Senin, 10 Januari 2011

Mana Lebih Baik: Menikah atau Selibat? (SCP)

Sebuah tinjauan dan model penerapan Shared Christian Praxis 


Bahan              : I Korintus 7:25-40
I. Aktifitas Terfokus (AT)
I.1. Tinjauan Konsep Aktifitas Terfokus
Mengarahkan peserta kepada ‘keberadaan’ mereka dalam ruang dan waktu, kepada praksis mereka serta menetapkan suatu fokus bagi kurikulum (Pendidikan Kristen) merupakan suatu tujuan dari Aktifitas Terfokus.[1] Terdapat dua aspek dalam Aktifitas Terfokus: [1] tema generatif; [2] lingkungan belajar/mengajar kondusif.
         Menurut Thomas H. Groome, Tema Generatif adalah beberapa isu historis—berupa pertanyaan, nilai, keyakinan, konsep, peristiwa, situasi, dan lain sebagainya—yang dapat menarik para peserta untuk terlibat secara langsung karena tema itu penting dan berarti bagi kehidupan mereka.[2] Sejatinya para peserta terlibat secara langsung dan eksplisit (vocal participation) dalam pemilihan tema generatif, namun bisa juga fasiitator yang menentukan tema generatif—dalam hal ini, para peserta tetap terlibat secara tidak langsung (tacit participation) daam pemilihan tema generatif karena praksis masa kini merekalah yang dijadikan titik tolak pemilihan tema generatif oleh fasiitator.[3]
         Fasilitator juga bertanggungjawab untuk menciptakan lingungan psikososial dan fisik yang kondusif. Memunginkan peserta untuk merasa ‘nyaman’ (at home)—merasa diterima dan empati terhadap praksis masa kini mereka—merupakan lingkungan psikososial mereka. Sedangkan lingkungan fisik yang kondusif meliputi aspek lingkungan yang nyaman dan memungkinkan kontak mata dari setiap peserta, membuat para peserta sadar akan ‘keberadaan fisik’ (physical presence) tiap peserta yang lain.
I.2. Penerapan Aktifitas Terfokus
I.2.A. Memilih Tema Generatif
Bacaan terambil dari I Korintus 7:25-40. Maka yang menentukan tema generatif adalah fasilitator. Dalam hal ini, fasilitator dituntut untuk mempertimbangkan dua hal, bahan bacaan dan praksis masa kini peserta PA. Dalam PA kali ini, pesertanya diikuti oleh pemuda dengan usia 25-30 tahun yang secara nyata berada dalam tahap perkembangan mental kognitif (Jean Piaget) dan tahap perkembangan psikososial (Erik H. Erikson).
         Bahan bacaan I Korintus 7:25-40 seringkali menjadi sebuah prolematis bagi para pemuda Kristiani. Orang Kristen seringkali dengan antusiasme yang tinggi meyakini bahwa sejarah kehidupan manusia diawali dengan sebuah ’pernikahan’ antara Adam dan Hawa. Pernikahan menjadi sebuah keharusan dalam menggenapi ide penciptaan Allah yang sempurna. Melalui hal ini, seringkali kita melihat bahwa kehidupan ’normal’ manusia adalah apabila ia menikah, jika tidak maka ia (akan) dianggap manusia yang tidak normal. Hal ini yang menjadi permasalahan karena pernikahan tidak lagi dianggap sebagai sebuah bahtera yang tercipta dari sebuah komitmen antara suami-istri. Pernikahan hanya dianggap sebagai sebuah ”formalitas” semata supaya manusia dapat mempertahankan status quo ke-’normal’-an mereka sebagai manusia. Ini yang juga menjadikan pernikahan yang dibangun itu bukan menciptakan sebuah keharmonisan, sebaliknya diwarnai oleh banyak ketegangan sebagai akibat pernikahan yang bersifat ’paksaan’ legal.
         Tidak dapat kita pungkiri juga terdapat banyak pribadi yang seiring perkembangan jalan memiliki keputusan untuk melajang (selibat). Seiring dengan kenyataan ini, banyak orang-orang yang belum mengerti sepenuhnya mengapa seseorang memutuskan untuk membujang dan sebaliknya, ada juga orang-orang yang belum sepenuhnya mengerti mengapa seseorang memilih untuk masuk ke dalam kehidupan pernikahan yang tentu tidak bebas dari persoalan-persoalan hidup berkeluarga. Melalui hal ini, fasilitator berasumsi bahwa judul PA ”Mana Lebih Baik: Menikah atau Selibat?” sudah menjangkau ranah tema (yang) generatif melalui pembahasan bahan bacaan dan praksis masa kini para peserta.
I.2.B. Menciptakan Lingkungan yang Kondusif
Untuk mencipatakan lingkungan psikososial yang kondusif, fasilitator akan memulai kegiatan PA ini dengan kegiatan bernyanyi atau ice-breaking untuk mencairkan suasana. Lingkungan fisik akan mendukung apabila sebelum acara dimulai, fasilitator mengatur tata ruang kegiatan PA itu sedemikian rupa sehingga tercipta suasana ’nyaman’ (at-home), misalnya dengan ber-lesehan dengan posisi membentuk sebuah lingkaran yang memungkinkan para peserta untuk dapat melihat peserta lainnya—termasuk fasilitator.

II. Gerakan 1: Ekspresi Praxis Masa Kini
II.1. Tinjauan Konsep Gerakan 1
Gerakan 1 ini bertujuan agar peserta mampu mengekspresikan beberapa aspek dari praksis masa kini mereka (sendiri) atau masyarakat mereka. ’Ekspresi’ maksudnya adalah adanya sebuah penekanan bahwa aktivitas gerakan 1 dapat direalisasikan bukan hanya dengan kata-kata.[4]
         Ada dua hal yang senantiasa harus diperhatikan dalam gerakan 1 ini, yaitu: [1] sebisa mungkin setiap peserta memiliki kesempatan untuk mengekspresikan praksis masa kininya setidaknya kepada satu orang peserta yang lain. Namun hal ini juga bukan berarti ’harus mengekspresikan praksis masa kininya’ namun ’harus memiliki kesempatan’—setiap peserta berhak untuk tidak mengekspresikan praksis masa kininya.[5] [2] fasilitator tidak bisa menggunakan segala taktik koersif—yaitu memaksa masing-masing peserta untuk berekspresi. Mungkin akan ada peserta yang kurang nyaman dan aman jika harus mengekspresikan praksis masa kininya kepada peserta lain atau kepada fasilitator, ia dapat diarahkan untuk menulis sebuah catatan pribadi agar terciptanya sebuah dialog antara si peserta yang bersangkutan dengan dirinya sendiri. Jika ada peserta yang bungkam, seorang fasilitator harus berperan sebagai katalis dengan menghargai ’cara’ partisipasi dan ’cara’ belajar masing-masing peserta karena mungkin saja ia melibatkan dirinya secara utuh ke dalam dialog ketika sedang memperhatikan dengan seksama ekspresi-ekspresi yang dibuat peserta lainnya.
II.2. Penerapan Konsep Gerakan 1
Sebelum melakukan Gerakan 1, jika jumlah peserta terlalu besar fasilitator dapat membaginya dalam beberapa kelompok. Misalnya saja 20 orang, fasilitator dapat membaginya menjadi 5 kelompok yang terdiri dari 4 orang.
         Diharapkan dalam gerakan 1 ini peserta dapat ’mengekspresikan’ pengalaman-pengalaman mereka yang terkait dengan pernikahan dan selibat (melajang). Di sini tidak terbatas pada pengalaman langsung semata, namun dapat juga pengalaman dari cerita-cerita yang didengar peserta dari orang lain atau informasi lain dari media mana saja.
         Selanjutnya fasilitator mengajukan beberapa pertanyaan yang sifatnya open ended (terbuka). Misalnya:
Mari kita sama-sama membagikan cerita tentang pengalaman kita mengenai pernikahan dan selibat. Bagaimana pendapat saudara/i mengenai orang yang memutuskan untuk menikah dan selibat selama ini?
Mengingat bahwa peserta tidak hanya bisa mengekspresikan pengalamannya melalui kata-kata namun dengan berbagai media maka fasilitator bisa juga mengajukan ”tugas” seperti:
Sekarang banyak kita temui teman-teman bahkan keluarga kita yang memutuskan untuk menikah dan membangun sebuah bahtera keluarga, ada juga orang-orang yang memutuskan untuk hidup sendiri atau selibat. Tanggapan seringkali miring kepada orang-orang yang selibat karena dianggap tabu untuk dibicarakan. Sekarang saya ingin mengajak saudara/i untuk menggambarkan dua gambar. Yang pertama adalah gambar sepasang suami istri dan yang kedua gambar orang (laki-laki atau perempuan) yang sedang sendiri beserta ekspresi wajahnya masing-masing.
Diharapkan dengan kegiatan ”menggambar ekspresi” tersebut, para peserta dengan lebih leluasa mengekspresikan dua hal, yaitu: [1] sisi pengalaman mereka yang belum seluruhnya dapat dituangkan dalam kata-kata maupun [2] sisi pengalaman mereka yang tidak ingin diungkapkan dalam kata-kata. Terkadang fasilitator perlu menjadi orang pertama yang memaparkan pengalamannya kepada peserta. Hal ini sangat membantu ketika tema generatif yang dibawakan terkait dengan hal yang tabu seperti ’masokis’[6].
         Fasilitator sebaiknya memperhatikan bahwa adanya perbedaan ’personal’ dan ’privat’. Fasilitator harus berusaha untuk menghantarkan para peserta pada ekspresi praksis masa kini peserta tanpa melanggar privasi mereka.[7] Oleh sebab itulah fasilitator juga sebaiknya menghargai pentingnya saat-saat diam (time of silence). Hal ini dikarenakan saat-saat itu dapat menjadi saat yang paling efektif bagi peserta untuk berdialog dengan diri mereka sendiri namun juga dengan pengalaman-pengalaman yang dibagikan oleh peserta lainnya.[8]

III. Gerakan 2: Refleksi Kritis atas Praxis Masa Kini
III.1. Tinjauan Konsep Gerakan 2
Membawa peserta kepada kesadaran yang kritis akan praksis masa kini dengan mengenali muasal personal maupun sosialnya, memahami alasan-alasan di baliknya, mengandaikan bagaimana mereka dapat mengubahnya di masa yang akan datang lalu menguji kedalaman pemahaman mereka dalam suatu komunitas yang dialogis merupakan tujuan dari gerakan 2.[9] Dalam gerakan 1 peserta melakukan ’kodifikasi’ terhadap pengalaman sedangkan gerakan 2 melakukan ’dekodifikasi’ terhadap pengalaman tersebut. Gerakan ini meliputi:[10]
1.      Penalaran Kritis Pribadi
·   Penalaran Kritis Pribadi
Berarti melihat kepada apa yang tengah terjadi, bertanya kepada diri sendiri tentang mengapa hal itu terjadi dan bagaimana hal itu terjadi? Mengapa kita melihat hal itu demikian?
·   Penalaran Kritis sebagai Analisis Sosial
Berarti mempertanyaka pengaruh dari luar pribadi (sosial) misalnya bagaimana praksis masa kini dapat dipengaruhi dan dibentuk oleh sistem sosial yang melingkupinya?
2.      Anamnesis Analitis Pribadi dan Sosial
·   Anemnesis Analitis atas Biograi Pribadi
Berarti para peserta mencoba mengungkapkan dan memahami bagaimana ’biografi’ pribadi mereka membentuk dan mempengaruhi baik praksis masa kini pribadi maupun masyarakatnya.
·   Anemnesis Analitis sebagai Asal-Muasal Sosial
Peserta mengingat kembali lapisan asal-muasal sejarah sosial apa saja yang mempengaruhi praksis masa kini.
3.      Imajinasi Kreati Pribadi dan Sosial
·   Imajinasi Kreatif Pribadi
Fasilitator dituntut untuk mengundang peserta dalam [1] mengimajinasikan semua konsekuensi praksis masa kini mereka; [2] membayangkan bagaimana suatu aspek masa kini mereka dibentuk kembali demi memajukan kesejahteraan semua.
·   Imajinasi Kreatif yang Mengarah pada Masyarakat
Terpusat pada suatu tema atau simbol generatif yang memampukan peserta mengenali semua konsekuensi, membayangkan apa yang sebaiknya dibentuk kembali dari praksis sosialnya. Membantu peserta agar juga sadar untuk terlibat dalam transformasi sosial.
Dalam pelaksanaannya, gerakan 2 ini sebaiknya seorang fasilitator mengajak para peserta melibatkan pelbagai disiplin ilmu yang relevan untuk menganalisa pengalaman mereka.
III.2. Penerapan Gerakan 2
Dalam kegiatan tanya-jawab di gerakan 2 ini, seorang fasilitator perlu secara realistis menyadari kebanyakan orang tidak terbiasa untuk melakukan suatu refleksi kritis dan analitis.[11] Agar tidak terjadi hal yang menghambat proses sharing, maka sebaiknya pertanyaan pertama merupakan hal yang sederhana guna ’memancing’ para peserta seperti:
Apa yang saudara/i ketahui tentang selibat dan pernikahan?
Apa arti dari selibat menurut Anda?
Melalui jawaban atas pertanyaan tersebut, fasilitator dapat mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam yang lebih menuntut para peserta untuk melakukan penalaran kritis dan analitis. Misalnya jawaban yang muncul adalah ”Selibat itu tidak menikah, mereka tidak menikah karena berbagai hal, misalnya keputusan sendiri, atau memang tidak memiliki niat untuk membangun bahtera rumah tangga. Pernikahan adalah sesuatu yang sangat diimpikan setiap orang, oleh karena pernikahan membawa seseorang menemukan pasangan hidupnya yang telah Tuhan janjikan.” maka fasilitator dapat bertanya:
Apakah menurut saudara/i orang yang selibat tidak bahagia? Menurut saudara/i apa saja hal yang dapat membuat seseorang memutuskan untuk selibat? Menurut saudara/i manakah yang lebih baik, selibat atau menikah? Apakah selibat memuncukan suatu permasalahan?
Pertanyaan ini akan mengajak para peserta melakukan pendalaman (discernment) terhadap penalaran kritis dan analitisnya. Diharapkan dalam menjawab pertanyaan di atas, secara elaboratif peserta menggunakan kajian-kajian pelbagai disiplin ilmu dalam analisisnya. Namun jika belum, maka fasilitator dapat memaparkan pendapat beberapa pakar dan data statstik yang relevan dan sekiranya membantu para peserta untuk dapat semakin dalam dan jernih merefleksikan pengalamannya. Contohnya:
Ketika Hans Kung menjadi konsultan teologi dalam gerakan pembaruan gereja Katolik Roma pada Konsili Vatikan Kedua tahun 1962 hingga 1965 ia ditanyakan apakah selibat merupakan pendorong kasus pelecehan seksual. Menurutnya tidak. Mungkin kita akan menemukan banyak kasus pelecehan seksual di mana pun, baik di lingkungan sekuler maupun di lingkungan gereja. Tapi tentu saja, anak muda sekarang menghadapi kondisi berbeda dengan ketika ia menjadi pendeta atau abad-abad sebelumnya. Menurutnya gereja perlu melihat perubahan situasi ini. Praktek selibat bukanlah hukum Tuhan. Joseph Ratzinger[12] setuju dengan Hans Kung bahwa praktek ini merupakan aturan gereja abad pertengahan. Selama beberapa abad sebelumnya, gereja katholik tidak mengenal hukum selibat. Menurut Hans Kung, mereka harus menghapuskan hukum ini.[13]
Fasilitator perlu memberikan arahan bahwa ’masa kini’ (present) tidak dapat dipisahkan dari ’masa lalu’ (past) dan ’masa depan’ (future): setiap pengalaman masa kini membawa dalam dirinya konsekuensi peristiwa-peristiwa di masa lalu sekaligus kemungkinan-kemungkinan bagi masa yang akan datang.[14] Melalui pernyataan di atas tadi fasilitator memunculkan dua buah pertanyaan sebagai berikut:
[1] Menurut Saudara/i, mengapa gereja dahulu mengenal hukum selibat?
[2] Menurut Saudara/i, apa yang akan terjadi di masa depan ketika kita melihat hukum ini di masa kini?
Masih ada pelbagai bentuk kegiatan lain yang ditawarkan Groome misalnya kuesioner.[15] Faktor kreatifitas fasilitator dan kondisi para peserta akan menentukan variasi bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan gerakan 2 ini.

IV. Gerakan 3: Kisah-Kisah dan Visi-Visi Kristen
IV.1. Tinjauan Konsep Gerakan 3
Dalam gerakan 3 ini fasilitator mengundang para peserta untuk menghadapi wajah ’Cerita dan Visi Kristiani’. Fasilitator memampukan para peserta melihat arti penting dan makna kisah Kristen bagi praksis kehidupan mereka.
         Istilah yang muncul dalam gerakan 3 adalah Hermeneutik[16]. Terdapat dua kelompok besar hermeneutik, yaitu: [1] kelompok metodologi hermeneutik tradisional yang meliputi: kritik literer dan kritik historis—keduanya adalah suatu kelompok yang melingkupi pendekatan yang berbeda-beda. [2] kelompok metodologi hermeneutik kontemporer yang membaca Alkitab dengan banyak ’teropong’ (yang) baru, misalnya: hermeneutik feminis, hermeneutik komitmen, hermeneutik pasca-kolonial dan lain sebagainya.
         Meski fasilitator memiliki kekuasaan dalam memilih metode atau pendekatan hermeneutik yang akan digunakan, sebaiknya pula fasilitator memperhatikan beberapa hal:[17]
1.      Garis Acuan 1: ”Kriteria awal” dalam hermeneutik gerakan 3 adalah pemerintahan Allah. Fasilitator mendekati suatu ekspresi Kisah dan Visi Kristen dengan keyakinan bahwa Allah adalah Allah yang senantiasa hidup dan kasih; mengkehendaki kebebasan, perdamaian dan keadilan bagi semua; yang terlibat secara aktif bagi kehidupan manusia.
2.      Garis Acuan 2: Fasilitator menyadari kepentingan dan prespektif yang mereka ’bawa’ ke dalam aktivitas hermeneutik atas kisah dan tradisi Kristen. Berarti fasilitator harus senantiasa secara ’kritis-pada-diri-sendiri’ (self-critical) menyadari sisi psikologis dan sosial yang menjadi ’beban’ aktivitas hermeneutik peserta.
3.      Garis Acuan 3: Fasilitator mengingat apa yang mereka ’bawa’ dari kisah-kisah dan visi-visi para peserta ketika ’memasuki’ Kisah dan Visi Kristen. Dalam menafsirkan Kisah dan Visi Kristen, fasilitator harus senantiasa mempertimbangkan tingkat usia, konteks, latar belakang, dan lainnya dari peserta.
4.      Garis Acuan 4: Fasilitator menerapkan suatu ’upaya pengambilan kembali hermeneutis’ untuk meraih kembali dan memungkinkan para peserta untuk memasuki kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai yang secara simbolis diperantai oleh teks dari Kisah dan Visi Kristen. Fasilitator membekali dirinya dengan pelbagai kajian biblika, teologi dan sejarah. Kesadaran kritis mengenai Visi Kristen tentang praksis pemerintahan Allah akan memberikan ’kepekaan’ untuk mempermaknai kebenaran dan nilai yang harus diraih kembali dari suatu kisah Kristen.
5.      Garis Acuan 5: Fasilitator menerapkan hermeneutik kecurigaan untuk mengungkapkan pelbagai mistifikasi dan distorsi yang ada dalam tafsir yang dominan atas Kisah dan Visi Kristen serta mengklaim kembali ’ingatan-ingatan yang berbahaya’. Ingatan yang berbahaya itu adalah pesan-pesan dan isyarat-isyarat yang direpresi oleh tafsir, teologi atau dogma yang dominan.
6.      Garis Acuan 6: Fasilitator menerapkan suatu heremeneutik komitmen yang kreatif untuk membangun suatu pemahaman yang lebih memadai atas kisah dan tradisi Kristen dan untuk mengilhami cara-cara hidup yang lebih setia kepada transformasi pribadi maupun sosial.
7.      Garis Acuan 7: Setiap penjelasan yang autentik atas suatu teks tertentu harus senantiasa memiliki kesinambungan dan bersesuaian dengan kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai yang konstitutif dari keseuruhan Kisah dan Visi Kristen.
8.      Garis Acuan 8: Setiap penjelasan yang autentik atas suatu teks tertentu dari tradisi Kristen harus menumbuh-kembangkan konsekuensi kreatif pribadi maupun sosial yang mengarah kepada pemerintahan Allah. Secara khas acuan ini menyoroti permasalahan penjelasan. Garis acuan ini menekankan bahwa kejelasan akan konsekuensi-konsekuensi adalah suatu indikasi autentisitas suatu penjelasan.
9.      Garis Acuan 9: Komunitas adalah garis acuan di mana di dalamnya penjelasan yang autentik mengenai ekspresi Kisah dan Visi Kristen mempertimbangkan juga pemahaman akan ’gereja’ serta praksis komunitas para peserta. Garis ini menekankan bahwa suatu penjelasan sebaiknya berpadanan dengan pemahaman ’gereja’ atas Visi dan Kisah Kristen. Kata ’gereja’ di sini maksudnya sebagai sebuah komunitas di mana masing-masing anggotanya terlibat dalam suatu proses belajar/mengajar bersama. Ecclesia docens est ecclesia discens artinya gereja yang mengajar adalah gereja yang belajar.
IV.2. Penerapan Gerakan 3
Penerapan yang akan fasilitator lakukan saat ini adalah secara simultan tidak tradisional seperti: membaca teks—pemaparan tafsir atas teks—tanya jawab seputar teks. Pelaksanaannya terdiri dari: [1] fasilitator mengajak peserta membaca dan memahami perikop tertentu yang telah dipersiapkan sebelunya, [2] fasilitator memberikan informasi seputar perikop tersebut dan [3] peserta memberi masukan.
         Bahan bacaan diambil dari I Korintus 7:25-40. Sebelum membaca teks bersama sebaiknya para peserta diberikan prawacana sebuah tafsir tertulis seperti berikut:
Oleh sebagian orang, seks seringkali disalah-mengertikan sebagai sesuatu yang tidak terlalu kudus, sesuatu yang jasmaniah dan bersifat daging. Dari situlah mungkin muncul pendapat bahwa orang yang tidak menikah dianggap lebih kudus atau lebih rohani dibandingkan mereka yang menikah. Padahal Kejadian 2:24 tidak mengafirmasi demikian, namun melukiskan bahwa Allah menciptakan Adam dan Hawa dengan maksud membentuk pernikahan, seks adalah salah satu unsur di dalamnya. Konsep pemikiran yang tidak tepat tadi seakan mendapat persetujuan dari Paulus dalam 1 Kor 7. Paulus beranggapan—kelihatannya—bahwa tidak menikah lebih baik  dari pada menikah (1 Kor 7:1,7,32-34,37-38). Hal inilah menjadi permasalahan kita saat ini. Karena itu mari kita simak dahulu keseluruhan perikop apakah Allah mengkehendaki demikian? Benarkah Allah menganggap bahwa tidak menikah adalah kehidupan yang lebih berkenan kepada-Nya? Namun alangkah lebih baiknya apabila kita membahas perikop ini dari acuan ayat pertama dalam I korintus 7 karena perikop kita juga berhubungan dengan keseluruhan perikop I Korintus 7 ini.
Setelah mengantar para peserta masuk ke dalam gambaran umum permasalahan yang diangkat, maka barulah fasilitator mengajak untuk membaca keseluruhan perikop I Korintus 7:25-40. Fasilitator dapat mengajak para peserta untuk membaca secara dialogis (bergantian) agar suasana dialog tetap terjadi. Setelah membaca seluruh perikop, barulah fasilitator dan para peserta masuk ke dalam bagian upaya hermeneutik atas teks.
Persoalan ’menikah itu baik’ atau ’menikah itu hanya menimbulkan persoalan duniawi belaka’ dipicu oleh adanya sekelompok orang ditengah-tengah jemaat Korintus yang berusaha mempromosikan idealisme hidup membujang. Secara tersamar hal itu tertulis dalam ayat pembuka: ”adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin” (kalon antropō gunaikos mē haptesthai). Pertanyaan yang muncul adalah darimanakah tendensi hidup membujang ini muncul dan apa implikasi sosialnya bagi kehidupan jemaat di Korintus saat itu?
Ungkapan’ tidak kawin’ diterjemahkan dari bahasa Greika gunaikos mē haptesthai yang secara harafiah diterjemahkan dengan ”tidak menjamah perempuan”. Ungkapan ini sering dipakai oleh sastra Ibrani dan Yunani sebagai ungkapan halus untuk menyebut hubungan seksual. Maka dengan demikian ayatnya berbunyi: ”adalah baik apabila laki-laki tidak berhubungan seksual”.
Kata ’baik’ (kalon) menimbukan persoalan. Dari prespektif siapakah ’baik’ ini harus dimengerti, rasul Paulus atau jemaat Korintus? Jika dari prespektif Paulus maka ’kalon’ bisa diartikan ’dikehendaki’ atau ’menguntungkan’. Pengertian ini melandaskan bahwa Paulus tidak pernah memandang negatif pernikahan itu sendiri. Namun sepertinya pemaknaan akan lebih mengena apabila melihat dari sisi jemaat Korintus. Karena memang slogan tersebut berasal dari sebagian anggota jemaat Korintus, bukan dari Paulus.
Dilihat dari prespektif jemaat Korintus, kata ’baik’ dalam slogan dapat berarti ’baik secara moral’. Dalam hal ini berarti sebagian jemaat Korintus anti terhadap segala macam bentuk hubungan seksual. Namun nampaknya paulus memberikan nasihatnya terbatas pada lingkup kehidupan berumah tangga menunjukkan bahwa baginya tindakan seksual yang bertanggung jawab dan seharusnya, boleh terjadi hanya dalam ikatan pernikahan antara seorang istri dan seorang suami namun harus siap dengan segala konsekuensinya (I Korintus 7:28).
Dari I Korintus 7:32 tersirat bahwa rasul Paulus menganggap hidup pernikahan itu akan banyak mendatangkan kecemasan-kecemasan tertentu dan karenanya ia menginginkan agar jemaat Korintus terhindarkan dari kecemasan-kecemasan tersebut. Alasan yang paling utama adalah ketika orang-orang tidak lagi ’memusatkan perhatiannya kepada Tuhan’ namun ’memusatkan perhatiannya kepada perkara-perkara duniawi’.
Namun ada dugaan lain yang justru terletak pada alasan keagamaan. Praktek bertarak secara seksual juga dikenal di dalam dunia keagamaan, khususnya bagi mereka yang sedang berada dalam persiapan diri untuk terlibat dalam upacara kurban. Pengaruh Korintus ini muncul dari tradisi keagamaan Mesir yang hadir di Korintus. Penyembahan kepada dewa Isis dan Serapis di tengah-tengah kehidupan masyarakat korintus telah menjadi bukti penyelidikan-penyelidikan arkheologis. Biasanya pengikutnya dituntut untuk bertarak secara seksual. Nampaknya aturan hidup bertarak ini sudah menjadi ’pola perilaku religious’ bagi pengikut Isis dan Serapis. Bahkan perilaku ini diwariskan turun temurun sebagai tradisi keagamaan yang mengikat sifatnya. Oleh karena itu tradisi itu masih membekas dan sulit dilepaskan walaupun mereka telah menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Paulus sendiri menjadi pendorong dan dasar bagi mereka untuk melanjutkan tradisi bertarak secara seksual ini.
Namun jika kita melihat keseluruhan pasal I Korintus, Paulus nampak jelas menujukan jawabannya kepada seluruh warga Korintus, bukan hanya sebagian orang saja. Kita melihat I Korintus 1:1 ”Kepada seluruh jemaat Allah di Korintus” (tē ekklēsia tou Theou tē ousē en Korinthō), tidak seorangpun dikhususkan untuk memperoleh jawaban melalui suratnya.
Paulus menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan dirinya sebagai yang tidak menikah, telah dijadikan semacam teladan oleh sementara anggota jemaat di Korintus. Namun Paulus tidak bermaksud demikian. Ini nyata dalam kenyataan bahwa undur untuk sementara waktu dari kegiatan seksual di antara pasangan suami istri bukanlah suatu hukum keharusan yang mengikat setiap pasangan suami istri, melainkan bersifat ’pilihan sukarela’. Itulah sebabnya ia berkata: ”hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah” (I Korintus 7:6). Dari ayat-ayat tadi menjelaskan bahwa Paulus memiliki teologi tentang pernikahan sebagai suatu persekutuan hidup dalam arti yang mendalam sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang keduanya memiliki tanggungjawab timbal balik secara seimbang dala memenuhi tuntutan-tuntutan hidup pernikahan mereka. Paulus tidak memberlakukan tata tertib penciptaan ini sebagai hukum yang mati. Oleh alasan tertentu, utamanya melayani Tuhan secara penuh berdasar pada karunia khusus yang ada, ia memberi peluang bagi seseorang untuk tidak menikah. Dengan alasan ini pula ia menyatakan preferensi personalnya untuk tidak menikah karena dirinya yakin memiliki karunia tersebut.
Setelah melakukan pemaparan ini, fasilitator kembali mengajak para peserta untuk mendiskusikan apa yang dikatakan teks tentang tema ”Mana Lebih Baik Menikah atau Selibat?”. Memang dalam tafsirnya, fasilitator telah mengajukan sebuah ’usulan’ tentang apa yang dikatakan teks tersebut, namun fasilitator harus senantiasa terbuka pada peserta. Hermeneutik dalam gerakan 3 ini adalah hermeneutik yang ’membuka’ (disclosure) bukan ’menutup’ (closure).[18]

V. Gerakan 4: Dialektika Hermeneutik untuk Mengambil Makna Kisah dan Visi Kristen bagi kisah-kisah dan visi-visi Para Peserta
V.1. Tinjauan Konsep Gerakan 4
Memampukan peserta untuk mengambil makna secara kritis dari Kisah dan Visi Kristen bagi kehidupan dan konteks mereka sendiri merupakan tujuan dari gerakan 4 ini.[19] Dengan hal ini, Kisah dan Visi Kristen menjadi bermakna bagi peserta dalam kekiniannya.
         Dialog dalam gerakan 4 memiliki 2 sisi: [1] dialog antara kisah-kisah dan visi-visi peserta dengan Kisah dan Visi Kristen, [2] dialog antara peserta yang satu dengan peserta yang lain. Objektivitas merupakan sisi penting dari gerakan ini.
         Gerakan 4 ini merupakan jembatan yang penting dari Gerakan 3 sebagai perjumpaan dengan Kisah dan Visi Kristen kepada Gerakan 5 sebagai pemilihan keputusan dan tanggapan untuk hidup sesuai dengan Iman Kristen. Visi dan Kisah Kristen menghantarkan komitmen peserta sebagai subjek Iman Kristen kepada tanggungjawab atas komitmen yang baru. Maka fasilitatorlah yang bertanggungjawab untuk menghantarkan peserta tiba pada suatu komitmen yang baru yang menjawab ’panggilan Tuhan bagi diri peserta’.
V.2. Penerapan Gerakan 4
Dalam memulai gerakan 4 ini fasilitator dapat bertanya kepada para peserta sebagai berikut:
Apa respon saudara terhadap pesan-pesan yang telah kita gali dalam diskusi mengenai perikop I Korintus 7:25-40 tadi?
Mungkin pertanyaan ini hampir mirip dengan gerakan 3 tadi, yang membedakannya adalah pada gerakan 4 ini, peserta diajak untuk kembali melihat praksis masa kininya; mendialogkan Kisah dan Visi Kristen dengan kisah dan visi peserta (pengalaman masa kini terkait masalah selibat dan menikah).
         Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dalam gerakan 4 ini peserta harus tiba pada sebuah komitmen. Maka fasilitator dapat mengajukan pertanyaan seperti:
Setelah kita membagikan pengalaman kita masing-masing, mencoba mencari penjelasan dari pengalaman tersebut, mendiskusikan perikop I Korintus 7, sekarang menurut saudara/i, apakah panggilan Allah bagi Anda?
Salah satu hal yang penting ketika fasilitator mengajukan pertanyaan tadi adalah tetap mengingat bahwa perjumpaan Visi dan Kisah Kristen dengan visi dan kisah peserta merupakan perjumpaan yang dialogis; bukan hanya dituntut untuk adanya perubahan praksis masa kini para peserta namun sebaliknya, cara peserta dalam ’membaca’ Kisah dan Visi Kristen pun dibaharui oleh praksis masa kini mereka.

VI. Gerakan 5: Reson/Keputusan untuk Kehidupan yang Sesuai dengan Iman Kristen
VI.1. Tinjauan KonsepGerakan 5
Dalam gerakan ini, peserta akan memilih suatu respon praksis Kristen yang terus diperbaharui, yang kian setia dengan visi pemerintahan Allah. Gerakan ini juga membentuk suatu kebiasaan dalam diri peserta untuk membuat keputusan-keputusan baik secara konseptual maupun secara moral dengan Iman Kristen. Keputusan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu [1] keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dan [2] keputusan mengenai ingin menjadi siapa.
         Keputusan apa yang akan dilakukan masih bisa dipilah ke dalam empat kategori yaitu: [i] keputusan kogniti, afektif, dan behavioral; [ii] keputusan personal, interpersonal atau sosial/politis; [iii] keputusan individual atau komunal; [iv] keputusan yang direalisasikan di dalam atau di luar pertemuan yang tengah berlangsung.[20]
         Keputusan ingin menjadi siapa amat terkait dengan harapan bahwa peserta akan memilih suatu respon praksis Kristen yang terus diperbaharui, yang kian setia dengan visi pemerintahan Allah. Dengan ini maka dalam gerakan 5 terjadilah sesuatu yang sangat kita kenal sebagai pertobatan. Pertobatan ini meliputi empat aspek:
1.      Aspek Intelektual: terjadi sebuah pebaharuan tentang ’cara’ seseorang mengetahui atau memahami suatu hal, dari sekedar ’melihat’ secara dangkal menjadi secara penuh perhatian, cerdas, tanggungjawab dan bernalar.
2.      Aspek Moral: orang mampu melampaui pemuasan pribadi; orang mampu hidup sesuai dengan nilai-nilai dan kebenaran yang mereka junjung.
3.      Aspek Religious: orang bertumbuh dalam kecintaan yang semakin dalam kepada Allah.
4.      Aspek Sosial: orang bertumbuh dalam solidaritas, keterlibatan historik dan komitmen kepada transformasi sosial dan politis yang mewujudkan-nyatakan pemerintahan Allah atas segenap ciptaan.[21]
Gerakan 5 ini meliputi aktivitas-aktivitas yang dialogis dan partisipatif. Berikut acuan pelaksanaannya:[22]
1.      Fasilitator menyambut baik segenap sumbangsih peserta serta kondusif bagi kebebasan para peserta untuk memilih keputusan atau tanggapan yang akan diambilnya.
2.      Fasilitator mengundang para peserta untuk membuat keputusannya sendiri dan mendukung mereka untuk mengkaji keputusan-keputusan mereka dalam komunitas.
3.      Fasilitator harus mampu menghormati kesiapan peserta dalam membuat keputusan, tidak bisa memaksa siapapun membuat dan mengekspresikan keputusannya.
4.      Fasilitator dapat menjadi yang pertama mengekspresikan keputusannya jika ia menilai bahwa tindakan tersebut membangkitkan semangat peserta untuk membuat keputusan mereka masing-masing.
5.      Sebelum menerapkan suatu prosedur untuk menggugah para peserta dalam membuat keputusan, fasilitator sebaiknya lebih dahulu menguji efektifitas prosedur itu pada dirinya sendiri.
6.      Fasilitator menyesuaikan segenap rancangan prosedur gerakan 5 dengan tingkat usia para peserta, konteks, batasan, waktu, tema generatif yang disoroti, dan lain sebagainya.
7.      Fasilitator memfasilitasi perencanaan yang konkret (meliputi langkah-langkah, waktu dan lainnya) jika peserta tiba pada suatu keputusan komunal untuk melakukan aksi bersama. Fasilitator juga turut ambil bagian dalam aksi bersama tersebut.
8.      Fasilitator menyimak dengan empatik serta mendukung keputusan-keputusan yang muncul.
VI.2. Penerapan Gerakan 5
Salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam gerakan 5 ini adalah keputusan yang diambil sebaiknya menyentuh tiga aras: personal, interpersonal dan sosial-struktural. Meski fasilitator tidak bisa memaksa para peserta dalam mengabil keputusan, namun diharapkan fasilitator mampu mengundang peserta membuat keputusan-keputusan di masing-masing aras tadi. Contoh pertanyaannya sebagai berikut:
Setelah saudara/i membuat komitmen pribadi saudara/i, apa yang akan saudara/i lakukan untuk merealisasikannya?
Jika tanggapan yang muncul lebih memperhatikan dimensi personal maka fasilitator dapat lagi bertanya:
Tentunya kita tidak hidup sendiri, maka kira-kira apa yang akan saudara/i lakukan kepada orang sekitar Anda?
Dalam menanggapi jawaban-jawaban yang muncul fasilitator perlu menekankan bahwa rencana-rencana itu harus konkret. Jawaban yang mungkin muncul adalah:
Saya tidak akan lagi menganggap orang selibat adalah orang yang tidak sempurna. Saya tidak akan lagi menganggap mereka ’aneh’.
Sedangkan mengenai keputusan yang menyangkut ranah struktural, fasilitator mungkin perlu memberikan contoh tentang kegiatan sederhana yang mampu mendorong terjadinya suatu transformasi struktural.
Pelecehan seksual seringkali dihubungkan dengan praktek selibat. Padahal semua dapat terjadi dan tidak perlu dihubung-hubungkan dengan selibat. Hans Kung secara ’sederhana’ saat diwawancara oleh majalah Tempo membela orang-orang yang dipersalahkan ini. Ia malah memberikan saran agar gereja merubah cara pandangnya terhadap pemakaian kontrasepsi yang dianggap berdosa. Ia berharap agar Paus Benediktus mengoreksi sikap antikontrasepsi gereja yang salah. Menentang penggunaan kondom terutama di Afrika yang memiliki masalah dengan AIDS, jelas kebijakan yang tidak bisa dipahami. Menurutnya, gereja juga harus merubah pandangannya soal seksualitas yang merupakan anugerah kreatif dari Tuhan. Banyak hal yang bisa kita perjuangkan. Saudara/i juga dapat mewujudkan perubahan dengan menulis artikel di surat kabar, artikel yang memperjuangkan orang-orang selibat yang dianggap ’aneh’ dan menjadi sumber permasalah akan pelecehan seksualitas. Saudara/i juga dapat menuliskan mengenai tanggungjawab bahtera pernikahan yang dituntut dalam pemerintahan Allah.
Keputusan bersama juga perlu fasilitator ’pancing’ dari kesadaran para peserta. Kira-kira pertanyaannya demikian:
Apa yang bisa kita lakukan bersama untuk mewujudkan komitmen kita?
         Untuk mengembangkan gerakan 5 ini, fasilitator bisa melakukannya misalnya dengan mengusulkan peserta untuk membuat suatu teks waktu. Doa komunal dan liturgi untuk ’meritualisasi’ dan ’mempestakan’ hikmat yang muncul pada gerakan 5 dapat menjadi sumber yang kuat bagi dukungan, solidaritas, serta komitmen yang mendalam.

VII. Tambahan: Usulan atas adanya Gerakan 6 sebagai Tindakan Menghidupi Keputusan Dalam Shared Christian Praxis.
Gerakan 6 ini maksudnya adalah agar fasilitator dan peserta dapat menghidupi keputusan-keputusan yang diambil pada gerakan 5. Refleksi dan evaluasi yang dilakukan terhadap keputusan-keputusan yang diambil dalam gerakan 5 dapat menjadi bahan pertimbangan selanjutnya dalam memilih tema generatif pada pertemuan berikutnya. Gerakan-gerakan ini sebaiknya tidak bersifat kaku. Maksudnya adalah dengan menggabungkan gerakan 1 dengan 2 atau gerakan 3 dengan 4 yang tidak harus dipisahkan. Variasi kegiatan sangat memperngaruhi berjalannya kegiatan dengan baik. Hal yang paling penting adalah, setiap gerakan memiliki suatu tujuan, maka fasilitator harus memiliki kejelasan akan tujuan masing-masing tahap dan berupaya memfasilitasi terciptanya tujuan-tujuan tersebut. [AcT]

Daftar Pustaka
Groome, Thomas H., Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry – The way of Shared Praxis, (West Broadway: Wipf and Stock Publishers)
Marxen, Willi, Introduction to the New Testament, (Philadelpia: Fortress Press, 1976)
Yarbrough, Larry O., Not Like the Gentiles: Marriage Rules in the Letters of Paul, (Atalanta: Scholars Press, 1985)
Rosner. Brian S., Paul, Scripture & Ethics: A Study of 1 Corinthians 5-7, (Leiden: E.J. Brill, 1994).


[1] Thomas H. Groome, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry – The way of Shared Praxis, (West Broadway: Wipf and Stock Publishers), hlm. 155.
[2] Groome, Sharing Faith, hlm. 156.
[3] Groome, Sharing Faith, hlm. 164-165.
[4] Groome, Shared Christian Praxis, hlm. 175.
[5] Groome, Shared Christian Praxis, hlm. 181.
[6] Kelainan dalam berhubungan sex dengan pasangannya.
[7] Groome, Sharing Faith, hlm. 184.
[8] Groome, Sharing Faith, hlm. 185.
[9] Groome, Sharing Faith, hlm. 193.
[10] Goome, Sharing Faith, hlm. 199-208.
[11] Menurut Dewey, refeksi kritis bisa ‘sangat menyakitkan’ bagi peserta. Lihat Groome, Sharing Faith, hlm. 208.
[12] Sekarang Paus Benediktus XVI
[13] Majalah Tempo Online. 3 Mei 2010. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/05/03/AG/mbm.20100503.AG133406.id.html
[14] ”’present’ here reflects an existensial understanding of ’time’...that is, the ’present’ that carries the consequences of the past and possiblities of the future.” Groome, Sharing Faith, hlm. 177.
[15] Groome, Sharing Faith, hlm. 212-214.
[16] Kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Gerika hermeneuein yang berarti ‘memahami’ dan ‘menerjemahkan’. Ini berarti aktivitas hermeneutic senantiasa meliputi baik dalam menentukan makna dari suatu teks maupun upaya mengungkapkan makna teks tersebut bagi konteks tertentu. Ricoeur menegaskan bahwa tujuan pamungkas dari hereneutik adalah untuk membuat ‘menjadi milik sendiri’ suatu hal yang tadnya ‘asing’ bagi kita. Groome, Sharing Faith, hlm. 223.
[17] Garis-garis acuan dari Thomas H. Groome. Groome, Sharing Faith, hlm. 227-239.
[18] Groome, Sharing Faith, hlm. 243.
[19] Groome, Sharing Faith, hlm 249.
[20] Groome, Sharing Faith, hlm. 267-271.
[21] Groome, Sharing Faith, hlm. 271.
[22] Groome, Sharing Faith, hlm. 287.

1 komentar: