Minggu, 01 Januari 2012

Manunggaling Kawula Gusti dan Teori Hasrat Segitiga: Sebuah Usaha Dialektis dalam Ranah Teologis

Perkenankanlah saya memulai tulisan ini dengan beberapa penjelasan. Tentu saya tidak menuliskan paper ini secara sangat sistematis dengan menjelaskan konsep, memberikan pendapat dan menuliskan implikasi teologis dari hasil penulisan saya. Namun saya berusaha mempertahankan gaya penulisan yang “ngobrol” sesuai judul yang saya berikan, sebuah usaha dialektis dalam ranah teologis. Tema yang saya angkat adalah Manunggaling Kawula lan Gusti yang ada di dalam masyarakat Jawa dan sebuah teori dari Rene Girard seorang sejarawan Prancis, kritikus sastra dan antropolog mengenai Hasrat Segitiga atau sering disebut mimesis. Setelah menjelaskan mengenai keduanya, saya mencoba mendialogkan kedua konsep ini dan memberikan implikasinya secara teologis bagi kehidupan berteologi dan spiritualitas. Namun melihat kapasitas yang diberikan di dalam tugas akhir ini, saya berusaha “memadatkan” penjelasan-penjelasan yang menurut saya tidak dapat dijelaskan dengan sangat singkat.
            Maksud penulisan ini muncul akibat saya melihat bahwa pemahaman Manunggaling Kawula lan Gusti, yang merupakan salah satu pondasi prinsip etis dalam masyarakat Jawa, merupakan salah satu pemahaman Timur, seperti Teori Hasrat Segitiga atau mimesis, yang merupakan salah satu dari sekian banyak pemahaman Barat, di mana keduanya merupakan suatu cara dalam menghayati Tuhan. Ketika melihat dua pemahaman ini, saya merasa bahwa keduanya memiliki suatu pondasi yang (hampir) dapat dikatakan sama namun jelas berbeda. Dalam kerangka inilah saya mencoba mendialogkan kedua pemahaman ini, tanpa bermaksud untuk memisahkan secara independen antara pemahaman Timur dan pemahaman Barat, ataupun memisahkan kedua prinsip ini dalam pandangan yang dualistis. Karena pada hakekatnya, keduanya adalah merupakan cara masing-masing untuk menghayati Hyang Ilahi.

Mengenal Manunggaling Kawula lan Gusti Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa menghayati Tuhan sebagai suatu Zat Yang Maha Kuasa; sesuatu yang tidak dapat dideskripsikan wujud dan keadaan-Nya. Pandangan ini secara khusus terdapat dalam masyarakat Jawa yang menganut aliran kebatinan. Ungkapan yang dijelaskan oleh Yusak Tridarmanto adalah ungkapan tan kena kinaya ngapa[1]. Ungkapan ini pada dirinya sendiri telah menjelaskan bahwa sekuat apapun manusia berusaha menjelaskan tentang Tuhan, mereka tidak akan pernah mampu melukiskan keadaan Tuhan yang sebenar-benarnya. Dari konteks wacana ini jugalah masyarakat Jawa tetap meyakini bahwa Tuhan merupakan keberadaan yang nyata. Entah seperti apa dan dapat diungkapkan atau tidak. Oleh karenanya, di dalam masyarakat Jawa muncul suatu pengalaman religius dalam kehidupan konkrit yang dilukiskan dalam istilah Manunggaling Kawula lan Gusti.
            Dalam pandangan masyarakat Jawa sendiri, Manunggaling Kawula lan Gusti tidak hanya berarti menyatunya hamba (baca: manusia) dengan Tuhan dalam arti yang harafiah. Syekh Siti Jenar, salah seorang tokoh yang dianggap sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di pulau Jawa dianggap sesat karena ajarannya mengenai Manunggaling Kawula lan Gusti. Masyarakat Islam saat itu berpendapat bahwa Jenar mengumpamakan dirinya sama seperti Gusti. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Manunggaling Kawula lan Gusti berarti menyatunya Tuhan dengan makhluk-Nya[2].
            Namun melalui penjelasan Yusak Tridarmanto, pemahaman ini telah ada dalam mistik Jawa di mana esensi manusia yang paling dalam adalah Allah sendiri! Hal ini diafirmasi oleh Rahimsyah bahwa sebenarnya, Manunggaling Kawula lan Gusti berarti bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan. Hal ini diperjelas oleh Rahimsyah melalui ayat al-Quran yang berbunyi:
Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. Shaad:71-72)
            Dalam ceritanya mengenai Dewaruci, Yusak Tridarmanto menjelaskan bahwa manusia dapat mencapai tataran hidup Manunggaling Kawula lan Gusti apabila ia mampu menguasai kehidupannya sendiri daripada dikuasai oleh hawa nafsunya semata. Apabila ia dapat menguasai hal ini, ia juga secara sertamerta dapat mengetahui apa yang seharusnya diperbuat, yang baik bagi dirinya, sesama dan lingkungannya. Oleh karena inilah seluruh kehidupan masyarakat Jawa akan diatur dan diarahkan oleh kehidupan batiniahnya yang bersifat ilahi—dalam arti dapat menguasai dirinya dari hawa nafsu dan tindakan jahat yang nir-ilahi. Hamemayu hayuning bawana merupakan salah satu semboyan yang menunjukkan bahwa manusia akan menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan melakukan apa saja yang baik bagi kehidupannya sehingga tidak mudah disesatkan oleh berbagai macam pengajaran yang menyesatkan. Dari prinsip inilah lahir sikap hidup etis masyarakat Jawa.

Mengenal Teori Hasrat Segitiga (Mimesis) Rene Girard[3]
Rene Girard sebagai seorang antropolog menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki passions (nafsu) dan oleh karenanya mudah dikuasai oleh kemarahan dan kegeraman. Ketika manusia menjadi marah, maka manusia siap untuk menjadi pembunuh yang mematikan![4] Namun permasalahannya adalah manusia juga melakukan hal itu walaupun seringkali belum mengetahui dengan pasti tujuan dari hal tersebut. Menurut Girard, hal ini disebabkan karena ia memiliki nafsu untuk mengingini sesuatu (objek) yang ia lihat tidak ada pada dirinya sendiri (subjek) namun ada pada orang lain (mediator). Teori mengenai hal ini seringkali disebutnya sebagai teori hasrat segitiga (tringular desire) atau mimesis.
             Menurut Girard, mimesis ini mau tak mau menyimpan rivalitas. Mediator yang semula menjadi objek mimesis, mau tak mau akan dianggap sebagai rival yang menghalangi hasrat subjek mimesis. Oleh karena hal itulah maka konflik menjadi salah satu unsur dinamis dalam mimesis.[5] Oleh karenanya Girard menemukan bahwa mekanisme kambing hitam (scapegoat)-lah yang dapat membatasi kekerasan dengan mengalihkannya untuk menghindari kekerasan yang lebih hebat lagi.[6] Kekerasan sebagai antidote kekerasan. Hal ini terjadi akibat “dimasukkannya” transendensi ilahi ke dalam nilai-nilai manusia melalui mekanisme kambing hitam demi keluar dari khazanah kekerasan.
            Manusia purba menggunakan mekanisme seperti ini selama berulang-ulang. Pengalaman mereka akan kekerasan membuat mereka mampu belajar dari pengalaman mereka dan memahami bahwa cara yang paling efektif dalam mencegah kekerasan yang tak terkendali adalah dengan menyalurkan ketegangan kelompok pada individu-individu tertentu. Bersamaan dengan hal tersebut, “pembunuhan awali” telah menuntut adanya korban-korban berdarah—entah manusia atau hewan—sebagai kambing hitam penyelesaiannya. Bahkan hal ini diritualisasi dan disakralkan dengan melihat bahwa kambing hitam mereka adalah penyelamat bagi mereka. Proses yang begitu mendua ini melihat korban sebagai kambing hitam dan juga sebagai pembawa perdamaian. Oleh karena sakralisasi tadi, kambing hitam sering dipandang sebagai korban ilahi. Maka lewat ritus dan upacara ritualnya, agama mengulangi proses di atas setiap kali kekacauan muncul.
            Dengan begitu kita akan menemukan bahwa kekerasan menurut Girard merupakan titik tolak dari semua fenomena manusia. Walaupun tidak dapat disangkali bahwa “alam pikir” Girard memang dikuasai oleh sebagian kultur manusia dan kerangka budaya yang berada di sebelah Barat, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di Timur pun nampaknya memiliki fenomena kekerasan yang hampir (jika tidak ingin hanya dikatakan) sama. Dan oleh karenanya, Girard jatuh kepada kesimpulan bahwa: violence is the heart and secret soul of the sacred.[7]
            Lebih jauh lagi, menurut Girard, agama diperlukan demi meniadakan atau memperkecil kekerasan. Namun akibat kelepasannya dari kekerasan, agama dapat diterjang oleh kekerasan dan menjadi kekerasan itu sendiri. Ini merupakan dualisme yang lain mengenai agama. Oleh karena itu, tidak jarang agama melakukan kekerasan atas nama Tuhan dan asosiasi keagamaan mereka. Beberapa agama bahkan diam ketika kekerasan itu merajalela. Pendiaman ini merupakan bagian dari kekerasan! Girard juga menekankan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah kekerasan. Itu terjadi bukan karena agama tetapi karena krisis mimesis yang ada dalam mazbah kehidupan interaksi manusia. Kalaupun kekerasan berkaitan dengan agama, hal itu bukanlah hal yang dasariah melainkan peristiwa yang kemudian. Agama tidak instrinsik dengan kekerasan, agama justru berusaha menghilangkan kekerasan atau paling tidak mengurangi kekerasan tersebut.
            Namun hal ini yang digugat oleh Yesus dalam pewartaannya di dalam Injil Mateus. Yesus menyerukan suara kebenaran yang membongkar mekanisme kekerasan dalam kultur religius. Pembongkaran Yesus ditandai dengan kecaman Yesus terhadap ahli taurat dan orang-orang Farisi zaman Yesus hidup[8]:  34Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, 35supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. 36Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!" (Mateus 23:34-36, TB-LAI). Yesus sangat berhasil dalam menyerukan suara kebenaran ini. John Howder Yoder, seorang pecinta damai Kristiani yang terkenal menulis:
Kristus adalah agape; penyerahan diri, cinta yang pasrah… . Pada kayu Salib, kepasrahan ini termasuk penolakan penggunaan sarana-sarana politis tentang pertahanan diri, menemukan pengejawantahan tertinggi dalam kematian tanpa berkeluh kesah dan pengampunan yang tidak berdosa di tangan orang yang bersalah. Kematian ini mengungkapkan cara Tuhan menyingkapi si jahat; inilah satu-satunya titik awal yang kokoh bagi pecinta damai Kristiani atau kepasrahan. Salib adalah bukti luar biasa yang dicari agape, bukannya keefektifan juga bukan keadilan dan bersedia menderita kehilangan apa pun atau kekalahan demi ketaatan.[9]
Tidak ada cara lain bagi-Nya untuk melihat dan menyatakan kebenaran mengenai kekerasan tersebut kecuali dengan cara yang telah Ia tempuh, menjadi korban kekerasan itu sendiri: Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mateus 26:39, TB-LAI) atau pararelnya: Ya Bapaku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi (Lukas 22:42, TB-LAI).[10] Namun sebelum membongkar mekanisme ini, Yesus harus memiliki kebenaran tersebut. Kebenaran berarti berada dalam posisi sebagai oposisi dari kekerasan.
            Kekristenan berarti hidup yang mengikuti Kristus Yesus yang di dalam hakikat-Nya adalah nir-kekerasan, walaupun menjadi korban merupakan konsekuensinya. Namun prinsip hidup di atas tidak hanya dimiliki oleh orang Kristen. Kita tahu bahwa banyak orang yang menjauhkan diri dan hidup dengan nir-kekerasan. Penekanan penginjilan Yesus adalah cinta kasih yang nir-kekerasan. Yesus menjadi khas bukan karena kekuasan dan kehebatan-Nya melainkan karena ketidakberdayaan dan kelemahan-Nya. Yesus dinaungi oleh Wajah Allah dan hadir sebagai manusia yang penuh cinta ini dibentuk dalam dunia kekerasan! Namun dengan mengosongkan diri-Nya dari kekerasan dan menjadi korban dalam mekanisme ini, Yesus muncul tidak hanya sebagai Juruselamat manusia dari dosa, melainkan juga model mimesis bagi kehidupan manusia yang lebih baik. Mimesis rivalitas tergantikan dengan mimesis Kristus yang berpusat pada agape, kasih yang tidak egois. Perjuangan keras demi kekuasaan digantikan dengan logika yang lembut yang disadarkan pada sumber kekuasaan yang lain di dalam kasih.

Usaha Medialogkan Masyarakat Jawa dengan Rene Girard

Dengan melihat teori mimesis Girard ini, nampaknya kita menemukan bahwa Girard mengajak kita untuk berusaha menuju kepada mimesis Kristus sebagai suatu antitesis kekerasan dan kambing hitam atau korban pengganti. Usaha untuk “mengikut Yesus” sebagai suatu istilah populer Kristiani merupakan suatu usaha yang menurut saya sepaham dengan pondasi prinsip orang Jawa Manunggaling Kawula lan Gusti. Menurut pemahaman Jawa, memang Manunggaling Kawula lan Gusti menekankan bahwa esensi terdalam manusia adalah Allah sendiri dan ini tercapai apabila manusia mampu menguasai kehidupannya sendiri daripada dikuasai oleh hawa nafsunya semata. Dalam bahasa Girard, manusia dapat mencapai tingkat mimesis Kristus apabila ia dapat menguasai dirinya untuk terarah kepada Yesus dari pada passions-nya yang dikuasai oleh wabah kekerasan.
            Masyarakat Jawa yakin, apabila ia dapat menguasai hawa nafsunya, ia juga secara sertamerta dapat mengetahui apa yang seharusnya diperbuat, yang baik bagi dirinya, sesama dan lingkungannya. Hal ini juga diafirmasi oleh Girard. Menurut Girard, apabila manusia dapat membongkar mekanisme kekerasan yang ditimbulkan akibat passions, lalu mentransformasi mimesis rivalitas ke mimesis Kristus, maka manusia tersebut dapat menjadi lebih baik karena kehidupannya mencerminkan kehidupan Kristus sehingga ia tidak jatuh kepada wabah kekerasan dan rivalitas mimesis, sebuah lingkaran maut.
            Di kalangan orang Kristen, istilah “Tuhan beserta kita”, “Mengikut Yesus”, “menjadi seperti Yesus” merupakan istilah-istilah yang pada dirinya sendiri sebenarnya sulit kita pahami. Istilah-istilah yang sebenarnya dimaknai secara metafisis daripada konkret, hanya saja dalam eksistensinya terasa begitu konkret sekali. Istilah-istilah ini sering sekali digunakan oleh orang Kristen. Girard menjelaskan bahwa mimesis Kristus berarti menjadi manusia yang nir-kekerasan. Masyarakat Jawa juga mengafirmasi hal ini. Bagi mereka Hamemayu hayuning bawana merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi. Prinsip hidup rukun masyarakat Jawa merupakan suatu usaha menjaga keharmonisan alam semesta dan sesama. Prinsip hidup rukun mengandaikan adanya kehidupan yang bebas dari segala macam pertentangan, permusuhan, dan sebaliknya yaitu mengandaikan terciptanya suatu lingkungan hidup yang saling mau menerima, menghormati dan menjalani keberadaannya sesuai dengan keselarasan alam. Untuk mengembangkan sikap ini diciptakanlah juga semboyan hidup yang berbunyi: rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang berarti: “keadaan damai dengan sesamanya mengakibatkan suasana hidup yang kokoh”, dan sebaliknya hidup tanpa adanya suasana damai dengan sesamanya mengakibatkan runtuhnya suasana hidup bersama yang kokoh tersebut.
            Salah satu unsur penting dalam upaya mencegah munculnya konflik ialah bahwa dalam segala hal yang dilakukan baik dengan kata-kata maupun perbuatan orang Jawa akan senantiasa mempertimbangkan keberadaan orang lain. Dalam kerangka inilah maka baik kata-kata maupun perbuatannya selalu diupayakan untuk tidak menyinggung perasaan pihak lain yang bisa menimbulkan perasaan sakit hati dan sebagainya. Oleh karena itu, hamemayu hayuning bawana tidak sepenuh nir-kekerasan. Mengapa? Pada prinsipnya memang mengandung konsep nir-kekerasan yang secara keseluruhan menjadi perhatian Girard namun apabila masalahnya telah menyangkut harga diri yang paling dalam, konflik harus dihadapi. Yusak Tridarmanto memberikan kisah Arjuna dan Kurawa sebagai analoginya. Secara menyolok contoh kasus ini terlihat di dalam etika pewayangan. Arjuna, demi untuk menegakkan kebenaran, yang ia perjuangkan dalam rangka hamemayu hayuning bawana, ia tidak saja bersedia berada dalam suasana konflik dengan para musuhnya dari Kurawa, tetapi ia rela untuk perang melawan kakak kandungnya sendiri yakni Karna.
            Girard menentang hal ini. Bagi Girard, apabila suatu kelompok manusia baik secara individu maupun kolektif yang melakukan tindakkan kekerasan dalam bentuk apapun, maka ia sudah menderita wabah lingkaran kekerasan menuju kematian. Rivalitas mimesis. Suatu lingkaran pembalasan dendam yang tidak ada henti-hentinya. Karena baginya, kekerasan itu muncul pertama-tama sejak konflik pertama, pembunuhan pertama antara Kain dan Habel. Hal ini yang juga diafirmasi oleh Jacques Ellul yang melihat bahwa kekerasan sangat berkaitan dengan pembalasan yang berkesinambungan:
Kita hendaknya sungguh-sungguh menyadari bahwa kekerasan yang satu melahirkan kekerasan yang lain. Mungkin ada yang bertanya, “Siapa yang memulai ini?”, sebetulnya pertanyaan ini adalah pertanyaan yang salah. Sejak zaman Kain, tidak ada awal dari kekerasan, yang ada adalah proses pembalasan yang terus berkesinambungan.[11]
            Walaupun demikian, Manunggaling Kawula lan Gusti dalam prinsip Jawa lebih menunjukkan usaha-usaha konkret demi menjadi manusia yang “baik” dalam taraf Manunggaling lan Gusti dari pada konsep mimesis nir-kekerasan Kristus yang dijelaskan oleh Rene Girard. Menurut prinsip Jawa, secara konkret demi kebutuhan untuk mengendalikan diri agar manusia tidak dikuasai oleh hawa nafsu (passions menurut Girard) adalah dengan menjunjung tinggi watak sepi ing pamrih, rame ing gawe serta eling lan waspada. Hal inilah yang membuat masyarakat Jawa senantiasa berlatih untuk menjadi sabar dalam menghadapi segala peristiwa kehidupan. Sabar berarti tidak mudah dikuasai oleh emosi, tenang, serta penuh dengan pertimbangan yang masak dalam menghadapi segala persoalan kehidupan dan tidak terburu-buru dalam membuat keputusan. Sikap sabar sebagai prinsip orang Jawa memungkinkan seseorang memiliki sikap narima, namun bukan dalam pengertian yang fatalistik seperti teori nir-kekerasan Rene Girard, melainkan lebih merupakan sikap bertahan diri dari himpitan kehidupan yang tidak dapat dihindari, untuk tidak patah semangat. Dalam hal inilah kita memahami bagaimana orang Jawa dapat hidup rukun satu sama lain.
            Bagaimanapun juga, kita tidak dapat mengemban salah satu saja prinsip ini karena keduanya memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.  Oleh karena itu, kita sebaiknya menjauhkan diri dari konsep—meminjam istilah Imanuel Geovasky—either..or dengan maksud menerima yang satu dan menolak yang lain melainkan dengan sikap paradoksal melihat keterhubungan atau “sisi lain” dari kedua pemahaman ini.









Daftar Pustaka

Aukerman, Dale, Darkening Valley: a biblical perspective of nuclear war, New York: The Seaubury Press, 1981.
Girard, Rene, The Scapegoat, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986.
Girard, Rene, Violence and the Sacred, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979.
Lefebure, Leo D., Revelation, The Religions and Violence. terj. Bambang Subandrijo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Rahimsyah AR, Syekh Siti Jenar: Asal Mula Faham Manunggaling Kawula Gusti, Pergumulan Tasawwuf Jawa, Surabaya: Indah, 2006.
Schwager, Raymund, Must There be Scapegoats? Violence and Redemption in the Bible, San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1987.
Yoder, John Howder, The Original Revolusion: Essays on Christian Pacifism, Scottdale: Herald Press, 1977.

Sumber Lain

Catatan kuliah Etika Jawa yang diampu oleh Pdt. Yusak Tridarmanto pada tahun 2011.
Tamawiwy, August Corneles, “Menggugat Mekanisme Kekerasan di Indonesia: Pemahaman Alkitab mengenai Mateus 23:34-36” sebagai tugas akhir Hermeneutik Perjanjian Baru 1 yang diampu oleh Pdt. Yusak Tridarmanto di Universitas Kristen Duta Wacana.


[1] Catatan kuliah etika Jawa yang diampu oleh Pdt. Yusak Tridarmanto pada tahun 2011.
[2] Syekh Siti Jenar dihukum mati karena ajarannya yang sesat mengenai Manunggaling Kawula Gusti. Lih. Rahimsyah AR, Syekh Siti Jenar: Asal Mula Faham Manunggaling Kawula Gusti, Pergumulan Tasawwuf Jawa (Surabaya: Indah, 2006)
[3] Subtopik ini pernah saya angkat dan menjadi sebagian subtopik yang saya sajikan dalam paper berjudul “Menggugat Mekanisme Kekerasan di Indonesia: Pemahaman Alkitab mengenai Mateus 23:34-36” sebagai tugas akhir Hermeneutik Perjanjian Baru 1 yang diampu oleh Pdt. Yusak Tridarmanto di Universitas Kristen Duta Wacana.
[4] Raymund Schwager, Must There be Scapegoats? Violence and Redemption in the Bible (San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1987), p. 4.
[5] Rene Girard, “To Double Bussiness Bound”: Essays on Literature, Mimesis and Anthropology, 1978 yang dikutip di dalam tulisan Leo D. Lefebure, Revelation, The Religions and Violence. terj. Bambang Subandrijo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), p. 27.
[6] Rene Girard, The Scapegoat (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986), p. 106.
[7] Rene Girard, Violence and the Sacred (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979), p. 31.
[8] Saya menggunakan istilah “ahli taurat dan orang Farisi zaman Yesus” agar pembaca memahami dan tidak mengeneralisasikan pemahamannya mengenai ahli taurat dan orang Farisi. Tentu saja perbedaan yang muncul akan banyak sekali jika dilihat pada zaman-zaman sebelum atau sesudahnya.
[9] John Howder Yoder, The Original Revolusion: Essays on Christian Pacifism (Scottdale: Herald Press, 1977), p. 56.
[10] Namun perlu diperhatikan kembali, bahwa keharusan kematian Yesus itu bukanlah seperti keharusan karena ketaatan Yesus kepada kekuatan transenden yang menghendaki diri-Nya menjadi korban, melainkan semata-mata karena Yesus harus mati, tidak ada pilihan lain jika tidak ingin berkompromi dengan kekerasan. Memilih cawan kehidupan bagi Yesus merupakan suatu kompromi dengan kekerasan yang ingin Ia jauhkan. Penggambaran Allah Bapa di sini perlu ditekankan karena tidak sama dengan kekuatan-kekuatan ilahi atau dewa-dewa yang menghendaki korban kambing hitam sebagai pemulihan laiknya yang dijumpai pada mitologi-mitologi purba. Kehendak Bapa merupakan kekuatan yang menetang secara radikal tindakan kekerasan demi pemulihan. Lih. Girard, Reader, p. 187.
[11] Jaques Ellul, Violence: Reflections from Christian perspective, 1969, 100, dikutip oleh Dale Aukerman dalam Darkening Valley: a biblical perspective of nuclear war (New York: The Seaubury Press, 1981), p. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar