Senin, 10 Januari 2011

Pluralitas Dalam Ranah Pemikiran Jemaat GPIB Pasar Minggu

Konteks Jemaat

GPIB Pasar Minggu terletak di Jl. AUP No. 10 Pasar Minggu Jakarta Selatan. Gereja ini terbentuk dari sebuah kerinduan awal jemaat yang muncul pada sebuah persekutuan pada tahun 1963 di sebuah rumah milik jemaat itu. Orang-orang Kristen di jemaat ini sebagian sebelumnya adalah anggota-anggota jemaat di Gereja asal mereka – bukan asli dari Pasar Minggu. Hanya karena tugas yang mereka kerjakan, mereka harus meninggalkan domisili mereka dan Gereja asal mereka. Hal ini menjadi faktor awal kerinduan mereka karena mereka sulit menemukan Gereja seinduk. Gereja ini juga ada ditengah-tengah pluralitas agama yang sangat partikular. Kita bisa melihat dari nama jemaat yang dipakai yaitu ‘Pasar Minggu’, yang menurut jemaat diberikan karena penonjolan nama daerah di mana jemaat itu berada – yang menurut saya pasar adalah zona yang pas bagi adanya pluralitas – akan memudahkan pelaksanaan misi Gereja. Tidak jauh dari Gereja ini terdapat beberapa Masjid yang tersebar. Bahkan Masjid terbesar terdapat sekitar 30 meter dari Gereja ini. tidak jauh dari Gereja ini juga terdapat Kapel Kristen Khatolik dan juga Gereja-Gereja suku lainnya. Inilah konteks keberadaan jemaat GPIB Pasar Minggu Jakarta Selatan.

Hasil Pengamatan dan Wawancara

Saya melakukan wawancara kepada salah seorang jemaat (yang tidak ingin disebutkan namanya) di Gereja ini tentang:
  1. Apa yang ia pahami mengenai pluralitas agama? Bagaimana pendapat jemaat ini tentang pengaruh pluralitas pada Gereja dan sebaliknya?
  2. Bagaimana pendapatnya mengenai peran Gereja yang tumbuh dan berkembang di tengah pluralitas? Apa yang menjadi harapan Gereja ditengah pluralitas ini menurut pendapat jemaat ini.
Melalui hasil wawancara ini, saya menemukan bahwa:
  1. Jemaat ini memahami pluralitas memang sebagai hal yang tidak dapat dihindari karena memang pluralitas adalah bagian dari sebuah kehidupan. Pluralitas menurutnya sangat mempengaruhi perkembangan Gereja saat ini. Gereja merasa kurang aman pada pluralitas – khususnya pluralitas agama – yang ada di tengah-tengah Gereja yang sedang bertumbuh dan berkembang ini. Keamaanan Gereja dalam hal beribadah saja contohnya terkadang mendapat sorotan kurang enak dimata masyarakat yang berbeda agama. Apalagi saat menghadapi hari-hari besar keagamaan di Gereja. Alhasil, Gereja selalu bergantung kepada pihak yang berwajib dalam menjaga keamaanan dan kenyamanan mereka dalam memperingati setiap hari-hari besar. Menurutnya, pluralitas di tengah Gereja sebisa mungkin dihindari dan sepertinya menjadi hal yang tabu bagi kedua belah pihak untuk dibicarakan.
  2. Ia mempunyai pendapat bahwa Gereja memiliki peran yang kurang dalam menghadapi permasalahan pluralitas. Ini dikarenakan budaya bisu yang sudah lama dianut oleh Gereja yang mengganggap tabu pembicaraan mengenai pluralitas ini. Oleh karena itu sulit untuk memulai dialog di dalamnya. Kecurigaan-kecurigaan masih saja bermunculan. Memang ada beberapa orang yang peduli dengan pluralitas, namun hanyalah minoritas dan kurang berpengaruh dalam jemaat. Jemaat lebih memikirkan pelayanan dan perkembangan iman mereka masing-masing maupun antar jemaatnya. Keadaan ini sepertinya tidak memungkinkan terbukanya pintu bagi kehidupan pluralitas. Walaupun demikian, jemaat ini tetap memiliki suatu harapan mengenai pluralitas yaitu mengganggap bahwa apabila semua orang (yang berbeda agama maupun pemahaman) dapat percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka ini adalah satu-satunya jalan bagi terbukanya pintu kepada hidup dalam damai sejahtera yang menghindari kebobrokan akan kecurigaan akibat pluralitas.
Permasalahan tidak hanya muncul dari sebuah pernyataan jemaat mengenai pluralitas. Setelah membaca pemahaman iman GPIB, saya bertanya-tanya apakah GPIB secara eksplisit akan memberikan tempatnya dan menyumbangkan peran sertanya bagi kehidupan pluralitas? Saya mengangkat beberapa pemahaman menyangkut dengan pluralitas dan akar permasalahannya:
  1. Pada pemahaman Iman mengenai keselamatan poin yang kedua disebutkan bahwa Yesus Kristus telah mati, bangkit dan naik ke surga menjamin keselamatan orang percaya dan membebaskannya dari kuasa dosa, derita dan maut....Hal itu akan senantiasa kami peringati melalui sakramen: Baptisan dan Perjamuan.
  2. Pemahaman Iman mengenai keselamatan poin yang ketujuh disebutkan bahwa keselamatan yang dikerjakan Kristus terbuka bagi seluruh umat yang ada di muka bumi yang terdiri dari berbagai sukubangsa....
Hal ini akan saya bahas pada sub-topik selanjutnya.

Dasar Teori dan Pembahasan

Melalui hasil tadi saya melihat bahwa jemaat dalam Gereja ini secara mayoritas masih memiliki ide sebagai umat terpilih – yang mungkin dipengaruhi dari pemahaman John Calvin[1] namun dalam artian yang negatif (seperti dalam paper saya sebelumnya) – yang tidak peduli terhadap dunia diluar sistem mereka. Sudah jelas seperti paper yang pernah saya kerjakan sebelumnya dalam judul “Communicative Praxis: Sebuah Perwujudan Oikumenis Agama-agama” dalam subtopik “Permasalahan Kekristenan Internal yang Berdampak Eksternal” bahwa Idea inilah yang menurut saya menghalangi proses oikumenisme agama-agama apabila dipahami secara negatif – orang dipilih Allah agar dihormati (sebagai ‘anak tunggal Allah’, satu-satunya kelompok yang memiliki pemahaman yang benar tentang ‘kebenaran’).
Dalam pernyataan jemaat ini juga muncul suatu harapan yang secara utopis ingin diwujudkan yaitu – secara tidak langsung (tersirat) – pertobatan global bagi terwujudnya damai sejahtera yang sesungguhnya. Dalam hal ini Paul F. Knitter dengan sangat tegas menolak harapan ini.
Ada sebagian umat Kristiani yang merasa gelisah dengan adanya keragaman agama sesudah sembilan belas abad kegiatan pemberitaan injil....Berkat keringat dan darah para missionaris, Gereja ada dimana-mana di hampir semua bangsa....Namun, jika kita menganggap pertobatan global sebagai tujuan misi Kristiani, hasilnya akan mengecewakan.[2]
Permasalahan ini secara generatif muncul dari berbagai Gereja di Indonesia. Kesadaran akan pluralitas sengaja dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan karena berada dalam suatu ranah yang membahayakan zona iman dan pelayanan mereka dalam jemaat juga demi menjaga zona masing-masing agama dalam hidup bersama agar tercipta rasa aman dan nyaman dalam beribadah dan membangun iman dari prespektif pengajaran masing-masing agamanya.
Pemahaman Iman GPIB yang saya angkat diatas juga menimbulkan paradoks yang coba saya analisa maksud dan tujuannya. Apabila kita melihat pada pernyataan pertama mengenai pemahaman Iman GPIB dari judul keselamatan poin yang kedua, istilah “menjamin keselamatan orang percaya” memberikan pemikiran awal bahwa keselamatan adalah bagi orang percaya dan tradisi sakramen Baptisan dan Perjamuan kudus adalah alat dalam menjamin keselamatan itu. Hal ini sedikit mendapatkan kesan miring dari agama yang lain. Ini menunjukan suatu eksklusifitas orang kristen bagi agama lain khususnya di sekitar jemaat GPIB sendiri. Hal ini kesannya jadi permasalahan yang sulit untuk dipertemukan dengan agama lain. Saya sendiri mengetahui hal ini dari hasil pembicaraan santai saya dengan teman saya yang beragama muslim yang berdomisili di daerah sekitar Gereja GPIB beberapa waktu yang lalu.
Namun paradoks muncul ketika saya membaca pemahaman iman GPIB mengenai keselamatan pada poin yang ketujuh yang mengatakan bahwa keselamatan yang dikerjakan Kristus terbuka bagi seluruh umat yang ada di muka bumi yang terdiri dari berbagai sukubangsa. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya apakah benar Pemahaman Iman GPIB ini secara eksplisit meng-eksklusif­-kan dirinya dalam pluralitas. Melalui pernyataan ini saya berpendapat bahwa sebenarnya GPIB sendiri memiliki keterbukaan bagi pintu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang plural, namun hal ini dikaji dalam kajian yang masih memikirkan sisi ‘kewaspadaan’ dalam mengangkat sisi pluralitas agama pada jemaat maupun orang-orang diluar jemaat yang berbeda ini. Hal ini yang menjadikan GPIB terkesan kurang memperhatikan dan memberi jalan pada pluralitas agama-agama lainnya yang ada di tengah-tengah Gereja ini bertumbuh dan berkembang.
Namun hal ini membuat saya berpikir bahwa GPIB memang tetap memiliki pemahaman iman yang sangat kuat tentang keselamatan dan kesetiaan kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat orang-orang percaya, namun GPIB tetap menghargai dan memberikan tempat bagi kesadaran akan pluralitas dimana mereka ada sehingga dengan dasar Firman Tuhan yang hidup inilah mereka merumuskan pemahaman iman mereka pada judul keselamatan poin ketujuh tersebut diatas. Mungkin inilah yang dikatakan Langdon Gilkey mengenai model mutualitas dalam berdialog dengan agama lain. Yaitu dengan memperhatikan dua aspek penting dalam berdialog yaitu nomina (“medan main”) dan adjektiva (“setara”).[3] Saya juga sekiranya setuju dengan pernyataan Hans Küng yang sejalan dengan pemahaman ini yang berkata:
....I say this not because I believe that in this area and in every case Christianity is “superior” to Islam....[4]
Jadi GPIB tetap memberikan tempat bagi dialog namun dengan memperhatikan “keseimbangan kasar” yang ada yaitu hak sederajat untuk berbicara dan mengungkapkan pemahaman akan iman mereka dan “medan main” yang dipahami bahwa sebelum berdialog kita tetap memahami perbedaan kita yang ada namun dengan mempertemukan sesuatu yang sama atau bersifat universal guna membangun dialog demi menghilangkan budaya bisu dan tabu terhadap pluralitas agama-agama yang ada ditengah-tengah Gereja.
Namun kesannya Gereja lupa bahwa apabila dialog dibangun diatas dasar bahwa Yesus merupakan satu-satunya Juruselamat umat manusia dan Firman Tuhan di dalam Dia  adalah final bagi semua orang – artinya apabila Tuhan memang menggunakan satu orang dan satu agama (dalam hal ini Kristen) sebagai saluran keselamatan bagi semua orang – maka dialog mutul yang sejati tidak akan mungkin ada. Walaupun dimungkinkan kita dapat saling belajar satu sama lain melalui dialog tersebut namun pembelajaran yang penting (baca: mendalam) dari agama lain itu tidak akan pernah bisa kita dapatkan. Malahan John Hick mengusulkan suatu jembatan yang lain demi tercipta dialog sejati ini melalui pemahaman bahwa pluralitas agama ini “terdiri dari berbagai cara mengalami, memahami, dan hidup dalam hubungan dengan sesuatu Yang Nyata sempurna dan ilahi, yang transenden terhadap semua keberagaman versinya”, oleh karena itu kesamaan mengenai yang ilahi yang dibedakan dalam banyak “ungkapan kultural” inilah yang menjadi dasar dialog itu dapat terjadi. Dalam hal ini John Hick menjelaskan juga bahwa teologi sendiri menuntut sebuah paradigm shift[5] dari berpusat kepada Yesus ke model iman sejagat yang berpusat kepada Allah. Dari sini agama-agama di dunia dapat melihat satu realitas Ilahi dalam respon dan persepsi yang berbeda yang terbentuk akibat lingkungan sejarah an budaya yang berbeda.
Dengan melihat nama jemaat yang diberikan oleh ‘jemaat mula-mula’ GPIB Pasar Minggu, harapan yang besar adalah terwujudnya pelaksanaan misi Gereja – dalam hal ini terkait juga dengan misi dalam keterbukaan dengan kehidupan pluralitas. Oleh  karena itu, keterbukaan dan strategi-strategi dalam menghadapi kehidupan agama maupun aspek lain dalam pluralitas sebaiknya perlu dikembangkan kembali. Ketakutan-ketakuan dan comfort zone yang dibuat demi menjaga “daerah kekuasaan” sendiri sebaiknya dihapuskan demi benar-benar mewujudkan damai sejahtera yang dari Allah (baca: Yang Nyata) dalam satu realitas Ilahi bukannya terpaut dari kedamaian dalam Gereja dan beribadah dalam zona sendiri dengan menutup pintu bagi kehidupan pluralitas dalam segala aspek. Dengan hal itu dimungkinkan adanya suatu dialog yang terbuka bagi pintu kehidupan pluralitas di tengah-tengah Gereja – secara khusus GPIB jemaat Pasar Minggu – dan sekitarnya.

Dormitory room U202

Daftar Pustaka

Calvin, John., Institutio Christianae Religionis, terj. Ny. Winarsih. 2008. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hick , John., God and the Universe of Faiths. 1973. New York: St. Martin’s Press.
                        The Myth of Christian Uniquess: Toward a Pluralistic Theology of Religions. 1987. New York: Orbis Books.
Knitter , Paul F., Pengantar Teologi Agama-Agama. 2008. Yogyakarta: Kanisius.
Küng, Hans.dkk., Christianity and World Religions: Paths to Dialogue, transl. by Peter Heinegg. 1985. New York: Maryknoll.


[1] John Calvin, Institutio Christianae Religionis, terj. Ny. Winarsih. 2008. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 193
[2] Paul F. Knitter. Pengantar Teologi Agama-Agama. 2008. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 7.
[3] Langdon Gilkey, Plurality and Its Theological Implications. Dalam buku eds John Hick, The Myth of Christian Uniquess: Toward a Pluralistic Theology of Religions. 1987. New York: Orbis Books. Pg. 37-50
[4] Hans Küng,dkk, Christianity and World Religions: Paths to Dialogue, transl. by Peter Heinegg. 1985. New York: Maryknoll. Pg. 65.
[5] John Hick, God and the Universe of Faiths. 1973. New York: St. Martin’s Press. Pg. 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar