Senin, 10 Januari 2011

Garebeg dan Sekaten Yogyakarta

Pendahuluan

Suatu yang sangat menarik kita pelajari dalam antropologi agama salah satunya adalah fenomena masuknya agama dalam suatu wilayah. Sejarah dari kota Yogyakarta yang notabene adalah sebuah kota kerajaan Islam yang terkenal sejak dahulu. Yang saya teliti yaitu Sekaten dan Gerebeg sebuah Akulturisasi  Budaya Jawa dalam Penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dan apa makna Sekaten bagi orang Yogyakarta dan sekitarnya dan bagaimana acara ini dikaitkan dengan agama Islam dan beberapa tanggapan teologis.

Sejarah Sekaten

Tradisi sekaten dimulai pada Zaman Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yaitu Kerajaan Demak Bintoro. Pada saat itu yang menjadi raja adalah Raden Patah. Menurut silsilah, Raden Patah adalah putra dari Prabu Kertabumi Brawijaya V (raja majapahit terakhir) yang dinobatkan sebagai Adipati di wilayah Demak. Ketika kerajaan Majapahit mulai surut masa kejayaannya, para wali menobatkan Raden Patah sebagai seorang raja di Demak Bintara dengan gelar Sang Prabu Sultan Bintara I, kemudian Raden Patah bersama dengan para wali mendirikan Masjid Demak. Masjid ini menjadi tempat beribadah shalat, dakwah, musyawarah, pendidikan dan penyebaran agama Islam. Para wali memutuskan bahwa saat yang tepat untuk menyiarkan agama Islam yaitu pada saat bersamaan dengan peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW, dimana pelaksanaannya dimulai tanggal 5 Rabi’ul Awal (Maulud).
Acara sekaten dimulai dari tanggal 5 sampai tanggal 11 Maulud diadakan syiar agama Islam di Masjid Demak. Bagi masyarakat yang ingin mengikuti peringatan Maulud Nabi diharuskan sudah beragama Islam, dengan menjalankan rukun islam yang pertama yaitu mengucapkan kalimah syahadat serta lahir batinnya bersih. Karena pada saat itu masyarakat masih memegang teguh budaya kejawen atau beragama Hindu, Budha, dan Kepercayaan Jawa maka Sunan kalijaga yang “ wicaksana lan waskitha” dalam melihat keadaan masyarakat saat itu mencoba mencari cara agar masyarakat mau berkumpul di Masjid dengan rela dan iklas. Sunan kalijaga mempunyai ide untuk mengundang dan mengumpulkan masyarakat agar mau datang ke Masjid dengan menggunakan gamelan. Mengapa gamelan dipilih sebagai sarana? Karena gamelan mewujudkan kebudayaan jawa asli yang irama dan suaranya sudah mendarah daging di dalam diri setiap orang jawa. Sepertinya, Sunan Kalijaga juga menganggap bahwa gamelan memiliki keampuhan ritual untuk menarik orang-orang, hal ini memiliki pandangan yang sama dengan Geertz.

Difihak lain, gending-gending tertentu dianggap memiliki keampuhan ritual,...[1]

Gamelan yang digunakan adalah gamelan milik Sunan Giri. Gamelan dibunyikan di depan Masjid Demak siang dan malam sejak tanggal 5 sampai tanggal 11 malam 12 Rabi’ul Awal. Di dalam masjid sendiri diadakan acara Peringatan Maulud Nabi dengan membacakan riwayat Nabi Muhamad SAW.
Ketika masyarakat sudah berkumpul, suara gamelan dihentikan sejenak dan diganti dengan dakwah, wejangan, dan pengetahuan tentang ajaran Islam sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Bagi masyarakat yang belum memeluk agam Islam tetapi ingin memeluk agama Islam harus mengucapkan Rukun Islam yang pertama yaitu mengucapkan kalimah syahadat atau kalimat kesaksian. Berhubung kalimah syahadat tersebut ada dua hal maka disebut kalimah syahadatain, yang kemudian terkenal dengan istilah Sekaten. Pada masa ini ada yang mengatakan bahwa garebeg sudah ada setelah tradisi sekaten selesai, namun  ada juga yang mengatakan bahwa garebeg belum ada. Tentang kebenaran hal tersebut tidak ada bukti-bukti yang nyata dan jelas. Tradisi penyelenggaraan sekaten ini terus berlanjut pada masa Kerajaan Pajang dan Mataram.
Pada saat Sultan Agung memerintah Kerajaan Mataram, mulailah tradisi sekaten dan garebeg disusun dengan rapi. Mulai dengan prosesinya sampai segala peralatan beserta perlengkapannya, dan tradisi inilah yang kemudian diikuti oleh para penerus Sultan Agung sampai sekarang.  Sultan Agung juga meyusun ulang Tahun Saka (Tahun Jawa) dan menyesuaikannya dengan Tahun Hijriyah yang kemudian dikenal dengan nama Kalender Jawa Sultan Agungan. Dalam perhitungan kalender ini siklusnya terjadi delapan tahun sekali yang dinamakan satu windu. Dalam satu windu ini setiap tahunnya mempunyai nama, nama tahun pertamanya adalah Tahun Dal. Tahun Dal dianggap istimewa dibandingkan dengan tahun-tahun yang lain karena Tahun Dal merupakan tahun pertama dalam satu windu dan dalam Tahun Dal inilah Nabi Muhammad SAW lahir.
Sultan Agung juga membuat dua perangkat gamelan yang diberi nama Kyai Guntur Madu (lih. Gambar) dan Kyai Guntur Sari yang digunakan pada saat tradisi sekaten berlangsung. Ketika Kerajaan Mataram pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, gamelan Kyai Guntur Madu menjadi milik Kasultanan Yogyakarta dan Kyai Guntur Sari menjadi milik Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta kemudian membuat seperangkat gamelan lagi sebagai pengganti Kyai Guntur Sari yang ukurannya lebih kecil dari kyai Guntur madu namun kualitas suaranya lebih bagus yang diberi nama Kyai Nagawilaga. Begitu juga dengan Kasunanan Surakarta juga membuat seperangkat gamelan lagi sebagai ganti Kyai Guntur Madu yang ada di Kasultanan Yogyakarta dan diberi nama sama, yaitu kyai Guntur madu. Gamelan-gamelan inilah yang dibunyikan pada saat tradisi sekaten berlangsung di kedua kerajaan tersebut. Sedangkan gamelan yang digunakan pada masa Kerajaan Demak Bintoro berada di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Tradisi Sekaten di Kasultanan Yogyakarta

Setiap tahun Kasultanan Yogyakarta mengadakan tradisi sekaten dan garebeg, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu-pendahulunya. Waktu pelaksanaannya tetap sama dengan pada masa Kerajaan Demak Bintoro namun untuk prosesinya mengikuti apa yang telah Sultan Agung rancang dan susun. Prosesi dipimpin oleh Sultan karena secara historis Sultan adalah keturunan dari Panembahan Senopati, yang harus melaksanakan apa yang sudah dilaksanakan oleh pendahulunya. Sultan juga sebagai Sayidin Panata Gama Kalimatullah yang harus menjaga dan mengembangkan agama Islam. Prosesi sekaten dimulai pagi hari tanggal 5 Rabi’ul Awal dengan mengusung  Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga dari Bangsal Pancaniti Kamandhungan menuju Bangsal Pagongan yang ada di utara dan selatan pelataran Masjid Agung. Prosesi ini dipimpin oleh Sultan sendiri. Kedua perangkat gamelan ini dibunyikan sampai tanggal 11 malam 12 Rabi’ul Awal. Gamelan dibunyikan dari pagi hari sampai sekitar jam 11.00 malam. Namun pada saat menjelang ibadah sholat gamelan berhenti dibunyikan. Ketika antara tanggal 5 sampai 11 ada hari Jum’at, gamelan juga tidak dibunyikan. Hal ini dilakukan untuk menghormati waktu ibadah sholat dan juga untuk memberikan kesempatan para penabuh untuk istirahat. Gendhing-gendhing yang dilantunkan untuk pertama kalinya adalah Gendhing Rambu laras pelog pathet lima. Gendhing ini berasal dari bahasa arab “Rabbul Allah” yang artinya Tuhan kita itu adalah Allah yang menguasai alam semesta, kemudian dilanjutkan dengan gendhing-gendhing yang lain, misalnya:
·         Gendhing Supiyatun, yang berasal dari bahasa Arab yan berarti hati yang suci,
·         Gendhing Salatun, dari bahasa Arab yang artinya berdoa,
·         Gendhing Yaumi, juga berasal dari bahasa Arab yang artinya malam hari Maulud Nabi Muhammad SAW.

Pada tanggal 11 malam 12 Rabi’ul Awal, Sultan datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan riwayat Nabi Muhammad SAW. Namun sebelum memasuki lingkungan masjid, Sultan menyebarkan udik-udik di sekitar gamelan yang ada di pagongan, di dalam masjid Sultan juga memberikan udik-udik bagi para pengurus masjid. Udik-udik ini berwujud uang recehan. Setelah Sultan mendengarkan riwayat Nabi Muhammad SAW kemudian Sultan kembali ke keraton yang diikuti kedua perangkat gamelan. Ketika sekaten jatuh di Tahun Dal (seperti sekaten tahun ini), Sultan mempunyai tradisi khusus yaitu njejak banon. Tradisi ini dilakukan sebagai peringatan atas kemarahan HB I yang menjebol tembok benteng karena mendengar laporan bahwa Pangeran Mangkunagara (putra menantunya) akan memberontak – karena memang pada saat itu kondisi dalam kraton sedang ada konflik – dan ternyata laporan tersebut bohong. Setelah melakukan tradisi njejak banon tersebut Sultan kembali ke kraton. Prosesi dilanjutkan pada malam harinya dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk di Bangsal Pagelaran Keraton untuk menutup tradisi sekaten, dan juga untuk menghibur masyarakat, kemudian keesokan harinya, yaitu tanggal 12 Rabi’ul Awal dilakukan prosesi garebeg.

 Makna Sekaten

Dalam acara ini sekaten dimaknai sebagai salah satu kewajiban seorang Sultan yaitu Sayidin Panata Gama, yaitu pemimpin agama yang berkewajiban menyebarkan agama Islam, dengan meneladani suri tauladan dari kehidupan Sang Baginda Rasul. “Sekaten juga dimaknai sebagai sarana Komunikasi Raja-Rakyat (Manunggaling Kawulo-Gusti)." demikian keterangan H. RM. Tirun Marwito selaku Penghageng II Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[2]
Sekaten adalah peristiwa budaya dan religi yang sangat penting. Gunungan menjadi simbol sedekah Sultan kepada rakyat yang dibuat dari hasil pertanian (simbol kesejahteraan masyarakat). Antusiasme masyarakat terhadap acara Garebeg Sekaten ini tidak hanya terbatas pada daerah Yogya saja, tetapi sudah meluas hingga ke pelosok Jawa. Mereka rela berdesakan berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan tersebut. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa apabila bisa berhasil mendapatkan gunungan tersebut, rejeki untuk tahun ini akan berlimpah.

Makna Garebeg

Dalam masyarakat jawa banyak dikenal berbagai macam simbol. Garebeg adalah salah satunya. Bagi masyarakat Yogyakarta, garebeg adalah sebuah simbol rasa kepedulian Sultan sebagai Raja terhadap rakyatnya. Garebeg diwujudkan dalam bentuk gunungan yang melambangkan hubungan harmonis antara bumi, langit, air, api, angin, tanah, dan ruang angkasa, serta seluruh isinya, tumbuhan, hewan, dan manusia yang notabene terdiri atas pelbagai suku, agama, ras, golongan, dan kebangsaan. Para leluhur tidak hanya berhenti pada konsep multikulturalisme dan slogan, "Bhinneka Tunggal Ika-Tan Hana Dharma Mangrwa" namun sungguh mempraksiskannya dalam keseharian ziarah hidup.
Setiap tahun Kasultanan Yogyakarta mengadakan garebeg tiga kali, yaitu:
·         Garebeg Idul Fitri, yang dilaksanakan menjelang hari raya Idul Fitri,
·         Garebeg Idul Adha, yang dilaksanakan menjelang hari raya Idul Adha, dan
·         Garebeg Maulud Nabi Muhammad SAW, yang dilaksanakan setelah tradisi sekaten, yaitu tepat tanggal 12 Rabi’ul Awal.
Dalam Garebeg Idul Fitri dan Garebeg Idul Adha hanya ada satu atau dua gunungan yang sama. Namun dalam Garebeg Maulud Nabi Muhammad SAW ada beberapa gunungan, dan gunungan tersebut mempunyai nama, yaitu:
·         Gunungan Lanang (gunungan lanang tersusun dari berbagai macam hasil bumi. Gunungan ini melambangkan sosok seorang laki-laki),
·         Gunungan Putri (gunungan putri juga berisi hasil bumi , namun yang membedakan dengan yang lain yaitu adanya makanan yang terbuat dari ketan, yang proses pembuatannya dengan ritual khusus),
·         Gunungan Gepak, Gunungan Dharat (gunungan gepak dan gunungan dharat terdiri dari berbagai macam makanan dan juga hasil bumi, gunungan ini melambangkan kesejahteraan dari sultan dan rakratnya), yang terakhir
·         Gunungan Pawuhan (gunungan ini berisi sisa-sisa bahan pembuat gunungan).
Namun ketika Garebeg Maulud Nabi Muhammad SAW jatuh pada Tahun Dal maka ditambah sebuah gunungan lagi yaitu Gunungan Bromo atau Kutug (gunungan ini juga terbuat dari makanan dan hasil bumi, namun yang membedakan dengan gunungan yang lain yaitu adanya asap yang mengepul dari puncak gunungan. Gunungan ini melambangkan semangat Sultan dan rakyatnya dalam menjalani kehidupan di dunia ini). Mengapa ditambah gunungan bromo? Karena Tahun Dal dianggap tahun terbesar dari masa satu windu dan karena lahirnya Nabi Muhammad SAW jatuh pada Tahun Dal. Pada garebeg tahun ini jatuh pada Tahun Dal sehingga ada tambahan gunungan yaitu Gunungan Bromo. Jumlah gunungan pada garebeg tahun ini ada tujuh gunungan yang terdiri dari Dua Gunungan Lanang, Gunungan Bromo, Gunungan Putri, Gunung Dharat, Gunungan Gepak Dan Gunungan Pawuhan masing-maing satu buah.
Prosesi garebeg dimulai dengan keluarnya Sultan dari kraton yang diikuti oleh Pusaka-Pusaka Kraton, para pamangku praja, para abdi dalem, dan para prajurit. Sultan memerintahkan pembawa gunungan untuk membawa gunungan ke Masjid Agung untuk didoakan kemudian Sultan kembali masuk ke dalam Kraton dan menunggu datangnya kembali Gunungan Bromo dari Masjid Agung di Sitihinggil. Setelah mendapat perintah maka gunungan diarak menuju Masjid Agung yang terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara Kraton. Sesampainya di Masjid Agung, gunungan diserahkan kepada para ulama, kemudian dilakukan doa bersama. Begitu selesai, Gunungan Bromo dibawa masuk kembali ke dalam Kraton dan diserahkan kepada Sultan. Satu gunungan lanang dibawa ke Pakualaman sebagai wujud rasa persaudaraan Kasultanan dengan Pakualaman. Di Pakualaman, gunungan juga diperebutkan. Sedang gunungan yang lain diperebutkan oleh masyrakat yang hadir disitu.
Gunungan Bromo dibawa kembali ke Kraton harus dalam keadan utuh. Gunungan tersebut di bagikan kepada keluarga kraton dan para abdi dalem di sitihinggil. Disini mempunyai makna bahwa Sultan tidak hanya memikirkan rakyatnya saja, namun Sultan juga memikirkan sanak keluarganya juga. Sebetulnya pada jaman dulu gunungan ini tidak diperebutkan teapi dibagi-bagikan langsung kepada rakyat. Namun karena yang hadir dalam acara garebag begitu meluap, sedangkan kerajaan tidak mampu untuk memberikan lebih maka gunungan tersebut diperebutkan.

Dampak Ekonomi dari Sekaten dan Garebeg

Tradisi dari sekaten dan garebeg yang diadakan oleh Keraton Yogyakkarta ini secara tidak langsung memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar keraton. Acara tardisi ini menyebabkan rakyat datang berbondong-bondong ke lingkungan keraton, mereka mempunyai berbagai tujuan, ada yang hanya sekedar ingin tau tentang tradisi tersebut, ada juga yang benar-benar ingin mengikuti dan “nguri-uri”  tradisi tersebut, namun ada juga yang datang untuk berjualan. Dengan berkumpulnya banyak orang disekitar keraton, maka disitu ada sebuah peluang bagi masyarakat untuk menjual barang-barang atau makanan dan mnuman yang sekiranya dibutuhkan oeh orang-orang yang datang. Bagi para  pedagang yang sudah terbiasa berjualan di sekitar keraton, acara ini akan meningkatkan pendapatan mereka, sedang bagi para pedagang “tiban” – pedagang yang berjualan hanya saat tradisi tersebut berlangsung- akan memperoleh pendapatan sampingan. Jadi acara sekaten dan garebeg ini sungguh membantu masyarakat di sekitar keraton, terutama para pedagang kecil.

Alienasi Agama[3]

Didalam pengamatan saya keterasingan agama tidak begitu mencolok atau begitu kelihatan  di dalam tradisi Keraton, semua masyarakat berbaur dengan penuh kegembiraan. Akan tetapi pada waktu pertama kalinya agama Islam masuk tanah Jawa, para penyebar agama Islam tentunya merasa terasing dengan agama dan kepercayaan yang sudah dianut oleh orang jawa. Untuk mengatasi hal tersebut maka para penyebar agama Islam pada waktu itu mencoba menyelaraskan dan memadukan ajaran agama Islam dengan kebudayaan asli  yang sudah ada sebelumnya. Tindakan yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam yaitu salah satunya  dengan melakukan perkawinan campur dengan penduduk lokal, sehingga penyebaran agama dapat berkembang, paling tidak dalam keluarga yang melakukan perkawinan campur tersebut. Perkawinan campur ini juga merambah masuk ke dalam lingkungan pembesar-pembesar kerajaan yang saat itu beragama Hindhu dan Kejawen. Langkah ini adalah langkah awal yang dilakukan untuk menyebarkan agama Islam, kemudian para wali menyoba memanfaatkan kebudayaan yang saat itu sudah ada dan yang sudah mendarah daging dalam diri orang jawa yaitu melalui gamelan dan wayang, para wali myisipkan dakwah-dakwah mereka di sela-sela pementasan gamelan dan wayang. Dengan demikian terjadilah suatu proses asimilasi kebudayaan. Dengan cara ini penyebaran agama Islam di tanah Jawa berkembang dengan pesat. Hal ini terus dilakukan dari zaman Kerajaan Demak sampai sekarang di zaman Kasultanan Yogyakarta. Ini menunjuk bahwa keterasingan yang dialami dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dapat teratasi dengan baik.

Refleksi Teologis

Ada beberapa hal yang menjadi catatan pribadi bagi saya setelah melakukan penelitian khususnya saat wawancara bersama H. RM. Tirun Marwito selaku Pengageng II Tepas Dwarapura Keraton Nayogyakarta Hadiningrat Abdi Dalem Kerajaan dan Kehumasan di rumahnya yang bertempat tepat di sebelah keraton Yogyakarta. Dari keterangan beliau, ada beberapa hal yang secara khusus ditekankan untuk disampaikan kepada khalayak umum tentang kebudayaan dalam konteks agama islam ini.
  1. Mengenai dupa yang dinyalakan oleh orang-orang kejawen
Apabila kita melihat dalam suatu acara kebudayaan dalam konteks keagamaan misalnya saja kejawen yang menggunakan dupa, mungkin hal pertama yang muncul dalam pikiran kita adalah sesuatu yang mistik dan gaib, hal-hal yang dilarang oleh beberapa agama dan akhirnya melabelkan dalam pemikiran kita bahwa itu sesuatu yang hitam. Banyak orang yang melihatnya akan berkata dan berpikiran buruk tentang hal itu. Dalam keterangannya H. RM. Tirun Marwito menjelaskan bahwa sebenarnya fungsi dupa sendiri hanyalah untuk menghilangkan bau tidak sedap yang ada di dalam maupun ruangan apabila ada suatu acara yang sedang dilakukan. Banyaknya orang yang ada membuat bau tidak sedap sehingga diperlukan dupa agar bau dapat dinetralkan olehnya. Aliran kejawenpun sedikit banyak menggunakannya sebagai demikian. Menurut pendapat saya, fungsi dupa disini sebagai lambang bahwa tubuh mereka yang kotor sudah dibersihkan oleh dupa tersebut agar layak menghadap sang mutlak di dalam kepercayaannya, bukan untuk memanggil arwah orang mati dan sebagainya. Beberapa kebudayaan menyalahgunakan hal ini untuk hal-hal yang hitam tadi sehingga pandangan orang terhadap dupa yang ada di suatu kebudayaan akan selalu dianggap buruk. Tak sedikit pula orang Kristen yang berpandangan buruk mengenai hal ini. Mereka seolah memandang sebelah mata orang-orang yang mengikuti kegiatan sekaten ini. Namun tak sedikit pula orang Kristen yang menganggap kegiatan ini sebagai suatu bentuk sosial Kesultanan Yogyakarta kepada rakyatnya yang juga dipandang sebagai lambang Kasih raja kepada rakyatnya.[4]
  1. Mengenai air bekas memandikan pusaka dan kereta kencana sultan
Bagi beberapa orang, air bekas mencuci pusaka dan kereta kencana sultan dapat dianggap menjadi sesuatu yang ajaib luar biasa. Mereka percaya bahwa hal itu dapat menyembuhkan penyakit bahkan memberikan kekuatan dan dianggap sebagai suatu pesugihan. Sebenarnya dari pemaparan H. RM. Tirun Marwito sendiri, hal ini tidaklah benar. Baginya semua anggapan orang tentang itu hanyalah omong kosong belaka. Karyawan keratin sendiri malah menakutkan orang-orang tersebut terkena penyakit akibat mengkonsumsi air yang kotor tersebut. Namun walaupun sudah dilarang dan diberitahu sedemikian rupa, tetap sajalah mereka berusaha mendapatkan dan mengkonsumsi air tersebut. Menurut saya, hal inilah yang terkadang membuat seseorang atau sekelompok orang membentuk pemikirannya dan secara tidak langsung membentuk suatu kepercayaan baru yang akhirnya diterima oleh khalayak banyak yang padahal kepercayaan akan hal tersebut tidak benar adanya. Menurut saya ekonomi dan tingkah laku[5] masyarakat disini juga berpengaruh pada kejadian ini. Orang-orang yang tidak mampu merasa butuh sesuatu yang bisa mewujudkan keinginan mereka dengan spontanitas. Kebutuhan mereka yang tidak dapat dipenuhi menjadikan mereka terhipnotis untuk mempercayai pesugihan orang-orang banyak ini. Akhirnya H. RM. Tirun Marwito berinisiatif untuk memperbolehkan mereka mengambil air ini tetapi dengan syarat harus yang sudah bersih dan air cucian yang terakhir agar tidak menyinggung masyarakat banyak dan juga menjaga agar mereka tidak terkena sakit penyakit akibat mengkonsumsi air yang kotor.
  1. Mengenai celana prajurit yang selalu dipakai sultan dan seluruh abdinya di keraton
Dari pemaparan H. RM. Tirun Marwito, tidak sedikit baik sultan maupun abdi tidak memakai celana ini saat acara kebudayaan atau acara biasa di keraton karena dianggap merepotkan.[6] Padahal sebenarnya celana prajurit itu sendiri dipakai sebagai lambang bahwa mereka semua memiliki semangat kesatria dimanapun mereka berada. Celana ini biasanya selalu dipakai oleh semua abdi keraton dan sultan sendiri pada zaman dahulu. Karena pada waktu itu sering terjadi perang dan memaksa seluruh abdi dan sultan berlari kesana kemari dan bertarung kesana kemari. Walaupun sekarang sudah tidak ada perang, menurut H. RM. Tirun Marwito, celana ini melambangkan jiwa kesatria setiap orang yang memakainya.
  1. Mengenai pembagian gunungan diluar maupun dalam keraton
Sebenarnya gunungan dalam acara sekaten merupakan lambang kemakmuran bagi sultan dan masyarakat Yogyakarta. Gunungan dibuat sebanyak mungkin dan dibagikan kepada seluruh masyarakat Yogyakarta. Namun sekarang gunungan hanyalah sebagai lambang karena dianggap tidak terlalu diperlukan untuk membaginya secara menyeluruh mengingat banyaknya sekali orang di Yogyakarta dan dana yang tidak mendukung pembuatan begitu banyak gunungan. Akhirnya hal ini menimbulkan budaya baru bagi keraton.[7] Bahkan budaya berebut ini diwarisi sampai kedalam keraton. Nampaknya mereka lebih senang berebut dari pada dibagikan secara sama rata. Apakah hal ini dapat dimaknai sebagai masa yang tepat dengan keadaan bangsa kita yang sedang kekurangan ini? Hal ini masih menjadi pertanyaan besar bagi H. RM. Tirun Marwito dan segenap orang Yogyakarta.

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, saya menyimpulkan bahwa konsep tentang agama-agama dalam perkembangannya dari setiap kelompok masyarakat akan dipengaruhi oleh adanya kondisi sosial, politik, ekonomi, sejarah dan tradisi yang ada. Ketika agama mulai masuk ke wilayah yang baru maka, agama tersebut akan mengalami suatu keterasingan. Oleh sebab itu agama yang baru tersebut harus bersaing dengan agama yang ada di dalam wilayah tersebut, untuk mendapatkan pemeluk agama yang baru. Disini para pemuka agama Islam dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa mencoba menyelaraskan dan memadukan ajaran agama dengan kebudayaan dan agama yang sudah ada sebelumnya. Tindakan yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam yaitu salah satunya  dengan perkawinan campur dengan penduduk lokal, sehingga penyebaran agama dapat berkembang. Kemudian dengan memanfaatkan kebudayaan yang saat itu sudah ada dan yang sudah mendarah daging dalam diri orang jawa yaitu gamelan dan wayang. dengan demikian terjadilah suatu proses asimilasi kebudayaan.
Apa yang telah dilakukan para wali tersebut sekarang terkenal dengan sebutan sekaten dan garebeg. Dalam tradisi sekaten dan garebeg ini nampak sebuah  hubungan yang harmonis antara agama Islam dengan kebudayaan asli jawa yang sudah berasimilasi dengan baik. Dengan tradisi sekaten dan garebeg ini Sultan Hamengku Buwana selaku Raja Keraton Yogyakarta dan selaku Sayidin Panata Gama Kalimatullah telah menjalankan tadisi turun temurun yang melambangkan suatu hubungan antara Raja dengan rakyatnya dan juga peran serta raja dalam memelihara, melindungi dan menyebarkan agama Islam yang dianutnya.

Daftar Pustaka

Geerzt , Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Terj.). 1989. London: The Press of Glencoe
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion (Terj.). 1996. Yogyakarta: QALAM


[1] Clifford Geerzt. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Terj.). 1989. London: The Press of Glencoe, hlm. 375
[2] Narasumber yang saya wawancarai pada saat penelitian ke rumah abdi-abdi Keraton. Ia adalah seorang humas Keraton Yogyakarta. (lih. Gambar)
[3] Karl Marx, Agama Sebagai Alienasi yang terdapat dalam tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Terj.). 1996. Yogyakarta: QALAM, hlm. 220-224. Suatu pendapat yang juga disampaikan oleh kaum Marxisme, pencetus alienasi ini adalah Hegel.
[4] Kesannya tindakan Sultan bagi rakyatnya dianalogikan seperti Tuhan kepada jemaatNya. Namun hal ini berlandaskan beberapa orang Kristen yang menyukai dan mengikuti kegiatan garebeg ini. Tidak jarang beberapa dari mereka adalah majelis gereja setempat.

[6] Dikarenakan sultan dan abdi dalem sudah mengenakan kain dan ikat pinggang serta keris dipinggang mereka masing-masing. Belum lagi aksesoris yang melekat pada sekujur pakaiannya saat kegiatan di keraton berlangsung.
[7] Hal ini dikatan oleh H. RM. Tirun Marwito selaku Pengageng II Tepas Dwarapura Keraton Nayogyakarta Hadiningrat Abdi Dalem Kerajaan dan Kehumasan pada saat wawancara di rumahnya yang bertepatan di sebelah keraton Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar