Senin, 10 Januari 2011

Pluralitas yang Menyatukan: Suatu Tinjauan Tradisi dan Pluralitas Agama Dalam Masyarakat Majemuk

Laporan Penelitian: Analisa Melalui Hasil Kuestioner
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuestioner yang telah diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tradisi dan Pluralitas Agama-agama. Pertanyaan diberikan dengan tujuan untuk: [1] menemukan dan mengkaji sampai sejauh mana warga gereja memahami dan menghayati tradisi gereja yang dimilikinya—dalam hal ini dogma atau ajaran gereja yang ada di lingkungan gerejanya; [2] menemukan dan mengkaji sampai sejauh mana dogma atau ajaran gereja yang ada menolong warga gereja untuk berhubungan dengan penganut agama lain; [3] menemukan dan mengkaji persoalan-persoalan apa yang muncul berkaitan dengan tradisi gereja yang dipegang dalam hubungannya dengan bagaimana gereja membuka diri kepada penganut agama lain.
            Peserta penelitian berjumlah sepuluh orang. Dua di antarnya adalah perempuan. Mereka saat ini berdomisili di gereja GPIB Marga Mulya Yogyakarta—walaupun ada beberapa orang yang tidak berasal dari GPIB ini, namun tetap bergereja dalam sinode GPIB. Rentang usia mereka adalah 18-25 tahun. Menurut Jean Piaget, pada rentang usia ini mereka memasuki tahap perkembangan operasi formal (formal operations). Pada tahap ini seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan porposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu (Piaget & Inhelder, 1969; Piaget, 1981).[i] Mereka dapat melihat banyak kemungkinan dalam suatu persoalan. Sifat pokoknya adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif saintifik dan abstraktif reflektif. Perkembangan pemikiran pada tahap ini sudah sama dengan pemikiran orang dewasa secara kualitatif. Mereka adalah warga gereja biasa yang menjadi Kristen sejak kecil, kecuali satu peserta yang menjadi Kristen ketika sudah dewasa.[ii]
            Pertanyaan pada konteks pertama memiliki topik ‘Relasi Antar Umat Beragama’. Pertanyaan-pertanyaan di dalamnya bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peserta telah menjalin relasi antar umat beragama. Ketika pertanyaan pertama yang ditanyakan mengenai apakah mereka kesulitan dalam menjalin relasi antar umat beragama, jawaban mereka adalah tidak. Alasannya lebih banyak karena mereka menghargai agama lainnya. Mereka beranggapan bahwa sudah menjadi sesuatu yang wajar dan biasa ketika mereka hidup bersama dengan para penganut agama lain di lingkungan yang majemuk. Hal ini merupakan jawaban dan menjadi sebuah alasan yang wajar karena memang melalui konteks lingkungan mereka yang berada di Yogyakarta ini, mereka terbiasa hidup dengan berbagai macam orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang majemuk dalam konteks keagamaan. Mereka juga biasa melihat praktek-praktek keagamaan yang ada secara khusus di Yogyakarta ini. Apalagi, Yogyakarta ini memiliki ciri khas kebudayaan yang sangat kuat aroma religiusnya. Misalnya saja sekaten.[iii]
            Menurut mereka, gereja dianggap sangat perlu membangun sebuah hubungan dengan umat beragama lain, walaupun menurut mereka hal ini begitu sulit. Alasan terbanyak adalah karena gereja dianggap egois dan mementingkan pelayanannya terhadap orang Kristen saja. Selain itu alasan kedua adalah karena gereja terlalu eksklusif dalam menanggapi pluralitas. Kesan ini didapat dengan melihat konteks gereja yang melalui tata gerejanya sendiri banyak memunculkan eksklusifisme mereka. Contohnya saja ketika berbicara tentang komunitas iman dalam gereja. Dalam komunitas ini, jemaat diajak untuk turut ambil bagian dalam kelompok-kelompok kecil demi membicarakan permasalahan mereka masing-masing. Peran komunitas iman sendiri menjadi tidak sesuai dengan tujuan ketika tidak adanya proses/dampak keluar. Proses sharing yang selalu ditekankan di gereja-gereja terkadang melupakan bahwa sebenarnya komunitas iman sendiri seharusnya berdampak dan bergerak ke luar ranah gereja.
            Pertanyaan dalam konteks kedua memiliki topik ‘Yesus Kristus dan Dosa’. Pertanyaan-pertanyaan di dalamnya bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peserta memaknai arti keselamatan yang dari Allah melalui perantaraan Yesus Kristus. Pertanyaan pertama mengenai apakah menurut peserta Allah juga bekerja dalam agama lain untuk memberikan penganut agama lain hidup yang lebih baik dijawab dengan tegas oleh semua peserta kuestioner dengan jawaban ya. Namun tampaknya mereka ragu pada pertanyaan kedua yang sebenarnya masih sama dengan pertanyaan pertama yaitu dapatkah peserta menyatakan bahwa Yesus juga ada di dalam agama lain untuk memberikan hidup yang lebih baik atau keselamatan. Enam orang peserta menjawab ya dan sisanya menjawab tidak. Menurut analisa saya, sebenarnya mereka memiliki pemahaman mengenai Allah yang universal, namun mereka kurang setuju dengan Yesus yang universal.
            Mereka menjawab demikian mungkin dikarenakan pengenalan awal mengenai konsep keselamatan gereja yang terkesan eksklusif. Pemahaman Iman GPIB dari judul keselamatan poin yang kedua, memiliki kalimat “menjamin keselamatan orang percaya”. Hal ini memberikan pemikiran awal bahwa keselamatan adalah bagi orang percaya dan tradisi sakramen Baptisan dan Perjamuan kudus adalah alat dalam menjamin keselamatan itu. Hal ini sedikit mendapatkan kesan miring dari agama yang lain. Ini menunjukan suatu eksklusifitas orang kristen bagi agama lain khususnya di sekitar jemaat GPIB sendiri. Hal ini kesannya jadi permasalahan yang sulit untuk dipertemukan dengan agama lain. Namun demikianlah pemahaman para jemaat (khususnya pemuda dan pemudi GPIB) apabila ditanyakan mengenai Yesus yang universal. Bahkan pertanyaan ketiga dalam konteks ‘Yesus Kristus dan Dosa’ membuktikan bahwa hampir separuh peserta menjawab tidak ketika ditanyakan mengenai adanya keberadaan Yesus Kristus yang memberi keselamatan di dalam agam lain. Hal ini membuat kita sedikit bingung karena pertanyaan selanjutnya yang sebenarnya bersifat meng-afirmasi-kan jawaban sebelumnya mengenai apakah penghapusan dosa yang sebagai karya Yesus berlaku bagi penganut agama lain dan apakah iman kepada Yesus mendorong peserta terbuka kepada penganut agama lain dijawab secara tegas dengan jawaban ya.
            Pertanyaan dalam konteks ketiga bertopik ‘Iman dan Pembenaran’. Pertanyaan-pertanyaan di dalamnya bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta tentang hal penerimaan keselamatan dan kepada siapa saja keselamatan tersebut diberikan. Ketika ditanya mengenai mengapa manusia memperoleh keselamatan, dua orang menjawab karena iman dan perbuatan yang manusia lakukan kepada Tuhan dan sesama, tiga orang menjawab melalui anugerah Tuhan, dan jawaban terbanyak adalah karena Kasih Allah kepada manusia sebanyak lima orang.
            Jawaban pada pertanyaan selanjutnya membuat saya sedikit kebingungan. Ketika ditanyakan mengenai apakah agama lain akan menerima keselamatan dari Tuhan, tujuh orang menjawab ya namun masih ada tiga orang yang menjawab tidak. Hal ini membingungkan saya karena pada konteks kedua di atas pada pertanyaan yang petama mengenai apakah Allah bekerja dalam agama lain untuk memberikan kepada mereka hidup lebih baik, semua menjawab ya. Bukankah berarti di sini muncul pemahaman bahwa peserta memahami Allah yang turut bekerja tanpa memandang agama dan pemahaman mereka namun keselamatan hanya diberikan kepada orang tertentu (Kristen)? Muncul kembali sisi pemahaman yang eksklusif dari pertanyaan yang baru saja dijawab oleh peserta dalam kuestioner ini.
            Namun ketika pertanyaan mengenai adakah keselamatan di luar kekristenan, separuh dari mereka menyatakan bahwa mereka ragu. Walaupun empat mengatakan ya dan satu mengatakan tidak, namun lebih banyak yang ragu mengenai hal ini. Menurut analisa saya, mereka masih memiliki pemahaman yang inklusif. Hal ini dapat kita lihat dengan ajaran GPIB sendiri yang masih bersifat inklusif. Misalnya Pemahaman Iman GPIB yang berbunyi bahwa dalam karya keselamatan melalui Yesus Kristus, Allah telah menyelamatkan dan menghimpun umat Perjanjian Baru yaitu Gereja yang diutus-Nya untuk memberitakan Injil dan menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di atas bumi.
            Gereja bagi mereka secara umum adalah alat Tuhan dalam menunjukkan kasih di tengah dunia. Hal ini berlaku bagi semua ciptaan di dunia. Selain itu gereja juga dilihat sebagai lembaga yang bekerja bagi sesama. Pemahaman ini sebenarnya cukup dibilang cocok untuk masyarakat yang majemuk, namun prakteknya dalam jemaat sendiri kurang diperhatikan. Gereja sendiri sebenarnya memiliki pemahaman akan pluralitas agama-agama yaitu bekerja bagi sesama, namun kendala yang sering dialami adalah budaya bisu yang dianggap gereja merupakan zona aman mereka dari konflik akibat berdialog.
            Melalui kuestioner ini kita dapat melihat bahwa tradisi dan pemahaman gereja sangat berpengaruh bagi jemaat, khususnya remaja. Tradisi ini diturunkan dari generasi ke generasi, dari gereja di waktu sebelumnya kepada gereja di masa kini. Pemahaman gereja terkesan masih menonjolkan sisi inklusif dan eksklusif-nya. Bagaimanapun juga, gereja saat ini memiliki suatu masalah yang sebenarnya muncul bagaikan sebuah bom waktu yang siap untuk meledak. Pluralitas, bukan hanya bagian dari keseluruhan agama, karena di dalam satu agama pun pluralitas pasti ada. Entah itu dari sisi etnis, pandangan, sikap, karakter, dan lain sebagainya. Hal ini yang kiranya masih dipikirkan oleh gereja masa kini. Pluralitas di dalam gereja sendirilah yang menjadi condong pusat perhatian gereja saat ini. sebenarnya menurut analisa saya melalui kuestioner, jemaat memiliki pengenalan awal akan pluralitas, begitu pula dengan gereja, namun aksi untuk menanggapi pluralitas di luar kekristenan masih kurang sehingga pemahaman jemaat masih terbatas. Oleh karena itu dapat saya katakan bahwa gereja kurang (sekiranya tidak mau dikatakan tidak) memiliki keterbukaan kepada penganut agama lain. Inilah hasil dari jawaban-jawaban pada kuestioner yang telah diberikan.

Pandangan Pribadi Mengenai Kuestioner
Tidak diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beraneka-macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia lainnya yang tidak sama. Pluralisme agama muncul akibat dari keberagaman tersebut. 
            Potensi konflik dalam interaksi antar agama dapat disebabkan karena unsur internal dari agama. Setiap agama selalu memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang berisi keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar. Konsekuensinya, agama yang lain pastilah dikategorikan salah atau sesat sehingga harus diluruskan. Oleh karena itu, upaya melakukan dakwah (Missionary) agama menjadi keniscayaan dalam rangka meluruskan masyarakat agar kembali ke jalan yang benar. Sikap ekslusivitas dan sensitivitas beragama menjadikan masyarakat gampang terpicu oleh propaganda yang menyebabkan terjadinya konflik antaragama. Jika keyakinan tersebut tidak dikontrol dan diatur, yang akan terjadi adalah perbenturan dan konflik antar agama atas nama truth claim tersebut. Kearifan masyarakat mengekspresikan klaim kebenaran itulah yang menjadi hal penting mengingat masyarakat kita terdiri dari berbagai penganut agama, dan terbelah dalam berbagai aliran keagamaan. Sikap saling menghormati dan bersikap santun terhadap the Other merupakan hal yang ditekankan agar agama membawa kedamaian, bukan kekerasan dan konflik.
            Melihat kuestioner yang diberikan kepada para peserta, saya akan memaparkan pendapat saya apabila pertanyaan tersebut ditujukan kepada saya. Sebenarnya dalam berhubungan dengan penganut agama yang lain menurut saya tidaklah sulit, namun yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan yang akan dicapai dalam berhubungan dengan penganut agama lain tersebut? Apabila kita berhubungan dengan maksud untuk menjalin suatu relasi antar makhluk sosial (humanis), sepertinya semua umat beragama pasti setuju dan tidak merasa kesulitan dalam berhubungan—walaupun mereka memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda dalam konteks agama. Setiap manusia akan tetap saling membutuhkan satu sama lain. Mereka memang merupakan makhluk sosial yang berusaha saling mencukupkan kebutuhan hidupnya tanpa harus membeda-bedakan agama yang dianutnya. Namun apabila tujuannya untuk menghubungkan kepercayaan yang satu dengan yang lain, saya ragu apabila kita akan dengan mudah menjawab ‘tidak!’ untuk pertanyaan apakah saudara memiliki kesulitan dalam berhubungan (dalam konteks kepercayaan) dengan agama lain. Usaha-usaha seperti ini sangatlah sulit untuk dilakukan, mengingat adanya sebuah ‘sindrom’ konflik yang menghantui setiap agama dengan agama lain, pastilah jawaban dari kita secara spontan, ‘ya..’.
            Menurut saya, gereja sangat perlu membangun suatu hubungan dengan penganut agama lain—dalam konteks sosial maupun religius. Memang dapat dikatakan sulit, namun inilah yang menjadi tuntutan kita dalam hidup bersama di tengah kehidupan yang pluralis. Gereja sangat berpengaruh bagi pandangan dan pemahaman orang Kristen, diharapkan gereja dapat menjadi suatu model mimetik bagi orang Kristen dalam menjalin hubungan dengan agama lain.
            Mungkin ada beberapa faktor yang membuat gereja merasa kesulitan dalam membangun hubungan dengan umat beragama lain, namun yang paling mencolok adalah kecurigaan yang telah menjadi sikap yang fundamental ketika kita melihat pemahaman maupun aksi agama lain. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh gereja, namun oleh agama lainnya. Mereka terlalu mengekang diri dalam ‘menara gading’ mereka masing-masing, atau mungkin kurangnya kegiatan yang memperhatikan sisi pluralistik agama sehingga umat kurang memiliki pengetahuan dan niat dalam menjalin hubungan tersebut.
            Bagi saya, Allah turut bekerja dalam agama lain untuk memberikan kepada mereka hidup yang lebih baik. Dalam hal ini, sering kali diangkat cerita Injil perumpamaan Yesus mengenai orang samaria yang baik hati. Bahkan dalam Perjanjian Lama pun terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah turut bekerja bukan hanya bagi Israel, namun bangsa lain.
            Yesus datang bukan hanya untuk orang Kristen. Bagi saya Yesus datang menghapus dosa manusia, bukan untuk menghapus dosa orang Kristen. Oleh karena itulah saya memiliki pemahaman bahwa Yesus pun bekerja dalam ranah yang universal—di dalam agama lain untuk memberikan kepada mereka juga kehidupan yang lebih baik atau keselamatan.
            Karena itu, iman saya kepada Yesus sangat mendorong saya untuk terbuka kepada penganut agama lain. Iman saya kepada Yesus-lah yang selalu memberikan tuntutan bagi saya untuk tidak hanya melayani bagi orang Kristen, namun bagi setiap orang yang ada dan ‘sempat’ bertemu dengan saya di kehidupan ini. Mungkin hal inilah juga yang membuat saya tertarik untuk mengambil mata kuliah pluralitas agama-agama. Karena bagi saya, pekerjaan Tangan Tuhan bukan hanya menjangkau orang Kristen semata, namun juga memberikan shalom bagi setiap manusia di muka bumi ini.
            Manusia mendapatkan keselamatan dari Allah hanya oleh karena anugerah-Nya yang begitu besar bagi dunia ini. Anugerah Allah ini merupakan implikasi dari Kasih yang Ia ajarkan kepada manusia. Allah begitu mengasihi kita sehingga Ia menganugrahkan Anak-Nya Yesus Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa. Bagi saya, Allah juga memberikan keselamatan bagi agama lain. Hal ini memang membingungkan bagi orang-orang yang memiliki pandangan yang fundamental terhadap eksklusivitas konsep keselamatan. Namun bagi saya, hal ini adalah hal yang luar biasa. Ketika kita memahami bahwa Allah dalam Yesus Kristus merupakan Allah yang universal, maka kita akan dengan mudah menerima agama lain sebagai kawan sekerja Allah. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mereka memiliki pandangan yang pasti berbeda dengan kita sebagai orang Kristen, namun apabila kita menilik ke dalam kubu kita sendiri, kita juga bisa menemukan pandangan yang berbeda bukan hanya dari kubu yang berbeda dengan kita orang Kristen, karena dalam kubu Kristen sendiri pun kita memiliki pandangan yang terkadang amat bertolak belakang. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana cara kita mendamaikan hal ini? hal ini kiranya akan saya bahas pada sub-topik selanjutnya.
            Membangun relasi dengan agama lain bagi saya dapat membantu saya untuk lebih beriman kepada Yesus Sang Allah yang universal itu. Kita akan menemukan bahwa sebenarnya di dalam pandangan agama lain terdapat ‘potongan-potongan’ pemahaman yang tidak kita dapati sebelumnya di dalam pemahaman Kristiani. Oleh karena itu saya sekiranya setuju apa bila dikatakan diluar Kristen ada keselamatan. Konsep keselamatan sendiri mendukung pernyataan ini, karena keselamatan ditujukan bukan hanya bagi orang Kristen, namun untuk seluruh manusia di dunia. Pemahaman iman GPIB mengenai keselamatan sendiri mengatakan bahwa keselamatan yang dikerjakan Kristus terbuka bagi seluruh umat yang ada di muka bumi yang terdiri dari berbagai sukubangsa. Walaupun hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya apakah benar Pemahaman Iman GPIB ini secara eksplisit meng-eksklusif­-kan dirinya dalam pluralitas, namun nampaknya melalui pernyataan dalam pemahaman iman GPIB tadi, saya berpendapat bahwa sebenarnya GPIB sendiri memiliki keterbukaan bagi pintu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang plural, namun hal ini dikaji dalam kajian yang masih memikirkan sisi ‘kewaspadaan’ dalam mengangkat sisi pluralitas agama pada jemaat maupun orang-orang diluar jemaat yang berbeda ini, inilah yang menjadikan pemahaman GPIB menurut saya ambigu.

Pembahasan, Penilaian dan Kritik
Pluralitas[iv] adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Isu pluralitas adalah  setua usia manusia dan selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai perkembangan zaman. Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan konteks masyarakat di dunia, maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas  belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai di lapangan.
            Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada tingkat ‘benar-tidaknya’ realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan berbagai kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya) mulai mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula bersiat wajar, alamiah berubah menjadi hal yang sangat penting dan menarik.[v]
            Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agama pun pada gilirannya dipaksa harus membukakan diri untuk diliberalisasikan.[vi]
            Agama yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah juridiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih diangap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan  secara paksa) agar—menurut bahasa kaum liberal—merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta tidak sesuai lagi semangat zaman.[vii]
            Agama sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan medium budaya agar keberadaannya membumi dalam kehidupan umat pemeluknya dan ia diharapkan menjadi institusi bagi pengalaman iman kepada Tuhan. Di sini agama menawarkan agenda penyelamatan manusia secara universal, namun di sisi yang lain agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam interaksi sosialnya banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak memunculkan konflik. Pluralitas agama di satu sisi, dan hiterogenitas realitas sosial pemeluknya di sisi yang lain, tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dalam tataran tafsir atau dogma agama maupun dalam tataran aksi. Disadari atau tidak, konflik kemudian menjadi problematika kebangsaan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat pendekatan teologi normatif. Akan tetapi diperlukan pendekatan lain yaitu sikap kearifan sosial di antara kelompok kepentingan dan kalangan pemeluk paham atau agama dan pendidikan agama yang benar.
Pengertian Pluralisme Agama
Pengertian Pluralisme Agama secara etimologis berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama. Istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris; Pluralism berarti jamak’ atau lebih dari satu. Dalam kamus Oxford, pluralisme ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini:
·         Suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan.
·         Menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab pemikiran.
            Pengertian secara istilah, Pluralisme secara istilah minimal memiliki empat macam penggunaan: [1] Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan; [2] Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi agama, akan tetapi pada aras pemahaman agama; [3] Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah hakikat dan benar; [4] Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-unsur, di mana masing-masing dari setiap unsur dan bagian ini ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak memiliki satu agama yang komprehensif dan utuh, tetapi kita mempunyai keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka memiliki sebuah hakikat.
            Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha[viii] (Thoha, 2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: [i] sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, [ii] memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis, adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.[ix]
            Oleh para ahli sejarah sosial, agama lebih cenderung didefinisikan sebagai suatu institusi historis suatu pandangan hidup yang institusionalized; yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis, misalnya agama Budha dan Islam, dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada di dalam ajaran keduanya (Thoha, 2005: 13). Definisi agama yang paling tepat menurut Anis Malik Thoha adalah yang mencakup semua agama, kepercayaan, sekte, maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme, dan lainnya. Dalam bukunya, Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan John Hick:
...pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi dan bahwa tranformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.
Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Pengertian pluralisme jika dirangkai dengan agama; ‘pluralisme agama’ berarti adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agamadalam arti luasyang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing masing agama (Thoha, 2005: 14).

Sejarah dan Dampak Gagasan Pluralisme
Untuk memahami pluralisme agama, perlu ditelusuri sejarahnya, paling kurang sejak awal abad ke-20. Ketika itu seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya bersikap pluralis di tengah berkembangnya konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Dalam artikelnya berjudul The Place of Chritianity among the Word Religions, ia menyatakan, umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri.[x]
            Pendapat senanda banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen antara lain, seperti William E. Hocking dan sejarawan terkenal Arnpld Toynbee. Oleh karena itu gerakan ini dapat dikatakan sebagai ‘liberalisasi agama Kristen’ yang telah dirintis dan diasaskan oleh tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiremacher pada sekitar abad pertengahan ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan "Liberal Protestantism".       Konflik internal Kristen yang hebat ketika itu sampai mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar aliran tersebut. Pada  awal-awal abad ke-20 juga mulai bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis Kristen  di Amerika Serikat. Jadi selain konflik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat erat dengan latar belakang gagasan ini.[xi]
                Menurut John Hick, dari sejarahnya di Barat, pluralisme agama lahir sebagai sebuah reaksi atas eksklusivisme Katolik yang menurut John Hick menjadi sebab utama konfilk antar umat beragama ketika itu. Karena dianggap, fanatisme agama adalah sebab timbulnya konflik, maka tercetuslah ide bagaimana agar seluruh umat beragama, khususnya katolik dan kristen, dapat lebih menghormati dan menghargai agama lain yang tak sejalan. Tujuannya sungguh mulia, yakni demi terciptanya sebuah kerukunan antar umat beragama.
Paham ini pun semakin digencarkan persebarannya, terlebih ketika realita berbicara tentang rentannya praktik kekerasan atas nama agama. Yang kalau dulu hanya dimonopoli oleh Gereja dengan inkuisisinya, maka dewasa ini, praktik kekerasan atas nama agama lebih sering dituduhkan kepada umat Islam. Baik itu dengan tuduhan teroris, fundamentalis, maupun ekstrimis.

Sebuah Pandangan dan Permasalahan Terhadap Pluralisme Agama
Pluralisme agama merupakan istilah khas dalam teologi. Ada tiga bentuk dialog agama yang dapat diambil ketika berbicara tentang pluralisme agama: [1] sikap ekslusif dalam melihat agama lain dengan pemahaman bahwa ‘agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya’; [2] sikap inklusif yang memiliki pemahaman bahwa ‘agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita’; [3] Sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya ‘agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama’, ‘agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah’ atau 'setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran’
            Menurut kalangan struktural-fungsionalis agama dipandang sebagai institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Dengan demikian agama hanya merupakan suatu bentuk tingkah laku manusia yang dilembagakan yang berada di lembaga-lembaga sosial lainnya. Atau mengikuti kategorisasi Smith lagi, dalam dimensi demikian agama dianalisis berdasarkan pengaturan kemasyarakatannya yang mengacu pada eksistensi struktur-struktur sosio-religius yang mengatur kehidupan sosial interen umat beragama bersangkutan. Dalam konteks yang hampir sama, meminjam istilah Kung agama dengan ajaran-ajarannya tersebut dapat dibagi ke dalam empat peran yang terpisah yakni peran iluminatif (menerangi), profetis (kenabian), liberatif (membebaskan) dan transformatif (mengubah).
            Seiring dengan diskusi di atas, secara spesifik guna lebih memahami tentang fungsi agama meurut Durkheim terlebih dulu tentunya mengemukakan dua kategori definisi dan sifat agama oleh Roland Robertson (1970) yakni inklusif dan eksklusif. Definisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan ‘kesucian’ atau yang diorientasikan kepada ‘penderitaan manusia yang abadi’. Kategori ini tidak saja melihat agama sebagai sistem-sistem yang teistik yang diorganisasi sekitar konsep tentang kekuatan supranatural tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme. Sebaliknya, difinisi ekslusifisme membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan atau kekuatan supranatural. 
            Dalam kategorisasi demikian ini menurut Robertson, pengertian agama Durkheim lebih mengacu kepada definisi inklusif. Suatu agama menurut Dukheim adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci yakni hal-hal yang dibolehkan dan yang dilarangkepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting adalah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci/sakti, yakni obyek referensi, yang dihargai dan malah dahsyat.
            Kemunculan agama menurut Durkheim karena manusia hidup dalam masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting yang tak dapat dipenuhi tanpa agama. Peranan utamanya adalah sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka sekitar seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.
            Sikap Pluralisme Agama, yakni secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas, masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan; sedangkan Universalisme, yakni pandangan bahwa pada dasarnya semua agama satu dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis agama kemudian tampil dalam format plural. Di Indonesia nampaknya umat Kristen masih didominasi pandangan ekslusivisme.
            Penekanan bahwa pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama menyebabkan kebenaran setiap agama menjadi relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, agama lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di Surga.
            Pluralisme Agama berasumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Menurut penganut paham ini, semua agama (bisa jadi) punya jalan yang berbeda-beda tetapi menuju Tuhan yang sama. Mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Karena kerelatifannya itu, maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain? atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar.
            Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran persamaan agama (religious equality) ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya, sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai atau apa yang diimpikan oleh para pluralis sebagai pluralisme agama. Alih-alih menciptakan kerukuan dan toleransi, paham pluralisme agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama. Dengan dalih Piagam Hak Asasi PBB, maka semua agama harus tunduk dan patuh. 
Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran eks
klusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim ‘paling benar sendiri dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). 
Lagi pula, masalah pluralisme agama sudah menjadi kajian yang sangat luas di kalangan umat berbagai agama.
Pendidikan Sebagai Senjata Perdamaian Dalam Masyarakat Pluralis
Saat ini bermunculan beberapa solusi yang ditawarkan untuk menjalin dialog yang baik dalam masyarakat yang majemuk. Memang tidak mudah, oleh karena itu beberapa teolog dan sosiolog merasa bahwa perlu adanya satu ladang yang pas bagi tumbuh kembang dialog yang baik dalam masyarakat yang majemuk. Perdamaian, merupakan dasar yang sekiranya dapat mewujudkan dialog tersebut. Namun pertanyaannya sebenarnya dari mana kita harus memulai ‘menggarap’ ladang tersebut dan bagaimana caranya?
            Ketika melihat beberapa pemaparan dari beberapa ahli seperti John Hick dkk, saya merasa bahwa awal mula pemahaman masyarakat tentang agama mereka masing-masing adalah pendidikan agama yang mereka dapat dari berbagai institusi. Konflik sering terjadi dan sering kali lembaga-lembaga hukum dan peradilan dalam menyelesaikan konflik ini dirasa kurang memberdayakan kemampuan yang dimiliki masyarakat melalui tradisi, budaya dan kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik tersebut.
            Beberapa paradoks muncul ketika kita membicarakan bahwa di tengah-tengah bangsa Indonesia yang membanggakan ke-bhinekatunggal-annya sebagai sebuah identitas masyarakat majemuk dapat menjadi pedang bermata dua yang menjadi permasalahn dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selain itu, kekerasan sering kali dianggap sebagai sebuah jawaban akhir dalam sebuah konflik yang terjadi.[xii] Agama juga sering kali menjadi sebuah ‘pharmakon’yang dapat diartikan sebagai ‘obat’ maupun ‘racun’ bagi kehidupan yang pluralis ini.[xiii] Namun melalui pendidikan yang benar mengenai agama, orang diajak untuk mengenal dengan pemahaman yang benar akan nilai-nilai yang universal dalam ranah perdamaian.
                Pendidikan model Paulo Freire akan membantu naradidik dalam memahami dan mendialogkan nilai-nilai dan pemahaman akan tradisi keagamaan yang mereka punya. Freire juga sekiranya mengatakan bahwa pendidikan janganlah menjadi begitu teoritik. Menurutnya, naradidik yang pasif bukanlah pendidikan yang baik. Naradidik seharusnya dapat merespon dan berpartisipasi dalam pendidikan kepada realitas yang dikemukakan.[xiv] Dengan demikian Jozef mengusulkan agar pendidikan agama tersebut sebaiknya tidak hanya bersikap pluralis tetapi juga sekaligus inklusif dan eksklusif dengan tetap melihat konteks kehadiran pergumulan naradidik di tengah masyarakat, secara khusus masyarakat plural. Dengan begini, pendidikan sebagai senjata perdamaian akan membangkitkan aspek psikomotorik dan sertif/afektif naradidik, bukan hanya bersifat kognitif teoritis saja.
            Knitter menjelaskan bahwa kita bukannya menuju kesatuan absolut atau monistik dengan menjalin suatu dialog dengan pemahaman tentang kebenaran yang lain tetapi menuju kepada apa yang disebut “pluralitas yang menyatukan” – saya menyebut hal ini sebagai “Partikular Oikumenis” atau kata lain Knitter adalah “pluralitas yang membentuk persatuan”.[xv] Menurut Hick, berbagai agama manusia ini terdiri dari berbagai cara mengalami, memahami, dan hidup dalam hubungan dengan sesuatu Yang Nyata sempurna dan ilahi, yang transenden terhadap semua keberagaman versinya.[xvi] Oleh karena itu kita bukannya ragu-ragu dan tidak konsisten dengan paham kebenaran Iman kita sendiri namun kita harus mengingat bahwa Iman kita bertumbuh ditengah-tengah pluralitas agama yang sangat nyata. Nah, cara kita mewujudkan tugas kita sebagai orang Kristen yang menyatakan kasih yaitu dengan tetap mensyukuri dan menghargai perbedaan yang ada dan menjalin dialog dengan baik untuk menciptakan pribadi-pribadi yang religius secara antar-agama serta mewujudkan shalom dengan pengenalan yang benar akan dialog dalam menanggapi kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Karena menurut saya, kita harus menjalankan Kehendak Allah. Bagi saya Kehendak Allah adalah mengimplikasikan Kasih dalam kehidupan dengan targetnya yaitu Shalom.

Daftar Pustaka
Derrida, Jaques., Dissemination. Chicago: The University of Chicago Press, 1981.
Freire, Paulo., Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia, 1984.
Hick, John., An Interpretation of Religions: Human Responses to the Transcendent. New Haven: Yale University Press, 1989.
Hornby, A.S. et.al., The Advanced Learner's Dictionary of Current English. Oxfort: Oxford University Press, 1972.
Jurnal Teologi Gema Duta Wacana: Pendidikan Keimanan., Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, edisi No. 58 tahun 2003.
Knitter, Paul F., terjemahan Nico H. Likumahuwa.  Pengantar Teologi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Majalah Media Dakwah., Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, edisi No. 358 Sya'ban 1426 H- September 2005
Saifuddin., Upaya Mempertemukan Realitas Dalam Pluralitas Sosial Budaya,. Jurnal Suhuf , No.01 Tahun XII, 2000.
Suparno, Paul., Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Suseno, Frans Magnis., Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004.
Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Cetakan Pertama. Jakarta: Perspektif, 2005.


[i] Dr. Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 88.
[ii] Lihat lampiran
[iii] Ketika masyarakat sudah berkumpul, suara gamelan dihentikan sejenak dan diganti dengan dakwah, wejangan, dan pengetahuan tentang ajaran Islam sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Bagi masyarakat yang belum memeluk agam Islam tetapi ingin memeluk agama Islam harus mengucapkan Rukun Islam yang pertama yaitu mengucapkan kalimah syahadat atau kalimat kesaksian. Berhubung kalimah syahadat tersebut ada dua hal maka disebut kalimah syahadatain, yang kemudian terkenal dengan istilah Sekaten. Sekaten adalah peristiwa budaya dan religi yang sangat penting. Gunungan menjadi simbol sedekah Sultan kepada rakyat yang dibuat dari hasil pertanian (simbol kesejahteraan masyarakat). Antusiasme masyarakat terhadap acara Garebeg Sekaten ini tidak hanya terbatas pada daerah Yogya saja, tetapi sudah meluas hingga ke pelosok Jawa. Mereka rela berdesakan berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan tersebut. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa apabila bisa berhasil mendapatkan gunungan tersebut, rejeki untuk tahun ini akan berlimpah. Hasil wawancara bersama H. RM. Tirun Marwito selaku Pengageng II Tepas Dwarapura Keraton Nayogyakarta Hadiningrat Abdi Dalem Kerajaan dan Kehumasan di rumahnya yang bertempat tepat di sebelah keraton Yogyakarta ketika mengikuti mata kuliah Sosiologi Agama.
[iv] Pluralitas adalah sebagai menerima perbedaan atau menerima perbedaan yang banyak". Dalam konteks pengunaan kata pluralitas pada makalah ini penulis mengartikannya sebagai keberagaman termasuk keberagaman agama.
[v] Saifuddin, Upaya Mempertemukan Realitas Dalam Pluralitas Sosial Budaya, (Jurnal Suhuf , No.01 Tahun XII, 2000), hlm. 70.
[vi] Anis Malik Thoha, Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralistik Agama,  Makalah Workshop Pemikiran Islam dan pemikiran Barat, Pasuruan 4-5 April 2005), hlm. 60.
[vii] Ibid., hlm. 65.
[viii] Seorang Assistant Professor di Department of Ushuluddin and Comparative Religion, Kulliyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islamic University Malaysia (IIUM)
[ix] Pluraisme berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang atau bentuk kata yang digunakan untuk menunjukan lebih daripada satu (form of word used with reference to more than one). Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari  banyak makhluk. Istilah ini sering dilawankan dengan monotheisme yang menekankan  kesatuan dalam banyak hal atau dualisme yang melihat dunia  terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme terbagi kepada physica monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme bahwa seluruh alam adalah benda dan mental monoisme atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau idea. Pada dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat dunia terbagai kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind)  dan benda (mater). Pada Pluralisme, segala hal dilihat sebagai banyak. Lihat A.S. Hornby et.al., The Advanced Learner's Dictionary of Current English (Oxfort: Oxford University Press, 1972), hlm. 744.
[x] Paham pluralisme agama menurut Frans Magnis Suseno, dalam bukunya Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Obor, 2004) yang dikutip Adian Husaini di tolak gereja Katholik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan  Dominus Yesus. Dalam penjelasan ini di samping menolak paham pluralisme agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang  bisa ke Bapa kecuali melalui Yesus. Lihat tulisan Adian Husaini, Islam Liberal Paska Fatwa MUI, dalam majalah Media Dakwah, Edisi No. 358 Sya'ban 1426 H-September 2005, hlm. 47.
[xi] Anas Malik Toha, Wacana…., op.cit.,  hlm. 50.
[xii] Jozef M. N. Hehanussa, Pendidikan Perdamaian Sebagai Model Pendidikan Keimanan Berwawasan Pluralistik, dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana ed. 58 tahun 2003, hlm. 112.
[xiii] Hal ini juga dipaparkan oleh Jozef M. N. Hehanussa dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana yang berjudul Pendidikan Perdamaian Sebagai Model Pendidikan Keimanan Berwawasan Pluralistik, yang menyebutkan bahwa Agama di satu sisi dapat dikatakan sebagai sumber perdamaian, tetapi di sisi lain dapat menjadi sumber konflik. Kata ‘pharmakon’ sendiri sebenarnya digunakan Jacques Derrida dalam mengumpamakan ‘aksara’ dalam pemahaman Platon mengenai ceritanya dalam kisah perjumpaan Dewa Teuth dengan Baginda Raja Thamus. Derrida, Jaques, Dissemination (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), hlm. 75.
[xiv] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 5.
[xv] Paul F. Knitter, terj. Nico H. Likumahuwa,  Pengantar Teologi Agama-agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 15. 
[xvi] John Hick, An Interpretation of Religions: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), hlm. 14 dan 235-36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar