Senin, 10 Januari 2011

The Other Side of The Sky

Dalam antologi refleksi ini, kami akan menyajikan penggalan ungkapan – dan peristiwa yang ada di belakangnya – yang kami pilih atas dasar refleksi dalam diri kami masing-masing yang walaupun kami menyadari bahwa adanya keragaman karena refleksi yang di dalamnya mengandung perasaan dan tanggapan yang muncul dan diangkat berbeda namun tanpa memisahkan keterkaitan di dalamnya. Kami berharap melalui kedua bentuk refleksi dan pemaparn kami ini, para pembaca dapat merenungkan dan merefleksikan kembali juga tulisan yang telah kami tuangkan dalam seberkas tinta di atas kertas ini.

1.    Tentreming Manah
 (Refleksi atas tulisan  Farah Ahmedi oleh Petrus Santosa)

”Inilah dunia, kita harus memberikan yang terbaik dari apa yang bisa kita lakukan”[1]

Farah Ahmedi, salah seorang perempuan yang  menghayati kehidupan dengan positif. Ia kehilangan kaki kiri karena ranjau, umur tujuh tahun, ketika berangkat sekolah  di Afganistan setelah kejatuhan kekuasaan Uni Soviet jatuh ke tangan Taliban dan terus dalam situasi peperangan. Ia mendapat pertolongan dokter Afganistan, namun karena tidak ada alat medis yang memadai dirujuk ke Jerman. Di Jerman ia dikasihi seorang wanita. Kembali ke Afganistan, kehilangan dua saudara perempuan dan ayahnya – meninggal dunia – serta kedua saudara laki-laki – keterpisahan tanpa pertemuan. Kemudian mendapat pertolongan Tuhan untuk terlepas dari dunia peperangan, dan tinggal di Chicago Amerika Serikat.   
Sepenggal kalimat di atas merupakan kata-kata ayah Farah, saat ia baru pulang dari Jerman, guna berobat. Dalam cerita itu nampak ia mengalami shock cultural, dikarenakan ia sekitar satu tahun setengah di Jerman dan merasa nyaman di sana sehingga pada waktu ia kembali ke Afganistan, ia merasa “benci” kepada budayanya sendiri. Kalimat ini membangkitkan semangatnya untuk mengahayati kehidupannya di Afganistan dengan positif. Farah bersedia memakai kembali pakaian khas Afganistan. Melalui orang tuanya ia kembali mendapati rasa cinta tanah airnya. Nampak sebuah pergumulan yang dalam ketika ia pernah mengalami hidup damai di negeri orang, sekarang ia kembali ke negara yang merenggut salah satu kakinya. Dari petikan ungkapan di atas bukan hanya menunjukan shock cultural, namun juga menampakkan keberanian untuk menghadapi kenyataan – Inilah dunia – yang tidak selamanya sesuai dengan angan setiap orang. Betapa perih kenyataan di dunia ini, hadapilah dengan keberanian - kita harus memberikan yang terbaik dari apa yang bisa kita lakukan – dalam upaya maksimal.
Meminjam istilah dari buku 7 Habits of Highly Teens, dalam ungkapan ini menampakan pemahaman sesorang tentang Circle of no Control and Circle of Control. Bagian dari yang ada di luar ranah kontrol seseorang – inilah dunia – merupakan kenyataan yang “ada” dan terjadi dan bagian yang ada dalam ranah kontrol seseorang – kita harus memberikan yang terbaik dari apa yang bisa kita lakukan – merupakan upaya seseorang untuk menghayati kenyataan yang ‘ada’ dan mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan dalam kenyataan tersebut. Memang pemikiran ini terkesan pasif, namun ada pemikiran aktif juga di dalamnya, yakni ‘memberikan apa yang terbaik’ guna melanjutkan menghayati kehidupan. Aktif dalam hal perubahan paradigma – membangun prinsip hidup – yang merupakan dasar dari tindakan.
Ketika melihat teks ini dalam kerangka pribadi saya memberikan inspirasi bahwa kehidupan adalah sebuah misteri yang terus bergerak dan unpredictable dengan kekuatannya. Bahkan ada banyak hal yang membuat diri kehilangan ‘harap’ akan dunia yang lebih baik. Dua pemikiran yang muncul dari teks antara tragedi dan harapan. Harapan memberikan kekuatan tersendiri guna menghayati dan menjalani setiap tragedi[2] kehidupan dengan ‘kepala tegak’. Dengan harapan juga memberikan fokus yang jelas, pandangan saya tertuang untuk melihat hal yang ada dalam ranah kontrol saya. Ketika ada dalam pendidikan teologia saat ini, hal ini mengajarkan hal baru yang berguna ketika kelak menjadi pendeta, yakni konsep pemahaman teologis akan kenyataan kehidupan dan penghayatan dalam panggilan kependetaan. Kehidupan tidak menjanjikan langit yang terus cerah dan juga tidak selamanya mendung. Seperti falsafah Jawa dalam menghayati kehidupan, yakni dalam kehidupan ada kenyataan sedih dan bahagia. Dalam menghadapi kenyataan tersebut bukan untuk mengalahkan salah satu, melainkan respon yang terpenting ialah menghayatinya dalam kerangka mencari “tentreming manah” – kedamaian hati[3]. Karena dalam pemahaman Jawa, kenyataan itu tidak terpisahkan dan setiap orang yang hidup pasti menghadapinya. Dalan pengajaran teologis, yang ada bukanlah pengajaran tentang sebuah pelarian dengan suara ‘bermanis-manis yang membius’ para pendengarnya, melainkan mengajarkan kenyataan kehidupan dan berorientasi – dalam pengajarannya – penghayatan akan setiap kehidupan.
Relasi dengan judul teks, The Other side of the sky, ialah relasi dalam hal tema besar dan penjabaran yang dapat dijelaskan demikian bahwa inilah dunia dengan segala sisinya – other side – dalam segala kenyataannya. Ada harapan akan kenyataan yang lain di bawah sisi langit yang lain. Dan – other side – adalah kenyataan dunia yang mengharuskan (kita) untuk menghadapi dan menghayatinya dalam segenap jejak langkah. Dengan ungkapan, bahwa “seorang pahlawan ialah mereka yang menghidupi dan menghayati panggilannya  di dunia dengan keberanian – keberanian pada saat kelam maupun riang bahagia – dan kebesaran jiwa. [PhS]


2.    The Power of Acceptance in Hope
(Refleksi atas tulisan  Farah Ahmedi oleh August Corneles Tamawiwy)

”Terimalah jalan hidupmu dengan liku-likunya. Petulangan justru terletak pada saat perjalanan, bukan pada saat tiba.”

Sungguh menarik apabila kita berpikir tentang makna yang terkandung dari tulisan Lisa Engelhardt di atas dalam bukunya yang berjudul Terapi Penerimaan[4]. Kata-kata refleksi ini merupakan suatu cara pandang orang-orang ‘sukses’ yang berpengharapan besar dalam Alkitab. Tema yang saya tuangkan ini secara singkat akan mengangkat kedua tipe kemahaklisean dan kemahautopisan seseorang yang biasanya secara tidak kita sadari, kita terjerat di dalamnya dengan menghubungkan bahan bacaan dari The Other Side of The Sky – yang secara garis besar telah diceritakan oleh Petrus Santosa diatas – dan  kisah di dalam Alkitab.
Memang tema yang saya angkat terkesan biasa saja. Hal ini dikarenakan kita seringkali kurang merasakannya. Padahal kita tahu bahwa ada orang-orang yang hidupnya tidak diisi oleh sebuah harapan. Orang bisa saja hidup tanpa asa, tanpa gugahan dan nilai yang mereka temukan di dalam hidupnya. Seringkali mereka merasakan penderitaan, kekurangan bahkan ketidakadilan yang membuat orang tersebut merasa hidup ini tidak ada artinya lagi dan mereka hidup hanya sekedar menjalani hidupnya saja. Ini adalah tipe orang-orang yang ‘terkekang’ dalam rantai ketawaran hidup.
Ada juga orang yang hidup hanya melalui pengharapannya saja dan jatuh dalam ‘keterkekangan’ rantai keutopiaannya. Orang ini biasanya selalu merasa tertekan dengan keinginan masa depan, harapan dan impian-impian mereka sendiri tanpa menghayati, menyadari dan menikmati ‘proses’ kehidupan mereka. Mereka mencari cara bagaimana agar tercapainya kehidupan yang mereka inginkan tanpa adanya ‘proses’ yang dilaluinya.
Seringkali kita berpikir bahwa jalan hidup yang kita lalui bukanlah jalan hidup yang kita pilih seandainya ada pilihan bagi kita – hal ini juga saya sendiri alami melalui refleksi saya. Lalu karena itu kita sering merasa ‘terpaksa’ menjalani kehidupan kita ini. Wajarlah apabila kita sering tidak puas dan marah kepada diri kita sendiri, kepada orang lain yang membuat kita merasa bahwa merekalah penyebab persoalan kita, kepada  situasi yang sering kita persalahkan dan bahkan kepada Tuhan yang menciptakan dan memberikan kehidupan kita sekarang. Sebagai objek penderitaan, kita sering mencari-cari subjek yang memberikan penderitaan kepada kita untuk kita persalahkan. Walaupun demikian, sulit bagi kita mencari subjek pelaku penderitaan tersebut. Dan oleh karenanya kita sering menciptakan dan ‘mengkambing-hitamkan’ subjek kita sendiri agar segala kegeraman dan amarah serta balas dendam kita terluapkan. Orang kemudian hidup dalam kekejaman, kemarahan, kekerasan, egosentris, kejahatan dan menjadi pengecut yang menyebabkan kesemuan terhadap hidup yang berpengharapan.
Pokok permasalahannya adalah ketawaran dan keutopiaan yang sekian lama – bahkan dari zaman Alkitab – telah menjadi akar kerusakannya. Memang tidaklah mudah lepas dari kedua kekangan ini. Bahkan parahnya lagi apabila kedua hal ini sudah menjadi comfort zone kita. Dan yang seringkali terjadi adalah kita baru ‘kembali’ setelah kita sadar bahwa kita sudah ‘terlalu jauh melangkah’. Hal ini yang membuat orang susah untuk lepas dari keduanya. Kita secara tidak sadar akan mencari dan mendeteksi penyebab ketawaran dan keutopiaan kita dan pada akhirnya akan menemukan bahwa penyebab yang kita temukan adalah hidup kita.[5] Oleh karena itu kita harus melangkah dari satu saat dimana kita ‘terlalu jauh melangkah’ untuk ‘kembali’ ke saat dimana kita memulai hidup kita dengan penerimaan akan kesalahan kita yang dahulu telah menyebabkan kita ‘terlalu jauh melangkah’ untuk memulai kembali langkah sesungguhnya yang penuh dengan penerimaan dalam pengharapan dan proses menuju kehidupan yang lepas dari ketawaran dan keutopiaan.
Dalam 2 Samuel 12:1-17 diceritakan bahwa Daud berselingkuh dengan Batsyeba dan menghamilinya yang mengakibatkan pembunuhan terhadap suaminya yaitu Uria. Saat Daud memperistri Batsyeba melalui Nabi Natan, Tuhan menegurnya dan menjatuhkan berbagai hukuman terhadapnya. Salah satunya adalah anaknya dalam kandungan Batsyeba akan mati. Hal ini menarik karena Daud merespon Tuhan dengan berkata, “Aku sudah berdosa kepada Tuhan” (ayat 13). Anak Daud dan Batsyeba itupun sakit (ayat 15). Pada ayat-ayat berikutnya diceritakan bahwa Daud memohon kepada Tuhan oleh karena anak tersebut. Ia hanya berbaring di tanah dan berpuasa dengan tekun. Tua-tua memintanya untuk bangun, tetapi ia menolaknya. Pegawai-pegawainya takut memberitahu Daud bahwa anaknya telah mati. Mereka takut Daud mencelakakan dirinya sendiri apabila mengetahui bahwa anaknya tersebut telah mati. Namun apa yang dilakukan Daud setelah mengetahuinya? Ia bangun dari lantai, mandi, berurap dan berganti pakaian setelah itu ia masuk ke dalam bait suci dan menyembah Tuhan lalu makan roti di rumahnya. Pegawai-pegawainya bertanya, mengapa saat anaknya masih hidup Daud begitu sedih hingga berpuasa dan berbaring di lantai namun saat anaknya telah mati ia bangun dan makan? Daud berkata bahwa saat anaknya hidup ia meminta agar Tuhan mengasihinya supaya anaknya tetap hidup namun apa gunanya apabila sekarang anaknya sudah mati? (ayat 16-23)
Kita melihat bahwa Daud secara penuh menerima dan berharap kepada Tuhan dalam realitas demi realitas yang terjadi di depannya. Karena hal itulah ia dapat melepaskan momen-momen di belakangnya untuk menghadapi secara utuh dan bersiap untuk momen-momen selanjutnya dalam kehidupannya. Namun tanpa melupakan momen di belakangnya sebagai pembelajaran untuk menghadapi momen selanjutnya. Ada yang dilepas dan ada yang disambut namun keduanya dibingkai dengan kesungguhan keutuhan dalam menjalaninya. Keutuhan inilah yang Daud serahkan kepada Tuhan dan menjadikannya bingkaian yang mendamaikan. Memang kita tahu bahwa Tuhan menghajar dan menghukum Daud, namun Tuhan jugalah yang menghibur Daud dan memberikan kesempatan demi kesempatan selanjutnya kepadanya (ayat 24,25).
Begitu jugalah halnya dengan yang dialami oleh Farah Ahmedi dalam kisahnya The Other Side of The Sky. Farah tidak terjebak dengan ketawarannya saat mengetahui bahwa kaki kirinya hilang akibat ledakan ranjau yang dilaluinya atau oleh karena ayah, kedua saudari perempuan dan kedua saudara lelakinya tiada. Walaupun sangat sulit sekali menerimanya, namun ia menerima dengan kesungguhan. Ia juga tidak terjebak dalam keutopiaannya saat ia berada di Jerman. Walaupun sulit untuk tidak terjebak dalam keutopiaannya – dengan ia mengeluh kepada ayahnya dan mengajaknya tinggal di Jerman – namun ia berhasil menyadari dan melaluinya. Ia tetap memiliki pengaharapan akan hidup yang lebih baik namun melalui proses yang begitu panjang dan berat. Ia bisa saja hidup dengan lebih baik tanpa proses yang panjang dengan mengikuti keutopiaan yang ia rasakan saat di Jerman, namun belum tentu kisahnya akan tertulis di dalam bukunya dan menjadi inspirasi dan motivasi bagi banyak orang.
Daud dalam kisahnya menjadikan Tuhan sebagai arahan hatinya, begitu juga Farah. Spiritualitas yang senantiasa mengarahkan hati kepada Tuhan sembari terjun ke dalam realitas inilah yang harus kita kembangkan. Suatu pemuridan batin sendiri yang biasa disebut dengan ‘menjaga hati’. Realita yang datang dan pergi dapat diatasi dengan kualitas batin yang siap menjalani kehidupan setuntas-tuntasnya inilah yang perlu kita kembangkan. Tidak ada jaminan bahwa jalan kita yang selanjutnya tidak ada batu sandungan yang tajam atau lurus seperti high way. Namun dengan Hesychia[6], kesempurnaan sebaiknya dipandang sebagai pertalian yang erat dengan kasih Tuhan yang dihasilkan dengan tiada hentinya berdoa yang memungkinkan kontemplasi. Jangan cemas dan waspada serta satukan hati kita kepada Tuhan.
Seperti dalam 7 Habits of Highly Teens, kita mempunyai Power of Willing untuk memilih kita ada di posisi mana seperti halnya Daud dan Farah Ahmedi. Apakah kita akan terus terkekang dalam ketawaran kehidupan, terkekang dalam keutopiaan yang tak berujung ataukah kita mau mengarahkan hati kita kepada Tuhan dengan Power of Acceptance in Hope yang Ia berikan kepada kita? God said, “It’s all up to you man!”[AcT]

Melihat dunia dalam segala kenyataannya, berarti menerima semua kenyataan dan menghayatinya sebagai suatu anugerah. Satu hal yang sulit, namun bukanlah suatu yang mustahil. Berangkat dengan pengalaman, pemahaman serta peghayatan akan kenyataan, menggali makna kehidupan yang positif. Kekuatan batin menjadi faktor penting di dalam menjalani kenyataan.[]


Asrama Kristen Duta Wacana U317
Dipersembahkan untuk keempat peri yang telah membimbing kami selama ini


[1] Artikel Farah Ahmedi, The Other Side of the Sky, p. 124
[2] Istilah yang sering dipahami secara negative yakni kenyataan/keadaan yang terjadi tidak menyenangkan. 
[3] Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi, PT Midas Surya Grafindo, 1989: Jakarta. P. 416
[4] Lisa Engelhardt. Terapi Penerimaan. Jakarta: OBOR.
[5] Walaupun tentu ada penyebab dari luar yang terkadang kita tidak mengetahui asalnya dan menimbulkan banyak pertanyaan di dalam pikiran kita. Namun, apapun hal itu, kita akan tetap memunculkan pengakuan bahwa inilah kehidupan kita. Walaupun ‘begitu jauh kita melangkah’ namun kita akan tetap menyadari untuk ‘kembali’ seutuhnya.
[6] Berasal dari kata Hesychasm (Dalam bahasa Yunani : συχασμός, hesychasmos, dari συχία, hesychia, yang berarti "diam, istirahat, tenang, diam"). Dalam konteks ini berarti pengalaman bahwa rahmat Tuhan itu menenangkan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar