Senin, 10 Januari 2011

Makna Kekekalan Bagi Sang Filsuf: Mengintip ke Dalam Bayang-bayang Akan Jiwa

Abstrak
Kekekalan merupakan suatu bentuk kehidupan yang tidak akan pernah berakhir dan berlanjut sampai selama-lamanya setelah kematian. Masalah kematian (mortal) dan kekekalan (imortal) ini yang akan menjadi topik pembahasan paper ini. Hal ini biasanya berorientasi kepada nilai idealisme, dualisme, pliralisme dan bukan ciri-ciri sistem matrealistik, sebab jiwa atau diri ditafsir sebagai fungsi tubuh. Pra-eksistensi dan pasca-eksistensi jiwa merupakan salah satu pemahaman yang dianut oleh Platon. Jiwa telah ada pada saat pra-eksistensi bersama-sama dengan ide dalam dunia ide-ide. Namun inkarnasi terejadi. Ia memasuki ruang materil yang di dalamnya penuh dengan kefanaan yaitu di dalam tubuh. Namun menarik apabila kita melihat bahwa pandangan ini ada juga bersama-sama dengan pemahaman Aristoteles mengenai jiwa. Aristoteles berpandangan bahwa jiwa dan badan adalah kedwitunggalan yang ia kenal sebagai “instrumentisme kehidupan”. Dalam satu kesatuannya, jiwa merupakan aktus demikian juga, manusia juga harus dipandang dan diakui sebagai yang ‘Morphe’. Pandangan-pandangan ini nampaknya membangun konsep-konsep mengenai mortal dan imortalitas yang sedang berkembang.
Kata kunci: Filsafat, Kekekalan, Jiwa, Ide

SEBUAH LANGKAH AWAL
Dalam dualismenya, Platon[1] dengan lugas menjelaskan keperbedaan yang ada di dalam realitas dan penampakan, ide dan objek inderawi, akal dan presepsi indera, roh dan tubuh. Perbedaan jiwa dan materi yang seringkali dipakai dalam ilmu pengetahuan, filsafat serta pemikiran populer sejatinya bermula dari pembedaan roh dan tubuh yang juga memiliki asal-usul religius. Betrand Russell dalam bukunya “Sejarah Filsafat Barat” menerangkan bahwa pasangan-pasangan dualisme ini saling berkaitan: pada masing-masing pasangan, yang pertama lebih unggul daripada yang  kedua, baik dalam realitas maupun kebaikannya atau yang disebut sekarang sebagai moralitas asketis.[2] Pandangan moralitas asketis dalam dualisme seperti ini telah banyak dianut oleh khalayak filsuf. Namun mungkin saja Platon dan banyak filsuf tidak bermaksud menyampaikan maksud asketisnya secara ekstrim atau mungkin juga tidak bermaksud sama sekali seperti itu. Menurutnya, moralitas asketis mengandaikan satu hal dari dua hal yang berbeda dalam satu pasangan dalam dualisme tadi memiliki konsekuensi jauh lebih baik dan jauh lebih buruk. Hal inilah yang menjadi topik dialektika lebih lanjut mengenai pandangan-pandangan filsuf yang bernada asketis, yang masih terhubung dalam pandangan Platon mengenai kehidupan kekal.
            Pembatasan pembahasan terletak pada konsep kehidupan kekal yang diangkat. Kehidupan kekal ini dimengerti sebagai kehidupan dalam sebuah bentuk yang berlangsung terus tiada akhirnya dan kelangsungan hidup sebuah pribadi setelah kematian. Hal ini menyangkut dengan keyakinan pribadi akan suatu kehidupan yang tiada akhir setelah kebinasaan eksistensi tubuhnya. Hal ini biasa dipikirkan dalam istilah-istilah seperti reinkarnasi dan transmigrasi—perginya jiwa ke alam kekal atau sering kali disebut nirwana atau akhirat. Imortalitas merupakan istilah dari kekekalan ini dan biasanya kata ini diikuti dengan kata ‘jiwa’. Kekekalan jiwa, sebuah pandangan tentang eksistensi yang tiada berkesudahan dari pusat kesadaran. Konsep ini diyakini berasal dari Yunani—ditemukan entah oleh Sokrates atau Platon karena saya sekiranya sulit untuk membedakan konsep siapakah ini sebenarnya—kendati konsep tersebut menjadi sangat penting dalam bagiannya pada ranah keagamaan.

Kebakaan Jiwa: Sebuah Pandangan yang Diselimuti Air Mata
Kejemuan roh manusia dalam mencari makna hidup sekiranya alasan tersendiri pemikiran ini. Pengakuan tentang adanya kekekalan kini pun diselami oleh agama-agama populer terhadap eksistensi insani yang tidak akan menjadi sebuah heroisme tersendiri. Pemikiran ini sekiranya tidaklah diakui oleh kaum materialisme, filsafat kritis, panteisme, positivisme dan biologisme. Kekekalan yang dipahami sebagai sebuah kebakaan jiwa milik makhluk hidup sebetulnya hanyalah milik roh. Kekekalan hanya pantas bagi makhluk-makhluk ilahi, karena di sini esensi dan eksistensi identik, menjadi milik roh sementara (kontingen) yang mencipta sebagai sebuah keberlangsungan dalam eksistensi, sekali realitasnya diberikan. Dengan keniscayaan mutlak—yang menjadikan lawannya mustahil sekali—inilah konsep kekekalan dipahami. Transendental kesadaran jiwa sedang berusaha meraih sesuatu yang tidak terbatas dan kegiatan tersebut menuntut sebuah keberlangsungan tanpa batas. Fakta bahwa adanya kekekalan jiwa secara eksistensial dilandasi oleh hakikat jiwa yang tunggal dan rohani. Kekekalan jiwa merupakan suatu khas dari sistem yang berorientasi pada nilai-nilai idealisme, dualisme, pluralisme dan bukan ciri sistem yang matrealistik, sebab jiwa dan tubuh ini dipahami sebagai sebuah fungsi tubuh. Pandangan Aristoteles mengenai pembedaan materi dengan non-materi tidaklah begitu jelas. Menurutnya, pandangan mengenai jiwa dapat diinterpretasikan sebagai suatu hal yang mempertahankan dan menolak eksistensinya. Dengan ini muncullah perdebatan-perdebatan yang menarik dan berpengaruh pada pola pikir saat ini.
            Memang hampir semua setuju bahwa sampai sekarangpun yang menggeluti tulisan Platon tidak dapat membedakan secara jelas manakah pandangan dan tulisan Platon dan yang manakah pandangan Sokrates gurunya yang keduanya terangkum dalam satu tulisan.[3]  Oleh sebab itu tidak dapat kita sama-sama memastikan siapa sebenarnya yang ada di dalam tulisan tersebut. Namun pemahaman kontingen kita bahwa apa yang ada di dalam tulisan itu, terutama yang akan digunakan di sini adalah Dialog Phaedo dan Dialog Apologia merupakan pandangan Sokrates yang nampaknya juga disetejui oleh Platon—dalam hal ini, jelas-jelas Platon menulis dan menganutnya. Kekekalan yang dimaksud bisa saja pandangan Sokrates yang tertulis dalam karya-karya Platon atau juga bisa pandangan Platon sendiri mengenai hal itu.

PERMASALAHAN
Pemahaman Tentang Jiwa
Ingatan dan Pengetahuan
Dialog Meno merupakan pemahaman tentang ingatan dan pengetahuan yang dikatakan oleh Platon. Dialog di dalamnya menunjukkan bahwa tampaknya hal ini pandangan Pythagoras. Platon dalam pandangannya mengenai jiwa memang sedikit banyak dipengaruhi oleh Pythagoras. Pythagoras adalah filsuf yang tidak bertujuan untuk mencari suatu azas pertama yang dapat ditentukan oleh pancaindera. Menurut Pythagoras, segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan, pendapatnya didasari pada penemuannya bahwa not-not tangga nada sepadan dengan perbandingan-perbandingan antara bilangan-bilangan.[4] Perjumpaannya dengan Platon memang memberikan sumbangsih berharga di dalam Platon mengembangkan pandangannya mengenai kekekalan.
            Pythagoras terkenal dengan istilahnya ‘pengembaraan jiwa-jiwa’. Pada pandangan ini, Pythagoras beranggapan bahwa tubuh dan jiwa adalah dua hal yang terpisah secara tajam. Jiwa yang adalah hakikat manusia harus dimurnikan dari kenajisan tubuh dengan berpantang pada jenis-jenis makanan tertentu seperti daging hewan dan kacang.[5] Hal inilah yang disebut sebagai praktek ilmu pengetahuan dan filsafat dalam dunia pendidikan selanjutnya. Jiwa tidak dapat mati ketika manusia mati. Tubuhnya memang akan membusuk dan hancur, tetapi jiwanya akan mengembara dan berpindah ke tubuh makhluk hidup lainnya (binatang atau tumbuhan). Istilah yang cocok ialah reinkarnasi. Itulah sebabnya karena pengaruh Pythagorean ini Platon berpandangan bahwa pengenalan manusia pada pokoknya tidak lain adalah pada pengingatan (amnesis) akan ide-ide yang sudah pernah dilihatnya pada waktu pra-eksistensi. Bila manusia lahir di Bumi dan menjelma bebentuk manusia yang bertubuh tegak, pengetahuan akan ide-ide itu menjadi kabur. Namun jiwa masih memiliki memori tentang ide-ide tersebut. Pengetahuan akan tinggal dalam jiwa dan dapat diingat kembali lewat penyerapan panca indera.
            Meno yang  merupakan penganut Pythagorean merasa ragu akan pandangan seperti ini, dia mulai mempertanyakan bagaimana jika seseorang yang tidak pernah memiliki ide sama sekali, apapun tentang sesuatu. Pertanyaannya adalah “ketidak-tahuan macam apakah yang dapat diketahui oleh seseorang? Conundrum atau ‘tebak kata’ sofistik klasik merupakan metode yang dihadirkan oleh Meno yang berkembang pada kehidupan kaum Sofis di Yunani. Tujuannya adalah untuk menyelidiki apa yang diketahui oleh orang, karena orang tidak dapat mengetahui apa yang harus menjadi objek penelitian itu.[6] Platon sekiranya melakukan pembuktian atas pernyataan tersebut. Sokrates, guru Platon ditempatkan sebagai juru bicara Platon yang menyodorkan suatu persoalan geometris pada seorang budak yang tidak pernah mempelajarinya sama sekali. Sokrates terus meluncurkan berbagai pertanyaan terkait dengan geometris sehingga budak tersebut lama kelamaan merasa kebingungan dan menyadari kekurangannya dalam pengetahuan serta ingin sekali mengetahuinya. Anak itu dengan demikian seperti Sokrates inginkan, terdorong oleh penemuan atas ketidaktahuannya dan oleh kebingungannya untuk mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh[7], budak itu akhirnya mengerti dan mendapatkan jawaban yang benar. Walaupun ia tidak mengenal prinsip-prinsip ilmu ukur, bahkan belum pernah mendengar tentang ilmu ukur semacam itu.[8]
            Dari sini maka muncullah pemberlakuan metode sebagai model penalaran sebagai berikut[9]:
ü  Pendapat yang salah yang menjadi sasaran pertanyaan yang efektif mengarah pada penyangkalan atas pendapat yang salah
ü  Penyangkalan mengarah kepada ketidaktahuan dan kebingungan
ü  Ketidaktahuan dan kebingungan mengarah kepada kehausan akan pengetahuan
ü  Kehausan akan pengetahuan mengarah pada pencarian yang serius dan tekun
ü  Pencarian yang serius dan tekun mengarah pada pendapat yang benar
ü  Bertanya secara terus menerus tentang dasar pendapat yang benar yang dimiliki seseorang mengarah pada pengetahuan
Penting untuk diketahui bahwa eksperimen tersebut tidak melibatkan pemindahan informasi dari guru kepada murid. Eksperimen yang dilakukan Sokrates ini merupakan proses edukatif: anak mampu untuk belajar dan diarahkan untuk belajar, namun tidak diberikan informasi atau perintah.[10] Namun sering kali keberatan dirasakan mengenai metode ini karena Sokrates menggiring anak tersebut dengan menggunakan pertanyaan yang searah. Aktifitas kognitif dalam proses alternatif atas eksperimen tersebut ditekankan dengan memusatkan perhatian pada dia dan apa yang dilakukannya, terutama pada periode kedua dalam tanya-jawab ketika ia mulai termotivasi oleh kesadaran akan ketidak-tahuannya. Apa yang dicoba dibuktikan Platon disini bukan hanya agar budak itu mampu mengingat kebenaran dengan menggunakan pertanyaan Sokrates, melainkan proposisi yang lebih fundamental: semua pengetahuan itu hanya merupakan amnesis.
            Platon juga mendamaikan pengenalan inderawi dengan pengenalan budi. Dalam bukunya, Bertens menjelaskan bahwa pengenalan inderawi yang dimengerti dengan istilah ‘doxa’ mencakup benda-benda konkret yang senantiasa dalam keadaan perubahan, sedangkan pengenalan akal budi ‘episteme’ menyangkut ide-ide yang abadi dan tak terubahkan. Benda-benda konkret selalu meniru ide-ide, maka harus disimpulkan bahwa pengertian inderawi dapat merintis jalan bagi pengenalan akal budi.[11] Sepertinya Platon juga berlaku sebagai pendamai di antara perbedaan pendapat dua filsuf pendahulunya yaitu Heraklitos dan Parmenides. Heraklitos yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada sifatnya berubah-ubah, tidak ada ke-tetap-an, yang tetap adalah perubahan itu sendiri sedangkan Parmenides beranggapan bahwa segala sesuatu itu adalah ketetapan yang abadi dan tidak berubah-ubah. Jelas bahwa Platon mengakui adanya pengenalan inderawi, sebab pengertian ini—betapa pun maya dan tidak sempurnanya—dapat mengingatkan manusia kepada ide-ide yang pernah dikenal jiwa dahulu.[12] Pengetahuan yang ada sejatinya hanyalah sebuah ingatan. Mempunyai pengetahuan sebenarnya berarti merebut kembali milik yang asli. Dalam proses mengetahui dengan sebuah pengertian, jiwa bergerak selangkah demi selangkah ke atas, ke dunia idea, dunia maya, dunia asalnya. Kerinduan jiwa untuk naik hanya dapat diperoleh dan dimampukan oleh suatu gerak filosofi, gerak cinta (eros), cinta pada pengetahuan, filosophia menimbulkan tujuan untuk proses pengetahuan. Jika jiwa ingat kembali akan yang dahulu diketahuinya dan bahwa ia merebut kembali apa yang dahulu dimilikinya, hal ini merupakan tanda bahwa ia itu hidup selama-lamanya.[13]
Pra-eksistensi dan Pasca-eksistensi
Platon seperti kita tahu menganut paham dualisme. Dia membedakan antara jiwa dan tubuh, di mana jiwa dalam hal ini memiliki hakikat rohani, mempunyai primat atas tubuh sebagai hal yang memiliki hakikat jasmaniah. Platon membagi jiwa ke dalam tiga bagian berdasarkan pengertian dia menurut fungsi masing-masing yang memiliki keutamaan. Rasional dengan keutamaan kebijaksanaan, keberanian dengan keutamaan keteguhan hati dan keinginan dengan keutamaan ugahari.[14]       Dalam dialognya Phaidros, Platon melukiskan dalam satu mite bagaimana hubungan di antaranya terjalin. Jiwa diibaratkan sebagai seorang sais yang mengendarai kereta dengan ditarik oleh dua kuda bersayap. Kuda yang satu (yang melambangkan keberanian) melesat ke arah atas, namun kuda yang satunya lagi (yang melambangkan keinginan) menarik kereta itu ke bawah. Sais tadi (yang melambangkan rasional) sebenarnya hendak mencapai puncak langit tertinggi dan menggapai ide-ide, akan tetapi karena kesalahan dan kebinalan kuda yang selalu mau ke bawah, dia tidak berhasil.[15]
            Platon memiliki keyakinan bahwa jiwa berada sebelum dan sesudah kehidupan. Sebelum inkarnasi atau penyatuan jiwa dengan tubuh, manusia lahir sebagai makhluk bendawi, jiwa dalam hal ini sudah mengalami pra-eksistensi di mana ia menetap bersama dengan ide-ide. Karena mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh, ini diumpamakan seperti sebuah penyakit. Platon mengungkapkan ini dengan dua kata Gerika yang terkenal yaitu ‘soma-sema’.[16] Soma adalah badan yang adalah kuburan bagi sema yang adalah jiwa. Kerinduan dan tujuan manusia sesudah kehidupan di dunia adalah terbatas dari penjara tubuh agar dapat kembali memasuki keadaan dan dunia aslinya, yakni pulang ke dalam dunia ide dan untuk mencapai rasio yang berperan besar mengendalikannya.

Persiapan Menuju Kematian
Phaedo, merupakan dialog yang merangkum pandangan-pandangan Platon yang diperankan oleh Sokrates. Dengan tegas dialog itu disampaikan dengan baik suasana penjara pada detik-detik kematian Sokrates yang ada di sana juga terdapat istrinya yang dalam keadaan dukacita, teman dan muridnya termasuk juga di dalamnya Burnet dan Taylor sebagai komentator atas apa yang didialogkan Sokrates bersama dengan Phaedo. Di dalamnya, Sokrates digambarkan sebagai sosok manusia yang dengan begitu tetap bermatabat bertanya dengan mereka mengenai persoalan ultima dalam kematian dan kehidupan. Pada awalnya, Burnet dan Taylor diceritakan meragukan dan selalu menentang kata-kata Sokrates dan dengan tegas Platon menyatakan bahwa mereka menyimpang dari kebenaran.[17] Yang menjadi penting adalah latar pada Phaedo tersebut di mana Sokrates mengubah perannya yang biasa di berlaku sebagai pe-nanya, namun kemudian di sana disebutkan bahwa dia dalam beberapa kesempatan berbicara panjang lebar, mengutarakan pendapat yang pada tingkatan tertentu cocok dengan pandangan-pandangan Sokrates historis.[18]
            Dialog dengan Crito menceritakan bagaimana sejumlah rekan-rekan dan juga murid Sokrates berusaha menyusun rencana agar Sokrates dapat terbebas dari hukuman yang akan mematikan itu, mereka mencoba melarikan Sokrates ke Thessaly. Ketika rencana sudah matang, Sokrates malah tidak mengkehendakinya. Dia berpendapat bahwa dirinya telah dijatuhi hukuman berdasarkan proses hukum yang semestinya ia terima dan tidak dapat dibenarkan jika ia kemudian melarikan diri serta melawan hukum itu untuk menghindarkan diri dari hukuman. Dia mengemukakan bahwa Sokrates wajib menghormati mereka, para hakim yang mengadili dan menjatuhkan hukum nantinya, seperti halnya seorang anak yang menghormati bapaknya atau seorang abdi yang menghormati majikannya. Selain itu dia juga mengatakan setiap warga negara Athena bebas untuk meninggalkan Athena jika mereka tidak menyukai negara Athena[19], bukti bahwa dia benar-benar berkeras hati untuk tidak melarikan diri.
            Suatu pesan pokok dan mengesankan yang coba ingin disampaikan oleh Sokrates adalah bahwa meski siapa pun yang memiliki semangat tidak takut kepada maut dan justru bersedia menerimanya dengan ikhlas, ia tidak akan berusaha mencabut nyawanya sendiri, sebab ini melanggar hukum. Ketika semua mulai kebingungan dengan apa yang dikatakannya itu, mereka bertanya, mengapa mencabut nyawa sendiri, bunuh diri itu dilarang dan melanggar hukum. Sokrates sedikit banyak dipengaruhi oleh agama Orphis yang memberikannya penerangan.[20] Sokrates menganalogikan hubungan manusia dengan ‘Tuhan’ seperti hubungan binatang ternak dengan pemiliknya. Seorang majikan akan marah apabila binatang peliharaannya membedal dan melarikan diri semaunya. Demikian pula cukup beralasan untuk mengatakan bahwa manusia tidak boleh bunuh diri, manusia harus menanti dengan sabar sebelum Tuhan memanggilnya kembali.[21]

ANALISIS
Permasalahan yang Tiada Berujung
Setelah memaparkan seluruh isi dialog Meno, yang berisi pembuktian-pembuktian teori-teori Platon tentang pengetahuan sebenarnya adalah ingatan itu seperti benar-benar bukti yang tidak terbantahkan. Namun menurut Melling, dialog Meno menggambarkan saat yang tidak stabil dalam perkembangan ide Platon. Kekakuan susunan dialognya merupakan bukti bagi hal ini. Jawaban yang diberikan pada pertanyaan mengenai hakikat dasar dan pengajaran kebajikan adalah tidak meyakinkan dan tidak memuaskan. Teori mengenai ‘ingatan’ melukiskan upaya yang menarik dan radikal dalam memecahkan permasalahan fundamental yang berkaitan dengan epistimologi. Namun nampaknya usaha pemecahan persoalan tersebut dibayar dengan harga yang mahal, yakni penerimaan atas seluruh ajaran Pythagorean tentang ketidakmatian jiwa dan tentang kelahiran kembali atau reinkarnasi secara terus menerus; dan andaipun tidak dengan tebusan yang besar, persoalan tersebut tetap saja tidak menjelaskan bagaimana di dalam sebuah eksistensi prenatal yang diasumsikan jiwa memiliki pengetahuan yang diingatnya kembali dalam kehiduapan ini. Sepertinya semua yang dikerjakan Platon hakikatnya adalah merelokasi momentum problematis, berbalik ke belakang pada biografi orang yang belajar dari orang yang sedang belajar pada saat ini—yang setidaknya telah mendapat keuntungan karena dapat memasuki dan menyilidiki pengetahuan empiris dan bahkan dipahami dengan eksperimentasi—sampai pada eksistensi prenatal yang dikemukakan pada kita bukan berdasarkan atas rangkaian argumentasi rasional, namun atas dasar otoritas yang teruji dari para ‘pendeta laki dan perempuan’ yang dengan kedok samaran itulah kita boleh menduga secara rasional bahwa dia menyembunyikan ajaran Pythagorean.[22] Dialog menunjukkan satu tahap di mana dalam aktifitas filsafat Platon ketika konstruksi teoritis tentatif yang telah dapat ia kemukakan memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada sebuah jawaban. Hal ini memberikan interpretasi statis atas Platon, dan menandai sebuah transisi dari satu tahap besar dalam penyelidikan filsafatnya ke tahap lain.
            Beralih kepada pemahaman pra-eksistensi jiwa, perpindahan jiwa dan anggapan bahwa pengetahuan dapat disamakan dengan pengingatan, Aristoteles menyampaikan keberatannya juga—walaupun pada awalnya ia sempat sependapat dengan paham dualisme, pada dialog Eudemos. Jiwa yang diistilahkan Aristoteles sebagai Psyke (jiwa), memiliki arti yang sangat luas. Menurutnya jiwa adalah sebagai sebuah prinsip hidup, segala sesuatu yang hidup memiliki jiwa, baik tumbuhan, binatang maupun manusia.[23] Dalam teorinya Hylephormisme, Sokrates berusaha menjelaskan struktur yang mendasar, struktur yang mendalam, yang paling fundamental dari barang-barang jasmani. Dalam perkembangannya, teori ini diterjemahkan dalam bahasa latin materia prima dan forma substansialitas, namun sesekali materia prima jangan dianggap dapat ditangkap secara langsung karena keberadaannya hanya dapat diungkap dengan jalan analisa. Setelah dipraktekkan kepada hewan dan tumbuhan, ia menemukan adanya dua realitas yang tak terbantahkan. Sayangnnya ia tidak setuju apabila—oleh penganut dualisme—dianggap jiwa itu bercita-cita melepaskan hakikatnya dari badan. Menurutnya jiwa dan badan merupakan satu kesatuan. Hal ini didukung dengan pemahaman bahwa dalam hidup manusia, terdapat berbagai macam fungsi dan semuanya berkaitan menjadi sebuah satu kesatuan yang erat. Pengalaman membuktikan bahwa keadaan psikis dan fisik selamanya tidak dapat dipilah-pilah. Kesimpulannya adalah bahwa jiwa manusia adalah kekuatan vital yang ada di dalam tubuh dan seluruh tubuh dikuasainya sebagai sebuah instrument. Jiwa dan tubuh merupakan dwitunggal, dan kedwitunggalan tersebut dikenal Aristoteles sebagai ‘Instrumentisme kehidupan’. Manusia harus dipandang sebagai kesatuan dan dalam kesatuan itu jiwa merupakan keselesaian (aktus) demikian juga manusia juga harus dipandang dan diakui sebagai ‘Morphe’.[24]

REFLEKSI
Pemandangan Masa Kini
Sekarang bermunculan doktrin-doktrin yang mengajarkan kebahagiaan jiwa, jiwa lebih diutamakan daripada tubuh, tubuh sifatnya dianggap fana dan jiwalah yang terpenting; oleh karena itu, sangkalilah dirimu. Pemahaman ini memunculkan gambaran akan dunia yang terpisah dari nirwana, tujuan hidup bukanlah di dunia namun di nirwana. Kepedulian yang menjadi sebuah kesadaran terhadap lingkungan di bumi pun hilang sedemikian rupa, tatkala manusia tidak lagi melihat dampak perusakan alam, tidak lagi melihat bahwa ada berbagai macam bencana dan semua serba ditafsirkan dengan anggapan bahwa dunia ini akan segera berakhir karena tergantikan oleh realitas yang lebih nyata, yaitu nirwana yang kekal.
            Pengekangan ini sifatnya merugikan, walaupun memang sangat perlu, tetapi apakah akhirnya pengekangan ini berujung pada ketidaktakutan manusia terhadap maut yang akan menghampirinya? Pengalaman badani dan jasmaniah sekejap ditinggalkan. Mungkin ini bukan pandangan yang memperngaruhi, tetapi kalimat yang sifatnya reflektif.
            Ketika manusia memandang bahwa maut itu menakutkan, manusia akan melihat bahwa hidupnya sangat berharga dan oleh sebab itu ia akan mencari kebahagiaan di dunia dan juga menciptakan kebahagiaan untuk orang lain di sekitarnya. Tetapi akan menjadi rancu apabila manusia hidup secara fundamental menurut roh (jiwa), itu akan menyebabkan dirinya menjadi naif, munafik dan egois karena segala cita-citanya hanyalah semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri, kebahagiaan diri sendiri dalam mencapai sesuatu yang tidaklah pasti. [AcT]

Terbuai dalam dekapan kebahagiaan
Yang diselimuti selaput harapan akan hari depan
Dedicated to Ms. ‘Melona’
Ku pakaboro li’uko
Dalam keheningan malam kamar 202, 00.35 AM

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. edisi revisi. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Hatta, Mohammad. Alam Pikir Yunani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia dan Tintamas, 1986.
Melling, David. Jejak Langkah Pemikiran Plato. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002.
Petrus L. T, Simon. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
 Rakhmat, Ioanes. Sokrates Dalam Tetralogi Plato. Jakarta: Gramedia, 2009.
Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sudirja, A. Dkk. Karya Lengkap Driyakarya: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia, 2006.
Wibowo, A. Setyo, “Idea Platon sebagai Cermin Diri” dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke-57, November-Desember 2008.


[1] Namanya sebenarnya adalah Platon. Seringkali kita menyebutnya sebagai ‘Plato’. Hal ini dikarenakan perantaraan bahasa filsafat yang masuk ke Indonesia melalui bahasa Belanda. Namun jika kita melihat bahasa asli Gerika-nya (Πλατων [Pla/twn]) maka kita akan lebih tepat apabila menyebutnya Platon. Kita lebih dapat menjelaskannya apabila kita memahami bahwa tiada kata Plato-isme, Plato-ik, dan Plato-isian, namun yang ada adalah Platonisme, Platonik dan Platonisian. Lihat Wibowo, A. Setyo, “Idea Platon sebagai Cermin Diri” dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke-57, November-Desember 2008.
[2] Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 183.
[3] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani ed. revisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 136.
[4] Simon Petrus L. T, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 54.
[5] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 44
[6] David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), hlm. 101.
[7] Ibid., hlm. 103.
[8] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 138.
[9] Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, hlm. 104-105.
[10] Ibid., hlm. 106.
[11] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 138.
[12] Simon Petrus L. T, Petualangan Intelektual, hlm. 54.
[13] Mohammad Hatta, Alam Pikir Yunani (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia dan Tintamas, 1986), hlm. 103.
[14] Simon Petrus L. T, Petualangan Intelektual, hlm. 53.
[15] Ibid., hlm. 53.
[16] Ibid., hlm. 55.
[17] Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, hlm. 114.
[18] Ibid., hlm. 115.
[19] Ioanes Rakhmat, Sokrates Dalam Tetralogi Plato (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 166.
[20] Russell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 182.
[21] Rakhmat, Sokrates Dalam Tetralogi Plato, hlm. 188.
[22] Simon Petrus L. T, Petualangan Intelektual, hlm. 112.
[23] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 179.
[24] A. Sudirja, dkk, Karya Lengkap Driyakarya: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 1190.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar