Minggu, 03 Juli 2011

Keadilan Vs. Kebebasan: Sebuah Akar Terorisme?

Abstraksi
Permasalahan terorisme menjadi salah satu hal yang harus segera ditanggapi kebanyakan orang Kristen yang juga merupakan bagian dari sistem masyarakat. Dalam tulisan ini saya mencoba menggali akar permasalahan terorisme yang merupakan permasalahan dalam segala aspek baik ekonomi, politik dan sebagainya yang terangkum dalam dua kata kunci: kebebasan dan keadilan. Tulisan ini juga mencoba memperlihatkan usaha beberapa ahli etika dan perspektif Kristiani yang mencoba memberikan beberapa opsi dalam menanggapi permasalahan ini.
Kata Kunci: kebebasan, keadilan, kekayaan, kekuasaan, tanggungjawab

Pokok Permasalahan dan Politik
Kematian Osama bin Laden hingga saat ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul—bahkan sebelum Osama bin Laden tewas (Minggu, 1 Mei 2011)—yaitu apakah kematiannya (baca: Osama bin Laden) akan menghapus fundamentalisme dan gerakan radikal yang dianggap banyak orang sebagai sebuah akar terorisme di dunia secara global? Ketika melihat mengenai terorisme, saya bertanya-tanya sebenarnya apa yang menjadi akar sebenarnya? Apakah memang seorang tokoh Osama bin Laden atau ada hal yang lain?
            Launa SIP, MM—seorang dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama—dalam tulisannya “Terorisme dan Kegagalan Demokrasi”[1] memberikan pandangannya mengenai hal ini di mana ia menjelaskan bahwa akar terorisme sebenarnya bukanlah persoalan dari seorang sosok, figur atau tokoh, namun harus dipahami dalam konteks “ideologi perlawanan”. Menurutnya, persoalannya terkait dengan persoalan pengangguran, kemiskinan, keterbelakangan dan keadilan di dunia yang diyakini sebagai hasil dari konspirasi jahat (kapitalisme) Barat dan perang terbuka ini merupakan salah satu wujud dari kekecewaan ini.
            Memang dapat dilihat demikian, ketika negara memiliki banyak sekali persoalan kemiskinan ini dan sulit sekali untuk diselesaikan—dalam arti jangka waktu yang panjang—maka terorisme akan sulit sekali untuk dihindari, bahkan dihindari secara permanen. Hal ini terlihat dari persepsi-persepsi masyarakat bahwa kematian Osama bin Laden akan secara otomatis memunculkan lebih banyak lagi penggantinya.
Demokrasi dinilai tidak begitu penting lagi oleh beberapa ahli, misalnya Lee Kuan Yew—seorang mantan Perdana Mentri Singapura—yang dikenal sebagai Lee Hypothesis[2] di mana hipotesis ini meyakini bahwa sistem non-demokrasi lebih bisa menjamin kesejahteraan ekonomi ketimbang bangsa-bangsa yang menganut sistem demokrasi. Padahal di Indonesia ini, sistem demokrasi-lah yang dianut olehnya di mana kerja demokrasi penuh (full-flaged democracy) menurut Launa meniscayakan keuletan, kesabaran, kesungguhan dan integritas; sebuah karakter pantang menyerah yang mengantarkan sebuah bangsa.
Namun permasalahannya adalah dalam demokrasi itu sendiri, kebebasan dan keadilan merupakan bagian permasalahannya. Layaknya negara Indonesia, walaupun menganut sistem demokrasi ini namun hal ini tidak dapat menjamin tidak adanya penyalahgunaan kebebasan pemerintah dalam menegakkan keadilan.
Menurut Launa memang benar, bahwa kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari politik keseharian sebuah rezim demokrasi. Namun menurutnya dalam konteks ini, demokrasi adalah sarana, bukan tujuan. Saya juga setuju dengan Launa yang berpendapat bahwa tujuan sebuah negara untuk berdemokrasi bukanlah demi demokrasi itu sendiri, melainkan untuk sesuatu beyond demokrasi, yakni kesejahteraan.
Filsuf Amartya Sen merekomendasikan tiga peran substantif demokrasi agar keberadaannya benar-benar bermakna sebagai sebuah pilihan[3]: [1] peran intrinsik sebagai penjamin partisipasi politik dan kemerdekaan dalam kehidupan manusia; [2] peran instrumental sebagai insentif politik dalam menjamin pemerintah yang dedikatif dan akuntabel; dan [3] peran konstruktif dalam pembentukan dan kultivasi nilai serta memahami kebutuhan, hak, dan kewajiban negara terhadap warganya.
Oleh karena itu, permasalahannya sebenarnya bukan kepada sistem pemerintahan itu sendiri. Menurut saya, semua sistem yang dianut sebuah negara merupakan suatu keputusan dalam menghadapi konteks permasalah kemiskinan, pengangguran dan masalah kesejahteraan itu sendiri yang dinilai baik sebagai jalan untuk mengatasinya. Namun penggunaan dan praktek sistem itu sendiri seharusnya yang dipertanyakan. Permasalahan dasarnya menurut saya sendiri merupakan masalah tanggungjawab dalam mengemban kebebasan berkuasa demi mencapai keadilan yang sesungguhnya. Oleh karena itu seperti yang saya kutip di dalam tulisan Launa, “menguatnya teror di negeri ini, per definisi, bukanlah penolakan terhadap demokrasi, namun lebih kepada ketidakbecusan pemerintah dalam mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan sebagai ‘mimpi bersama’”.

Pemanfaatan Kebebasan dan Krisis Keadilan
Charles Tilly—seperti yang dikutip oleh Launa, SIP, MM[4]—menunjukkan, fenomena pembangkangan sipil akan selalu hadir dalam masyarakat demokratis dan liberal, atau sekurangnya masyarakat yang menuju transisi ke arah sana[5].
            Keadilan selalu menjadi permasalahan dari sebuah sistem pemerintahan dalam negara manapun. Krisis legitimasi menurut Habermas merupakan salah satu pemicu dari respon natural atas krisis keadilan di mana para pembangkang memanfaatkan kebebasan yang tersedia dalam masyarakat sebagai medianya. Menurut Launa, di dalam negara yang hukumnya tidak adil inilah embrio masyarakat sipil pembangkang melahirkan sebuah pemberontakan dengan cara yang kadang massive. Kepercayaan rakyat kepada lembaga institusi pemerintahan—baik demokrasi maupun non-demokrasi—sebagai perangkat penyelenggaraan kekuasaan (baca: kebebasan) pemerintah menjadi taruhannya.

Permasalahan korupsi di Indonesia merupakan salah satu tanda-tanda krisis keadilan dan penyalahgunaan kebebasan berkuasa tersebut. Menurut Launa, dalam cara pandang John Rawls, dalam karyanya A Theory of Justice, pembangkangan sipil malah dilihat sebagai kewajiban natural untuk menegakkan keadilan[6]. Bagi Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Nah, jika keadilan sebagai salah satu inti demokrasi gagal ditegakkan, maka jangan pernah berharap akan datang kesejahteraan. Jika kesejahteraan yang tak kunjung mewujud—bahkan yang dirasakan ketidakadilan, pengangguran, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakpuasan—maka jangan kita salahkan jika terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan pembangkangan sipil (civil disobedience) akan makin menguat di masa depan.

Konsep Tentang Keadilan
Keadilan dan kebebasan merupakan dua ide dasar dalam pemikiran yang bersifat politik. Keduanya memiliki perbedaan di mana keadilan merupakan kebaikan sosial, sedangkan kebebasan menyangkut dengan individual. Keadilan dikategorikan menjadi dua bagian yaitu keadilan konservatif dan keadilan progresif. Keadilan konservatif dilakukan untuk menjaga dan memulihkan sesuatu yang ada dengan melihat asumsi bahwa di dalam suatu masyarakat yang stabil setiap orang akan diuntungkan. Lain halnya dengan keadilan progresif dilakukan untuk mendistribusi kembali hak-hak yang ada demi terciptanya masyarakat yang lebih baik (baca: adil).
John Rawls tidak menyarankan agar konsep keadilan dapat diidentifikasi dengan kepentingan diri sendiri, namun keadilan adalah hal esensial yang tidak berat sebelah antara seseorang dengan orang yang lain. Jika seseorang bertanya pada dirinya sendiri dalam situasi apapun yang akan menjadi penyelesaian yang adil dari sebuah permasalahan, kita tidak akan berpikir dalam kerangka kepentingan diri kita sendiri. Di mana pemberian prioritas diri sendiri di atas orang lain dihilangkan. Ide Rawls mengenai keadilan yang menegakkan prioritas pada kesetaraan atau konsep kebutuhan mencakup tanda kegunaan yang umum tetapi benar-benar tidak termasuk penilaian dari jasa atau sepi/sunyi (tanpa adanya jasa).
John Rawls mengajukan sebuah hipotesis yang disebut sebagai “kontrak sosial hipotetis” sebagai metode untuk menjawab bagi diskursus tersebut. Ia meminta agar kita dapat membayangkan suatu situasi imajiner di mana terdapat sejumlah orang yang mengetahui dalil-dalil umum ilmu sosial namun sama sekali tidak memiliki pengetahuan (ignorant) tentang kemampuan, sejarah, dan status sosialnya—bahkan juga tidak memiliki pengetahuan tentang masyarakat mereka sendiri. Andai kata kemudian mereka diminta untuk membuat kesepakatan tentang prinsip-prinsip pembagian keuntungan dan kerugian, kita boleh yakin bahwa orang lain—dengan bertolak dari kepentingan pribadinya masing-masing—akan berupaya untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan beban bagi diri mereka masing-masing. Namun permasalahannya, mereka tidak tahu di manakah posisi mereka di tengah masyarakat mereka. Maka dari itu, niscaya mereka akan berupaya untuk menciptakan suatu kondisi terbaik bagi pihak yang berada di strata terendah dalam masyarakat mereka karena bisa saja ternyata merekalah yang menempati strata tersebut. Meski dilandasi oleh motif kepentingan pribadi masing-masing, tetapi kesepakatan yang mereka buat justru akan melayani kepentingan setiap orang secara adil. Bagi Rawl, pada prinsipnya keadilan memang adalah suatu tatanan institusional yang mendatangkan kesejahteraan bagi semua orang secara “tidak memihak” (impartial).[7]
Ada dua kesimpulan yang ditarik Rawl dari “kontrak sosial hipotetis”-nya: [1] Setiap orang yang diperhadapkan pada situasi imajiner tadi pertama-tama akan berupaya untuk memaksimalkan kemerdekaan yang setara; [2] Setiap orang akan sepakat bahwa kadang kala kita perlu sedikit “menyimpang” dari kesetaraan tersebut, sejauh “penyimpangan” itu pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan semua orang—termasuk mereka yang kurang beruntung di masyarakat. Kesimpulan [2] ditujukan untuk membedakan “ketidaksetaraan yang adil” (just) dari “ketidaksetaraan yang tidak adil” (unjust). Ketidaksetaraan—misalnya, dalam hal pemberian penghargaan atau kesempatan khusus—adalah adil ketika ia tidak hanya menguntungkan sebagian pihak saja, tetapi pada akhirnya akan menyejahterakan semua pihak dan mewujudkan kesetaraan di tengah masyarakat.
Sayangnya, kesimpulan Rawl tidak sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan rasional yang dapat diterima semua pihak. Misalnya, mengapa kita harus lebih mengutamakan mereka yang kurang beruntung? Tentu saja karena preferensi tersebut sejalan dengan intuisi kita tentang keadilan dan moralitas. Mengapa diasumsikan bahwa setiap orang yang diperhadapkan pada situasi imajiner tersebut pertama-tama akan mengutamakan kesetaraan kebebasan? Agaknya asumsi ini bertolak dari intuisi khas masyarakat Barat yang memang menjunjung tinggi kemerdekaan dan kesetaraan. Tampaknya “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorance) dalam situasi imajiner Rawls masih belum cukup gelap dan rapat untuk sama sekali mengeliminasi peran intuisi. Kesimpulan [1] dan [2] juga agaknya bertolak dari pengandaian yang sama sekali berseberangan. Kesimpulan [1] mengandaikan adanya “keberanian” (boldness) untuk menuntut kesetaraan dan kemerdekaan. Namun, kesimpulan [2] justru mengandaikan “ketakutan” (timidity) seseorang kalau-kalau ia ternyata jatuh dan menjadi bagian dari aras terendah masyarakatnya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Rawl memperjuangkan suatu konsep keadilan yang dicirikan dengan kesetaraan dan “ketidakberpihakan” (impartiality). Sejatinya perjuangan tersebut dapat dilakukan secara lebih sederhana, yakni dengan membayangkan diri kita berada di posisi mereka yang papa, sakit, dan cacat; dengan bersimpati kepada mereka.

Konsep Tentang Kebebasan
Kebebasan (freedom) selalu diartikan terbebas dari sejumlah  kekangan yang mungkin dan kebebasan melakukan apa yang diinginkan dan memilih apa yang akan dilakukan. Kehendak bebas (freedom of choice or free will) berbeda dengan kebebasan sosial (social freedom or liberty). Dapat diartikan bahwa ketika seorang laki-laki bebas untuk memilih antara macam tindakan, ini berarti bahwa dia tidak dicegah oleh sebab-sebab fisik atau psikologis dari memiliki dua pilihan yang asli terbuka padanya. Jika dia bebas, ini berarti ia tidak akan terkekang oleh tindakan orang lain. Hal ini penting untuk diingat karena hal ini merupakan waktu ketika seseorang menuntut kebebasan yang mengikuti suara hati atau hati nurani dan memilih tindakan yang ia yakini benar meskipun tidak popular dan cukup dapat dikenakan membawa konsekuensi terhadapnya.
Kata  bebas (liberty) erat kaitannya dengan kebebasan sosial (social freedom), bebas dari kekangan tindakan orang lain. Bebas (liberty) tidak digunakan kebebasan memilih, kebebasan dari kekangan sebab-sebab fisik atau psikologis berdasar pemilihan antar pilihan-pilihan. Kebebasan sosial (social freedom/ liberty) harus dibatasi guna menjadi efektif. Sebuah teori politik yang menempatkan kebebasan (liberty) secara tinggi di atas ukurannya terhadap nilai akan mendukung kemungkinan jumlah terbesar dari kebebasan (freedom) yang cocok serupa dengan kebebasan (freedom) untuk orang-orang yang lain.

Perspektif Kekristenan: Teladan Yesus Menghapus Akar Aksi Terorisme
Kebebasan merupakan sesuatu yang dihargai dalam Perjanjian Baru sebagai ciri hidup kekristenan. Oleh karena itu, saya mencoba memaparkan tinjauan dari beberapa segi dari kebebasan Yesus.
  1. Kebebasan dari Kepatuhan kepada Moralitas yang Eksklusif
Moralitas yang ekslusif dalam suatu tata moral selalu berdampak kurang baik bagi dunia luar. Pembatasan moral ini memisahkan salah satu kelompok dan membatasi bahkan menjauhkan mereka dari pihak lain. Menutup diri dari dunia luar sama dengan mengurangi kebebasan mereka.
            Taurat dalam Perjanjian Baru tidak jarang disebutkan sebagai sebuah pagar pemisah antara Yahudi dan orang non-Yahudi. Keterancaman Yahudi dari dunia luar membuat mereka semakin menerapkan unsur-unsur di dalam hukum taurat. Konsep moralitas mereka mengenai “umat pilihan” membuat mereka tertutup kepada dunia luar dan menganggap penting kesucian mereka. Moralitas tertutup ini memunculkan sebuah komunitas yang tertutup pula.
            Yesus berpendirian yang berlawanan dengan pandangan moralitas tertutup ini. Yesus sendiri menembus kemutlakan hukum taurat dengan membedakannya dari kehendak Allah. Pandangan Yesus ini pula menimbulkan suatu pemahaman baru mengenai “persekutuan yang terpilih” di mana orang-orang di luar kalangan tertutup (kalangan yang terpisah) inilah merupakan persekutuan yang terpilih sesungguhnya. Dengan demikian Yesus mendirikan suatu “komunitas terbuka” melalui keterbukaanNya terhadap bangsa asing. Seperti kata Verne H. Fletcher, Yesus adalah Allah yang mengundang semua orang[8]. Dengan demikian maka tidak ada lagi keterpisahan antara kaum yang dianggap lemah terhadap kaum yang lebih kuat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

  1. Kebebasan dari Harta Dunia
Menurut Yesus, kekayaan sangat mengandung bahaya. Artinya Yesus mengingatkan bahwa kenikmatan dari kekayaan sifatnya adalah sementara dan terbatas bahkan tidak memadai. Keserakahan merupakan salah satu dampaknya. Kecenderungan yang terjadi adalah menutup hati terhadap sesama. Ketidakadilan menjadi buah yang akan merejalela akibat pohon keserakahan yang tumbuh akibat kerinduan akan kekayaan.
            Yesus jelas sangat mencela ketidakadilan dan keserakahan. Ia menolak mentah-mentah mereka dan mengajak mereka untuk bertobat. Bukan hanya kepada orang kaya, roh ketamakan bisa muncul. Namun juga kepada orang-orang yang berada. Penghargaan terhadap rakyat jelata menjadi dorongan dari Yesus kepada orang-orang yang seperti ini. Kebebasan Yesus dari Harta Dunia menyisakan waktuNya kepada perhatianNya kepada rakyat jelata yang menderita dan golongan paling melarat. Hal ini yang sampai sekarang masih sulit untuk diikuti oleh banyak orang termasuk orang-orang yang ber-duit.

Berkenaan dengan Yesus, keadilan berarti tekun demi keadilan Pemerintahan Allah. Perhatian terhadap kaum miskin dan lapar menjadi faktor utama keadilanNya. Kedamaian menjadi visi pemerintahan Allah dimana kedamaian yang dimaksud adalah kedamaian akibat keadilan, bukannya kedamaian yang menyelubungi ketidakadilan di mana-mana. Ini diperlihatkan dengan jelas melalui Matius 6:33, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Keadilan-Nya) maka semuanya itu (termasuk sandang dan pangan) akan ditambahkan kepadamu”.
John Stott dalam bukunya Isu-isu Global: Menentang Kepemimpinan Kristiani menawarkan tiga pilihan bagi orang kaya Kristen: [1] menjadi miskin, di mana yang dituntut Yesus adalah memprioritaskan Yesus Kristus di atas bahkan keluarga dan harta benda kita sehingga dengan meninggalkan segala kekayaan kita, kita dapat membuang jauh-jauh segala macam keserakahan, matrealisme dan kemewahan serta bermurah hati kepada orang miskin dalam kerelaan untuk berkorban bagi kepentingan mereka; [2] mempertahankan kekayaan, namun dengan tetap mengingat bahaya-bahaya spritual yang terkandung di dalam kekayaan (seperti perkataan Yesus di mana tidak mustahil namun sukar bagi orang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah); atau [3] bermurah hati dan merasa cukup, di mana kita dituntut untuk hidup bersahaja yang merupakan rahasia kedamaian batin—hidup sederhana sebagai tujuan agar mampu menyumbang dengan kemurahan hati yang besar, baik untuk meringankan beban penderitaan maupun untuk pengabaran injil[9].
Kemiskinan dianggap sebagai suatu keadaan yang tidak layak terjadi yang disebabkan oleh ketidaksetiaan pihak yang telah diberkati Allah untuk mempertanggungjawabkan kekayaan mereka di hadapan-Nya. Oleh karena itu Allah muncul sebagai pembela orang-orang miskin melalui nabi-nabiNya. Mereka mengecam kemunafikan orang-orang kaya yang menindas orang-orang miskin. Wibawa Yesus berlawanan dengan kekuasaan politik yang menindas dan menolak kedudukan. Kesediaan untuk melayani menjadi sebuah pengabdian terbesar dalam mengemban tanggungjawab kekuasaan. Tanggung jawab merupakan kepentingan yang harus diemban oleh semua orang Kristen. Hal ini juga diorasikan terus menerus oleh H. Richard dan Reinhold Niebuhr. Etika Kristiani merupakan etika yang mengedepankan pertanggung jawaban atas apa yang ada di dunia sebagai anugerah dari Allah.[10]
Dengan demikian kehidupan berbangsa dan bernegara akan hidup dalam tatanan keadilan untuk kedamaian dan penghapusan terhadap akar-akar aksi terorisme sebagai dampaknya.




Daftar Pustaka
http://www.presstv.com/usdetail/181172.html (diunduh hari Kamis, 18 Mei 2011, pukul 21.37 WIB)
Fletcher, Verne H,. 2007. Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: Gunung Mulia.
Klitgaard, Robert,. 2005. Membasmi Korupsi,  Edisi ke-3, terj. Hermojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rawls, John,. 2003. A Theory of Justice. United States of America: Havard University Press.
Stott, John,. 1994. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, terj. G.M.A. Nainggolan. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.
Lovin, Robin W,. “Becoming Responsible in Christian Ethics” dalam Studies in Christian Ethics 22.4. (2009).
Tilly, Charles,. 2007. Democracy. United States of America: Cambridge University Press.
-----------,.        2003. The Politics of Collective Violence. United States of America: Cambridge University Press.
Winarno, Budi,. 2007. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Yogyakarta: Media Pressindo.


[2] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi,  Edisi ke-3, terj. Hermojo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 164.
[3] Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), hal. 117, yang dikutip oleh Launa SIP, MM dalam tulisannya yang berjudul “Terorisme dan Kegagalan Demokrasi”; bnd. . http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=95286:terorisme-dan-kegagalan-demokrasi&catid=78:umum&Itemid=139#
[5] Charles Tilly, Democracy (United States of America: Cambridge University Press, 2007),  hal. 176. Bnd. Charles Tilly, The Politics of Collective Violence (United States of America: Cambridge University Press, 2003), hal 81.
[6] Tulisan John Rawls, A Theory of Justice (United States of America: Havard University Press, 2003), hal. 326, yang dikutip oleh Launa SIP, MM dalam tulisannya yang berjudul “Terorisme dan Kegagalan Demorasi”; bnd. . http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=95286:terorisme-dan-kegagalan-demokrasi&catid=78:umum&Itemid=139#
[7] John Rawls, A Theory of Justice (United States of America: Havard University Press, 2003), hal. 207-210
[8] Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), hal. 264.
[9] John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, terj. G.M.A. Nainggolan (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994), hal. 320-322.
[10] Robin W. Lovin, “Becoming Responsible in Christian Ethics” dalam Studies in Christian Ethics 22.4. (2009). Hal 389-398.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar