Jumat, 09 Desember 2011

ibaratuna syatta wa husnuha wahid / wa kullun ila dzaka al-jamali yusiru

Pendahuluan

Pembahasan mengenai dialog agama—khususnya dalam ranah agama Kristen-Islam—merupakan hal yang sudah tidak asing lagi bagi zaman posmodern ini. Djaka Soetapa memperlihatkan bahwa agama sendiri memiliki tiga tingkatan: [1] having religion; [2] being religious; dan [3] being inter-religious. Poin ketiga merupakan harapan banyak orang dalam rangka hidup bersama di tengah dunia yang pluralistik ini. Dengan mengingat keterbatasan pembahasan saya dalam paper ini, maka saya akan membahas poin ketiga saja yang menjadi titik tolak kerangka pemikiran saya. Paper ini juga berangkat dari pertanyaan Djaka Soetapa mengenai: mungkinkah umat Kristen dapat beribadah bersama dengan umat lain? Saya mengira bahwa pertanyaan ini sangat luas karena mencakup pelbagai agama. Oleh karena itu saya mengerucutkan prasa “umat lain” dalam kerangka pandangan terhadap umat Islam, khususnya di Indonesia. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengajak pembaca untuk melihat permasalahan dan melakukan penelurusan demi sekedar mencandra titik temu agama Kristen-Islam. Lalu lebih jauh saya menggunakan metode filsafat perenial demi menjembatani gap antara Kristen dan Islam untuk saling menerima iman dan pengertian masing-masing.
***

Kesadaran akan Pluralisme: Perdebatan Sepanjang Masa

Pluralisme merupakan tantangan bagi semua agama. Hal ini yang memicu perdebatan sepanjang masa antara Kristen dengan Islam karena pendekatan ekslusif yang dilakukan oleh agama-agama ini selama ratusan tahun terakhir ini.[1] Misalnya dalam agama Kristen yang telah terlebih dahulu mempersoalkan masalah teologis tentang pluralisme pernah berpendapat bahwa banyaknya misionaris yang memadai di seluruh dunia akan menghasilkan pertobatan semua orang dan mengikuti jalan Yesus Kristus. Namun dengan lantang pernyataan ini akhir-akhir ini ditentang oleh banyak ahli, termasuk Paul F. Knitter yang berpendapat bahwa “jika kita menganggap pertobatan global sebagai tujuan ilahi misi Kristen, hasilnya akan mengecewakan”.[2]
                Menurut Knitter, tidak ada jalan satu-satunya bagi semua orang. Edward Schillebeeckx bahkan menambahkan bahwa keyakinan teguh yang terus dipegang seseorang sebagai kebenaran di mana yang lainnya salah tidak dimungkinkan lagi sekarang ini. Dalam konteks ini, kalau ada yang mengatakan bahwa cara seseorang yang merupakan satu-satunya kemungkinan yang ada untuk memahami kebenaran agama, maka ia adalah orang yang hidup di dalam zaman yang sesat.[3]
Dalam aspek kehidupan lainnya, umat Kristiani yang merupakan bagian dari masyarakat mayoritas Muslim tentu tidak hanya saling berbagi daerah untuk tinggal, mereka juga akan berbagi peran dan tempat dalam setiap aspek kehidupan di Indonesia. Oleh karena hal itu, kesadaran akan keragaman merupakan peran penting dalam melangkah ke level pembahasan yang lebih jauh. Menurut Schillebeeckx hal ini dikarenakan, keragaman (agama) bukanlah merupakan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu kekayaan yang harus diterima dan dinikmati oleh semua. “… Di dalam semua agama terdapat lebih banyak kebenaran agamis dari pada di dalam satu agama. … Ini juga terjadi di dalam agama Kristen”.[4] Bahkan ide pluralisme sendiri berangkat dari anggapan bahwa agama-agama itu tidak sama dan karena itu pluralisme diperlukan untuk menjawab realitas masyarakat Indonesia yang plural ini. Karena ada realitas yang plural dalam masyarakat Indonesia maka kita perlu bersikap pluralis, yakni menerima dan menghargai realitas yang plural.
Maka dengan ini kita dapat melihat bahwa permasalahan dalam mendialogkan agama bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini terang karena pluralisme itu tidak berarti sinkretisme di mana berusaha untuk mencampurkan agama. Justru karena pluralisme itu mengakui perbedaan, maka perbedaan itu perlu dikembangkan. Pluralisme yang menghargai identitas pribadi, bangsa, agama, budaya, tetapi identitas yang tidak eksklusif. Pandangan akan menjadi keliru apabila kita menganggap bahwa menerima pluralisme berarti melakukan sinkretisme keagamaan. Walaupun pertanyaan yang menjadi tema penulisan ini mengarah kepada hal yang saya takutkan di atas mengenai sinkretisme, namun ada baiknya jika kita tidak terlalu cepat jatuh pada kesimpulan yang keliru ini.
***
Satu Dunia namun Banyak Jalan Menuju Yang Ilahi: Tinjauan Filsafat Perenial yang Berusaha Mencerahkan Pertanyaan Djaka Soetapa
Secara etimologi, istilah filsafat perenial atau perenialisme berasal dari istilah latin, yakni: philosophia perennis yang secara harafiah berarti “filsafat yang abadi”. Filsafat perenis merupakan usaha dalam memahami agama di masa kini dan masa depan. Hal ini sudah menjadi kajian yang cukup dikenal banyak pemikir dalam ranah teologi agama-agama.[5] Dalam filsafat perenis, ketika membicarakan mengenai agama, filsafat perenis berusaha mencandranya dalam tiga aspek: pertama, bahwa sumber segala wujud Tuhan yang Mahabenar adalah Satu, sehingga semua agama yang muncul dari Yang Satu ini pada prinsipnya “sama” karena memiliki Satu sumber. Kedua, bahwa yang menjadi pembahasan filsafat perenial tentu adalah fenomena kepelbagaian agama secara kritis dan kontemplatif. Maksudnya adalah meskipun agama “yang benar” hanya satu, namun yang benar ini diturunkan kepada spektrum manusia dalam ranah historis dan sosiologis sehingga muncul dalam bentuk yang pluralistik. Jadi, kesamaan dalam beberapa aspek dapat dimungkinkan tanpa mengesampingkan kekhasan masing-masing agama. Ketiga, bahwa filsafat perenial menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas individu atau kolektif melalui ritus, simbol dan pengalaman keagamaan lainnya.
                Hakikat agama yang benar itu hanya satu. Kemunculan agama dalam ruang dan waktu yang tidak secara simultan melahirkan pluralitas dan partikularitasnya yang tak terelakkan dari realitas sejarah. Dengan kata lain, menurut Hidayat dan Nafis, pesan kebenaran yang absolut masuk ke dalam dialektika dengan sejarah.[6] Karena kekentalan nuansa spiritualitas agama-agama dalam filsafat perenis, penelurusan terhadapnya menemukan bahwa filsafat perenis muncul dari hasil telaah kritis para filosof sufi pada zamannya melalui pengalaman-pengalaman mistis seperti metafisis kesatuan atau wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang berhasil menggambarkan perjalanan spiritual demi menemukan kembali Yang Mahakudus (rediscovery of the Sacred).
                Dalam kaitan inilah Djaka Soetapa menerangkan doktrin mengenai tauhid[7] yang menurutnya bukan merupakan milik Islam saja, melainkan juga sebagai inti dari agama Kristen.[8] Dalam pengertian ini, Djaka Soetapa menerangkan islam (dengan huruf “i” kecil, dalam paper ini akan ditulis dengan huruf cetak miring) dalam pengertian generiknya, yakni “sikap pasrah penuh (kepada Tuhan)”. Maksudnya adalah untuk membedakan antara Islam sebagai sebuah institusi keagamaan dengan islam sebagai cara hidup manusia yang berkenan bagi Allah, secara universal. Hal ini senada dengan Nurcholish Madjid—seorang pemikir Islam Progresif yang mula memperkenalkan metode ini pada tahun 1990-an—bahwa islam artinya pasrah kepada Allah, sikap yang merupakan inti ajaran agama yang benar di sisi Allah yang dalam al-Qur’an disebut al-islam (Q. 3:19).
                Konsep tauhid sendiri tidak hanya terletak pada pengakuan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa melainkan lebih substansial dari itu yaitu penerimaan dan respons cinta kasih dan kehendak Tuhan yang dialamatkan kepada manusia. Secara esoteris, ide mengenai monoteisme terdapat pada setiap tradisi pemikiran agama Islam dan Kristen. Dalam sejarahnya, manusia menyebut Yang Mahamutlak ini dengan berbagai nama dan istilah padahal secara substansial kepelbagaian nama ini menunjuk kepada Yang Satu, Yang Cantik. Penyembahan kepada-Nya pun dilakukan dengan banyak cara. Dengan menggunakan pemahaman ini, maka Yang Satu adalah Yang Banyak sekaligus dapat dipandang bahwa Yang Satu dalam Yang Banyak dengan demikian Yang Banyak dalam Yang Satu. Seyyed Hossein Nasr membantu saya memahami hal ini. Ia menyebutnya dengan the One in the Many atau the Many in the One.[9] Dengan demikian maka substansi dari agama menjadi penting. Apapun nama agama dan cara menyembah Yang Cantik ini tetap memiliki satu substansi yang hierarki. Maka dengan konsep ini kita dapat memahami bahwa agama adalah “jalan” menuju Tuhan.
                Namun saya dengan terang menegaskan bahwa konsep ini bukan berarti Yang Banyak adalah Yang Absolut maka dengan serta merta banyak Yang Absolut. Ini yang seringkali dipahami sebagai pluralisme yang keliru. Padahal “banyak Yang Absolut” berarti sama dengan “tidak ada Yang Absolut”. Bukan juga berarti “harus ada” satu agama benar yang absolut kebenarannya dan superior. Mengapa harus seperti ini? Bukankah semua agama meyakini bahwa Yang Cantik itu lebih dari segala sesuatu yang bisa kita ketahui dan dipikirkan oleh manusia? Dan semua agama juga tentu tahu bahwa Yang Cantik itu tidak mungkin diketahui secara absolut? Kalau begitu berarti jika satu agama mau membuat anggapan absolut, maka ia pun harus terbuka terhadap anggapan-anggapan absolut lainnya.
                Apabila pemahaman seperti ini tidak ditekankan maka pluralisme akan menjadi niscaya karena setiap tradisi keagamaan tidak akan mampu secara epistimologi merumuskan Realitas Absolut yang disebut Tuhan, atau Allah, Yang Mutlak, Yang Absolut, Yang Banyak atau Yang Cantik yang tidak bisa dinamakan. Sebab apabila setiap agama mengaku dapat merumuskan segala-galanya tentang Tuhan, maka ia sudah menjadi Tuhan itu sendiri, bukan lagi jalan menuju Tuhan. Penekanan terhadap konsep ini harus menjadi dasar pemikiran kita untuk memulai menjawab pertanyaan Djaka Soetapa dan melangkah lebih jauh. 
                Nampaknya melalui pemahaman ini kita dapat sedikit menjawab pertanyaan Djaka Soetapa. Kemungkinan untuk beribadah dengan “umat lain” akan ada apabila pemahaman seperti ini yang menjadi pondasi pemikiran Islam-Kristen. Sikap menerima dan saling menghormati satu sama lain merupakan hal yang sangat rawan dan harus dikedepankan. Namun nampaknya permasalahan yang ada tidak sesederhana seperti yang coba saya cerahkan di atas. Masih banyak pemahaman yang dapat dijadikan wacana sebelum jauh menjawab dengan pasti pertanyaan ini. Misalnya seperti yang diangkat dan coba dicerahkan oleh Wahyu S. Wibowo bahwa permasalahan krusial Islam-Kristen terletak pada Kristologi. Seluruh dasar utama Kristologi yang diimani dalam kekristenan jelas ditolak oleh Islam. Namun dengan membuat sejajar Yesus dengan al-Qur’an sebagai Kalam Allah (Word of God), maka pertentangan ini setidaknya dapat paling tidak ditanggapi secara kritis demi re-interpretasi terhadap Kristologi dan pemahaman Islam yang menentang Kristologi.[10] Lalu apa yang perlu dilakukan secara konkret kepada manusia agama Kristen-Islam demi berjalan menuju cita-cita untuk beribadah bersama saat ini?
***
Bridging not Bounding? Sebuah Kesimpulan dan Jawaban Akhir pada Pertanyaan Djaka Soetapa
Pendidikan mengenai pluralisme merupakan pendidikan yang sedang gencar-gencarnya diberikan di berbagai fakultas khususnya filsafat dan teologi agama-agama. Baik Kristen maupun Islam, pendidikan mengenai pluralisme menjadi penting akibat kesadaran akan konteks pluralis secara khusus di Indonesia. Secara konkret, pendidikan pluralisme yang mulai digagas dan digiatkan diharapkan dapat menelusup kepada seluruh manusia di Indonesia. Bagi beberapa ahli teologi-teologi agama—secara khusus agama Islam—pengajaran kepada pluralisme kepada masyarakat banyak berarti menciptakan sebanyak mungkin kegiatan-kegiatan yang bersifat bridging, yaitu kegiatan-kegiatan yang membawa mereka pada kehidupan berdampingan dengan kelompok lain, baik agama, etnis, maupun budaya dan sebagainya, bukan bounding yang hanya melibatkan unsur dari agama tertentu. Semakin manusia Indonesia terbiasa dengan keragaman maka akan semakin kuat pula pluralisme dalam masyarakat.
                Semua agama tentu berbeda. Tidak ada agama yang sama. Berbeda dalam pemahaman, doktrin, institusi, umat, hari besar, Kitab Suci, ruang, tempat dan waktu bahkan liturgi dalam beribadah yang dianggap suci oleh para pengikutnya dan begitu seterusnya. Namun di dalam perbedaan ini terdapat common pattern yang tidak terekspresikan keluar. Berbagai macam unsur sering ter-(bahkan di-)lupakan misalnya humanitas atau kemanusiaannya. Dengan menyadari akan hal ini, sudah barang tentu ini merupakan dasar dari pluralisme yang mendorong dialog antaragama dan antariman. Dialog yang sejati adalah dialog yang harus berangkat dari ketulusan hati masing-masing pemeluk agama bahwa kita mengakui adanya keterbatasan tetapi sekaligus juga mempunyai pelbagai kelebihan untuk saling berbagi.
Ada seekor sapi merumput di kehijauan
Di atas punggungnya tiba-tiba hinggap
Seekor burung jalak hitam
Burung jalak itu memunguti kutu-kutu
Di sela bulu-bulu sapi
Burung jalak kenyang sapi pun senang
Sebuah persahabatan
Yang menghormati kehidupan
Persaudaraan dua ekor hewan
Yang berbeda bentuk, jenis dan kebiasaan
Tapi yang bisa rukun di tengah alam
Bisa damai di bawah Tuhan
(Penggalan puisi karya KH. D. Zamawi Imron[11] yang berjudul, “Keroncong Air Mata”)

***



Rumah Orange, Bausasran - Yogyakarta
“Berbeda-beda, namun Yang Cantik adalah Satu”
Dipersembahkan untuk Ywardhana Septiani Bulo dan keluarganya di Toraja,
Selamat Natal 2010 dan Tahun Baru 2011


Daftar Pustaka
Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, vol. 33 No. 1, April 2009.
Hick, John, “A Philosopy of Religious Pluralism” dalam Paul Badham (ed.), A John Hick Reader, London: Macmillan, 1990.
Hidayat, Komaruddin dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Paramadina, 1995.
Knitter, Paul F., Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Munawar-Rachman, Budhy, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat & Paramadina, 2010.
Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003.
Schillebeeckx, Edward, The Church: The Human Story of God, New York: Crossroad, 1990.


arti: “bahasa kita berbeda-beda tapi Yang Cantik adalah Satu / dan masing-masing berjalan menuju Yang Cantik itu”. Sebuah syair karangan KH. Husein Muhammad dalam Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat & Paramadina, 2010), p. 570.
[1] John Hick, “A Philosopy of Religious Pluralism” dalam Paul Badham (ed.), A John Hick Reader (London: Macmillan, 1990), pp. 161-127.
[2] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), p. 7.
[3] Edward Schillebeeckx, “The Church: The Human Story of God” dalam Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), [pp. 50-51] p. 8.
[4] Ibid., p. 9.
[5] Lih. Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995)
[6] Ibid., p. 6.
[7] Tauhid adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Seorang Islam meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling benar.
[8] Dalam hal ini, Djaka Soetapa sering menerangkan mengenai trinitas yang bukanlah triteisme. Karena seringkali Islam salah mengerti mengenai trinitas. Hanya saja penjelasan mengenai hal ini bukanlah tujuan utama dari paper ini.
[9] Lih. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003).
[10] Wahyu S. Wibowo, “Kristologi dalam Konteks Islam di Indonesia” dalam Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, vol. 33 No. 1, April 2009, pp. 39-49.
[11] KH. D. Zamawi Imron adalah seorang ulama dan budayawan terkemuka Indonesia. Puisi ini dimuat untuk mengenang 40 tahun orasi pembaharuan Islam Nurcholish Madjid, 3 Januari 1970-2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar