahuan yang kita dapatkan melalui panca indera, adalah bayang-bayang yang selama ini kita lihat. Karena kita hanya bisa melihat bayang-bayang itu seumur hidup, maka kita mempercayainya sebagai realitas dan kebenaran. Namun, ketika salah satu dari tahanan itu dapat lepas, ia menyadari bahwa bayang-bayang tersebut bukanlah satu-satunya realitas. Di balik bayang-bayang itu ada figur-figur dan api yang memproyeksikan bayangan ke dinding yang selama ini mereka lihat. Lebih jauh lagi, di luar gua terdapatlah realitas yang sebenarnya dengan matahari sebagai penerangnya.
Melalui mitos ini, Plato hendak menyampaikan bahwa realitas yang sebenarnya berada jauh dari realitas indrawi manusia. Realitas yang sebenarnya bersifat rohani, yang olehnya disebut “IDE”. Ide itu abadi dan tidak mengalami perubahan dan sempurna pada dirinya sendiri, sedangkan dunia indrawi kita selalu mengalami perubahan dan diwarnai oleh ketidakteraturan serta ketidaksempurnaan[4]. Dunia jasmani (indrawi) kita seolah-olah hanya merupakan tiruan dan proyeksi tak sempurna dari dunia ide. Karena itu, jika kita hendak memahami realitas yang sebenarnya, kita harus mengatasi dunia jasmani dan menjadi sanggup melihat ide-ide itu sendiri[5]. Dalam mitos goa, proses ini digambarkan seperti tahanan yang lepas yang berusaha melawan kesakitannya dan menyesuaikan diri dengan cahaya dan kondisi yang baru.
Di antara ide-ide tersebut, Plato menempatkan ide “yang baik” sebagai realitas tertinggi. Seluruh ide-ide yang lain mengacu kepada ide ini. Dalam mitos gua, “yang baik” ini digambarkan sebagai matahari, yang menerangi realitas-realitas yang lain. Sang Baik adalah tujuan (telos) dari segala yang ada. Segala sesuatu, termasuk manusia, mempunyai dinamika batin hakiki yang selalu ingin menuju kepada realitas tertinggi ini yaitu “yang baik”[6].

Ajaran Tentang Jiwa
            Ajaran Plato tentang dunia ide, mempengaruhi jawaban Plato atas pertanyaan tentang jiwa manusia. Menurutnya jiwa manusia tidak bisa didefinisikan sebagai “apa” atau “sesuatu”. Jalan terbaik adalah mempelajari daya-daya (dunamis) yang muncul dari padanya, yang bisa berarti pasif maupun aktif[7]. Sebagai contoh adalah ketika seseorang tersandung dan jatuh. Reaksi manusia yang merasa sakit merupakan aktifitas jiwa karena ia dikenai sesuatu (pasif). Namun, ketika jatuh manusia tidak hanya merasakan sakit. Selain merasa sakit, orang itu juga bisa merasa marah pada dirinya sendiri, merasa malu karena dilihat banyak orang. Dalam kompleksitas perasaan dan dorongan ini, jiwa menentukan reaksinya apakah ia akan mengeluh, menangis atau langsung berdiri seakan tidak terjadi apa-apa. Di sinilah jiwa memiliki daya aktif.
Dalam phaidros, plato menganggap jiwa sebagai prinsip yang menggerakkan dirinya sendiri dan oleh karenanya juga dapat menggerakan badan. Menurut Plato fungsi jiwa ini menuntut kebakaannya, karena tidak ada alasan mengapa pergerakan itu dapat berhenti[8].  Untuk dapat menerangkan pernyataannya ini, Plato menggunakan gambaran (mitos) kereta bersayap.
     Sebagai gambaran jiwa, sais adalah lambang untuk rasio (logistikon), sedangkan dua ekor kudanya, yang putih adalah lambang untuk hasrat harga diri (thumos) dan yang hitam adalah lambang bagi nafsu-nafsu rendah (epithumia) yang letaknya ada di bawah perut manusia. Sementara sayap yang membuat keseluruhan kereta jiwa bisa bergerak naik adalah lambang untuk eros[9].
Dengan gambaran seperti di atas, Plato menjelaskan bahwa sais dari kereta itu hendak menuju ke puncak langit tertinggi, agar bisa memandang “kerajaan ide”. Tapi karena kesalahan kuda hitam yang selalu ingin menuju ke bawah, mereka kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke bumi.
            Melalui gambaran tentang jiwa di atas, Plato menyatakan kembali keyakinannya bahwa tujuan hidup dari manusia adalah mencapai dunia ide, khususnya ide “yang baik” dan yang menjadi penggeraknya adalah jiwa. 3 fungsi jiwa (rasio, hawa nafsu dan harga diri) yang ia gambarkan melalui mitos tersebut juga kemudian dihubungkan dengan keutamaan-keutamaan. Bagian hawa nafsu memiliki pengendalian diri (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk bagian harga diri keutamaan yang spesifik adalah kegagahan (andreia). Dan bagian rasional dikaitakan dengan keutamaan kebijaksanaan (shopia). Dan keadilan (dikaiosyne) yang tugasnya adalah menjamin keseimbangan antara ketiga bagian jiwa[10].

Dua Macam Pengenalan (Doxa dan Episteme)
            Seperti yang telah tersirat dalam mitos goa, Plato membedakan dua macam pengenalan atas realitas. Yang pertama adalah pengenalan inderawi (doxa) mencakup benda-benda konkret yang senantiasa dalam perubahan. Dan yang kedua adalah pengenalan akal budi (episteme) menyangkut ide-ide yang abadi dan tak terubahkan[11]. Doxa atau juga opini, dianggap sebagai perintis menuju kepada episteme (pengetahuan), karena benda-benda konkret adalah proyeksi dari dunia ide. Jadi, dengan doxa kita menrintis jalan menuju kepada ide dan yang mengantarkan kita melangkah melebihi doxa adalah rasio dengan keutamaannya yaitu Sophia (kebijaksanaan).
            Dalam pembahasan dialogis antara opini dan pengetahuan atau lebih jauh lagi antara seorang Filsuf dan doxophilist, Plato pertama-tama menyajikan pemahaman bahwa filsafat mencakup segala pengetahuan. Contohnya ungkapan Plato yang menyatakan bahwa “pencinta kebijaksanaan menghendaki seluruh kebijaksanaan dan bukan hanya sebagiannya saja”.  Kemudian ia mengantar kita menuju kesimpulan bahwa seorang filsuf memiliki pengetahuan (episteme) sementara seorang doxophilist hanya memiliki doxa atau opini[12].
            Kembali kepada mitos goa, kita harus menyadari asumsi Plato, bahwa seorang yang hanya memiliki pengenalan inderawi (doxa) meyakini bahwa apa yang ia alami dalam gua adalah sebuah kebenaran dan satu-satunya realitas. Berangkat dari asumsi ini, Plato sebenarnya ingin menunjukkan bahwa ada suatu tingkat pengenalan atau pengetahuan yang lebih baik daripada mempercayai pengenalan inderawi, yaitu dengan filsafat (cinta akan kebijaksanaan).
            Plato menyakini bahwa kebijaksanaan tidak akan pernah dicapai tanpa dipengaruhi rasio, yaitu kepastian intelektual untuk tetap mengacu kepada kebenaran (dunia ide)[13]. Dibandingkan dengan doxophilist, yang hanya mengacu kepada pengenalan inderawi, yang terus berubah-ubah dan tidak pasti, maka filsafat menawarkan cara mengetahui yang lebih pasti dan tetap, karena mengacu kepada dunia ide yang kekal dan sempurna.  Karena itu dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan (filsafat) merupakan sarana berpikir secara benar.

Analisa dan Penutup
              Setelah melalui proses yang cukup panjang menelusuri pemikiran Plato saya menemukan sebuah sistematika yang mengagumkan. Dengan didasari oleh ajarannya tentang idea, Plato membangun sebuah kerangka pemikiran yang kompleks namun sekaligus jelas dan sederhana alurnya. Pemahamannya tentang dunia idea dan konsep tentang jiwa, membentuk sebuah jawaban atas pertanyaan dasar etika Yunani, mengenai tujuan hidup manusia dan keutamaan-keutamaan yang menjadi sarana mencapai tujuan itu.
Pada akhirnya ia juga mampu menjawab tantangan dari kaum sophis, yang menekankan relativisme (doxophilist) dan menempatkan manusia sebagai ukuran segala sesuatu. Sebagai gantinya ia menawarkan filsafat sebagai cara mengetahui yang mengacu kepada kebenaran yang hakiki (dunia ide), tanpa harus mendiskreditkan pengenalan inderawi (doxa). Meskipun secara sekilas Plato terlihat terlalu terpaku pada dunia ide dan sepertinya pesimis memandang dunia inderawi kita, ternyata tidaklah demikian. Plato tetap menghargai pengenalan inderawi kita sebagai perintis menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya, melalui filsafat.
Dengan demikian, saya akhirnya menemukan bahwa opini saya yang tadinya tidak memiliki dasar yang jelas, sebagai sebuah pernyataan yang sekarang bisa dipertanggungjawabkan secara sistematis dan rasional.  
                       


  



[1] Prof. Dr. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999) p.130
[2] Ibid., p.130
[3]Dikutip dari “Parabel Plato – Mitos Goa” http://bentara.asia/index.php?option=com_k2&view=item&id=117:the-parable-of-the-cave, diunduh 15 Desember 2010 pukul 23:12 WIB
[4] Dengan mengemukakan dua realitas ini, Plato menjembatani ajaran Herakleitos dan Parmenides yang bertentangan. Untuk lebih jelasnya lih. Bertens. Sejarah, p.133
[5] Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997) p.16
[6] Ibid., p.17
[7] A. Setyo Wibowo. Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010) p.33-34
[8] Bertens. Sejarah, p.137
[9] Wibowo. Arete, p. 36
[10] Bertens. Sejarah, p.139
[11] Ibid., p.138
[12] Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD. Plato: Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997) p.31
[13] Ibid., p.32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar