Sabtu, 05 November 2011

In Memory of Her : Sebuah Pengantar menuju Kritik Feminist

Latar Belakang Kemunculan

Awal mula kemunculan kritik feminist merupakan sebuah proyeksi dari gerakan perempuan di tahun 1960-an. Menurut saya, kritik feminist sebenarnya dapat digolongkan ke dalam kritik ideologi di mana sebuah kritik didasarkan pada suatu ideologi tertentu—dalam hal ini adalah ideologi bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki derajat dan hak yang setara. Saya melihat hal ini karena gerakan perempuan ini dilakukan berdasarkan kepada kesadaran akan perlunya memperjuangkan kesetaraan derajat dan hak perempuan di tengah kehidupan yang menurut mereka—dan sekiranya saya mengafirmasi hal ini—didominasi oleh laki-laki. Hal inilah yang menjadikan kritik feminist sangat bersifat kritis terhadap pendekatan-pendekatan teks Alkitab yang ada di dunia Barat yang sampai saat ini dianggap sangat bersifat male oriented (berorientasi lelaki). Permasalahan ini seringkali dikenal dengan ungkapan bias gender.
            Gender sendiri tidak dapat hanya dimengerti sebatas perbedaan seksual saja melainkan berurusan dengan sebuah konstruksi budaya di mana seringkali membedakan tingkah dan perilaku antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada pandangan dasar terhadap laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang berbeda secara seksual dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu kritik ini senantiasa bertumpu kepada pemahaman dasar (baca: pra-anggapan) bahwa segala teks apapun senantiasa tidak pernah bebas dari bias gender dan oleh karenanya—menurut kritik ini, tidak ada teks yang akan bersifat netral tergantung dari siapa penulisnya, laki-laki atau pun perempuan.
            Di bawah ini saya menggunakan frasa “kritikus feminist” dan bukan “kaum feminist” sebagai para pengguna kritik feminist untuk menghindari pembaca memahami maknanya sebatas “kaum perempuan”. Hal ini karena seringkali pembaca, ketika membaca kata “feminist” selalu dihubungkan dengan kata “feminin” yang berarti (hanya) perempuan saja. Saya melihat bahwa, saya sebagai laki-laki yang menulis karangan ini merasa perlu mendapatkan perhatian paling tidak karena saat ini saya memposisikan diri saya juga sebagai seorang kritikus feminist.
            Dalam kerangka bias gender ini, para kritikus feminist memiliki pandangan dasar bahwa berabad-abad lamanya masyarakat telah dipengaruhi oleh pandangan dasar bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan dengan perempuan dan oleh karenanya memiliki kecenderungan menganggap laki-laki lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Pandangan dasar ini yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan di masyarakat, baik dalam kehidupan sosial pada umumnya, politik, ekonomi dan budaya. Kritik feminist berusaha me-rekonstruksi kembali pandangan masyarakat yang seperti ini. Menurut mereka, dominasi yang demikian dalam suatu tataran hierarkis ini pada umumnya diterima masyarakat (seolah-olah) sebagai kodratnya dan bukan sekedar konstruksi budaya semata. Sikap ini juga yang seringkali tidak disadari tergores dalam setiap tulisan hasil dari suatu masyarakat yang di dalamnya termasuk juga teks-teks Alkitab. Keadaan ini menanamkan sebuah keyakinan kepada kritik feminist bahwa teks-teks Alkitab yang menjadi dasar kehidupan orang Kristen, mengandung (pra)anggapan yang menempatkan dominasi laki-laki atas perempuan. Karena itu, memang salah satu tugas besar dari kritik feminist ini adalah mengungkapkan presupisuisi bias gender dalam proses penafsiran teks-teks Alkitab.
            Bagi kritikus feminist, teks-teks Alkitab yang kita miliki sekarang ini merupakan hasil tulisan laki-laki. Maka jelas bahwa teks yang ditulis menggunakan perspektif laki-laki ini mendasarkan pemahamannya dalam teks yang mendominasi perspektif perempuan. Penganut kritik feminist yang radikal malahan mempertanyakan, mengapa perempuan harus membaca Alkitab? Oleh karena itu, para kritikus feminist mengerucutkan diri mereka pada penafsiran ulang atas teks-teks dengan senantiasa mengingat konstruksi budaya yang membedakan perilaku laki-laki dengan perempuan di dalamnya. Sebagai contoh, pendekatan Elisabeth Schussler Fiorenza dalam bukunya mendapatkan perhatian saya.

Markus 14:3 dari Kaca Mata Kritik Feminist

Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu, dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus (Markus 14:3)
Nampak ada tiga orang murid Yesus yang cukup menonjol dalam kisah penderitaan Yesus yang diberitakan oleh Injil Markus. Di satu pihak adalah Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus dan Petrus yang menyangkal Dia, sedangkan pada lain pihak adalah seorang perempuan yang mengurapi Yesus, yang namanya tidak disebutkan. Kita seringkali menemukan bahwa kisah pengkhianatan Yudas dan penyangkalan Petrus terhadap Yesus begitu jelas teringat dalam memori kita sebagai orang Kristen sedangkan kisah perempuan yang mengurapi Yesus ini (hampir) sebagian besar dilupakan. Mengapa kisah ini dilupakan sedangkan kisah seorang pengkhianat sepanjang masa begitu dikenang hanya karena kisah ini dibintangi oleh seorang perempuan? Padahal terang bahwa pasal 14:9 menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh perempuan itu akan disebut “untuk mengingat dia”.
            Jika kita melihat kisah ini di keempat kitab Injil, maka kita akan menemukan bahwa cara meredaksi kisah ini kembali senantiasa diwarnai oleh kehidupan patriakhi di dunia Greko-Yunani saat itu. Lukas menggeser pusat ceritanya dari seorang murid perempuan yang setia menjadi seorang pendosa (Lukas 7:36) sedangkan Injil Yohanes mengidentifikasikan perempuan tadi sebagai Maria dari Bethani yang juga seorang teman setia Yesus (Yohanes 12:1). Pertanyaannya apakah Lukas menggunakan sumber yang diambil dari Injil Markus atau tidak ini masih merupakan permasalahan yang sering diperdebatkan. Permasalahan ini tampaknya tidak begitu berarti manakala kita mengingat bahwa kecenderungan orang Kristen yakni membaca kisah di dalam Injil Markus dengan menggunakan kaca mata Injil Lukas. Tekanannya adalah keberdosaan perempuan tadi yang akhirnya mendapatkan pengampunan dari Yesus.
            Namun terlepas dari perbedaan keempat Injil tersebut, nampaknya jelas bahwa semua kisah menempatkan perempuan tersebut sebagai orang yang mengurapi Yesus. Jikalau kisah asli dalam kisah ini adalah mengenai pembasuhan kaki yang merupakan fenomen budaya yang umum di dalam Sitz im Leben, maka akan sangat saya ragukan apabila kisah seperti ini diingat dan diceritakan kembali sebagai berita Injil. Oleh karena itu kemungkinan besar kisah aslinya adalah kisah pengurapan kepala dan bukan pembasuhan kaki. Dalam tradisi Perjanjian Lama, seorang raja harus diurapi kepalanya terlebih dahulu oleh seorang nabi untuk dinobatkan menjadi raja. Dilihat dari terang ini maka kita dapat mengambil paham bahwa pengurapan kepala Yesus telah dimengerti sebagai simbol nabiah atas diri Yesus sebagai Messias, Kristus, Yang Diurapi. Maka di sini kita akan menemukan adanya suatu unsur politis karena pengharapan Messianis ketika itu merupakan pengharapan yang bersifat politis. Messias yang diharapkan dahulu adalah seorang raja yang perkasa, yang memerintah dengan keadilan dan kebenaran, dan yang akan mengalahkan semua kekuatan politik yang ada, terutama kekuatan yang menindas bangsa Israel!
            Kita juga menemukan bahwa di dalam Injil Markus, kisahnya dikemas sedemikian rupa dalam plot antara para pemimpin agama Yahudi yang hendak menangkap Yesus dengan pengkhianatan Yudas Iskariot. Hal ini men-depolitisasi kisah dengan cara menggeser tuduhan bahwa pemerintah Romawi sebagai pihak yang bertanggung jawab kepada para pemimpin agama Yahudi atas kematian Yesus. Bahkan Markus secara teologis mere-definisikan ke-Messias-an Yesus tidak lagi di dalam makna politis seperti yang saya jelaskan di atas melainkan di dalam makna teologis sebagai Messias yang sengsara, menderita dan mati.
            Markus juga melihat bahwa para murid Yesus—yang semuanya laki-laki—tidak memahami ke-Messias-an Yesus secara teologis seperti ini. Mereka bahkan menolak untuk akhirnya meninggalkan Yesus. Sedangkan murid perempuan yang telah mengikuti Yesus dari Galilea ke Yerusalem tiba-tiba muncul sebagai “murid yang sebenarnya” dalam kisah penderitaan Yesus tadi. Karena itu murid perempuan tadilah yang disebut sebagai pengikut Yesus yang sesungguhnya, yang memahami bahwa pelayanan Yesus bukan secara politis (dalam kemuliaan raja) melainkan secara diakonia (Markus 15:41).
            Dalam kisah penderitaan Yesus ini, Markus berhasil menampilkan para perempuan sebagai saksi dan pelayan yang sebenarnya. Perempuan yang anonim dalam kisah ini telah dijadikan model (baca: paradigma) sesungguhnya bagi murid yang sebenarnya di hadapan Yesus. Sementara Petrus yang mengaku Yesus sebagai “Yang Diurapi” tidak mengerti makna yang sebenarnya, perempuan yang mengurapi Yesus memahami betul bahwa Yesuslah Messias yang sengsara, menderita dan mati.
            Sehubungan dengan interpretasi ini maka kritikus feminist menyatakan keyakinan mereka bahwa Injil yang sebenarnya tidak pernah dapat diberitakan apabila murid perempuan yang mengikuti Yesus dengan segala hal yang dilakukan mereka tidak pernah diingat dan dikenang. Dalam hubungan inilah maka buku Fiorenza ini diberi judul In Memory of Her yang berarti “untuk mengenang perempuan itu”.
Tinjauan terhadap Kritik Feminist
Setelah saya mempresentasikan kritik feminist dan meninjau hal ini, kami di dalam diskusi Forum Studi Biblika menghasilkan beberapa pandangan terhadap kritik feminist, yaitu:
1.      Sebenarnya permasalahan di dalam kritik feminist—yang kurang lebih menjadi permasalahan sebagian kritik kontemporer, misalnya kritik poskolonial—adalah permasalahan “dominasi”. Kepedulian permasalahan gender menurut kami bukanlah permasalahan pembelaan terhadap kaum perempuan (saja) melainkan kaum yang ter-subaltern. Selain itu, pembelaan terhadap perempuan atau “kaum yang tertindas” bukanlah tujuan utama dari kritik ini.
2.      Namun dalam terang kepedulian gender (seksualitas) juga sebaiknya kita melihat bahwa adanya konstruksi-konstruksi kodrati. Hal ini juga harus diperhatikan mana kala setiap perspektif akan berbeda tergantung dari siapa yang menulis dan menggunakan perspektif siapa. Walaupun demikian, kita juga harus menyadari bahwa teks senantiasa rapuh dan oleh karenanya terdapat detail-detail yang rapuh juga yang sangat mengusik sebuah ideologi penulis teks.
3.      Berkaitan dengan kritik feminist yang merupakan bagian dari kritik ideologi, memang kita akan diperhadapkan kepada pelbagai ideologi dan mengidentifikasikan diri kepada satu ideologi tertentu, namun bukan berarti kita mengesampingkan yang lain dengan cara siap melihat dan mengkaji kritik demi transformasi ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, kita sebaiknya menjauhkan diri dari konsep either..or dengan maksud menerima yang satu dan menolak yang lain melainkan dengan sikap paradoksal melihat keterhubungan atau “sisi lain” dari pemahaman kita mengenai ideologi ini. Oleh karenanya juga diperlukan kesadaran untuk melihat bahwa ideologi seringkali tidak hanya ditentukan oleh person tertentu melainkan konstruksi aspek-aspek lainnya yang sangat mempengaruhi mereka.

Orange’s House, 5 November 2011
Dedicated to Forum Studi Biblika UKDW
None but ourselves can free our minds.

(Bob Marley)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar