Rabu, 02 November 2011

Argumen Islam untuk Sekularisme

Paper ini disajikan dalam presentasi kelompok di kelas Agama dan Masyarakat oleh: August Corneles TamawiwyKVictoria Novia Sitanggang, Lusia RahajengMike MakahenggangElisabeth Simanjuntak dan Wignyo Abadi.

Bahan bacaan:
Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. 2010. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Halaman 168-241.
Latar Belakang
Pembahasan Rachman dimulai dengan kutipan perkataan Dr. Syamsul Arifin yang menyatakan secara singkat bahwa fatwa MUI mempersempit pemaknaan sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Menurutnya, konsep sekularisme bukanlah sebuah konsep peminggiran melainkan pembagian peran di mana agama dan sekularitas memiliki wilayahnya masing-masing[1].  Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki ketakutan di mana sekularisme dianggapnya sebagai paham “anti-agama” yang menggerogoti moralitas agama. Menurut MUI, sekularisme merupakan pemisahan urusan dunia dari agama, dimana agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan antara Tuhan dengan manusia sedangkan hubungan manusia dengan manusia hanya diatur berdasarkan kesepakatan sosial saja[2]. Di dalam ini tercakup banyak pemikir-pemikir Islam progresif Indonesia yang memiliki pandangan yang berusaha menemukan kejernihan konseptual sekularisme yang menurut mereka tidak serta-merta buruk pengaruhnya bagi agama—bahkan sekularisme dianggap sebagai solusi efektif bagi perselisihan atau konflik antaragama.

Pengertian Sekularisme
Secara garis besar, sekularisme menurut kamus atau ensiklopedi adalah sebuah pernyataan dimana praktek pemerintahan atau institusi seharusnya berada secara terpisah dari agama atau kepercayaan. Hal ini merupakan sebuah pergerakan maju ke arah modernisasi dan jauh dari nilai-nilai kepercayaan atau agama. George Holyoake berpendapat bahwa sekularisme adalah sebuah sistem etika yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supranaturalisme. Di sini dapat ditemukan bahwa sebelumnya, sekularisme lebih menyentuh kepada sebuah label, dimana secara konseptual, sesuatu yang terpisah dari agama akan secara otomatis merupakan sebuah hal yang sekular tanpa melihat sedikitpun unsur yang religius di dalamnya.
Oemar Bakry dalam bukunya yang berjudul Islam Menentang Sekularisme (Jakarta: Mutiara, hal 17) berpendapat bahwa sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh organisasi agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama. Hal ini membuat Barry Kosmin membagi sekularisme menhadi dua jenis: [1] sekularisme keras yang menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara epistimologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun pengalaman. Tempat Tuhan telah digantikan oleh ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan dianggap sebagai “penyelamat” manusia. Dengan ini ada penolakan sekularisme terhadap transendensi dan menuju ke arah ateisme; [2] sekularisme lunak menganggap bahwa pencapaian kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karenanya toleransi, skeptisme yang sehat bahkan agnostisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi antara ilmu pengetahuan dan agama[3].
Pardoyo dalam bukunya Sekularisasi dalam Polemik berpendapat bahwa sekularisasi diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara dan urusan agama dimana ada pemisahan urusan duniawi dan akhirat. Sebuah kecenderungan melihat persoalan dari sudut duniawi dan kekinian dengan cara yang rasional, empiris layaknya ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi dapat dipandang sebagai pembebasan manusia dari agama dan metafisika.
Harvey Cox dalam bukunya berjudul The Secular City (New York: Collier Books. 1965, hal 15) mengemukakan tiga aspek sekularisasi: [1] disenchantment of nature (pembebasan alam dari ilusi) dimana ada pembebasan alam dari pengaruh Ilahi; [2] desacralization of politics (desakralisasi politik) sebagai penghapusan legitimasi kekuasaan dan wewenang politik dari agama; [3] deconsecration of values (pembangkangan terhadap nilai-nilai) yang berarti setiap nilai terbuka untuk perubahan yang di dalamnya manusia bebas menciptakan perubahan itu dan membenamkan dirinya dalam proses evolusi. Kelompok sekiranya setuju bahwa ini merupakan hakikat manusia sebagai mikrokosmos, dimana kebebasan dalam diri manusia menjadikannya sesuatu yang menciptakan perubahan-perubahan layaknya kebebasan alam dalam berkembang yang akhirnya disebut makrokosmos itu. Menurut kelompok, filsafat timur yang menjadi landasan pijak kontekstual bangsa Indonesia sendiri bermula dari sikap religius dalam memahami dunia bahkan dalam urusan politik. Namun ke-religius-an pemahaman timur ini tidak terlalu ditonjolkan karena secara tidak langsung memang bertransformasi ke aras sekular. Misalnya saja Pancasila sebagai dasar negara kita. Ini juga merupakan hasil dari sekularisme dimana ada unsur penerimaan kepada kepelbagaian agama namun tetap satu juga, bangsa Indonesia. Memang sedikit membingungkan ketika kita melihat sendiri pemahaman bangsa kita dengan penolakan MUI terhadap sekularisme ini.
Talcott Parson berpendapat bahwa sekularisasi seharusnya dipahami sebagai suatu tendensi yang memberikan agama suatu kedudukan yang harus ditentukan kembali (reorientasi) dalam suasana sosial—dan ini tidak harus berarti suatu eliminasi organisasi agama. Jadi ini memang sebuah peniadaan intervensi agama terhadap negara dan sebaliknya namun tidak dapat diartikan sebagai sebuah paham anti-agama.
Pemahaman tentang perbedaan sekularisasi dan sekularisme ini dipertajam dengan kemunculan sesuatu yang disebut para ahli sebagai sekularisasionisme; sebuah ideologi atau perangkat-perangkat ide umum, termasuk filosofis dan dimaksudkan sebagai suatu pandangan dunia dari suatu masyarakat atau negara tergantung kepada pengertian konseptual penggunaan “isme” tadi. Masyarakat dan negara terlibat aktif dalam menciptakan proses sekularisasi ini oleh karena adanya afirmasi terhadap ideologi yang diciptakannya.
Donald Eugene Smith, seorang penulis buku Religion and Political Development: an Analitical Study dan Religion, Politics, and Social Change in the Third World yang membahas tentang sekularisasi berpandangan secara lebih lebar bahwa agama pada umumnya merupakan kendala bagi modernisasi. Ketika sistem-sistem agama memiliki kompleksitasnya masing-masing, maka demikian pula kendala-kendala yang dihasilkannya. Smith menerangkan berbagai kendala yang dihadapi setiap agama diantaranya: [1] Agama Hindu dan Agama Buddha juga sulit  melahirkan ideologi tentang perubahan; Menurutnya, kedua agama ini tidak mampu menciptakan ideologi karena tidak memiliki konsep yang jelas dan oleh karenanya sangat terbuka terhadap sekularisasi dan mudah menerima sistem politik partisipatif; berbeda dengan [2] Agama Khatolik yang merupakan agama yang paling tangguh membendung sekularisasi. Dalam perkembangannya memang Khatolik terpisah sama sekali dari negara dan memiliki kecenderungan organik ke arah identifikasi diri dan masyarakat. [3] Islam sendiri senantiasa sarat dengan perkembangan ideologi yang menuntun perubahan sosial, termasuk pembangunan politik.
Sedangkan menurut analisis sosiologis Peter L. Berger sendiri melihat bahwa kekuatan sekularisasi ini akan bergantung pada kekuatan masyarakatnya dimana orang yang memiliki basis religius kuat akan sulit terkena dampak sekularisasi. Padahal menurut Berger, Protestantisme merupakan tindakan yang membuka jalan menentukan bagi sekularisasi dalam ajaran Kristen. Permasalahannya adalah kembali kepada pemahaman tetang sekularisme itu sendiri. Secara salah sering dipahami sebagai ketidakpedulian terhadap nilai-nilai transendental dan agama, padahal maksudnya ialah pembedaan persoalan-persoalan agama dengan negara untuk menghasilkan pandangan yang benar bukannya jatuh kepada sikap anti-agama. Sungguh menarik ketika M. Dawam Rahardjo mengemukakan tetang pemahaman Islam sendiri yang bersabda tentang antum a’lamu bi umuri dunyakum yang artinya bahwa “terdapat pengakuan akan adanya bidang-bidang kehidupan yang masuk wilayah pemikiran, bukan arena agama”. Oleh karena itu ketika kita membahas tetang pandangan Islam mengenai sekularisme, maka dalam pengertian inilah kita akan dibawanya; yaitu bukan diartikan sebagai penghapusan nilai-nilai keagamaan atau dalam buku Rachman disebut sebagai decline of religion.
Respons Intelektual Islam Progresif atas Fatwa MUI
KONSEP SEKULARISME
Jajat Burhanuddin mengemukakan sekularisme adalah pemisahan antara agama dan Negara dan bisa saja jika suatu saat nanti hal itu terjadi di Negara-negara Muslim.
Indonesia adalah Negara yang berpenduduk Muslim terbanyak di dunia yaitu sekitar 200 juta, uniknya para pendiri republik ini tidak memilih Islam sebagai dasar negara. Dasar pemilihan tersebut merupakan pilihan yang rasional mengingat integrasi antara agama dan negara bukanlah hal yang mudah diwujudkan. Hal ini mengandung pengertian bahwa proses sekularisasi atau sekularisme akhirnya merupakan suatu hal yang tak bisa dielakkan. Hubungan sekularistik untuk agama dan negara di Indonesia merupakan pilihan terbaik dimana agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan tindak kekerasan atas nama Tuhan dan negara tidak lagi dapat memperalat agama untuk kepentingan penguasa. Akan tetapi bagaimanakah keadaan dan penerimaan ide sekularisme tersebut di Indonesia dewasa ini?[4]
Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya sekularisme, liberalisme dan pluralisme, respons mengenai tiga tema ini menjadi sangat luas dan melibatkan banyak intelektual Muslim yang pro dan kontra. Fatwa MUI tersebut telah mengakibatkan munculnya stigma negatif kepada ketiga paham tersebut. Padahal sebelumnya kelangsungan dari ketiga paham ini dapat berjalan dengan baik lepas dari setuju atau tidak setuju dengan konsepsi ini. Setelah fatwa pengharaman ini, perbincangan terkait konsep dan ide-ide ini terus berkembang dan tidak ada habis-habisnya. Pandangan ini dinilai berbahaya oleh kalangan Islam progresif sebab fatwa MUI tersebut sangat potensial menumbuhkan otoritarianisme dalam beragama dan pimikiran beragama. Sebenarnya yang mengkhawatirkan di sini bukanlah terletak pada fatwa MUI tersebut sebab dalam negara demokrasi tidak orang atau kelompok yang melarang pihak lain untuk mengeluarkan pendapat, akan tetapi efek yang ditimbulkannya itulah yang menjadi permasalahannya.
Di tengah usaha sejumlah tokoh agama untuk mewujudkan toleransi kemajemukan, kebebasan, dan kebangsaan sebagai salah satu solusi bagi keberagaman  di Indonesia khususnya pasca reformasi dan konflik-konflik komunal, MUI hadir dengan fatwanya yang mengagetkan dan koservatif itu. Ironis pemerintah dan segenap aparaturnya yang semestinya taat  pada hukum yang menjamin perlindungan bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan malahan tunduk pada fatwa MUI ini. Padahal lembaga agama semacam MUI seharusnya tunduk pada aturan konstitusi dan tidak boleh memonopoli tafsir atas nama agama, apalagi menganggap paham yang tidak disetujui sebagai sesat.[5]
Penolakan terhadap pemikiran Islam dan sekularisasi atau sekularisme terjadi karena ada pandangan yang menghegemoni bahwa Islam merupakan ajaran suci, karena itu sekularisasi dianggap sebagai barang haram yang tidak boleh dijamah jika menginginkan agar kemurnian Islam tetap terjaga. Pada akhirnya sekularisme direspons sebagai simbol pembaratan sebab sekularisasi atau sekularisme dianggap akan “menyingkirkan” dimensi-dimensi metafisik, spiritualitas dan religiusitas yang menjadi inti ajaran Islam

SEKULARISME ADALAH LANDASAN DEMOKRASI
Landasan demokrasi di Indonesia bisa terancam oleh fatwa, kalau paham anti-sekularisme, yaitu teokrasi, atau “Negara Islam” menjadi dasar Negara Indonesia menggantikan Pancasila. Dengan kata lain haramnya sekularisme berarti berimplikasi haramnya demokrasi. Dan kalau demokrasi sudah divonis sebagai barang haram, maka kalangan Islam yang menerima, dan memperjuangkan demokrasi, dalam istilah Ahmad Sahal adalah “para pendosa”.[6] Luthfi Assyaukanie mengatakan, negara yang demokratis adalah negara yang sekular. Tidak mungkin demokrasi tumbuh dalam platform negara yang berbentuk agama atau ideologi tertentu yang anti-demokrasi. Kalau Negara-negara Muslim mengadopsi demokrasi, maka mereka juga harus mengadopsi prinsip-prinsip negara sekular. Dengan demikian, kalau Indonesia tetap menginginkan system demokrasi maka tak ada pilihan lain kecuali menjadi negara sekular.
Fatwa MUI mendefinisikan sekularisme sebagai paham yang yang menganggap agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sementara hubungan antara manusia dengan manusia tidak bisa diatur agama. Ulil Abshar-Abdalla mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) menanggapi definisi ini menurutnya, memaknai sekularisme sebagai memisahkan urusan dunia dari agama jelas salah. Definisi umum sekularisme adalah memisahkan kekuasaan kaum agama dan kekuasaan negara. Sekularisme pada dasarnya menghendaki agar negara bersikap netral dalam urusan kepercayaan penduduknya. Negara netral secara  teologis menurut Ulil adalah penerjemahan prinsip al-Qur’an la ikraha fi al-din yang berarti “tak ada paksaan dalam beragama”. Pada intinya demokrasi tidak akan mampu berdiri tegak tanpa disangga sekularisme, pluralisme dan leberalisme. Bahkan khusus sekularisme yaitu pemisahan secara relatif agama dan negara adalah salah satu fakta terpenting dalam membangun demokrasi dan civil society yang kuat.

SEKULARISME MEMBENDUNG TERJADINYA ABSOLUTISME KEAGAMAAN
Berbeda dengan pandangan sekularismenya MUI, Syafi’i Anwar memandang positif sekularisme yakni “independensi agama dari wilayah-wilayah yang diatur oleh negara”. Demikian juga Dawam Rahardjo mengkritik keras pemahaman sekularismenya MUI. Dia menganggap pemahaman tersebut keliru oleh karenanya maka menurutnya “yang sesat itu MUI karena membuat fatwa-fatwa yang tidak masuk akal”. Sekularisme tidak mesti harus anti-agama. Dawam membedakan sekularisasi adalah proses, dan sekularisme adalah pahamnya atau ideologinya. Ia beranggapan bahwa sekularisme justru sejalan dengan ajaran Islam. Sebab dalam Islam hanya mengenal kebenaran mutlak itu hanya di tangan Tuhan.[7]
Yang terpenting dari sekularisme adalah komitmen kepada orientasi hidup itu sendiri, bukan pada substansinya. “Isme” disitu berarti bahwa kita percaya dan menerapkan prinsip tersebut secara terus-menerus. Dimana semuanya bersepakat menegenai keharusan menerapkan prinsip itu. Jadi pembedaan antara sekularisasi dan sekularisme tidak ada hubungannya dengan substansinya sendiri.[8]
Djohan Effendi memperkuat pandangan Dawam dengan menekankan bahwa, sekularisasi adalah proses yang tak mungkin dihindari sebagai bagian dari proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat sedangkan sekularisme adalah paham yang berkembang sebagai respons manusia atas perkembangan kehidupan politik dalam masyarakat, khususnya dalam kaitan dengan masalah hubungan agama dan negara. Yang bersifat sosiologis dan bersifat ideologis.[9]

SEKULARISME MENYELAMATKAN AGAMA
Banyak beberapa pandangan tentang sekularisme, gagasannya untuk memisahkan antara agama dan negara. Di Awal 80-an muncul perbincangan yang berpendapat bahwa pergulatan antara kekuasaan gereja dengan kekuasaan para raja dan kaisar yang kemudian berakhir dengan kemenangan raja-raja berimplikasi pada munculnya sekularisme. Menurut pandangan Amien Rais, Dunia Islam mempunyai sejarah perkembangan politik yang berbeda dengan dunia Barat. Sehingga ia berusaha melakukan retrospeksi ideo-kultural Islam dalam rangka mengantisipasi pengaruh politik barat. Menurutnya, dalam prinsip keyakinan umat Islam, al-Qur’an tidak memisahkan kehidupan menjadi dikotomis. Uniknya, Amien menolak paham sekularisme, tetapi tidak berkeberatan dengan paham liberalisme maupun pluralisme. Namun juga mendapatkan kesulitan untuk membebaskan diri dari pengaruh pemikiran politik Barat mengenai nilai-nilai politik dan implementasi demokrasi. Pendapat ini sejalan dengan Rizal yang berpandangan sesungguhnya harapan perkembangan Islam yang modern itu tidak pada sekularisme melainkan pada demokrasi.
Selain itu ada pandangan lain juga yang berpendapat dengan sekularisasi, agama ditantang untuk mencoba memberian jawaban,tidak berpuas diri dan memaksakan doktrin-doktrin tertentu. Justru dalam negara sekular, agama ditantang untuk mengontekstualisasikan dirinya. Kebebasan beragama betul-betul dijamin di negara sekuler.
Dalam kasus Indonesia, perdebatan tentang hubungan agama dan negara merupakan persoalan yang krusial. Dominasi agama sejauh ini tidak sampai masuk pada ranah konstitusi secara total, kecuali sebagai sumber inspirasi. Hal inilah yang menjadi permasalahan diantara kelompok Islam Progresif dengan kelompok Islam Radikal. Pembahasan Sekularisme dikalangan Islam Progresif sangat tidak mudah. Namun ada juga pendapat dimana sekularisme sebenarnya tidak otomatis mengakibatkan decline of religion. Seluruh kekhawatiran terhadap sekularisme tersebut harus ditinjau ulang. Karena jika ditinjau ulang, menurut Ahmad Syafii Maarif, posisi negara tidak lain untuk menuntun warganya mencapai moralitas yang salah satunya, dan terutama bersumber dari agama. Sehingga Al-Qur’an yang dipandang sebagai landasan formal untuk mendirikan negara Islam menurut beberapa kelompok sebenarnya menjadi sebuah pedoman moral saja.  Jadi sekularisme sebetulnya niscaya tidak terkait dengan penyingkiran agama, melainkan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara agama dan negara sekaligus untuk membedakan otoritas masing-masing.

PANCASILA SEBAGAI OBJEKTIVITAS ISLAM
Ketika agama ingin masuk dalam persoalan publik, maka agama harus mengalami proses substansiasi dan rasionalisasi. Dengan kata lain harus mengalami proses sekularisasi. Artinya, agama tidak bisa datang tiba-tiba dengan kuotasi terhadap ayat-ayat bahkan sarinyapun. Ia harus ditransformasikan secara rasional ke dalam bahasa-bahasa yang terbuka dan dapat diuji lewat mahkamah rasionalitas publik. [10]
Jika berbicara tentang Pancasila maka kita harus kembali melihat apa yang dikatakan oleh para demokrat sejati bangsa kita, salah satunya adalah Mohammad Hatta. Beliau mengatakan bahwa sila “ Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Tapi bukan hanya sila pertama ini yang menjadi prinsip dari negara Indonesia tapi kelima sila yang telah disusun memiliki tujuan yang sangat penting bagi Indonesia, namun pada bagian ini yang lebih ditekankan adalah pada sila pertama karena isi sila ini banyak membahas tentang keagamaan dan kepercayaan seseorang. Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan mayoritas penganut agama Islam, sehingga dapat dilihat bahwa segala aturan-aturan yang dibuat sangat terlihat ke-islam-annya, namun tidak berarti negara ini mengharuskan semua masyarakatnya harus semuanya beragama Islam, tapi Pancasila menjadi dasar negara dan sekaligus sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Nilai-nilai Islam yang universal yaitu, Islam sebagai agama yang rahmat-an li al-alamin dan jika diwujudkan kedalam sistem kenegaraan atau menjadi konstitusi negara Islam akan berimplikasi mereduksi nilai-nilai tersebut.[11] Dengan menyerukan sekularisasi, semangatnya justru dekat dengan agama, artinya ada pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan politik, tapi kekuasaan moral agama bisa mengontrol kekuasaan politik.[12]

SEKULARISME BUKAN MEMINGGIRKAN AGAMA TETAPI PEMBAGIAN PERAN
Dalam sekularisme, eksistensi agama tidak dipinggirkan. Karena bagaimanapun agama merupakan kebutuhan yang paling fundamental dalam diri manusia. Menurut Saiful Mujani, jika sebuah kebijakan dibuat dengan pertimbangan agama tertentu, kebijakan tersebut bukanlah kebijakan rasional. Karena sebuah kebijakan yang berlaku publik, kalau didasarkan pada agama tertentu, akan menimbulkan persoalan terhadap pemeluk agama lain. Menurutnya, urgensi agama dalam hubungannya dengan demokrasi akan tampak bila agama diterjemahkan dalam kelompok-kelompok sosial, membentuk kekuatan kolektif, dan membentuk jejaring sosial. Jadi agama tidak dipahami sebagai kekuatan individual, melainkan sebagai kekuatan kolektif yang terlihat dalam ekspresi publiknya. Sekularisasi sendiri diartikan sebagai upaya mencegah formalisasi agama diwilayah publik. Bagaimanapun semangat memisahkan agama dengan negara dalam Islam tidak dapat dihindari. Karena agama tidak dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia. Ada banyak faktor-faktor yang berkembang seiring dengan modernitas.
            Dengan demikian, menurut kalangan Islam progresif, sekularisasi atau sekularisme lebih langsung, tidak berarti dengan sendirinya ateisme, atau anti-agama. Banyak sekularis adalah seseorang yang religius, yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularisme adalah suatu paham yang sebetulnya bukan anti-agama. Sekularisme dijalankan bukan dengan melarang agama diruang publik, tetapi membiarkannya tetap ada, seraya menghormati agama lain ditempat yang sama. Pada prinsipnya, jangan ada monopoli satu agama tertentu. Bahkan, dalam pandangannya, seringkali orang yang sekular justru sangat agamis dalam wilayah privatnya. Tetapi ketika di dalam wilayah publik mereka percaya bahwa negara dan agama mesti dipisahkan. Kesimpulan yang didapat adalah, sekularisme tidak berarti peminggiran agama Islam dari kehidupan publik, atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat. Keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam, sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariat sebagai kebijakan publik, dan menetapkannya menjadi undang-undang atau peraturan melalui suatu pemikiran umum. Tetapi hal itu dilakukan dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik Muslim dan non-Muslim.
            Seorang guru besar yaitu Abdul Munir Mulkhan membagikan sekularisme dalam dua aspek yaitu: [1] teoritis; dan [2] fakta dilapangan. Secara teoritis sebenarnya sekularisme bukanlah teori yang menolak agama. Tetapi persoalan-persoalan aagama itu perlu dipisahkan dengan agama dengan negara merupakan pandangan yang benar. Tapi bukan berarti ia menjadi anti-agama. Faktanya bisa kita lihat inkonsistensi di Indonesia atau di negara-negara Muslim lainnya. Mereka menolak sekularisme secara normatif, tetapi pada praktiknya dilapangan mereka membedakan antara urusan agama dan urusan dunia. Justru di negara sekularlah agama bisa tumbuh subur secara bebas karena negara melindungi agama-agama tanpa bermaksud mengintervensinya. Oleh karena itu, yang harus diperjuangkan adalah sekularisme yang bisa berdampingan dengan agama.[13]
Dapat kita melihat satu contoh jika negara hidup tanpa agama atau juga sebaliknya, yaitu tentang cara bepakaian bagi wanita. Jika pengaturan ini dilakukan oleh negara maka akan mengancam kebebasan berekspresi perempuan, namun juga akan berbahaya apabila agama sendiri yang harus mengatur peraturan itu maka wanita akan ditekan dalam berekspresi berpakaian. Untuk itulah sangat dibutuhkan suatu kerja sama agar masyarakat yang menjalankan peraturan itu merasa nyaman dan memiliki kebebasan tapi juga bertanggung jawab. Karena inilah yang membuat sekularisme itu muncul, karena maksud dari sekularisme adalah sebuah paham dan gerakan yang ingin membongkar suatu bentuk absolutisme keagamaan.
            Dengan demikian definisi sekularisme dalam konteks Indonesia yang tepat sebagaimana dilakatakan oleh Syafi’i Anwar adalah “independensi agama dari wilayah-wilayah yang diatur oleh agama”. Definisi seperti ini, meletakan sekularisme secara moderat atau bakan progresif, dan sepatutnya ditransfer ke dalam konteks Indonesia.

SEKULARISME BERSAHABAT DENGAN AGAMA
Berdasarkan wawancara dengan Azyumardi Asra seorang intelektual muslim oktober 2006 yang lalu terdapat kesimpulan bahwa penerapan sekularisme disejumlah negara terbagi menjadi dua bagian, yakni sekularisme yang friendly memberikan agama tempat atau bagian yang pantas untuk agama. Artinya, hal-hal yang kurang pantas diurus oleh agama tidak boleh diurus oleh agama. Salah satu contoh yang bisa ditiru oleh bangsa kita adalah sekularisme yang ada di negara Amerika Serikat yang memisahkan antara urusan politik atau urusan publik dengan urusan agama, tanpa memusuhi atau menghilangkan agama. Misalnya, di negara Amerika Serikat membebaskan umat muslim disana untuk memakai jilbab tanpa larangan, karena hal itu dianggap sebagai urusan pribadi dan bukan urusan agama yang mengaturnya. Yang kedua menurut Azyumardi adalah unfriendly secularism yaitu sekularisme yang bermusuhan terhadap agama. Salah satu contoh yang dipakai oleh Azyumardi adalah negara Turki, karena disana terdapat campur tangan negara yang sangat dalam terhadap agama. Bila dalam satu pihak agama dilarang masuk ke dalam wilayah politik, tetapi pada saat yang sama negara misalnya mengganti Adzan bahasa arab menjadi bahasa Turki. Padahal, sebenarnya hal itu merupakan urusan agama bukan urusan negara. Dalam hal ini Azyumardi juga menegaskan suatu kesimpulan yang disetujui pula oleh kalangan islam progresif bahwa tidaklah bijak mencangkok sekularisme yang mengabaikan akar budaya masyarakat Indonesia. Sebaliknya yang hendaknya didorong adalah membumikan sekularisme dengan menyesuaikan karakter ke-indonesia-an.

AGAMA SEBAGAI SUMBER MORAL NEGARA
Terdapat kesalahpahaman pengertian jika sekularisme dianggap mengesampingkan atau bahkan menghilangkan identitas keberagaman. Justru sebaliknya, sekularisme dapat menjunjung dan memuliakan agama, dengan cara memisahkan agama yang sakral dari ruang negara yang profan. Misalnya, perda yang melarang perjudian tidak perlu dikatakan dalam perda syariat. Di sinilah salah satu arti penting dari sekularisasi. Masdar E. Mas’udi yang mengatakan bahwa masing-masing agama mempunyai nilai-nilai universal yang bisa diinternalisasikan menjadi jiwa negara modern. Misalnya, sebutlah Kristen. Kristen mempunyai nilai-nilai Kasih kepada yang lemah. Ini telah menunjukkan kekristenan ada nilai universal. Begitu pula dalam setiap agama dengan konteks di Indonesia yang plural, sekularisme menjadi sangat penting, karena meskipun kita tetap menggunakan agama sebagai sebuah nilai dan pijakan, kita harus menghindari pelembagaan agama supaya agama tidak dijadikan sebagai alat kepentingan kekuasaan supaya tercapailah agama sebagai sesuatu yang luhur yaitu sebagai kekuatan moral untuk mencapai perubahan. Di sisi lain terdapat hal yang kurang begitu bisa dipahami ketika posisi agama dapat membajak nilai-nilai moralitas yang ada pada suatu lingkungan masyarakat, bukan sebagai sumber moralitas namun sebagai sumber moralitas. Contoh Ahmadiyah, sudah pasti dalam tindakannya pernah menyengsarakan umat yang lain dengan memukuli orang, membakar masjid orang, menurut rasionalitas kita hal itu sangat meresahkan namun disisi lain hal itu diperbolehkan dalam syariat keagamaan mereka. Itulah yang disebut sebagai agama penghancur moralitas.

POIN-POIN MENGENAI KOMPLEKSITAS PENGERTIAN SEKULARISME
Setelah membahas mengenai Sekularisme dalam Islam dengan konteks masalah hubungan Islam dan negara, penjernihan istilah sekularisme dan kompleksitasnya, debat sekularisasi dan sekularisme di Indonesia, respons intelektual Islam Progresif Indonesia atas Fatwa MUI tentang sekularisme, serta reaksi kalangan Islam Radikal tentang masalah agama dan negara, sampailah pada bagian penutup yang merupakan rangkuman atas poin-poin yang sudah dipaparkan di muka. Berikut adalah poin-poin mengenai pengertian sekularisme:

1.      Sekularisme adalah paham tentang pemisahan agama dan politik. Namun demikian, sekularisme tidak anti terhadap agama.
Secara konseptual, sekularisme merupakan paham mengenai pemisahan antara agama dengan politik. Dengan pengertian seperti itu, maka agama merupakan urusan pribadi dan bukan merupakan urusan politik. Sekularisme dapat kita pahami juga sebagai pemisahan antara agama dengan negara dimana tujuannya adalah untuk meniadakan intervensi agama terhadap negara dan sebaliknya intervensi negara terhadap agama. Sangatlah ekstrim apabila kita memandang sekularisme sebagai paham antiagama.
Sekularisme sebetulnya bukan antiagama, namun sekularisme hanya digagas untuk memisahkan antara agama dengan negara. Jadi, sekularisme bukanlah merupakan konsep yang anti-agama. Yang menarik adalah apabila kita pahami dengan lebih sungguh, justru dinegara sekularlah orang dapat bebas beragama, bahkan dapat dikatakan orang menjadi lebih beriman di negara sekuler. Dan di negara sekulerlah kebebasan beragama benar-benar dijamin oleh negara sekuler.
Sekularisme merupakan produk historis, maka dari itu sangatlah diperlukan untuk selalu dilihat konteks perkembangannya. Pemisahan antara agama dari kehidupan publik adalah sesuatu yang menjadi kecenderungan sejarah. Sekularisme tidak membenci agama, akan tetapi memberikan agama tempat ayau bagian yang pantas untuk agama. Hal-hal yang tidak pantas untuk agama tidak boleh diurus oleh agama.

2.      Sekularisasi lebih menekankan proses, sementara sekularisme adalah pahamnya
Sekularisasi
Sekularisme
Lebih menekankan proses. Proses yang merupakan perkembangan masyarakat.
Paham atau ideologinya yang menyangkut pada prinsip untuk setuju dengan proses tersebut.
Proses yang tidak terhindarkan sebagai bagian dari proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat.
Paham yang berkembang sebagai respons manusia atas perkembangan kehidupan politik dalam masyarakat.
Mengacu pada proses sosiologis yang berkaitan dengan modernisasi.
Suatu ideologi yang berkembang sebagai akibat dari sekularisasi.
Proses natural dan sosiologis dalam masyarakat, dijelaskan asal-usulnya, kecenderungan perkembangannya dan sifat-sifatnya.
Usaha konsepsional dalam menjelaskan dan memberi uraian sistematis terhadap proses sekularisasi.
Merupakan isu yang lunak.
Dicapai melalui perubahan sosial yang radikal dan disponsori oleh pemerintah.

3.      Sekularisme mendorong agama semakin rasional
Sekularisme dan sekularisasi sangat diperlukan karenanya pemahaman mengenai agama akan semakin rasional, yang ujungnya akan menciptakan keseimbangan antara iman dan ilmu pengetahuan.
Sekularisme dipahami dalam konteks sosiologis berarti suatu paham yang mendorong bahwa kehidupan bernegara dan ranah politiknya hendaknya didekati secara rasional dengan teori-teori politik modern yang mana agama berada pada tataran moral.


4.      Sekularisme mendorong tegaknya demokrasi
Tanpa sekularisme prinsip-prinsip demokrasi tidak akan mungkin diwujudkan secara penuh. Landasan demokrasi adalah negara yang sekuler, negara yang demokrasi adalah negara yang sekular.
Sekularisme merupakan satu sistem dimana kelembagaan dimungkinkan terjadi diferensiasi atau pembedaan-pembedaan di segala bidang. Wilayah agama adalah wilayah ritual dan makna hidup, maka agama seharusnya di wilayah itu saja. Itulah sekularisme liberal, yang intinya adalah demokrasi.
Jika Indonesia menginginkan menjadi negara yang menganut sistem demokrasi, maka tidak ada pilihan lain, bahwa Indonesia menjadi negara sekular.

5.      Negara Madaniah bukanlah model Negara Islam, tetapi sebuah model negara sekuler. Sekularisme tidak bertentangan dengan nila-nilai Islam.
Negara Madaniah merupakan negara yang sekular. Negara yang memisahkan antara agama, urusan agama yang dianut oleh masyarakatnya dengan aturan bersama. Islam mengalami proses sekularisme pada masa Nabi. Agama-agama di Arab sebelum Islam lebih bersifat mistis daripada rasional.
Tidak ada salahnya apabila negara-negara muslim menjadikan sekularisme sebagai upaya untuk keluar dari determinasi sejarah yang destruktif dan penuh konflik atas nama agama. Kebesaran agama terletak pada agama itu sendiri, bukan karena kekuatannya dalam mengatur negara.


[1] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. 2010. (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat) Hal. 168
[2] Ibid. di dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme, tertanggal 29 Juli 2005.
[3] Op. Cit, hal 171. Lihat Barry A. Kosmin, “Contemporary Secularity and Secularism”, dalam Barry A. Kosmin dan Ariela Keysar (ed.) Secularism & Secularity: Contemporary International Perspectives (Hartford, CT: Institute for the Study of Secularism in Society and Culture (ISSSC), 2007).
[4] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 185
[5] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 187
[6] Ahmad Sahal, “MUI dan Fatwa antidemokrasi”, Tempo, edisi. 25/XXXIV/15-21 Agustus 2005. Dalam, Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 188-189
[7] Wawancara dengan Musdah Mulia, Oktober 2006. Dalam, Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) p. 193
[8] Wawancara dengan Ihsan Ali-Fauzi, 12 Mei 2007. Dalam Budhy Munawar-Rachman P. 196
[9] Wawancara dengan Djohan Effendi, 4 Juni 2007. Dalam Budhy Munawar-Rachman p. 197
[10] Hal 209. Wawancara dengan Yudif Latif, jakarta, 31 januari 2008
[11] Hal 212. Wawancara dengan Maria Ulfah Anshari, 14 juni 2007
[12] Hal 212. Wawancara dengan Said Aqiel Siradj, oktober 2006
[13] Hal 216. Wawancara dengan Zainun Kamal, september 2006

2 komentar:

  1. wiihh... mantap niihh...
    baru tahu bikin blog. membantu bagi yang gak punya buku.. just like me
    Elia '11 teol DW

    BalasHapus