Senin, 10 Januari 2011

Masalah yang Dialami Orang Percaya Dalam Perkembangan Iman yang Tertulis di Perjanjian Baru: Dasar Pemahaman Kekristenan Masa Kini

Pendahuluan

Saya memilih pembahasan abad pertama melalui konteks pada Alkitab Perjanjian Baru. Ini saya lakukan karena menarik untuk saya cermati lebih lagi dasar awal permasalahan-permasalahan yang ada dalam Kekristenan. Kitab-kitab Perjanjian Baru itu sendiri adalah hasil dari suatu gerakan missionaris, yang menyaksikan Yesus secara langsung. Orang Kristen yang pertama yakin bahwa apa yang terjadi di dalam kehidupan, kematian dan kebakitan Yesus sesuai dengan Perjanjian Lama. Hal ini sekiranya menjadikan suatu dasar topik permasalahan dari masa ke masa sehingga timbulah sesuatu yang dinamakan perkembangan. Kontradiksi terjadi akibat orang-orang percaya mulai meributkan keabsahan aturan-aturan “lama” dengan dobrakan iman yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Namun dalam paper singkat ini, saya tidak akan membahas masalah secara sistematis karena mengingat banyaknya permasalahan yang ada dalam perkembangan orang percaya di dalam Perjanjian Baru, maka saya hanya akan membahas poin-poin permasalahan yang menurut saya menarik dan mengaitkannya pada gereja masa kini – hal yang bisa dipelajari gereja saat ini. Hal ini juga saya lakukan dengan pemikiran bahwa gereja purba pada abad pertama ini adalah langkah awal dimana banyaknya masalah dan permasalahan yang muncul yang coba diselesaikan yang akan terus terkait dengan gereja sampai pada saat ini.

Permasalahan Internal Kekristnenan: Pembahasan dan Refleksi

Permasalahan muncul sebelum dan sesudah tumbuhnya jemaat mula-mula ada pada saat Yesus dan pasca Yesus sendiri di tengah-tengah orang percaya. Oleh karena itu saya memaparkannya melalui poin-poin dibawah ini dan saya bahas serta refleksikan melalui pemahaman saya dengan disandingkan pada teori yang ada, sebagai berikut:
ü  Orang Kristen menyerukan kepada orang Yahudi bahwa Yesus adalah Penguasa yang telah dinanti-nantikan selama ini. Namun pemahaman Yahudi mengenai Penguasa yang akan datang ini sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa Yesus mengalami kematian yang memalukan di kayu salib. Ini membuat pertentangan begitu hebat pada saat sebelum dan saat dimana Yesus mati di kayu salib. Namun terhadap hal ini, orang Kristen menjawab bahwa Yesus adalah “Hamba Tuhan”. KematianNya disusul dengan kebangkitanNya dan kenaikanNya kesebelah kanan Allah. Yesus adalah Tuhan, itulah penekanan utama dalam pemberitaan Kristen pada saat itu.
ü  Apabila juga kita membaca Injil Yohanes – khususnya Yohanes 8 – maka akan terdengar seperti nada perselisihan sengit. Di dalam ini tertulis tentang kesaksian final dan konsisten mengenai Yesus. Yohanes 7 memperdebatkan sebutan “Mesias” dan “Nabi” yang dikenakan kepada Yesus. Sedangkan Yohanes 8 memperdebatkan sesuatu yang lebih dalam yaitu apa hubungan Yesus dengan Allah. Dengan demikian akhirnya munculah suatu jawaban akan keduanya dari Injil ini sendiri. Yohanes sendiri mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias (Yoh 20:31) dan kita membutuhkan Mesias yang memerdekakan kita, karena baik secara posisi maupun kuasa dapat dikatakan bahwa Dia (Yesus) lebih tinggi dari manusia, karena Dia adalah jalan yang ditawarkan Tuhan melalui sebuah pertukaran yang menakjubkan.[1] Dengan maksud bahwa Tuhan telah menukarkan harga diri-Nya untuk manusia, padahal bisa saja dengan otoritas-Nya Dia mengalahkan dosa dengan cara yang lebih gampang.
ü  Surat 1 Petrus satu dari tujuh surat umum (am) dalam Perjanjian Baru karena surat tersebut tidak ditujukan kepada satu jemaat tertentu. Penulis mengalamatkan suratnya kepada gereja-gereja di Asia kecil dan menyapa mereka sebagai “orang-orang pendatang” (1:1). Sebagai bagian dari keberadaan mereka di diaspora, mereka hidup di tengah-tengah orang yang bukan Kristen. Bisa saja mereka jadi asing – dalam artian politik – karena mereka datang dari asal yang berbeda atau karena status sosial, sebagai orang luar dalam lingkungan hidup mereka dari agama mereka sebelumnya dan menjadi umat Allah yang baru (2:10). Namun data-data yang saya jumpai dalam 1 Petrus jelas tidak mendukung bahwa orang Kristen menderita karena penghambatan resmi dari pihak penguasa (Kekaisaran Roma). 1 Petrus malah mengajak secara positif untuk tunduk kepada semua – lembaga – manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi maupun kepada wali yang diutus untuk menghukum orang yang berbuat jahat dan menghormati orang yang berbuat baik (1 Pet 2:13-14). Namun permasalahannya, orang Kristen pada abad tersebut tidak begitu popular atau disambut dengan baik dilingkungan mereka, karena mereka sering tidak aktif dan turut ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan lingkungan, seperti fiesta (perayaan-perayaan). Dalam 4:4 dikatakan bahwa, “... mereka heran bahwa kamu tidak turut mencemplungkan diri bersama-sama mereka di dalam kubangan ketidak-senonohan yang sama dan mereka memfitnah kamu.” Menjadi Kristen dimengerti sebagai pemutus tali persaudaraan dan ikatan kebersamaan sebagai hidup bertetangga pada masa sebelumnya. Alienasi agama[2], mungkin inilah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Kekristenan saat itu.
Ini adalah contoh-contoh permasalahan yang ada pada zaman sebelum munculnya gereja mula-mula. Namun permasalahan yang sering muncul saat gereja mula-mula berdiri adalah permasalahan secara teologis. Pencarian kebenaran antara pemikiran para teolog-teolog purba tersebut menghasilkan pertumbuhan yang begitu rupa.


Hal ini dapat juga kita lihat dalam gereja saat ini. Banyak sekali perbedaan teologis yang membentuk pemikiran teolog saat ini – yang menurut saya tidak dapat dihindari karena memang kebebasan dalam berpikir membuat pemikiran terus berkembang.


Pada permasalahan poin kedua, menurut hemat saya menerima Yesus sebagai wujud cinta Bapa yang membebaskan manusia adalah satu-satunya cara yang paling mungkin ditemukan sebagai jawaban. Namun ada hal yang sepertinya perlu diingat bahwa manusia tidak dapat keluar dan menjadi manusia bebas apabila dia masih menganggap dirinya benar dan tahu akan kebenaran. Seperti yang dituliskan Hans Küng, dalam bukunya: “... whatever is not infallible is fallible!”[3] Yohanes mengkritik sikap orang Yahudi yang menganggap diri mereka merdeka karena mereka keturunan Abraham. Namun pada gilirannya, Yohanes mengingatkan bahwa gereja (murid-murid) harus mengabarkan kebebasan yang didapat dalam komunikasi intensif dengan Yesus agar berita ini dapat dikabarkan dengan cara damai dan rendah hati. (Yoh 8:31-32). Kebebasan ini tampaknya menjadikan pemikiran setiap orang berbeda dalam memahami akan Kekristenan sebagai implikasi karya Yesus di dunia. Apakah kebebasan inilah yang mungkin menjadi titik-inti masalahnya? Namun tidak bisa kita secara absolut melabelkan ini sebagai titik permasalahan, karena ternyata masih banyak titik-titik lainnya yang akhirnya membentuk sebuah gambar-gambar mengenai pemahaman-pemahaman yang berbeda-beda ini.


Hal inilah juga sekiranya yang memunculkan reformasi dalam Kekristenan dan sekte-sekte transparan baru Kekristenan.[4] Saya melihat juga pada poin ketiga diatas bahwa karena adanya perbedaan ini, keadaan Kekristenan pada poin ketiga juga terjadi secara internal di Kekristenan sendiri yang memiliki masing-masing pemahaman. Budaya saling bisu dan menjaga jarak ini menjadikan orang kristen yang berbeda pemahaman merasakan alienasi tersebut. Saya mencoba mencari cara bagaimana kita (baca: Kekristenan) saat ini memikirkan suatu jalan keluar dalam permasalahan-permasalahan yang muncul akibat perbedaan ini.
Hal ini semakin membuat saya berpikir bahwa setiap pemahaman dalam Kekristenan saat ini menjadikan kita membentuk sesuatu yang disebut pluralitas[5]. Dalam hal ini pluralitas yang muncul secara internal dalam Kekristenan – saya biasa memikirkan ini sebagai konsep keanaktunggalan pemahaman Kekristenan tentang Allah yang membentuk teologi mereka masing-masing. Dengan mengingat ayat dalam Markus 8:29, “....tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?....” hal ini menjadi wajar terjadi.


Paul F. Knitter pun sedikit banyak berbicara tentang hal ini dan mencoba menawarkan solusi bagi perbedaan pemahaman ini walaupun konteks miliknya adalah Kekristenan dengan nonKekristenan. Namun menarik apabila kita melihat bahwa di dalam Kekristenan sendiri terdapat pluralitas. Menurutnya, kebenaran dapat terungkap melalui dialog. Dan sebaiknya usaha umat Kristiani dalam memahami kehidupan pluralisme agama (baca: pemahaman/teologi)  yang baru dan dialogis dengan melestarikan nilai-nilai universal dan pemahaman sumber partikular dan historis janganlah terperangkap ke dalam relativisme atau absolutisme. Disana ia menganalogikan dialog itu sebagai orang yang melihat jagat raya dengan menggunakan teleskop.[6] Ia selalu mengingatkan kita agar kita meminjam teleskop orang lain untuk melihat ‘kebenaran’ secara lebih luas. Namun apabila kita tetap menggunakan teleskop kita yang terbatas, hal ini dapat menjadikan kita jatuh ke dalam sebuah ideologi kebenaran yang absolut.


Menurut hemat saya, Knitter mengharapkan bahwa dari sebanyak apapun pemahaman yang ada, akan sulit apabila kita berpijak hanya pada satu sepatu yang sama dari masa kemasa dimana ada banyak sekali sepatu-sepatu baru dengan fungsi yang sama. Dengan melihat bahwa walaupun pemahaman kita muncul dari pohon yang berbeda, namun buah yang dihasilkan sama, maka kita pasti memiliki akar yang sama. Hal ini kiranya dapat menjadi landasan awal gereja masa kini dalam menghadapi pluralitas Kekristenan mereka yang ada.

Permasalahan yang Timbul Akibat Paham Gnostik

ü  Pada abad pertama dan kedua dalam kalangan Yahudi maupun dalam kalangan Helenisme berkembang gerakan gnostik, yang membuat perbedaaan yang tajam antara roh dengan daging, antara tubuh dengan jiwa. Menurut pendapat mereka pencipta dunia tidak Allah yang benar, tetapi Demiurgos, yang hanya berpikir dia dewa yang paling tinggi. Secara itu tubuh manusia menjadi semacam penjara, masuk dalam dunia ini penuh penderitaan. Hal itu hanya mengakibatkan, bahwa manusia banyak menderita dan tidak tahu kebenaran ilahi. Paulus mungkin juga melawan dalam surat Galatia ini satu kelompok Kristen-Yahudi yang dipengaruhi oleh gnostik.[7]


Namun kesannya bukan hanya hal itu saja yang diangkat. Permasalahannya muncul akibat dalam Galatia 3-4 Paulus menjelaskan kesia-siaan kehidupan lama yang berdasarkan hukum Taurat. Kristus sudah datang, maka kita bebas dari hukum Taurat (Gal 3:25). Sikap antilegalisme itu nampak dalam meringkaskan Hukum Taurat menjadi “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Gal 5:14 yang mengacu pada Imamat 19:18). Singkatnya, Kristus bukan hukum, buanglah hukum dan ikutlah Kristus. Maka dari sini muncul pemikiran bahwa mereka yang hidup dalam Kristus disebut sebagai hidup dalam roh.


Permasalahan inipun dalam Kekristenan masih ada dalam Kekristenan masa kini[8]. Permasalahan taurat ini menjadi topik yang hangat. Namun apabila Kekristenan masa kini melihat dengan baik, sebenarnya Taurat itu bukannya harus dibuang begitu saja dengan adanya Kristus saat itu namun disandingkan dengan Kristus sebagai sejarah yang mengawali adanya penggenapan akan hal itu. Kalau orang, atas bantuan Taurat, sadar betapa besar dosanya, ia akan menjadi sadar pula betapa besar anugerah Tuhan yang disediakan melalui Yesus Kristus. Jadi, hukum Taurat bagi saya adalah semacam preparatio evangelica: mempersiapkan orang untuk menerima janji dengan penuh syukur. Bagi Luther sendiri, Taurat penting sebagai alat mendiagnosa penyakit (baca: dosa) kita, tetapi bukan resep yang menyatakan obatnya. Bagi Calvin, posisi Taurat lebih penting, yaitu sebagai indikator yang menunjukkan apakah kita makan obat dengan benar atau tidak – hal inilah yang mungkin menjadikan orang-orang Calvinis memiliki ‘kecintaan’ yang cukup kuat terhadap hukum Taurat. Namun walaupun demikian, menurut hemat saya yang dimaksudkan oleh Paulus bukan sekedar kebebasan dari legalisme Taurat, melainkan pengalihan titik sentral kehidupan moral: dari hukum Taurat ke peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.

Dormitory room U202

 

Daftar Pustaka


Knitter, Paul F., Pengantar Teologi Agama-Agama. 2008. Yogyakarta: Kanisius.
Küng, Hans., Truthfulness: The Future of the Church, 1968. New York.
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion (Terj.). 1996. Yogyakarta: QALAM
Schmithals, Walter., Paul & the Gnostics, transl. John E. Steely. 1997. Nashville, Tennesse: Abingdon Press.


[1] Kita bisa mengingat pandangan para Bapa Gereja Timur yang menggambarkan penyelamatan sebagai Admirable Commercium; pertukaran yang menakjubkan.
[2] Karl Marx, Agama Sebagai Alienasi yang terdapat dalam tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Terj.). 1996. Yogyakarta: QALAM, hlm. 220-224. Suatu pendapat yang juga disampaikan oleh kaum Marxisme, pencetus alienasi ini adalah Hegel.
[3] Hans Küng, Truthfulness: The Future of the Church, New York 1968, pg. 25
[4] Saya ingat ketika dosen Mata kuliah Tradisi dan Pluralitas saya pak Jozef M. N. Hehanussa bercerita ketika ia berada di Jerman dan sedang mengadakan diskusi kelompok dengan teman perkuliahannya yang membahas mengenai calvinisme lalu seseorang dari lutheran mencibirnya bahwa Calvin adalah ajaran setan. Hal inilah yang membuat saya berpikir bahwa konsep mengenai Ke-anaktunggal-Allah sebenarnya ada di dalam Kekristenan itu sendiri.
[5] Ini menurut saya juga merupakan sebuah diskursus yang berhubungan dengan pluralitas internal dalam Kekristenan. Hal ini kiranya dapat dimengerti bukan sebagai pertentangan pengertian secara negatif, namun perbedaan secara positif dalam kita masing-masing memahami makna teologis dibalik setiap teks dalam Alkitab yang ada ditengah-tengah Kekristenan dari dahulu sampai sekarang yang menjadikan Kekristenan secara tidak langsung melabelkan dirinya menjadi anak tunggal Allah. Walaupun sebenarnya konsep ini dahulu muncul ketika dipengaruhi John Calvin mengenai predestinasinya, namun sebenarnya konsep ini sudah jauh ada pada saat gereja sebelum mula-mula itu muncul.
[6] Paul F. Knitter. Pengantar Teologi Agama-Agama. 2008. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 12.
[7] Lihat: “The Heretics in Galatia”, bab I dari: Walter Schmithals, Paul & the Gnostics, transl. John E. Steely, Abingdon Press, Nashville, Tennesse, 1997 hlm 13-64.
[8] Saya lebih menitikberatkan permasalahan ini melalui konteks hukum Taurat vs. Kasih Yesus sebagai inti Taurat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar