Senin, 10 Januari 2011

Jiwa Manusia, Orang-orang Istimewa dan Mediasi


Jiwa manusia
Dalam pemaparan Schie[1] menyimpulkan bahwa adanya pemikiran satu bagian manusia yang kekal telah ada dalam konsep pemikiran-pemikiran yang sangat tua. Bagian itu biasanya disebut jiwa atau roh atau arwah, yang merupakan bagian dari dunia dewa-dewi yang kemudian menjadi bagian dalam diri manusia. Dalam pembedaan arti jiwa dan roh juga banyak kesulitan-kesulitan. Ada beberapa pandangan dari beberapa orang yang dikutip seperti Kuitert, yang mengatakan “bahwa berkat adanya roh penghayat pada semua mahkluk hidup, maka kita menjadi anggota persekutuan semua makhluk hidup. Jiwa manusia pun menjadi penggerak manusia sebagai pencipta kebudayaan. Dengan kata lain, jiwa manusia mengekspresikan serta mengungkapkan dirinya dalam kebudayaan”[2]. Dalam konsep-konsep mengenai jiwa, antara satu tempat dengan yang lainnya berbeda. Bagi mereka yang berjasa[3] dalam pembentuk sebuah keturunan dihormati sebagai leluhur. Bentuk, cara dan media yang digunakan untuk menghormati dan menyembahnya berbeda-beda. Misalnya: di Jawa Timur, khususnya orang suku jawa, menghormati leluhur dengan cara menyediakan makanan[4] dan minuman pada waktu (menurut penanggalan jawa) tepat hari kematiaannya (geblak). “Di Asmat, misalnya, adakalanya perabot rumah tangga dibuat dalam rupa patung leluhur; seperti pinggan yang dipakai untuk menghidangkan ulat sagu. Bila pinggan itu diletakkan pada pangkuan orang yang sedang makan, maka leluhur seakan-akan mengamatinya”[5]. Selain leluhur, dalam pengertian leluhur keturunan, ada juga konsep mengenai penghormatan kepada leluhur spiritual. “leluhur rohani yang paling dihormati adalah orang yang mati syahid(martir); kemudian mereka juga menghormati orang yang telah memberi teladan hidup hidup suci yang gemilang.”[6] Misalnya di Indonesia, Presiden Soekarno dianggap sebagai leluhur yang menjadi tokoh kepahlawanan dalam kemerdekaan, yang sampai saat ini masih dihormati, dengan cara orang datang ke makamnya (terletak di kota Blitar, Jawa Timur) untuk nyekar (ziarah ke makam). Ada juga penghormatan kepada tokoh Tera (yang masuk dalam golongan orang-orang suci) dalam kebanyakan agama. “tokoh Tera adalah tokoh kenabian yang memperlihatkan bagaimana orang dapat bertindak-tanduk sebaik-baiknya demi perkembangan bumi sebagai tempat kediaman yang nyaman bagi semua penghuninya”[7].
Jadi, dalam tulisan Schie, terlihat bahwa dalam diri manusia ada ‘suatu’ bagian yang disebut jiwa. Jiwa manusia bisa terpisah dari tubuh sesudah atau melaui kematian dan keberadaan jiwa tersebut adalah kekal. Menurut kami, jiwa manusia bisa terpisah dari tubuh dalam waktu yang temporer, misalnya dalam kepercayaan kejawen, ada konsep dan praktek ngrogoh sukmo.  Jiwa-jiwa manusia yang telah meninggal dunia masih memiliki hubungan dengan dunia manusia yang belum meninggal. Dalam pemahaman ini mengandaikan adanya dunia lain, disamping dunia manusia yang tampak. Jiwa orang-orang yang dianggap memiliki andil penting bagi sebuah keturunan disebut sebagai leluhur sebuah keturunan dan ada juga leluhur spiritual dan orang suci, yang selama hidupnya mengusahakan kesucian.

Orang-orang Istimewa
Pemahaman kami tentang orang-orang istimewa adalah dimana seorang yang memiliki keistimewaan untuk melakukan suatu hal yang melebihi dari orang-orang biasanya, dan biasanya yang Kuasa memilih seorang tersebut untuk menyampaikan hal yang berasal dari Yang Mutlak kepada manusia. Dalam buku Fenomenologi Agama menyatakan orang yang dikhususkan ini adalah orang yang berkat panggilan khusus atau berkat keistimewaan pribadinya menjadi lebih terlatih daripada anggota kelompoknya religious lainnya untuk memenuhi tugas-tugas religious.[8] Dalam buku ini juga dijelaskan beberapa perbedaan dari antara mereka yang mewakili atau dikhususkan oleh yang kudus, terdapatlah berbagai tokoh dalam sejarah agama. Dari buku ini kita bisa mengetahui mengenai:
·         Nabi mewartakan atau menafsirkan pesan Illahi yang telah disampaikan kepadanya dalam bentuk ‘penglihatan’ atau ‘pendengaran’.
·         Imam adalah seseorang yang tugas resminya menetapkan atau menjaga hubungan antara yang suci dengan jemaahnya. Sebagai pemimpin agama ia dibedakan dari kaum awam. Sebagai wakil jemaah religius, ia pertama-tama ditunjuk dan mengontrol kelangsungan upacara pada umumnya, khususnya upacara kurban.
·         Shaman menerima kekuatannya secara langsung dari dewa-dewa atau roh-roh dan memperoleh statusnya berkat hubungan pribadi dengan unsur adikodrati. Seorang shaman mungkin berfungsi sebagai imam atau pembuat mukjizat, tetapi unsur dasar pekerjaannya adalah kemampuan untuk mempunyai pengalaman ekstase.
·         Dukun (medicine man) mempunyai perhatian pada penyembuhan yang tidak tidak terbatas dengan penyakit fisik, saja atau dalam hal fisik, penyebabnya tidak hanya dipahami sebagai kekacauan organis. Kalaupun tabib ini adalah imam, ia pun mempunyai kekuatan untuk bertindak atas nama semua orang dalam upacara resmi. 
 
Mediasi
Dalam kamus Ilmiah popular, kata Mediasi berarti penengahan, pendamaian (antara pihak yang berselisih) dan perantaraan. Orang yang melakukan mediasi disebut mediator. Konsep mediator dalam arti seseorang yang bertindak sebagai pengantara dewa dengan manusia serta sebagai pihak penengah atau jembatan antara manusia dengan yang dianggap memiliki kekuatan supranatural. Hal ini juga mempengaruhi agama-agama sampai saat ini. Agama bukanlah komunikasi yang berlangsung hanya satu arah melainkan interkomunikasi dua arah antara manusia dengan dewa. Namun agama tidak dapat digunakan untuk berhubungan secara langsung dengan dewa itu sendiri. Pemeluk agama tersebut dituntut untuk mengandaikan jawaban dari yang ilahi ini. Mediasi bisa berarti dua hal, pertama arah naik yaitu manusia kepada dewa; kedua arah yang turun yaitu dewa terhadap manusia. Jadi dewapun bisa bermediasi dengan pewahyuan darinya kepada manusia melalui malaikatnya atau bahkan perantaraan manusia itu sendiri. Biasanya orang-orang ini dikhususkan untuk hal-hal yang suci dan memiliki status religious yang lebih tinggi daripada yang lain.

Pokok Permasalahan Konsep Jiwa Manusia
Schie sulit untuk mendefinisikan tentang perbedaan antara jiwa dan roh.[9] Maka kami simpulkan bahwa Schie sendiri dalam bukunya tidak menjelaskan bagaimana perbedaan jiwa dan roh namun tetap membahasnya dalam satuan arti yang kesannya setara. Kelompok bertanya-tanya apakah ada perbedaan antara jiwa dan roh? Bagaimana cara membedakan dan apa yang menjadikan perbedaan atau persamaan kedua hal tersebut?
Apabila kita berpikir tentang Jiwa Manusia, pertanyaan besar yang akan muncul adalah bagaimana manusia zaman prasejarah dapat memunculkan pemikiran tentang adanya jiwa? Apa  yang membentuk pemikiran awal manusia zaman dahulu? Kelompok mencoba mencari dan menemukan bahwa E. B. Tylor mencoba menoleh kebelakang dan masuk dalam zaman prasejarah manusia untuk merekonstruksi pemikiran manusia zaman dahulu.

pada tingkat kebudayaan yang rendah, pikiran manusia seolah-olah sangat dipengaruhi oleh dua kelompok masalah biologis. Di tempat pertama, apa yang membedakan antara tubuh yang hidup dengan yang mati? Di tempat kedua, apa itu bentuk-bentuk manusia yang muncul dalam pelbagai mimpi dan visi? Dalam melihat dua kelompok fenomena ini, para filsuf kuno yang liar mungkin mengambil langkah mereka yang pertama dengan dugaan yang jelas bahwa setiap manusia memiliki dua hal yang termasuk miliknya, yakni suatu jiwa dan hantu sebagai bayangan atau jiwanya yang kedua; keduanya juga dianggap sebagai hal-hal yang dapat dipisahkan dari badan… langkah yang kedua tampaknya juga mudah dilakukan oleh orang-orang yang berperadaban. Ia sekedar menggabungkan jiwa dengan hantu… hasilnya adalah sebuah konsepsi yang sangat terkenal… jiwa atau roh yang berpribadi.[10]

Pemikiran ini memunculkan pemikiran awal adanya pribadi di dalam pribadi yang membedakan antara yang hidup dengan yang mati. Pemikiran ini terus berkembang dalam kehidupan manusia liar zaman prasejarah sampai kepada pemikiran baru melalui pertanyaan bagaimana membedakan antara manusia dengan hewan? Pemikiran mereka adalah bahwa manusia memiliki apa yang disebut dengan akal budi yang sangat membedakannya dengan hewan yang ada.[11] Akal budi inilah yang dapat membuat manusia bertanya-tanya tentang segala sesuatu yang bersifat trasenden. Hal ini membuat para filsuf terkenal pada zaman dahulu seperti Aristotel misalnya berpikir untuk membedakan antara jiwa (soul) dan roh (spirit).
Bagi dia, Roh adalah daya jasmaniah yang adanya tergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan badaniah (organic behavior) yiatu perbuatan yang  ditimbulkan oleh proses belajar, misal : insting, refelks, nafsu dan sebaginya.
Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi hingga manusia. Perbuatan pribadi adalah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah dan sosial.
Menurut Aristoteles, jiwa disebut sebagi anima yang terbagi dalam tiga macam jenis yaitu:
1.      Anima vegetativa, yaitu anima yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk makan, minum dan berkembang biak
2.      Anima sensitiva, yaitu anima yang terdapat dalam hewan. Anima ini memiliki kemampuan seperti anima vegetativa juga kemampuan untuk berpindah tempat, mempunyai nafsu, dapat mengamati, mengingat dan merasakan
3.      Anima intelektiva, anima yang terdapat dalam diri manusia. Selain memiliki kemampuan seperti anima sensitiva juga mempunyai kemampuan berpikir dan berkemauan.
Ada pandangan bahwa manusia hidup di dunia, memiliki 3 unsur yang dikenal dengan istilah Trikhotomi. Trikhotomi adalah pandangan bahwa natur manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Pandangan ini berdasarkan pada pengertian bahwa, Allah menciptakan manusia, dengan memberikan tiga unsur utama di dalam diri manusia yaitu tubuh, jiwa dan roh.
Sebagaimana juga dalam pandangan para filsuf Yunani, memandang bahwa tubuh, jiwa dan roh adalah satu kesatuan, yang ada dalam manusia yang hidup. Tubuh adalah unsur lahiriah manusia, unsur daging yang dapat dilihat, didengar, disentuh, dan sebagainya. Jiwa adalah unsur batiniah manusia yang tidak dapat dilihat. Jiwa manusia meliputi beberapa unsur, pikiran, emosi (perasaaan) dan kehendak. Dengan pikirannya, manusia dapat berpikir, Dengan perasaannya manusia dapat mengasihi dan dengan kehendaknya, manusia dapat memilih. Roh adalah prinsip kehidupan manusia. Roh adalah nafas yang dihembuskan oleh Allah ke dalam manusia dan kembali kepada Allah, kesatuan spiritual dalam manusia. Roh adalah sifat alami manusia yang 'immaterial' yang memungkinkan manusia berkomunikasi dengan Allah, yang juga adalah Roh.
     Hal yang sama kita jumpai dalam kebatinan. Mereka memiliki persepsi yang sama tentang trikhotomi. Kebatinan mengandaikan tiga aspek yang membentuk manusia untuk hidup. Sebutan akan hal ini bermacam-macam, yaitu: badan, jiwa dan atman; jaba, jero dan kadim; naluri, roh dan batin; tubuh, jiwa dan sukma; alam, budi dan gaib; panca indra, akal dan hati, dsb (R Subagya, 1976, hlm 48).
            Kami menemukan bahwa kebatinan menemukan konsep trikhotominya sendiri melalui proses transformasi dan penyatuan diri. Dalam kebatinan, kita mengenal adanya peleburan dalam jiwa alam dan pembebasan roh atau atma. Agar batin berfungsi penuh, bidang lain harus dikekang dalam fungsinya, atau malah diberhentikan.Dengan demikian terwujudlah manusia batin yang mengungguli manusia teknis dan manusia berpikir. Akal dan ilmu diatasi oleh budi, psyche oleh pneuma, jasmani oleh rohani. Inilah konteks dalam dunia kebatinan. Berkat latihan intergrasi diri, manusia ditransformasi. Proses transformasi tersebut merupakan tujuan akhir dari usaha kebatinan. Dalam proses tersebut, manusia dibina kembali. Beralih dari keadaan semula dan mengalami identitas baru. Identitas baru itu dipahami amat berlainan dalam sistem masing-masing. Hal ini yang menjadikan adanya beragam corak di dalam kebatinan itu.

Pokok Permasalahan Konsep Orang-orang Istimewa
Nabi dapat mewartakan atau menafsirkan pesan Illahi yang telah disampaikan kepadanya dalam bentuk ‘penglihatan’ atau ‘pendengaran’. Apakah benar demikian? Kelompok meragukan hal itu. Mari kita ambil contoh yang ada di dalam Alkitab. Musa diyakini menerima wahyu Illahi secara langsung di Gunung Sinai. Wahyu tersebut berupa bahwa sepuluh perintah Allah yang kita kenal dengan Dasa Titah (Keluaran 20:1-17). Pewahyuan yang terjadi hanya merupakan konsepsi dari penulis saja yang dalam hal ini dilakukan oleh kaum Yahwis yang kemudian pewahyuan itu ditulis ulang oleh kaum Deutronomis. Menurut Musa hanya suatu pribadi yang memiliki kepentingan politik tersendiri dalam memaparkan Dasa Titah. Dia hanya individu yang ingin mempertahankan legitimasinya di dalam Israel terutama suku lewi, karena ia berasal dari suku lewi. Hal ini didukung oleh kaum Yahwis sehingga menyebabkan tulisan yang dibuat oleh kaum Yahwis mempengaruhi pandangan Israel terhadap Musa. Dalam kepemimpinan Musa, suku lewi mendapatkan peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Israel. Hal itu dibuktikan kemudian setelah Musa mati, dengan berangsur-angsur peran itu mulai memudar.
            Kelompok juga mulai bertanya-tanya kembali mengenai imam. Imam dalam sudut pandang agama berkaitan erat dengan tradisi yang ada pada agama tersebut. Permasalahannya adalah dalam pelaksanaan agama, kita hanya terpaut pada aturan-aturan yang kaku dari agama tersebut, padahal ada hal yang jauh lebih penting dan bermakna untuk kita ketahui bersama kebenarannya. Dalam hal ini, seperti contoh di dalam Alkitab diperlihatkan oleh Yesus ketika menanggapi pertanyaan orang Yahudi terhadap masalah perceraian (Markus 10:2-12). Dalam peristiwa itu, Yesus menilai orang-orang Yahudi telah melupakan kaidah-kaidah kebenaran. Demikian juga dengan peristiwa-peristiwa lain yang tertulis di dalam Kitab Perjanjian Baru.
            Shaman sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu misalnya pada era Soeharto. Soeharto dipaparkan menggunakan jasa orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh dan orang-orang yang bisa mengirimkan bala. Keistimewaan itu dimanfaatkan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Kami berpikir bahwa itu adalah suatu tindakan yang kejam dan sulit pembuktiannya melalui hukum. Disesuaikan dengan kaidah-kaidah HAM yang ada, sebaiknya praktek-praktek yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan shaman ini juga diatur oleh hukum. Pengaturan tersebut bertujuan supaya kita hidup berdampingan dan membuat shaman ini mendapatkan penghidupan layaknya orang biasa agar mereka tidak melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan.
            Hal yang perlu dikritisi menurut penelitian Clifford Gertz dalam masyarakat jawa adalah motivasi dari dukun itu sendiri. Factor yang mendorong orang menjadi dukun adalah mereka dapat dengan mudah mendapatakan uang/materi dan martabat sekaligus. Keadaan ini membuat masyarakat yang kurang mampu merasa tertarik. Praktek kedukunanpun dijadikan mata pencaharian walaupun sebenarnya mereka tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya sekedar untung-untungan. Praktek kedukunan yang aslipun berangsur-angsur hilang tergantikan oleh praktek dukun asal-asalan. Hal inipun didukung oleh dorongan masyarakat secara tidak langsung. Mereka akan lebih memilij praktek kedukunan dari pada pengobatan dokter karena beberapa factor. Pertama, kedukunan memiliki lebih banyak jenis obat yang dapat diperoleh dari pada pengobatan rumah sakit yang via pil dan suntikan. Kedua, apabila masyarakat menggunakan praktek dokter, mereka harus tetap membayar walaupun hasilnya tidak baik sama sekali dan malah lebih buruk. Sedangkan praktek kedukunan dapat dibayar apabila penyakit telah sembuh atau keinginan terpenuhi. Bahkan praktek kedukunan tidak memungut biaya melainkan tetap menerima akan pemberian ‘hadiah’ dari pasiennya. Inilah yang kelompok ragukan apakah zaman sekarang masih banyak praktek kedukunan yang benar-benar memiliki kuasa seperti yang terdapat pada teori diatas.

Pokok Persetujuan Konsep Mediasi
Berangkat dari keyakinan kelompok dalam Iman Kristen tentang Yesus Kristus. Kelompok berpikir mengenai konsep dosa asali, bahwa setiap manusia itu berdosa. Oleh karena dosa itu, hubungan Allah dengan manusia menjadi rusak. Namun karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal Yesus Kristus sebagai jembatan antara manusia dengan Allah (Yohanes 3:16). Dengan kematian Yesus di kayu salib, hubungan manusia dengan Allah diberikan. Hubungan itu, ditunjukkan melalui karunia roh pada manusia. Melalui karunia itu, manusia mengalami transformasi dengan meninggalkan keinginan daging dan melakukan kebajikan. Oleh karena itu, Yesus Kristus dalam konsep Kristiani adalah sosok mediator. Melalui pengajaran Yesus Kristus, pengikutnya dituntut untuk setia dan meneladani jalan hidup-Nya. Yesus Kristus mengajarkan kepada pengikut-pengikutNya untuk dapat membawakan damai bagi seluruh umat manusia (Kisah Para Rasul 1:8). Dengan kata lain, pengikutNya dituntut pula untuk menjadi mediator dari Yesus kepada sesamanya manusia sebagai garam dan terang bagi dunia (Matius 5:13,14). Dan setelah kenaikanNya ke Sorga, kita diminta untuk meneruskan pekerjaanNya di bumi sebagai mediator damai Allah kepada manusia umatNya (Matius 28:18-20). Oleh karena itu kelompok menyetujuinya. Terima kasih! 

Daftar Pustaka
Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion. Menurut teori E. B. Tylor dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture. 2001. Yogyakarta: Adipura.
End, van den Th., Ragi Carita 1 – Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
G. Van Schie, Hubungan manusia dengan Misteri segala misteri, (Fidei Press, Jakarta: 2008).
Mariasusai Dhavamony. Fenomologi Agama. Yogjakarta:Kanisius.1995.
Subagya, Rahmat. Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama.1976. Yogyakarta: Kanisius.
Artikel dan Majalah
Rick Gore, “The Dawn of Humans – Neandertals”, National Geographic. January 1996. Vol.189 No.1.


[1] G. Van Schie, Hubungan manusia dengan Misteri segala misteri, (Fidei Press, Jakarta: 2008).
[2] Ibid, hl 104
[3] Sesudah seseorang meninggal – jiwanya -  dihormati dan disembah sebagai leluhur.
[4] Mirip sesajen, tetapi seringkali disebut sebagai sandingan, bukannya dalam pengertian  sesajen.
[5] Ibid, hl. 113
[6] Ibid, hl. 122
[7] Ibid, hl. 141
[8] Mariasusai Dhavamony. Fenomologi Agama. Yogjakarta:Kanisius.1995.hal 221
[9] G. Van Schie, Hubungan manusia dengan Misteri segala misteri, (Fidei Press, Jakarta: 2008). Halaman 104
[10] Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion. Menurut teori E. B. Tylor dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture. 2001. Yogyakarta: Adipura. Halaman 43
[11] Rick Gore, “The Dawn of Humans – Neandertals”, National Geographic. January 1996. Vol.189 No.1. halaman 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar