Senin, 10 Januari 2011

Getek vs. Bahtera: Sebuah Kontekstualisasi Agama Dari Keterasingan

Pendahuluan

Mungkin sesuatu yang membingungkan apabila sebuah kontekstualisasi agama dari keterasingannya dikaitkan dengan perbandingan antara Getek dengan Bahtera. Namun Penganalogian permasalahan sebaiknya dapat membantu kita mendeskripsikan permasalahan yang ada. Di dalam paper ini juga, saya ingin memberikan beberapa tanggapan kritis dan afirmasi tentang akar permasalahan alienasi agama. Saya juga menawarkan suatu solusi untuk mengembalikan agama dari keterasingannya berdasarkan sumber-sumber yang saya baca dengan menyadari keterbatasan ketentuan paper yang saya buat dan beberapa kekurangan yang saya miliki. Dengan demikian saya berusaha mengurangi pereduksian makna yang saya sampaikan.

Pembahasan

Suatu ketika ada seorang anak penambak ikan di suatu danau yang biasa menemani ayahnya untuk menambak ikan di atas geteknya.[1] Ia selalu bermimpi untuk dapat menjadi seperti temannya anak seorang pelaut yang bercerita kepadanya bahwa ia biasa mengikuti ayahnya menyeberangi lautan dari pulau ke pulau. Suatu ketika anak penambak ikan itu menjadi dewasa, mengikuti sekolah kelautan dan telah dididik menjadi seorang pelaut yang handal. Namun setiap kali menerima pelajarannya, ia selalu membayangkan lautan itu sebagai danau tambakan ikan ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, ia juga selalu menganggap bahwa getek tersebut adalah getek yang sangat aman dan itu adalah peninggalan ayahnya yang sangat berharga hingga tidak ada seorangpun yang diperbolehkan menggunakannya selain dirinya. Oleh karena itulah ketika ia lulus dan menjadi seorang pelaut, hal pertama yang ia lakukan untuk menyebrangi lautan adalah menyiapkan getek pusaka milik ayahnya. Apa yang terjadi? Anak itupun terseret arus samudera tanpa dapat mengendalikan geteknya dan tenggelam.
Manusia seringkali menganggap bahwa dokumen suci sebagai sesuatu yang mutlak positif dan suatu kebenaran. Kata “suci” ini mendukung sekali pemikiran manusia mengenai hal ini. Bagaimana tidak, hampir setiap orang yang mendengar kata “suci” akan memberikan pemikirannya merespon hal ini untuk pertama kali sebagai suatu yang sangat sakral dan melebihi jangkauan manusia baik kemampuan fisik maupun mental mereka. Hal inilah yang akan menumbuhkan pemikiran fundamentalis tentang kebenaran sesuatu yang suci. Apabila kita mau melihat kebelakang dengan mempertimbangkan lagi pemahaman tentang dokumen suci, kita dapat menemukan bahwa dokumen suci pun dapat juga dipandang sebagai buku tentang “penyakit agama” – dalam hal ini dokumen tersebut memproyeksikan sesuatu yang memiliki hal yang negatif untuk konteks saat ini. Misalnya saja dalam 1 Korintus yang mengatakan bahwa perempuan tidak dapat berbicara di depan umum, apalagi memberitakan injil. Dalam Perjanjian Pertama tentang Allah yang memerintahkan nabi-nabiNya membunuh beribu-ribu nabi palsu yang dianggap kafir agar terciptanya dunia yang saleh.
Menurut hemat saya, para fundamentalis ini bukannya hanya salah penafsiran namun juga tidak mengkontekstualisasikan tafsiran mereka terhadap keadaan yang mereka hadapi sekarang. Hal itu saya analogikan seperti seorang pelaut handal yang menggunakan geteknya untuk menyeberangi samudera yang sangat luas. Walaupun tidak sedikit juga yang mengkontekstualisasikan pemahaman mereka tentang cerita-cerita dokumen suci ini, namun tetap saja fundamentalisme tentang kebenaran mutlak suatu dokumen suci inilah yang menjadikannya salah satu dari beberapa faktor terjadinya alienasi agama. Tidak hanya faktor seperti yang telah saya jelaskan di atas, namun nampaknya saya sependapat dengan Gregory Baum dalam bukunya yang menjelaskan tentang beberapa faktor keambiguitasan agama yang memungkinkan alienasi agama itu terjadi.[2] Semua hal di atas juga mendapat dukungan dari penelitian tentang garebeg maulud sekaten yang telah saya lakukan saat membuat laporan mengenai konteks agama-agama dan keterasingan agama-agama.[3]
Hal ini menjadikan agama setidaknya masih menggunakan “getek” mereka dalam keadaan dunia yang mereka hadapi – walaupun menurut saya kata agama kurang cocok untuk mewakilkan orang-orang yang memiliki pemahaman yang salah dan kurang kontekstual dalam agamanya namun saya bermaksud ingin menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang memiliki pemahaman seperti ini, walaupun tidak semuanya berdampak sangat mencolok misalnya cara orang-orang memahami suatu ritual dalam agamanya dan menjadikan hal tersebut suatu berhala bagi dirinya sendiri tanpa kita mengetahuinya.
Setelah mendapatkan hasil penelitian, saya menyimpulkan bahwa keterasingan agama dapat diatasi dengan mengingat kembali hakikat dari agama itu sendiri ada, dengan mengkontekstualisasikan keberadaannya di tengah masyarakat. kerendah-hatian agama dalam menanggapi keberadaan mereka saat ini juga diperlukan untuk mengatasi alienasi yang terjadi. Bernard Adeney juga memberikan sebuah solusi yang secara tidak langsung mengarah kepada permasalahan ini yaitu keterbukaan kepada kebenaran oleh hikmat.[4] Memang tidaklah baik apabila kita memberikan solusi seperti ini, kesannya kita meninggalkan pemahaman kita yang lama dan membuangnya begitu saja dengan mengarahkan pemahaman kita sekarang yang lebih kontekstual. Padahal bukan itu yang sebenarnya sedang ditawarkan untuk mengatasi alienasi ini. Saya mengafirmasi pemaparan dari Emanuel Gerrit Singgih mengenai hal ini.

…kita mengandalkan terlalu banyak pada sebuah theologia alamiah (theologia naturalis) dalam mendefinisikan hubungan antara dunia, iman dan karya. Bukannya saya anti theologia naturalis. Saya adalah pendukung teologi kontekstual, padahal teologi kontekstual tidak mungkin tanpa teologi alamiah yang tidak mereduksi Allah sebagai Pencipta menjadi setara dengan makhluk ciptaan. Kelihatannya hal yang sudah diketahui semua, tetapi dalam praktik sering dilupakan.[5]

Agama hendaknya melihat kembali konteks yang sedang mereka hadapi saat ini dengan kerendah-hatian untuk menerima realita akan “kebenaran negatif” yang mungkin ada atau telah terjadi pada setiap aspek agama itu – misalnya dokumen suci, ritual yang mereka lakukan dan penyembahan terhadap sesuatu yang menjadikan hal tersebut berhala secara tidak langsung. “Kebenaran negatif” yang dimiliki agama juga sebaiknya diperhatikan oleh agama tersebut agar secepat mungkin diatasi dengan pengontekstualisasian terhadap pengajaran dan penafsirannya tanpa mengesampingkan kealamiahan teologi yang dianutnya.[6]

 

Penutup

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap agama akan mengalami apa yang disebut dengan sebuah alienasi. Namun nampaknya segala akar permasalahan yang menyebabkannya dapat diatasi dengan kerendahan hati suatu agama yang memungkinkan munculnya sebuah avowal dan kontekstualisasi terhadap “kebenaran negatif“ yang dimilikinya. Namun hal ini bukan berarti mengesampingkan “ketradisionalan” suatu agama, namun tetap berlandaskan kepadanya dengan menyadari bahwa keadaan dunia sekarang membutuhkan pemahaman yang lebih “modern” daripada pemahaman yang sebelumnya. Inilah kontekstualisasi yang saya tawarkan.
Dengan demikian, agama tidak bisa lagi menggunakan “getek”nya yang sebenarnya alat yang sangat berguna apabila digunakan di sungai atau danau yang berawa, namun agama dapat menggunakan “bahtera”nya yang walaupun sesuatu yang sangat kuno apabila dibandingkan dengan kapal pesiar pada zaman sekarang, namun dapat digunakan untuk menyebrangi samudera dengan tetap mengingat dan tidak mengesampingkan ketradisionalannya dalam mengarungi samudera saat ini. Getek atau Bahtera? [AcT]
Dormitory-U317 

Daftar Pustaka

Adeney, Bernard., Etika Sosial Lintas Budaya (terj). 2000. Yogyakarta
Baum, Gregory., The Ambiguity of Religion: A Biblical Account. 1975. New York: Paulist Press
Singgih, Emanuel Gerrit., Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja. 2004. Jakarta: BPK Gunung Mulia


[1] Getek adalah sebuah rakit bamboo yang digerakan dengan sebatang bamboo panjang berukuran 10-15 meter. Sebatang bamboo tersebut digunakan untuk mengatur arah dan menggerakan getek tersebut dengan menancapkannya ke dasar sungai atau danau dan mendorongnya kuat-kuat agar getek dapat berjalan.
[2] Gregory Baum. The Ambiguity of Religion: A Biblical Account. 1975. New York: Paulist Press, pg.62-84. Ia menerangkan tentang ambiguitas dengan mengelompokkan beberapa faktor yang menyebabkannya yaitu Idolatarus religion, Denuciation of Supersition, Religion of hypocrisy, Legalistic religion, call false consciousness, dll. Menurutnya beberapa hal ini muncul bukan hanya akibat kesalahan penafsiran para pembacanya namun juga kesalahan dokumen ‘suci’ dan penyembahan-penyembahan  yang mutlak terhadap hal-hal yang dianggap sakral dalam ranah keagamaannya.
[3] Penelitian ini memunculkan suatu proyeksi keterasingan agama akibat adanya ambiguitas yang terjadi ketika suatu agama memasuki suatu wilayah baru yang memiliki budaya tertentu yang memungkinkan agama tersebut berasimilasi untuk mengatasi keterasingannya. Namun dalam konteks di atas dapat kita pahami bahwa agama tersebut sendiri memiliki masalah bukan hanya internal namun eksternal yang juga menjadikan masalah alienasi agama ini berlipat ganda.
[4] Bernard Adeney. Etika Sosial Lintas Budaya (terj). 2000. Yogyakarta. Pg101. Walaupun di dalam bukunya Adeney lebih banyak membahas tentang budaya, namun pemaparan ini juga saya ambil berdasarkan pendapat Kees De Jong saat perkuliahan Antropologi agama yang menyebutkan bahwa agama sangat dekat hubungannya dengan kebudayaan. Menurut saya pun keduanya ini memiliki suatu fungsionalis yang memungkinkan saling keterpengaruhan muncul dari keduanya.
[5] Emanuel Gerrit Singgih. Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja. 2004. Jakarta: BPK Gunung Mulia, pg.157
[6] Dalam hal ini saya bersifat netral kepada setiap agama tanpa memposisikan diri saya dalam agama tertentu dengan melihat apa dampak yang akan terjadi terhadap setiap agama apabila terjadi sebuah alienasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar