Minggu, 01 Januari 2012

Mari Mengekspresikan Refleksi Teologis melalui Karya Seni!


I.                   Berteologi melalui Karya Seni

Sebagian orang Kristen tentu sudah terbiasa dengan simbol-simbol dan gambar-visual yang berlatarbelakang Kristen. Gedung-gedung gereja merupakan tempat di mana simbol-simbol dan gambar-visual Kristiani dituangkan: misalnya gambar “Yesus yang berdoa”, “Yesus Gembala yang Baik”, “Yesus pada kayu salib” bahkan Yesus bersama dengan keduabelas murid-Nya pada perjamuan terakhir[1]. Banyak sekali gambar-gambar dari dunia Barat yang diambil alih namun tidak terasa asing lagi bagi kita orang-orang Kristen dalam konteks dunia Timur. Di Asia sendiri, perkembangan dan usaha untuk mengembangkan seni rupa Kristen baru dimulai sejak tahun 60-an dalam rangka teologi kontekstual. Prof. Masao Takenaka, seorang Jepang pada tahun 1962 ditugaskan komisi kerja dari East Asia Christian Conference (EACC) untuk mengumpulkan dan menerbitkan karya seni rupa kristiani dari berbagai negara Asia[2].
            Perkembangan ini menunjukkan bahwa muncul kesadaran kembali kepada gambar dan lukisan, baik yang sederhana maupun yang mendalam dan majemuk, pasti mempunyai makna teologis! Judo Poerwowidagdo bahkan merumuskan teologi sebagai seni untuk mencermati kehadiran dan ketidakhadiran Allah di dalam dunia serta menanggapi penyataan-Nya tersebut. Association of Theological Education in South East Asia (ATESEA) juga mengakui adanya arti teologis dari gambar-gambar dan lukisan ketika mengadakan Seminar-Lokakarya yang bertema Bertheologia dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat pada tahun 1988 di Kaliurang (Jawa Tengah)[3]. Gambar-gambar sederhana dimaknai secara teologis lebih-lebih bagi lukisan para seniman. Endang Wilandari Supardan bahkan menganggit bahwa “artis seni berteologia melalui karya-karya seninya”[4].
            Kepopuleran lukisan dan karya seni rupa lainnya tergantung daripada bagaimana masyarakat melihat dan memaknai sebuah gambar atau lukisan. Tidak hanya seniman yang mengekspresikan[5] imannya melalui seni rupa namun juga jemaat. Ekspresi iman jemaat juga dapat dilihat dari kepopuleran sebuah lukisan atau gambar. Misalnya kita melihat bahwa lukisan seperti “Yesus sebagai Gembala yang Baik” sebagai ilustrasi Injil Yohanes 10 dan lukisan “Yesus berdoa” sebagai ilustrasi Injil Markus 14:32-42, kedua lukisan ini sangat populer di Indonesia. Kepopuleran ini bukankah sebagai suatu tanda bahwa mereka yang menyukai bahkan memiliki lukisan ini mencari pertolongan dan dukungan dalam situasi sulit bahkan ketakutan-ketakutan yang mereka alami dan oleh karenanya mengekspresikan keadaan bahkan pengharapan mereka dengan membeli atau memajang lukisan tersebut? Emanuel Gerrit Singgih mencatat bahwa ketakutan ini ikut berperan dalam membangun teologi tertentu, yaitu “Tuhan sebagai Pelindung”, hanya saja dalam diskusi teologis di Indonesia rasa takut ini hampir tidak pernah disinggung-singgung[6].
            Memang menggelitik ketika kita melihat bahwa dibandingkan lukisan “Yesus sebagai Gembala yang Baik” dan “Yesus berdoa”, lukisan mengenai “Yesus sebagai Hakim” sebagai ilustrasi dari Injil Matius 25:31-46 tidak pernah saya lihat di Indonesia. Nampaknya penggambaran Yesus yang demikian sebagai kabar Alkitabiah tidak begitu hidup dalam teologi kita. Padahal, ukiran mengenai “Yesus sebagai Hakim” ini sangat umum di Eropa pada abad pertengahan sejak tahun 1200-an. Lukisan ini biasanya menggambarkan mengenai Yesus yang membawa sebagian orang (yang dimaknai sebagai orang Kristen) ke dalam keselamatan kekal, sedangkan kaum lainnya (baca: bidah) masuk ke neraka. Namun menarik bahwa pada periode yang sama, Gereja sibuk melawan kaum bidah; dalam rangka ini inkwisisi sebagai wadah Gereja makin berkembang[7]. Ukiran ini memang hendak membimbing orang percaya dan memperingatkan mereka supaya jangan menyimpang dari ajaran-ajaran Gereja! Namun sayang, seniman-seniman di Indonesia tidak merasa tertarik kepada gambar “Yesus sebagai Hakim”, bahkan gambar “Yesus sebagai Raja” pun hampir tidak ada sebagai ekspresi iman mereka.
            Tidak banyak buku-buku yang membahas mengenai lukisan dan gambar seni rupa Kristiani. Sehingga makna teologis dari lukisan-lukisan dan gambar-gambar seni rupa Kristiani kurang mendapat perhatian dalam jemaat. Dibandingkan dengan simbol-simbol yang dibuat oleh Gereja demi mengekspresikan iman Gereja, lukisan-lukisan Yesus rasanya sangat kurang dimaknai secara khusus oleh jemaat. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) misalnya, memiliki banyak simbol tahunan dalam mengekspresikan minggu-minggu yang dilewatinya. Tentu saja setiap simbol diberikan penjelasan dan makna khusus. Namun apabila kita melihat lukisan-lukisan Kristiani lainnya, kita tidak akan menemukan penjelasan mengenai makna lukisan tersebut. Oleh karena dibutuhkan suatu perhatian khusus untuk memaknai lukisan-lukisan ini sebagai simbol iman seniman-seniman Kristiani maupun jemaat. Berdasarkan pertimbangan inilah saya menganggap penting di dalam paper ini menggumuli makna teologis gambar-gambar seni rupa Kristiani. Tentu akan sangat luas apabila cakupannya adalah gambar-gambar Kristiani. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya hanya akan membahas gambar visual tentang Yesus Kristus secara umum di Asia, atau secara khusus di Indonesia.
II.                Ikonoklastik: Permasalahan Penggambaran Hyang Ilahi Sepanjang Zaman
Gambar-gambar Yesus memang beragam karena banyak sekali variasi dan perbedaan. Perbedaan ini seringkali membuat banyak jemaat risih. Namun sebaiknya jangan terlalu kaget dengan perbedaan dan variasi ini. Kita dapat memahaminya manakala kita juga mengerti bahwa Yesus sendiri memiliki pelbagai nama-nama dan gelar-gelar. Oleh karena itu, tidak dapat kita mengatakan bahwa hanya akan ada satu versi gambar Yesus Kristus! Namun soal apakah Yesus dapat digambarkan demikian atau tidak, saya tidak akan membahas di sini secara panjang lebar karena nampaknya, di Indonesia persoalan ini tidak begitu terasa. Tradisi yang dihidupi orang Kristen di Indonesia pada umumnya mengacu pada Yesus Kristus melalui simbol-simbol (misalnya simbol GPIB tadi) dan juga melalui gambar. Namun memang, latar belakang keberatan terhadap penggambaran Hyan Ilahi patut diperhatikan, yaitu bahwa dunia Ilahi tidak dapat dibatasi, diatur bahkan dikuasai oleh manusia melalui gambar-gambar. Apalagi menyembah gambar secara harafiah!
            Pada tahun 726-843 ada perselisihan besar mengenai pemakaian gambar (dan patung) dalam gereja. Permasalahan ini disebut “permasalahan ikonoklastik”. Keluaran 20:4-6 dalam tradisi Yahudi dan tradisi orang Islam pada umumnya menolak dengan keras pembuatan patung dari manusia apalagi dari Hyang Ilahi. Gereja Kristen saat itu juga sangat keberatan untuk menggambarkan Yesus Kristus dan orang suci karena mereka khawatir kalau-kalau gambar dan patung tersebut disembah. Boleh jadi, kontak dengan Islam memperkuat sikap ini. Sesudah Kaisar Leo III pada tahun 730 melarang pemakaian patung/gambar-gambar, ada orang yang melakukan pemusnahan gambar-gambar—dalam bahasa Yunani mereka sebut eikonoklastai, artinya pemusnah gambar-gambar. Namun ada juga yang membela pemakaian gambar-gambar ini misalnya Yohanes Damascenus. Ia mengacu kepada inkarnasi—yang berarti firman Allah menjadi manusia—sebagai dasar teologisnya untuk menerima gambar-gambar tersebut[8].
            Pada zaman Reformasi Gereja abad ke-16 di Eropa Barat juga ada periode beelderstrom di mana patung-patung gereja katolik dimusnahkan sebagai protes terhadap para pemimpin gereja itu serta persembahan terhadap patung-patung. Namun hal ini tidak berarti bahwa secara umum orang Reformasi menolak untuk menggambarkan Yesus serta orang-orang lain; hal ini dibuktikan dari gambar-gambar pihak protestan yang dapat kita temukan dari abad itu[9]. Saya melihatnya berbeda. Jelas bagi saya pribadi bahwa gambar dan patung tidak boleh disembah—karena saya penganut agama Kristen Protestan yang anikonik, bukan berarti melecehkan agama yang ikonik karena kedua bentuk agama ini merupakan suatu cara (walaupun berbeda) dalam menghayati Allah. Ini memang benar! Namun kita tidak boleh begitu saja melihat penolakan ini berlaku pada gambar-gambar dan patung yang disembah saja melainkan kita juga harus berhati-hati karena berhubungan dengan perkataan atau pemahaman yang dipakai dalam berteologi! Oleh karena itu, gambar dan patung atau karya seni lainnya yang kita perhatikan sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu objek penyembahan melainkan sebagai kesaksian tentang penyataan Allah di dunia.

III.             Kontekstualisasi Lukisan Kelahiran Yesus di Tanah Jawa dan Pemaknaannya
1.      Mengamati dan Menyelidiki
Ketika kita melihat suatu gambar, tentu sebelum memaknai gambar tersebut kita harus terlebih dahulu memperhatikan lukisan secara seksama. Unsur-unsur yang ada di dalam lukisan merupakan hal yang sangat penting dan berpengaruh pada penafsiran dan pemaknaan kita. Walaupun metode yang digunakan setiap orang berbeda-beda, namun secara sederhana saya mengajak pembaca untuk melihat dan memaknai lukisan yang akan saya sajikan sebagai seorang yang awam, bukan sebagai seorang ahli dalam menilai sebuah lukisan. Tentu yang saya sajikan bukanlah penilaian estetis mengenai lukisan, melainkan dapat dikatakan sebagai suatu usaha sedernahan dalam memaknai sebuah lukisan Kristiani. Lukisan yang saya sajikan merupakan lukisan Andi Harisman, seorang seni rupa Jawa yang melukis sebuah lukisan di malam natal tahun 1990 yang berjudul “Kelahiran”[10].
            Pertama, saya mengajak pembaca untuk melihat gambar ini secara holistik. Dengan melihat secara keseluruhan, maka kita akan menemukan pelbagai unsur di dalam lukisan ini, misalnya: warna, tokoh-tokoh, latar dan benda-benda di dalamnya. Seringkali, ketika melihat sebuah lukisan, kita terlalu cepat mengambil suatu kesimpulan sebelum memandang unsur-unsur lukisan di dalamnya secara seksama. Kita merasa bahwa gambar ini adalah gambar seorang anak bayi yang sedang tidur atau bahkan mungkin ada yang mengatakan, ini adalah gambar seorang bayi yang meninggal? Tentu yang menjadi perhatian kita adalah apakah pesan yang sebenarnya ingin disampaikan melalui lukisan dari pelukis tersebut.
            Meneliti gambar dengan seksama merupakan salah satu usaha yang mirip dengan proses hermeneutik. Ketika membaca sebuah teks, tentu kita akan memperhatikan dengan lebih seksama kepada kata-kata atau istilah-istilah “sulit” yang muncul. Kita juga akan lebih seksama membaca berulangkali perikop yang tidak dapat kita mengerti dengan sekali baca saja. Tentu jika kita terlalu cepat mengambil kesimpulan setelah membaca sekali saja, kita akan jatuh pada bahaya penafsiran yang kurang tepat. Bisa jadi, kita membaca sebuah perikop adalah dengan maksud demi menjawab pertanyaan-pertanyaan pribadi kita sebagai pembenaran sehingga dapat dikatakan alkitabiah. Wismoadi Wahono yang dikutip oleh Singgih mengistilahkan kegiatan ini dengan istilah: membaca Alkitab secara “ayatiah”. Ayat-ayat yang dibaca tidak lagi diperhatikan dalam kerangka konteks melainkan berdiri sendiri dan sudah dikenakan makna sendiri[11]. Oleh karena itu, meneliti (baca: melihat) lukisan secara seksama adalah salah satu langkah awal yang sangat penting. Tanpa pengambilan kesimpulan yang terburu-buru, maka jelas bahwa tidak hanya seorang ahli yang dapat melakukannya melainkan setiap orang—terlepas dari taraf pendidikan dan pengetahuannya mengenai lukisan—dapat berpartisipasi secara aktif!
            Ketika kita melihat lukisan di atas, kita akan mendapati pelbagai unsur diantaranya: ada tujuh orang di sekeliling bayi (yang sedang tidur?). Enam orang perempuan dewasa berbeda usia dan seorang anak lelaki yang sedang melihat ke arah bayi tersebut. Semua orang ini mengenakan pakaian khas Jawa. Ekspresi dari enam orang ini biasa saja dan tertuju kepada bayi kecuali satu orang (orang ketiga dari kanan) terlihat tersenyum. Pusat lukisan ini ternyata adalah bayi tersebut. Bayi tersebut mungkin saja baru dilahirkan karena masih memiliki tali pusat dan terbaring di atas sebuah selimut (atau tikar?). Di sekitar mereka juga terdapat lampu minyak yang menerangi kegelapan di ruangan ini. Oleh karena itu, seting tempat tersebut tentu malam hari.
            Lalu apa yang akan kita lakukan setelah melihat secara seksama lukisan ini? Selanjutnya kita akan berusaha melihat gambar ini secara lebih dalam lagi. Cara ini seringkali digunakan oleh para seniman dalam melukiskan atau menyelediki suatu lukisan. Selain unsur-unsur di atas, kita juga akan menemukan unsur-unsur lain dari sang pelukis, misalnya: gaya pelukisan, warna yang digunakan, judul lukisan dan sebagainya. Tentu banyak sekali gaya pelukisan yang digunakan pelukis untuk mengekspresikan imajinasinya dalam sebuah lukisan. Setiap gaya pelukisan tentu mengandung unsur tradisi tertentu. Gaya pelukisan ini mirip dengan gaya penulisan teks-teks yang sering diteliti oleh seorang teolog. Dengan mengetahui gaya penulisan teks, seorang teolog akan menemukan maksud yang ingin disampaikan oleh penulis atau paling tidak, mengetahui tradisi apa yang mempengaruhi seorang penulis teks dalam menuliskan teks-teks yang diteliti oleh teolog tersebut.
            Gaya yang digunakan Andi Harisman adalah gaya yang menggunakan perspektif: yang dekat akan digambarkan lebih besar dari pada yang jauh penampakkannya. Gaya pelukisan ini sudah muncul di dunia Barat sekitar tahun 1500-an atau pada periode reformasi Gereja, renaisans. Gaya pelukisan yang memakai perspektif atau sudut pandang tetap dari peninjau atau orang yang melihat lukisan ini mencerminkan bahwa sang pelukis mengalami dirinya sendiri sebagai subjek yang berhadapan dengan dunia di luarnya sebagai objek[12]. Maka kita akan menemukan bahwa, gaya pelukisan akan berkaitan erat dengan sudut pandang sang pelukis.
            Menarik ketika mengamati gaya pelukisan lukisan ini. Sudut pandang yang diekspresikan pelukis menempatkan diri pelukis yang mengamati kelompok ini dari posisi yang sama tingginya dengan setiap tokoh di dalam lukisan ini. Pelukis mengumpamakan dirinya duduk bersama-sama dengan perempuan di sekitar bayi ini. Kesan “duduk bersama” ini dapat diperjelas dengan melihat perempuan dipinggir kiri, yang hanya sebagian saja kelihatan. Pelukis seakan-akan mendudukkan dirinya langsung di sebelah perempuan ini. Maka kita juga yang mengamati lukisan ini secara tidak langsung, didudukkan bersama dalam lingkaran perempuan yang menatap ke arah bayi tersebut!
            Warna-warna yang digunakan pelukis juga harus mendapat perhatian khusus. Warna yang digunakan biasanya ingin menunjukkan sebuah konotasi dari agama/kebudayaan tertentu. Beberapa warna yang paling menonjol digunakan pelukis: warna putih atau emas misalnya biasa digunakan banyak agama/kebudayaan tertentu untuk mengekspresikan suatu hal yang mengacu kepada dunia ilahi. Warna ini juga digunakan di dalam Alkitab, misalnya Matius 17:2 di mana Yesus dimuliakan di atas gunung, mengutip demikian: “…pakaian (Yesus) menjadi putih bersinar seperti terang”. GPIB juga menggunakan warna ini dalam Gereja sebagai simbol untuk memperingati oktaf natal (hari ke-8 sesudah tanggal 25 Desember yaitu pada tanggal 1 Januari). Maksudnya adalah Yesus lahir sebagai Matahari Kebenaran dan Terang Dunia yang telah menyertai jemaat mengakhiri tahun yang lama dan menuntun ke arah tahun yang baru agar jemaat menjalani tahun yang baru dalam keselamatan dengan damai sejahtera. GPIB juga menggunakan warna dasar putih dalam menggambarkan simbol triquerta berwarna merah, sebagai simbol Hari Minggu Trinitas yang merupakan simbol mula-mula ketritunggalan. Simbol salib Jumat Agung GPIB, warna dasar simbol Kenaikan Yesus dan lain sebagainya yang memproyeksikan dunia ilahi selalu diwarnai dengan warna putih oleh GPIB. Bendera Indonesia (merah putih) juga menggunakan warna putih sebagai simbol “kesucian”. Warna merah juga sering digunakan untuk mengekspresikan api dan keberanian. Dalam gambar-gambar Kristiani, warna merah juga mendapat arti kasih dan pengorbanan. GPIB menggunakan warna merah sebagai simbol keberanian untuk memberikan kesaksian (martyria) pada hari pentakosta. Warna hitam sebagai simbol kematian, warna kegelapan yang juga dipakai oleh GPIB dalam memperingati hari Jumat Agung[13]. Memang kita tidak dapat menggeneralisasikan setiap konotasi warna-warna yang saya jelaskan di atas sehingga secara sertamerta setiap warna di atas harus dikonotasikan demikian. Namun penjelasan ini mengingatkan kita bahwa unsur warna juga sangat mempengaruhi maksud sang pelukis.
            Nampaknya, warna yang digunakan oleh Andi Harisman sangat sederhana. Terang menyelimuti bagian dalam lingkaran perempuan di dalam lukisan yang bagian luarnya diliputi kegelapan malam. Bayi yang berada ditengah ditonjolkan oleh terang minyak lampu ini. Bayi tersebut lebih terang dibandingkan selimut (atau tikar?) yang menjadi alasnya. Selimut tersebut pun lebih terang dibandingkan lantai di bawahnya. Dengan demikian jelas bahwa bayi ini ingin ditonjolkan oleh sang pelukis. Perspektif yang terbentuk dari warna ini adalah para perempuan bersama dengan pelukis/pengamat lukisan (yang didudukkan bersama dengan mereka) yang mengelilingi sang bayi membuat sang bayi menjadi pusat struktur lukisan ini.
            Keterangan yang begitu mendukung mengenai sebuah lukisan adalah judul dan keterangan dari sang pelukis itu sendiri. Judul dapat menerangkan pokok utama suatu karya seni dan oleh karena itu dapat menjadi salah satu kunci untuk memaknai lukisan tersebut. Memang lukisan ini berjudul “kelahiran” dan kelahiran ini terjadi pada salah satu desa Jawa. Namun keterangan pelukis: malam natal 1990 merupakan titik terang keterangan pelukis. Bayi yang menjadi pusat lukisan bukanlah bayi orang Jawa biasa. Catatan pelukis ini mengarahkan perhatian kita kepada kelahiran Yesus Kristus yang pada akhirnya merupakan pusat lukisan ini!
2.      Memaknai dan Merenungkan
Memaknai sebuah lukisan Kristiani tidak jauh berbeda dengan memaknai lukisan-lukisan sekuler lainnya. Melalui unsur-unsur yang ada kita akan bertanya-tanya pesan apa yang mau dikomunikasikan oleh sang pelukis? Perbedaannya dengan memaknai lukisan-lukisan lainnya adalah ketika kita memaknai lukisan Kristiani sebagai refleksi teologis sang pelukis, kita akan bertanya-tanya apakah penyataan Allah ditunjukkan di dalam lukisan tersebut? Apakah melalui lukisan tersebut, kita mendapatkan penghiburan, kabar kenabian, pengarahan, dsb? Dalam kaitan ini jugalah kita sebaiknya memikirkan apakah hubungan lukisan tersebut dengan kesaksian Alkitab? Apakah memberikan suatu tafsiran baru? Sejalankah dengan kesaksian Alkitab atau bahkan bertentangan?
            Penyandingan dengan Alkitab tidak dimaksudkan agar supaya seni rupa Kristiani secara hierarki berada di bawah teologi dan secara sertamerta ditaklukkan olehnya. Karena mungkin saja bahwa pendekatan artistik dapat membuka wawasan baru bagi kita semua. Namun tetap perlu diperhatikan, kata “baru” di sini bukan berarti boleh “terlepas dari” kesaksian Alkitab. Dalam rangka inilah kita menyandingkan lukisan-lukisan Kristiani dengan kesaksian Alkitab karena interpretasi artistik yang baru memang harus berkaitan dengan kesaksian Alkitabiah[14].
            Ketika kita melihat lukisan “Kelahiran” di atas, maka kita akan diajak untuk paling tidak melakukan tafsiran atas unsur-unsur yang telah kita lihat sebelumnya. Di bawah ini saya akan mencoba menafsirkan lukisan tersebut sebagai berikut:
a)      Bayi yang baru saja lahir merupakan pusat lukisan ini. Struktur lukisan dan penekanan warna serta judul lukisan, mengarahkan kita kepada sang bayi yang baru saja lahir. Gambar bayi ini yang paling memikat kita. Belum lagi, ketika melihat lukisan ini kita didudukkan bersama dengan lingkaran manusia yang matanya tertuju dan berpusat kepada bayi tersebut.
b)      Siapakah bayi ini sebenarnya? Mungkinkah salah satu anak dari keenam perempuan ini? Apabila benar demikian, berarti kita dapat menerima bahwa ia adalah seorang anak desa Jawa. Namun kita tidak dapat berhenti sampai di sini. Catatan sang pelukis adalah: “dibuat malam Natal 1990”. Bukankah artinya bahwa lukisan ini merupakan ungkapan sesuatu tentang Natal? Oleh karena Natal adalah kelahiran Yesus Kristus, setidaknya kita dapat berasumsi sementara bahwa ini adalah bayi Yesus yang baru saja lahir. Selimut yang menjadi alas sang bayi memperlihatkan kesederhanaannya. Dia hadir sebagai manusia biasa dalam situasi sederhana orang Jawa.
c)      Bagaimana dengan kesaksian Alkitab mengenai poin b di atas? Kesederhanaankah yang ditunjukkan ketika Yesus lahir di Bethlehem? Injil Lukas 2:7 menerangkan bahwa: “tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan”. Jika melihat dari perikop ini, memang menimbulkan kontrofersi, apakah Yusuf dan Maria benar-benar miskin? Bukankah mereka mencari penginapan bagi anak mereka yang baru lahir? William Barclay pun masih menyimpan kecurigaan ini. Ia melihat bahwa penginapan bagi para musafir yang dimaksud Lukas ini semacam kandang terbuka pintu-pintunya, di mana orang yang menginap harus membawa makanan mereka sendiri. Pengurus penginapan hanya menyediakan makanan untuk ternak dan persiapan untuk memasak[15]. Namun Lukas 2:24 menegaskan kesederhanaan mereka berdua ketika mempersembahkan kurban di Bait Allah. Barclay melihat bahwa Yusuf dan Maria harus mempersembahkan domba dan seekor merpati untuk kurban penghapusan dosa di dalam Bait Suci. Mengapa menghapus dosa? Ini merupakan tradisi Yahudi demi penyucian sesudah kelahiran. Jika seorang perempuan Yahudi melahirkan anak seorang laki-laki, maka sertamerta ia tidak suci lagi selama 40 hari, jika perempuan maka ia tidak suci selama 80 hari lamanya (bnd. Imamat 12). Namun domba dan merpati merupakan jenis kurban yang tergolong sangat mahal. Oleh karena itu, hukum Yahudi menetapkan (Imamat 12:8) bahwa apabila ia tidak sanggup membawa domba maka ia boleh membawa burung dara yang lain. Persembahan dua ekor merpati sebagai pengganti domba dan merpati secara teknis disebut persembahan orang miskin[16].
d)     Mengapa mayoritas besar yang digambar oleh pelukis adalah perempuan? Kita tahu bahwa kaum laki-laki (secara khusus Yusuf) tidak memegang peranan biologis pada kelahiran Yesus; dalam pengertian ini, kaum laki-laki dikesampingkan. Dalam kisah kelahiran Yesus, peranan perempuan lebih menonjol[17]. Begitu pula di dalam lukisan ini. Kaum perempuanlah yang ingin ditonjolkan oleh sang pelukis. Mimik wajah semua perempuan (kecuali satu) saya istilahkan dengan kata “terdiam”. Apa yang dimaksud dengan terdiam? Terdiam di sini maksud saya adalah dengan penuh perhatian, bahkan keheranan, mereka semua (walaupun salah satu perempuan itu tersenyum)—karena tersenyum dapat juga diartikan dengan konotasi demikian—berusaha merenungkan keajaiban suatu kelahiran. Rasa heran dan mencari makna atas sebuah peristiwa juga dialami Maria: “…Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19).
e)      Perspektif yang mendudukkan kita sebagai pengamat (dan sang pelukis) secara terang memberikan gambaran bahwa kita diundang untuk ikut duduk bersama perempuan-perempuan ini memandang dan merenungkan penyataan Allah di dunia ini, melalui anak-Nya, Yesus Kristus yang dimulai sejak peristiwa “Kelahiran”.
            Setelah melakukan penafsiran pada lukisan ini, baiklah kita merenungkan makna suatu lukisan ini. Maksud dari merenungkan ini adalah supaya lukisan sebagai objek yang kita amati dan tafsirkan dapat menjadi subjek yang berbicara kepada kita. Dengan perenungan ini muncul harapan agar kita sebagai pengamat mendapatkan hubungan batin dengan lukisan yang kita amati sehingga lukisan tersebut tidak berhenti menjadi sumber renungan dan meditasi kita. Memang muncul unsur subyektif dalam perenungan ini, namun tanpa subyektivitas tidak akan ada penghayatan. Dalam rangka inilah karya seni berbicara kepada manusia dalam keadaannya yang beranekaragam. Dan perlu kita ingat bahwa waktu kita merenungkan sesuatu, mungkin sekali cerita-cerita, perikop atau pokok dari Alkitab muncul dalam hati kita; bahkan mungkin dengan pemaknaan yang baru! Oleh karena hal itu, saya merenungkan beberapa hal melalui lukisan ini sebagai berikut:
a)      Perempuan di dalam lukisan yang berdiam diri mengingatkan saya pada sebuah ayat di kitab Pengkhotbah, “ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara…” (Pengkhotbah 3:7). Lukisan ini mengajak saya untuk merenungkan bahwa “berdiam diri” itu penting! Seringkali kita berdoa dan memohon kepada Allah, namun karena terlalu banyak yang kita pohonkan, kita lupa dan tidak mendengarkan penyataan Allah bagi kehidupan kita. Kita sering merasa tahu sebelum merenungkan firman Tuhan, khususnya kita orang-orang yang bergelut di dunia teologia! Keakraban kita dengan buku-buku tafsir membuat kita tidak akrab dengan Alkitab. Bukan apa yang Alkitab yang menjadi sumber kesaksian kita melainkan buku-buku tafsir dengan bahasanya yang berat-berat dan formal. Bagaimana kita dapat mengabarkan kesaksian Alkitab, kalau bahasanya saja sangat sulit dimengerti oleh jemaat? Apakah kita juga mendengarkan jemaat yang mungkin mengeluh akan usaha kita? Pernahkan kita berdiam diri sejenak merenungkan bahkan mempersilakan Tuhan atau orang lain berbicara kepada kita?
b)      Lukisan ini juga didominasi oleh perempuan. Namun menarik bahwa saya, sebagai laki-laki merasa didudukkan bersama dengan mereka. Ini menandakan bahwa tolak ukur Allah bukan hanya kejantanan dan kekuatan sebagai simbol lelaki melainkan juga perhatian, kasih dan damai sejahtera melalui ketenangan yang berdiam diri. Allah yang hidup pun berada bersama dengan perempuan. Di sini muncul kesetaraan gender (bukan perjuangan feminisme). Allah yang seringkali disimbolkan dengan kekuatan dan kemahakuasaan di sini dilingkupi dengan simbol pengasuhan dari perempuan. Oleh karenanya kita dapat mengerti bahwa Allah adalah juga Ibu bagi manusia yang mengasuh dan memelihara umat-Nya, bukan hanya sebagai Bapa.
c)      Kedamaian nampaknya meliputi lukisan ini. Melalui terang di tengah malam hari dan kesederhanaan nampaknya sangat menghangatkan susana serta memberikan damai. Kedamaian di sini ditekankan dalam kesederhanaan. Dengan merenungkan hal ini, kita dapat mengerti bahwa menikmati kehidupan bersama dengan Allah atau menikmati anugerah Allah di dunia tidaklah harus dengan kemewahan dan keberlimpahan pemenuhan kebutuhan. Kesederhanaan (bahkan kemiskinan) nyatanya dapat memberikan damai. Damai yang kita hidupi dan nikmati bersama-sama dengan Allah!
IV.             Penutup: Memberi Perhatian pada Seni Lukis Kristiani
Dengan melihat penjelasan saya mengenai lukisan Andi Harisman di atas, kiranya jelas bahwa setiap gambar seni rupa Kristiani pasti memiliki makna teologis-nya. Dengan demikian maka makna teologis tidak hanya selalu harus disampaikan melalui kata-kata. Ekspresi estetis Kristiani kita yang beranekaragam tentu menunjukkan kesaksian kita akan tindakan Allah yang ditanggapi secara beragam pula. Sama ketika saya mendengarkan musik J. S. Bach, Vivaldi dan Chopin, lukisan-lukisan pun dapat menyentuh hati kita lebih mendalam.
            Ekspresi melalui gambar visual berbeda dari ekspresi melalui wacana teologis. Wacana teologis biasanya digumuli oleh para teolog dengan perspektif suatu agama tertentu sedangkan wacana visual melalui gambar kadang-kadang dapat mengatasi batas-batas antara penganut agama yang satu dengan yang lain. Jamini Roy seorang Hindu dan K. C. S. Paniker dari India bahkan melukis gambar-gambar Kristiani[18]. Mereka bukanlah anggota suatu gereja namun tetap menggumuli dan melukis pokok-pokok alkitabiah! Dengan demikian apakah dimungkinkan suatu dialog antar-iman melalui dunia visual ini?
            Sebuah lukisan bahkan dapat menyentuh seseorang dalam taraf emosional dibandingkan kata-kata. Sayangnya seringkali banyak Gereja atau penulis menggunakan gambar-gambar visual untuk cover buku mereka tanpa memberi penjelasan mengenai makna tulisan tersebut. Tidak jarang buku yang menunjukkan ketidakcocokkan gambar dengan isi buku tersebut! Misalnya saja Sabda Bina Umat (SBU) sebuah renungan milik GPIB[19]. Tidak jarang gambar yang menjadi cover buku ini tidak memiliki arti tertentu. Ambil contoh SBU bulan September-Oktober 2011, gambar cover-nya adalah gambar padang rumput dan pohon cemara (atau pinus?). Sedangkan tema yang diangkat bulan itu adalah “manusia baru menjadi berkat dalam tatanan masyarakat”, di manakah letak keterpaduannya? SBU bulan tersebut juga dalam rangka memperingati ulangtahun GPIB ke-63. Apakah maknanya sebelum memulai renungan di dalamnya? Pantas saja apabila jemaat lebih senang menggunakan buku-buku renungan lain yang “bergambar” dan satu padu dengan apa yang diberitakan di dalamnya!
            Tulisan ini juga bertujuan untuk mendorong orang mengekspresikan diri dengan melukiskan sesuatu. Refleksi mengenai Firman Tuhan tidak harus selalu diungkapkan dengan kata-kata dan tulisan melainkan gambar-gambar visual Kristiani secara sederhana bahkan seni rupa lain seperti patung. Hal ini pernah dipraktekkan oleh Pdt. Stefanus Christian Haryono, MACF ketika retreat mahasiswa teologia 2010 di Panti Semedi. Ketika itu beliau menyediakan tanah liat bagi mahasiswa agar mahasiswa dapat mengekspresikan iman mereka melalui patung tanah liat tersebut. Ini salah satu terobosan yang luar biasa!
            Agama Kristen Protestan yang anikonik tentu harus memberikan perhatian khusus kepada dunia seni rupa Kristiani sebagai salah satu cara menghayati Allah Tritunggal. Memang lukisan yang akan muncul beranekaragam dalam sifat dan gaya pelukisannya, namun beginilah sebenarnya kita sebagai manusia yang kompleks ketika mengekspresikan iman kita kepada Allah dan sesama. Satu minggu lagi malam Natal 2011 tiba, setelah oktaf Natal kita akan memasuki tahun yang baru. Apakah kita akan selalu terkungkung dalam pandangan yang sempit tentang cara berbagai macam orang dalam mengekspresikan iman mereka, melalui berbagai karya seni rupa, seni lukis dan kesenian lainnya? Selamat Natal 2011 dan Tahun baru 2012. Tuhan memberkati!




Daftar Pustaka
Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Choo, Yeow dan John England, Bertheologia dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat, Persetia, 1992.
Coggins, R. J. dan J. L. Houlden,  A Dictionary of Biblical Interpretation, London: SCM Press, 1990.
Holt, Claire, Art in Indonesia: Continuities and Change, Ithaca: Cornell University Press, 1976.
Singgih, Emanuel Gerrit, Exegese: Kritis-Naratif, Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana Press, ?.
Sumbodo, Bambang dkk, Percikan Riwayat Hidup Pengabdian Pdt. R. Tasdik, Yogyakarta: Nafiri, 1996.
Supardan, Endang Wilandari dkk, Beberapa Wajah Seni Rupa Kristiani Indonesia, Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 1993.
Takenaka, Masao dan Ron O’Grady, The Bible through Asian Eyes, Auckland: Pace Building, 1991.
Weber, Hans-Ruedi, On a Friday Noon: Meditations under the Cross, Genewa: World Council of Churches, 1984.

Sumber-sumber Lain
Agenda Kerja Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat edisi 2010
Sabda Bina Umat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat edisi 113 September-Oktober 2011
The Encyclopedia Americana, vol. 15, Connecticut: Grolier Incorporated, 1984.


[1] Sebuah gambar yang terinspirasi oleh lukisan dari pelukis Italia terkenal, Leonardo da Vinci (1452-1519). Lihat penjelasan dari Pamela Tudor-Craig, “The Bible in Art” dalam R. J. Coggins dan J. L. Houlden,  A Dictionary of Biblical Interpretation (London: SCM Press, 1990), p. 62 [pp. 57-65].
[2] Lih. Masao Takenaka dan Ron O’Grady, The Bible through Asian Eyes (Auckland: Pace Building, 1991), p. 12.
[3] Bnd. Yeow Choo dan John England, Bertheologia dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat (Persetia, 1992).
[4] Endang Wilandari Supardan dkk, Beberapa Wajah Seni Rupa Kristiani Indonesia (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 1993), p. vi.
[5] Dalam tulisan ini, “mengekspresikan” juga dapat berarti “mengkomunikasikan” iman mereka melalui karya seni. Komunikasi tidak terbatas secara verbal melainkan visual, dalam kerangka memahami gambar-gambar visual Kristiani.
[6] Emanuel Gerrit Singgih, “Manusia sebagai Dokumen Hidup: Pengantar ke dalam Autobiografi Pdt. R. Tasdik” dalam Bambang Sumbodo dkk, Percikan Riwayat Hidup Pengabdian Pdt. R. Tasdik (Yogyakarta: Nafiri, 1996), p. 23.
[7] Sri Paus pada tahun 1163 menitahkan para rohaniawan untuk memeriksa kaum-kaum bidah; hal ini diperkuat pada tahun 1184, pemerintah duniawi harus melakukan/mengenakan hukuman atas bidah; pada tahun 1232 Paus Gregorius IX menetapkan inkwisisi sebagai pengadilan kepausan. Lih. J. G. Rowe, “Inquisition” dalam The Encyclopedia Americana, vol. 15 (Connecticut: Grolier Incorporated, 1984), pp. 191-195.
[8] Lih. George A. Maloney, “Iconoclastic Controversy” dalam The Encyclopedia Americana, vol. 14 (Connecticut: Glorier Incorporated, 1984), pp. 723-724.
[9] Catatan Kuliah Hermeneutik Perjanjian Lama tentang Yesaya 44:9-20 bersama Pdt. Prof. Dr. H.C Emanuel Gerrit Singgih, Ph. D tanggal 11 November 2011. Singgih ketika menjelaskan mengenai kritik Marie Claire Barth terhadap kritik bangsa Israel kepada patung-patung menjelaskan bahwa permasalahan sesungguhnya dari larangan menyembah patung adalah ideologi orang yang menyembah patung tersebut. Orang yang menyembah patung juga dengan pasti bahwa yang mereka sembah adalah benda mati yang tidak bisa apa-apa, namun mereka percaya bahwa patung tersebut adalah proyeksi dari suatu hal yang mereka sembah. Ini dinamakan agama Ikonik yang dalam penghayatannya menggunakan simbol-simbol yang bertolak belakang dengan agama anikonik yang dalam penghayatannya menolak menggunakan simbol-simbol tersebut. Oleh karena itu dapat dipahami jika Singgih memperingatkan bahwa agama anikonik juga menyimpan permasalahan, yaitu menyembah sesuatu yang dibentuk oleh “pikiran” manusia yang tidak jauh berbeda dengan agama ikonik yang menyembah sesuatu yang dibentuk oleh “tangan” mereka sendiri.
[10] Supardan, Beberapa Wajah, p. 33.
[11] Emanuel Gerrit Singgih, “Apa dan Mengapa Exegese Naratif?” sebuah tulisan dalam presentasi Lokakarya Narasi di Kaliurang tanggal 20 Juli 1992 dalam buku Emanuel Gerrit Singgih, Exegese: Kritis-Naratif (Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana Press, ?), p. 1.
[12] Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change (Ithaca: Cornell University Press, 1976), p. 191.
[13] Agenda Kerja Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat edisi 2010
[14] Hans-Ruedi Weber, On a Friday Noon: Meditations under the Cross (Genewa: World Council of Churches, 1984), p. 86.
[15] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), pp. 30-31.
[16] Barclay, Pemahaman, p. 35.
[17] Lih. Injil Lukas 1 dan Lukas 2. Kita dapat melihat peranan Maria dan Elisabet yang ditonjolkan dalam pengisahan kelahiran Yesus dalam kitab ini.
[18] Tanekana, The Bible, pp. 8-9.
[19] Sabda Bina Umat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat edisi 113 September-Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar