Senin, 10 Januari 2011

Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan?

Knowledge, sangat menarik apabila kita mengartikannya dengan acuan kamus besar Inggris-Indonesia. Knowledge dapat berarti tiga kata yaitu pengetahuan, Ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Jelas sekali perbedaan antara kata tersebut yang menurut saya berhubungan arti dan maknanya. Yang menarik adalah arti yang ketiga yaitu kekuasaan. Hal ini membingungkan bagi saya apabila saya baru saja mengetahuinya. Mengapa knowledge diartikan sebagai kekuasaan? Menurut hemat saya, sesuatu yang kita tahu sebagai pengetahuan atau ilmu pengetahuan akan menjadikan kita menguasai suatu hal tersebut.
          Namun yang akan saya bahas lebih dalam adalah perbedaan kata pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Menurut hemat saya pengetahuan adalah gejala-gejala yang ditemukan dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi mereka. Pengetahuan dapat muncul ketika orang tersebut menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali suatu benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.[1] Pengelompokan terjadi apabila kita membicarakan pengetahuan apa yang di peroleh apabila kita menggunakan salah satu sarana yang digunakan manusia untuk mendapatkan pengetahuan, dalam hal ini indrawi atau akal budi.
          Pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional.[2] Pengetahuan tersebut didukung oleh fakta-fakta yang ada melalui pengalam diri sendiri. Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia yang terjadi berulangkali. Misalnya saya ditugaskan untuk mengatur keuangan saya sendiri di asrama, dengan sendirinya saya mendapatkan pengetahuan tentang manajemen keuangan pribadi.
          Pengetahuan yang didapatkan melalui akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat apriori; tidak menekankan pada pengalaman. Namun pengetahuan ini dapat muncul bermula dari pengalaman dan dapat diisi dengan fakta-fakta empiris. Misalnya saat kita masih sekolah dasar, kita belajar bahwa segitiga memiliki tiga sisi, atau kita tidak dapat mengatakan hewan itu adalah seorang kerbau atau setangkai manusia karena sudah jelas dan logis definisi dari kata-kata tersebut tidak sepadan. Hal ini kita dapatkan melalui pengalaman kita sendiri dengan nyata dan menjadi pemikiran logis yang adalah sebuah apriori dalam hidup kita yang tidak dapat lagi dinyatakan salah dengan hal lainnya.[3]
          Pengetahuan tentang sesuatu yang menyebabkan manusia bertindak untuk hal itu saya definisikan sendiri sebagai pengetahuan normatif.[4] Pengetahuan tersebut dapat memunculkan ‘pertimbangan nilai’ tentang apa yang akan terjadi apabila mengetahui hal ini dan itu. Pada hakikatnya pengetahuan normatif ini merupakan pedoman sikap dan tingkah laku seorang manusia. Misalnya pengalaman seseorang tentang keadaan sehat dan sakitnya seseorang yang menyebabkan seseorang tersebut bertindak untuk mengatasi masalah sakitnya dan bertindak untuk mempertahankan kesehatannya atau bahkan meningkatkan status kesehatannya.
            Ilmu pengetahuan, berasal dari dua kata yaitu yang pertama, ilmu yang adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.[5] Kedua, Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Maka Ilmu pengetahuan adalah berbeda dengan pengetahuan, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.[6] Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
  1. Objektif, Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
  2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
  3. Sistematis dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
  4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180ยบ. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.


[1] Meliono, Irmayanti, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
[2] Woodhouse, Mark B. 2000. Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal. Yogyakarta: Kanisius. Hal 60-61
[3] Woodhouse, Mark B. 2000. Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal. Yogyakarta: Kanisius. Hal 61-62
[4] Woodhouse, Mark B. 2000. Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal. Yogyakarta: Kanisius. Hal 65
[5] Prof. Dr. C.A. van Peursen: Filsafat Sebagai Seni Untuk Bertanya. Dikutip dari buku B. Arief Sidharta. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung 2008. Hal 7-11.
[6] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar